Tenda-tenda di Pondok Salada

17 Agustusan di Gunung Papandayan (Bag. 2-Tamat)

Pukul 3 pagi aku sempat terjaga dari tidur. Aku terjaga karena mendengar suara angin yang berhembus sangat kencang di luar. Tenda yang kami tempati sampai bergoyang-goyang karenanya. Hanya sekejap saja aku terjaga. Beberapa saat kemudian aku tertidur lagi haha.

Saat subuh aku terbangun kembali. Kali ini benar-benar terbangun. Suhu yang sangat dingin membuat malas bergerak. Butuh waktu untuk mengumpulkan kekuatan untuk beranjak dari tenda, haha. Kalau niat sudah terkumpul, suhu dingin tidak terasa sedemikian dinginnya ternyata. Gin menyusulku keluar dari tenda. Kami bergantian mengambil air wudlu dan kemudian sholat subuh berjamaah.

Setelah sholat subuh, aku menggelar matras di depan tenda. Sambil duduk-duduk di sana, aku menyaksikan matahari yang pelan-pelan namun pasti muncul dari tempat persembunyiannya. Seiring semakin tingginya posisi matahari, semakin terang pula sinarnya. Tenda-tenda di sekeliling kami pun mulai menampakkan wujudnya yang berwarna-warni.

Tenda-tenda di Pondok Salada

Tenda-tenda di Pondok Salada

Saat itulah aku juga baru menyadari ternyata tak jauh dari tempat kami masuk ke area Pondok Salada ini semalam terdapat sebuah warung makanan yang cukup besar. Warung tersebut menjual mie instan, gorengan, dan minuman seperti kopi, teh, dan sejenisnya. Di dekat warung tersebut ada seorang bapak yang membawa bakul dagangan berupa baso ikan. Aku dan teman-teman tersenyum saling berpandangan. “Wah, tahu gitu kita nggak perlu susah-susah memasak di sini hehe,” celetuk salah seorang.

Ketika pagi mulai semakin terang, kami mulai menyiapkan sarapan. Menanak nasi menjadi hal pertama yang kami lakukan. Setelah itu, sambil menunggu nasi matang, aku jalan-jalan sebentar melihat keadaan sekitar. Aku penasaran dengan keberadaan toilet umum di Pondok Salada yang diceritakan oleh seorang teman sebelum aku berangkat ke sini.

Antrian toilet umum di Pondok Salada

Antrian toilet umum di Pondok Salada

Ternyata betulan ada lho. Katanya sih yang membangun toilet umum ini anak-anak KMPA (Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam) ITB. Ramai sekali pagi itu orang-orang yang mengantri untuk menggunakan toilet. Ya, apalagi kalau bukan karena panggilan alam, hehe. Kalau buang air kecil sih sepertinya masih lebih memilih di balik semak-semak. Eh, tapi ada juga lho yang pakai buat mandi. Umumnya sih cewek-cewek. Ckckck. Naik gunung masih sempet ya mikirin mandi haha. Ternyata itu salah satu yang bikin antriannya lama juga.

Pagi itu menu sarapan kami adalah nasi dengan lauk++. Ada mie goreng, telor dadar yang digoreng campur sosis, dan sarden. Semuanya dicampur jadi satu. Bagaimana rasanya? Amazing! Kami sampai tidak bisa menggambarkan bagaimana rasanya. Yang jelas telan saja selagi perut masih bisa menerima haha.

Sarapan pagi

Sarapan pagi

Setelah sarapan, kami semua mulai memberesi barang-barang dan tenda kami. Kami bersiap-siap untuk melanjutkan pendakian menuju Tegal Alun. Sempat terjadi dilema di antara kami. Apakah akan naik menuju Tegal Alun dengan membawa carrier, ataukah carrier kami tinggal saja di Pondok Salada. Arif yang sudah dari setengah jam sebelumnya pamitan ke toilet juga masih belum balik-balik.

Di tengah kedilemaan itu, Reza menawarkan diri untuk tetap stay di Pondok Salada menjaga carrier-carrier kami. Katanya dia nggak masalah ditinggal di sana. Dia juga yang akan menunggu Arif kembali dari toilet. Tentu saja kami merasa nggak enakan sama dia. Tapi dia keukeuh bilang nggak apa-apa.

