Tag Archives: gunung

Puncak Gunung Tangkuban Perahu

Trekking Kebun Teh Sukawana-Puncak Gunung Tangkuban Perahu

Minggu lalu saya bersama dua orang teman melakukan trekking dengan start dari Kebun Teh Sukawana (Google Maps di sini). Tujuan kami adalah Puncak Gunung Tangkuban Perahu (Google Maps di sini).

Kami meetup di Yomart Ledeng sekitar pukul 5.40 pagi. Setelah itu kami langsung tancap gas menuju Kebun Teh Sukawana melalui Jl. Sersan Bajuri. Tepat di Kimia Farma Parongpong, kami belok kanan menuju Jl. Sukawana.

Jl. Sukawana ini jalannya tidak rata dan berbatu-batu. Jadi tidak bisa kencang-kencang ketika berkendara di sini. Diperlukan kesabaran dan kehati-hatian ketika melintasi jalan ini.

Tujuan kami adalah Warung Ibu Onah yang berada di area Kebun Teh Sukawana. Kami menitipkan sepeda motor kami di warung tersebut dengan tarif Rp5000.

baca juga: Ngaprak Ngabring ke Kebun Teh Sukawana dan Curug Layung

Setelah itu kami bersiap-siap untuk memulai trekking. Tak lupa kami pemanasan dahulu. Jam menunjukkan tepat pukul 6.30 ketika kami memulai trekking.

Cuaca pagi itu cukup mendung. Sehari sebelumnya sempat hujan juga. Jadi kondisi tanah masih cukup basah. Tapi tidak sampai yang becek juga.

Trekkinng di tengah Kebun Teh Sukawana

Kami berjalan kaki menikmati segarnya udara pagi itu serta pemandangan Kebun Teh Sukawana yang ijo royo-royo. Sesekali kami berlari juga. Tapi lebih banyak jalan kaki sih. Hihihi.

Continue reading
Advertisement
Hiking to Mount Gede (photo by Ferdian)

Pendakian Gunung Gede 3.0 (Hari 1)

Sabtu, 28 November 2015

Setelah hampir setahun absen di dunia pendakian gunung, akhirnya akhir pekan kemarin saya kesampaian lagi pergi naik gunung. Terakhir kali naik gunung yaitu Desember tahun lalu ke Gunung Semeru. Seharusnya bulan lalu saya pergi melakukan pendakian ke Gunung Rinjani. Tiket pesawat sudah dibeli. Namun sayang, saya batal pergi karena tidak bisa meninggalkan kerjaan di kantor.

Gunung Gede menjadi pilihan pendakian kali ini karena dekat dari Bandung dan Jakarta, kota domisili saya dan teman-teman yang ingin melakukan pendakian, sehingga tidak memerlukan persiapan khusus membeli tiket kereta api atau pesawat. Pendakian Gunung Gede ini menjadi kali ketiga bagi saya.

Mencetak SIMAKSI

Awalnya ada 12 orang yang bergabung untuk ikut pendakian ini. Kami sudah mendaftar secara online sejak sebulan sebelumnya. Namun, seminggu sebelum hari H, hanya 5 orang yang konfirmasi jadi. Tak masalah, kami yang 5 orang ini pun tetap jalan.

Kami sepakat menetapkan meeting point di Cibodas pada hari Sabtu (28/11) pukul 9 pagi. Saya berangkat dari Bandung dan 4 orang lainnya dari Jakarta.

Sebenarnya kami mendaftar naik Gunung Gede melalui pintu masuk Gunung Putri. Namun kami harus mencetak SIMAKSI (Surat Izin Masuk Kawasan Konservasi) terlebih dahulu di Continue reading

Ranu Kumbolo

Pendakian Mahameru (Day 1): Mendaki Sampai Kalimati

Setelah 2 tahun yang lalu, akhir November kemarin aku kesampaian lagi untuk berkunjung ke Gunung Semeru, Jawa Timur. Jika 2 tahun lalu aku datang dengan tujuan hanya ingin menikmati Ranu Kumbolo saja (dan Gunung Bromo), pada kesempatan kali ini aku datang dengan misi untuk berusaha menjejakkan kaki di Puncak Mahameru yang berada di ketinggian 3676 mdpl.

