Entah bagaimana mulanya tiba-tiba nama “Tebing Keraton” menjadi populer, terutama di internet. Konon kata teman sih, semua itu berubah terjadi sejak negara api menyerang Ridwan Kamil, walikota Bandung yang memang gaul abis, foto selfie di sana. Tahu sendiri kan follower beliau baik di Instagram, Twitter, dan Facebook sungguh bejibun. Dan mayoritas adalah anak muda yang aktif di social media juga. Jadi make sense saja sih begitu beliau selfie di sana anak-anak muda ingin mengikuti. Apalagi view Tebing Keraton memang oke dijadikan tempat narsis, haha.
Aku sendiri mendengar nama Tebing Keraton pertama kali dari salah seorang teman di grup backpacker Indochina kemarin pasca lebaran. Dia ngajakin anak-anak untuk main ke sana. Tapi berhubung kesibukan masing-masing yang berbeda, rencana untuk ke sana bareng-bareng belum jelas kapan bisa terlaksana.
Akhirnya kemarin pagi (23/08) aku mengajak Kamal, teman satu kontrakan, pergi ke sana. Kami berangkat pukul 6 pagi dari rumah kontrakan kami yang berada di daerah Cisitu dengan mengendarai motor berboncengan. Temanku sudah menyalakan aplikasi GPS logger untuk merekam rute yang kami lalui ke sana. Ya kali ada yang butuh. Soalnya kami cek di Google Maps belum ada keterangan menuju ke sana.
Perjalanan ke sana dari tempat kami kira-kira membutuhkan waktu 20 menitan. Dari Cisitu sebenarnya tidak terlalu jauh jaraknya. Berdasarkan catatan aplikasi GPS Logger kami, jaraknya hanya 8,5 km (lihat peta di bawah).
Rutenya cukup mudah. Check point pertama adalah Taman Hutan Rakyat (Tahura) Juanda. Petunjuk jalan ke arah sana dari Dago sudah sangat jelas. Jalannya pun masih mulus.
Beberapa meter dari Tahura kita akan menemui percabangan jalan berbentuk Y. Ambil jalan ke kanan. Dari situ kita tinggal mengikuti jalan saja terus sampai tiba di check point kedua, yakni Warung Bandrek atau yang biasa dikenal dengan sebutan Warban saja.
Di Warban ini lagi-lagi kita akan mendapati percabangan berbentuk Y. Kali ini ambil jalan ke kiri. Setelah itu tinggal mengikuti jalan terus sampai tiba di Tebing Keraton. Mendekati Tebing Keraton kita akan mendapati sepeda motor-sepeda motor yang terparkir di tepi-tepi jalan (kecuali Anda datang paling pertama, tentu nggak ada sepeda motor parkir di sana, hehe). Di sanalah tempat parkir sepeda motor pengunjung Tebing Keraton ini. Begitu tiba kita akan diberi karcis parkir dan diminta membayar Rp5.000 untuk biaya parkir.

Salah satu titik area parkir
Jalanan dari Cisitu sampai Taman Hutan Rakyat (Tahura) Juanda cukup mulus dan lancar. Namun, begitu mengendarai beberapa puluh meter dari Tahura, jalan mulai memburuk. Aspal jalan sudah tak berbentuk lagi. Lubang di mana-mana. Sebagian besar jalan tinggal menyisakan bebatuan kerikil saja. Selain itu, di beberapa ruas jalanan juga cukup menanjak. Apalagi jalan setelah Warung Bandrek. Beberapa motor kemarin kulihat pemboncengnya terpaksa turun agar motor dapat melaju naik.
Untuk menikmati Tebing Keraton ini, pengunjung dipungut tiket masuk sebesar Rp11.000 untuk turis lokal, atau Rp76.000 untuk turis asing. Biaya segitu sudah termasuk premi asuransi sebesar Rp1.000. Dan aku baru tahu ternyata penetapan tiket masuk ini baru dimulai sejak tanggal 8 Agustus ini. Sepertinya sebelum itu masih gratis atau sukarela bayarnya. Sayangnya tiket masuk Tebing Keraton ini masih menggunakan tiket masuk yang sama dengan Tahura. Tulisan “Rp7.500” yang menjadi harga tiket masuk Tahura ditutupi dengan ditempeli karcis premi asurasi.

Baliho harga tiket masuk

Tiket masuk
Setelah memperoleh tiket masuk, kami pun berjalan ke Tebing Keraton. Dari pintu masuk masih perlu berjalan sekitar 100 meter menyusuri jalan setapak untuk sampai di tebing yang menjadi tempat favorit pengunjung menyaksikan view.

Jalan setapak
Pagi itu walaupun jam “masih” menunjukkan pukul setengah 7 pagi, pengunjung sudah memadati tebing. Kami kesulitan untuk mencapai tempat the best untuk menikmati view yang berada di ujung tebing karena masih ditempati oleh rombongan lain.

Padatnya pengunjung Tebing Keraton
View yang ditawarkan adalah deretan gunung-gunung sebagai background, kemudian kawasan hutan di depannya yang diselimuti kabut-kabut. Selain itu tentu saja view sinar matahari yang terbit dari celah-celah pegunungan di sebelah timur. Kuakui view yang ditawarkan cukup cantik. Aku paling suka dengan kabut-kabut putih yang menyelimuti area hutan di bawah tersebut. Seolah menyimpan kesan misterius di dalamnya.

Matahari terbit di sisi timur

View panorama di hadapan Tebing Karaton

View Pegunungan dan hutan yang diselimuti kabut
Sebenarnya untuk melihat view itu tidak harus dari ujung tebing keraton sih. Dari bagian mana saja bisa. Namun, pandangan kita kurang lega karena sedikit terhalang oleh pepohonan atau pagar di tepi tebing.
Oh ya, soal mengapa dinamakan Tebing Keraton, ternyata di sana sudah dipasang “prasasti” yang akan menghapus rasa penasaran atas pertanyaan tersebut. Penulisan yang betulnya seharusnya “Karaton” bukan “Keraton”. “Karaton” yang dimaksud dalam bahasa Sunda lebih diartikan sebagai sebuah kemewahan alam. Jadi bukan “Keraton” yang identik dengan bangunan istana kerajaan. Namun, di social media nama yang sudah terlanjur populer adalah Tebing Keraton pakai “e”.
Sebelum nama Tebing Karaton sendiri tempat itu katanya sudah memiliki nama sendiri, yakni Cadas Jontor. Dinamakan demikian karena cadas tersebut menonjol ke depan dan memiliki ketinggian yang berbeda dengan cadas-cadas di sekitarnya.

Cerita asal mula nama Tebing Karaton
Sejam saja aku dan Kamal berada di sana. Setelah itu kami pergi meninggalkan Tebing Karaton. Oh ya, waktu kunjungan Tebing Keraton yang diizinkan adalah mulai pukul 5 pagi hingga 6 sore (05.00-18.00).
Kesanku terhadap Tebing Karaton, view-nya memang oke. Namun, dengan harga tiket masuk segitu (Rp11.000), menurutku tak sebanding. Apalagi jika aku adalah turis asing dan datang ke sana membayar USD7 (anggap 76 ribu itu sekitar USD7). Ibaratnya sudah susah-susah ke sana, namun tak ada aktivitas lain yang bisa dilakukan selain cuma melihat view saja. Masih mending ke Tahura yang tiket masuknya lebih murah, dan bisa puas menjelajahi area hutan yang sangat luas, bertandang ke Goa Jepang/Belanda, jogging di sana, dsb. Yah, ini cuma opini pribadi saja.
Like this:
Like Loading...