Akhirnya sekitar pukul 9.15 aku, Gin, Pambudi, dan Listiyanto cabut meninggalkan Pondok Salada. Kami melanjutkan pendakian menuju Tegal Alun. Jalur yang kami lalui kali ini lebih banyak berupa tanjakan dengan sudut yang cukup curam. Singkat cerita, kami berhasil tiba di Tegal Alun dalam waktu kurang lebih satu jam.

 

Tanjakan yang cukup terjal

Tanjakan yang cukup terjal

Di Tegal Alun telah ramai gerombolan pendaki yang tengah membentuk lingkaran dengan beberapa orang berada di tengah sedang berusaha memasang bendera merah putih. Setelah bendera siap, salah seorang pendaki memimpin para pendaki yang lain untuk melakukan hormat kepada bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Upacara kecil-kecilan

Upacara kecil-kecilan

Setelah lagu Indonesia Raya selesai dinyanyikan, masing-masing kelompok pendaki menarik diri dan melakukan sesi foto dengan teman masing-masing. Begitu juga dengan kami. Kami berfoto-foto di padang rumput Tegal Alun yang dipenuhi dengan pepohonan Edelweiss.

Hampir sejam kami berada di Tegal Alun. Setelah puas menikmati pemandangan di Tegal Alun dan berfoto-foto di sana, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Pondok Salada. Kali ini rute yang kami tempuh adalah melalui hutan mati. Hanya butuh waktu 30 menit saja ketika kami sampai di Pondok Salada.

Hutan mati

Hutan mati

Di Pondok Salada kami mencari posisi Reza dan Arif. Setelah bergabung dengan mereka, kami pun bersiap-siap untuk melanjutkan lagi perjalanan menuju Camp David. Sebelum meninggalkan Pondok Salada, kami mampir ke warung sebentar untuk menikmati gorengan di sana. Anggap saja makan siang lah haha.

Dalam perjalanan pulang menuju Camp David kami laporan ke Pos II yang berada di Guber Hut. Sesuatu yang tidak kami lakukan dalam perjalanan naik sehari sebelumnya. Alhasil kami pun ditegur petugas karena tidak melapor ke sana saat perjalanan naiknya.

Perjalanan turun ke Camp David

Perjalanan turun ke Camp David

Perjalanan turun ke Camp David ini lebih cepat dari perjalanan naik sehari sebelumnya. Kurang lebih hanya 1,5 jam saja waktu yang kami tempuh untuk tiba di Camp David. Di Camp David kami istirahat sebentar sambil menikmati es kelapa muda. Di saat kami beristirahat, Listiyanto selaku ketua kelompok pergi ke kantor petugas untuk melapor.

Sebentar saja kami beristirahat. Setelah itu kami bergabung dengan kelompok lain yang telah berada di atas mobil pick up untuk sama-sama menumpang sampai ke pertigaan Cisurupan. Per orang masih sama dikenakan biaya Rp20.000. Di Cisurupan kami berganti naik angkot menuju Terminal Guntur. Biaya per orang Rp15.000.

Tiba di Terminal Guntur, kami langsung jalan menuju masjid yang ada di dekat sana untuk menunaikan sholat dhuhur dan ashar. Setelah itu kami makan siang di warung makan yang sama dengan sehari sebelumnya. Namun kali ini tak semuanya kebagian sop iga karena tinggal tersisa 3 porsi saja, hiks hiks.

Makan dulu sebelum berpisah

Makan dulu sebelum berpisah

Setelah makan, aku dan Gin berpisah dengan Listi, Pambudi, Arif, dan Reza. Mereka naik bus Primajasa menuju Bekasi. Sementara aku dan Gin naik mini bus menuju Bandung. Bus yang kami tumpangi terakhir berhenti di Terminal Leuwi Panjang. Ongkos bus tersebut adalah Rp30.000. (tamat)

Advertisement

5 thoughts on “17 Agustusan di Gunung Papandayan (Bag. 2-Tamat)

    1. otidh Post author

      Bukan di puncaknya kali mas. Puncak Papandayan agak susah rute ke sananya.

      Betul, kalau cuma sampai Pondok Salada memang kurang menantang rutenya. Tapi lumayan lah untuk tempat menghilangkan kejenuhan dari kota.

      Like

      Reply

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s