Peserta pendakian kali ini selain aku, ada Zaki (EL’07), Fahmi (EL’07), Aban (EL’07), dan Ragil (teman kantor Zaki). Zaki sendiri adalah ketua tim kami. Dia yang menginisiasi rencana pendakian ini. Dia pula yang mengurus pendaftaran online perizinan pendakian ini.

Sabtu, 29 November 2014

Perjalanan ke Tumpang dari Jakarta

Pada hari Jumat, 28 November, kami bersama-sama menumpang pesawat AirAsia dari Jakarta menuju Surabaya dengan jadwal keberangkatan pukul 22.35. Pesawat sempat mengalami delay sekitar 15 menit. Kami tiba di bandara Juanda sekitar pukul 12 malam.

Keluar hall kedatangan, kami disambut belasan orang yang menawarkan jasa antar. Kami bilang tujuan kami hendak ke Tumpang, Malang. Mereka kompak menawarkan ongkos 500.000 rupiah. Kami mencoba menawar ke salah satu orang 400.000. Namun, mereka tetap keukeuh dengan harga segitu. Akhirnya kami pun sepakat dengan harga tersebut.

Perjalanan dari Juanda ke Tumpang menempuh waktu selama 2 jam. Kami di-drop di Alfamart yang terletak sekitar 100 meter setelah Masjid Jami’ Tumpang. Di Alfamart kami membeli logistik yang kami butuhkan untuk pendakian.

Perjalanan ke Ranu Pani

Saat tengah beristirahat di depan Alfamart, kami dihampiri sejumlah calon pendaki lain. Ternyata mereka adalah anak-anak Unair (Universitas Airlangga, Surabaya). Mereka mengajak untuk share cost naik truk ke Ranu Pani (biasa disebut dengan Ranu Pane juga), desa di kaki Gunung Semeru. Terang saja kami menyambut baik ajakan tersebut.

Jadilah kami naik truk ke Ranu Pani bersama rombongan anak Unair yang berjumlah 9 orang tersebut. Per orang dikenakan ongkos Rp40.000. Kami berangkat dari rumah sang pemilik truk jam setengah 6 pagi. Perjalanan ke Ranu Pani ini memakan waktu hampir 2 jam.

Ranu Pani

Ranu Pani

Setibanya di Ranu Pani kami langsung menuju ke Pos Ranu Pani untuk mengurus perizinan. Tak lupa kami menyiapkan persyaratan seperti bukti pembayaran, surat keterangan sehat, dan 1 lembar fotocopy KTP untuk diserahkan. Kami membayar Rp57.500 per orang sebagai tiket masuk (Tarif hari biasa Rp17.500/hari dan hari libur Rp22.500/hari).

Setelah surat izin pendakian dikantongi, kami segera bergerak ke warung untuk sarapan sebelum memulai pendakian. Di warung itu kami juga membungkus nasi untuk makan siang dan malam. Yak, kami memutuskan untuk tidak pakai acara masak-memasak di hari pertama ini demi menghemat waktu. Pasalnya kami berencana untuk langsung summit attack pada malam pertama ini.

Mengurus perizinan

Mengurus perizinan

Pendakian Dimulai

Pukul 9.30 kami memulai pendakian. Kami melewati Continue reading

Tenda-tenda di Pondok Salada

17 Agustusan di Gunung Papandayan (Bag. 2-Tamat)

Pukul 3 pagi aku sempat terjaga dari tidur. Aku terjaga karena mendengar suara angin yang berhembus sangat kencang di luar. Tenda yang kami tempati sampai bergoyang-goyang karenanya. Hanya sekejap saja aku terjaga. Beberapa saat kemudian aku tertidur lagi haha.

Saat subuh aku terbangun kembali. Kali ini benar-benar terbangun. Suhu yang sangat dingin membuat malas bergerak. Butuh waktu untuk mengumpulkan kekuatan untuk beranjak dari tenda, haha. Kalau niat sudah terkumpul, suhu dingin tidak terasa sedemikian dinginnya ternyata. Gin menyusulku keluar dari tenda. Kami bergantian mengambil air wudlu dan kemudian sholat subuh berjamaah.

Setelah sholat subuh, aku menggelar matras di depan tenda. Sambil duduk-duduk di sana, aku menyaksikan matahari yang pelan-pelan namun pasti muncul dari tempat persembunyiannya. Seiring semakin tingginya posisi matahari, semakin terang pula sinarnya. Tenda-tenda di sekeliling kami pun mulai menampakkan wujudnya yang berwarna-warni.

Tenda-tenda di Pondok Salada

Tenda-tenda di Pondok Salada

Saat itulah aku juga baru menyadari ternyata tak jauh dari tempat kami masuk ke area Pondok Salada ini semalam terdapat sebuah warung makanan yang cukup besar. Warung tersebut menjual mie instan, gorengan, dan minuman seperti kopi, teh, dan sejenisnya. Di dekat warung tersebut ada seorang bapak yang membawa bakul dagangan berupa baso ikan. Aku dan teman-teman tersenyum saling berpandangan. “Wah, tahu gitu kita nggak perlu susah-susah memasak di sini hehe,” celetuk salah seorang.

Ketika pagi mulai semakin terang, kami mulai menyiapkan sarapan. Menanak nasi menjadi hal pertama yang kami lakukan. Setelah itu, sambil menunggu nasi matang, aku jalan-jalan sebentar melihat keadaan sekitar. Aku penasaran dengan keberadaan toilet umum di Pondok Salada yang diceritakan oleh seorang teman sebelum aku berangkat ke sini.

Antrian toilet umum di Pondok Salada

Antrian toilet umum di Pondok Salada

Ternyata betulan ada lho. Katanya sih yang membangun toilet umum ini anak-anak KMPA (Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam) ITB. Ramai sekali pagi itu orang-orang yang mengantri untuk menggunakan toilet. Ya, apalagi kalau bukan karena panggilan alam, hehe. Kalau buang air kecil sih sepertinya masih lebih memilih di balik semak-semak. Eh, tapi ada juga lho yang pakai buat Continue reading

Foto bersama sebelum mulai mendaki

17 Agustusan di Gunung Papandayan (Bag. 1)

Ini adalah cerita pendakian aku dan teman-temanku pada bulan Agustus kemarin ke Gunung Papandayan. Saat itu di grup secara random tiba-tiba ada teman yang melempar wacana untuk naik gunung. Kebetulan sudah hampir setahun lamanya aku nggak nanjak dan lagi pingin banget naik gunung lagi. Aku pun menyambut positif wacana tersebut.

Disepakatilah Gunung Papandayan yang terletak di Kabupaten Garut sebagai pilihan kami. Papandayan kami pilih karena lokasinya dekat dari Bandung, Cikarang, dan Jakarta — kota domisili kami — dan urusan perizinan pendakiannya tidak ribet. Setahun sebelumnya aku sempat mendaki ke sana. Namun, ketika itu tidak sampai camping di sana. Naik pagi, turun sore.

Tanggal yang kami sepakati secara kebetulan bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Bukan sebuah kesengajaan sebetulnya. Kawan-kawan banyak bisanya hanya tanggal segitu, weekend yang terdekat dari tanggal pelemparan wacana.

Kami sadar betul bahwa pada tanggal segitu pasti Papandayan akan dipenuhi dengan pendaki yang ingin merayakan hari kemerdekaan di gunung. Kalau boleh memilih, sebenarnya kami ingin menghindari tanggal tersebut, karena aku pribadi kurang suka naik gunung yang terlalu ramai dengan pendaki. Satu hal yang kucari dari naik gunung adalah ketenangannya, yang jauh dari hiruk pikuk keramaian manusia.

Meeting Point di Terminal Cicaheum, Bandung

Sabtu, 16 Agustus, sekitar pukul setengah 10 pagi kami berkumpul di seberang Terminal Cicaheum, Bandung. Total rombongan ada 6 orang. Aku dan Gin, kami berdua berdomisili di Bandung jadi langsung ke Terminal Cicaheum dari rumah masing-masing. Sementara Pambudi, Listiyanto, Arif, dan Reza datang dari Cikarang dengan menggunakan bus PRIMAJASA ke Terminal Leuwi Panjang lalu menyambung bus DAMRI ke Cicaheum.

Di seberang Terminal Cicaheum sudah menunggu elf tujuan Garut. Elf tersebut tengah ngetem mencari penumpang. Kami ditarik oleh sang kernet untuk naik elf tersebut. Di dalam elf sudah ada 1 orang sesama calon pendaki Papandayan. Tas-tas carrier kami oleh sang kernet tersebut ditempatkan di atas elf.

Elf ke Garut

Elf ke Garut

Perjalanan dari Cicaheum menuju Terminal Guntur di Garut dengan elf ini menempuh waktu kurang lebih 2 jam. Ongkosnya Rp20.000 per penumpang.

Sesampainya di Terminal Guntur, kami mampir ke salah satu warung makan yang terletak di seberang terminal. Warung makan tersebut menjual sop iga yang ternyata bagi kami rasanya sangat enak! Tapi mahal sih harganya, Rp23.000. Tapi nasinya dikasih bakulan, jadi bisa nambah-nambah. Kami makan dengan lahapnya siang itu. Maklum, pada belum sarapan paginya hehe.

Makan siang sop iga

Makan siang sop iga

Setelah perut terisi, kami melanjutkan perjalanan kembali. Kami naik angkot warna putih-biru dari depan terminal. Banyak angkot yang ngetem di depan terminal dan kebanyakan penumpangnya memang para calon pendaki Gunung Papandayan.

Kami naik angkot tersebut menuju pertigaan Cisurupan. Pertigaan Cisurupan itu adalah lokasi terakhir sebelum gerbang masuk Papandayan yang bisa dijangkau dengan kendaraan umum. Ongkos angkot tersebut adalah Rp15.000 per penumpang. Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 30 menit.

Naik angkot ke Cisurupan

Naik angkot ke Cisurupan

Dari pertigaan Cisurupan itu kami ganti menaiki mobil pick up alias mobil dengan bak terbuka menuju gerbang masuk Papandayan. Kami join dengan pendaki-pendaki lainnya dalam satu mobil. Satu mobil pick up bisa diisi hingga 10 orang. Masing-masing membayar Rp20.000. Perjalanan ditempuh dalam waktu sekitar 20-30 menit kalau tidak salah. Yang membuat perjalanan agak lama sebenarnya kondisi jalan yang banyak lubang di sana sini. Aspal jalan sebagian besar sudah hancur, cur, cur.

Menjelang masuk ke dalam pelataran parkir Taman Wisata Alam (TWA) Papandayan, mobil pick up berhenti di depan kantor petugas. Ada petugas yang menghampiri mobil kami. Beliau meminta masing-masing ketua rombongan untuk turun dari mobil Continue reading

Catatan Perjalanan ke Ranu Kumbolo & Bromo (Bagian 3): Ranu Kumbolo

Tracking dengan menggunakan ponco ternyata tidak begitu nyaman. Tangan menjadi tidak  cukup leluasa bergerak. Untung hujan mulai berangsur-angsur reda. Ketika hujan tinggal menyisakan gerimis, aku dan teman-teman yang lain pun melepas ponco.

Menurut papan petunjuk jalan yang ada, jarak dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo ini adalah 10,5 km. Ada 4 pos yang berada di trek antara Ranu Pani dan Ranu Kumbolo ini. Jarak dari titik start ke pos 1 sepertinya adalah yang paling panjang. Rasanya ada sejam lebih kami menempuhnya. Namun, trek yang dilalui ini masih sangat nyaman. Trek sudah terpasang paving stone dan medan cenderung landai.

Di Pos 1

Di Pos 1

Dari pos 1 ke pos 2 jaraknya lebih ‘dekat’. Kurang dari sejam kami menyusurinya. Di antara pos 2 dan pos 3 ada ‘pos bayangan’ yang bernama Watu Rejeng. Kurang tahu juga kenapa dinamai seperti itu, padahal tak terlihat ada ‘batu rejeng’ di sana. Dari papan yang ada di sana kami mendapatkan informasi bahwa jarak dari Ranu Pani ke Watu Rejeng ini adalah 4,5 km. Wah, berarti masih ada sekitar 6 km lagi yang harus kami tempuh.

Memandang ke puncak Semeru

Memandang ke puncak Semeru

Tak terasa maghrib sudah tiba. Langit mulai gelap. Kami pun mengeluarkan senter untuk pencahayaan. Trekking pun menjadi mulai melambat karena harus lebih berhati-hati. Apalagi, trek cukup becek akibat hujan. Bila tak hati-hati bisa terpeleset ke jurang.

Singkat cerita, kami pun akhirnya sampai di pos 3. Aku masih ingat betul, ketika itu waktu menunjukkan pukul 18.30. Dari pos 3 ke pos 4 ini jaraknya tidak begitu jauh. Namun, banyak tanjakan yang harus dilalui. Cukup menguras tenaga juga.

Nah, dari pos 4 ke Ranu Kumbolo ini sangat dekat. Bahkan, Dari atas pos 4 ini kita sudah bisa melihat Ranu Kumbolo dengan bukit Tanjakan Cinta-nya. Dan malam itu dari pos 4 ini kami melihat Ranu Kumbolo bagaikan pasar malam. Bahkan mungkin lebih tepat disebut perkampungan. Gemerlap cahaya lampu dari tenda-tenda pendaki memenuhi ruang di tepi danau. Luar biasa. Aku tak bisa mengira berapa jumlah manusia yang berkumpul di sana. Ada ribuan mungkin.

Kami akhirnya sampai juga di Ranu Kumbolo. Tepatnya di sisi utara. Kami langsung mencari tanah kosong untuk mendirikan dua tenda. Satu tenda kapasitas 4 orang dan satu lagi tenda berkapasitas 2 orang. Tanpa banyak membuang waktu, begitu menemukan tanah lapang, kami pun segera mendirikan tenda.

Setelah tenda selesai didirikan, kami kemudian segera mempersiapkan peralatan memasak dan makan. Menu kami malam itu adalah mie instan pakai nasi dan sarden. Kami sengaja membawa yang simpel-simpel saja karena memang cuma berencana menetap di sana satu malam saja.

Pukul sepuluh malam setelah beres santap malam kami masuk ke tenda masing-masing yang sudah ditentukan untuk beranjak tidur. Sebelum itu, aku menunaikan sholat maghrib dan isya’ terlebih dahulu (jama’ takhir).

Hari 3: Sabtu, 17 November 2012

Pukul 04.20 aku terbangun dari tidur karena mendengar riuh suara kicauan burung plus percakapan orang-orang dari luar tenda. Langit sudah cukup terang ternyata. Aku pun langsung mengambil air wudlu dan menunaikan sholat shubuh. Setelah itu membangunkan teman-teman yang lain.

Langit Ranu Kumbolo Pukul 4.30

Langit Ranu Kumbolo Pukul 4.30

Kami tak ingin melewatkan sunrise dari Ranu Kumbolo ini. Sayang euy, karena kekurangtahuan, kami tak sempat menikmati sunrise di Ranu Kumbolo dari spot terbaik di sana. Pagi itu Ranu Kumbolo sangat ramai dengan para pendaki yang ingin menikmati sunrise juga. Spot terbaik sih katanya di Continue reading