Pukul 11 malam, masih di hari Sabtu, 29 November 2014, kami semua bangun dari tidur malam kami yang hanya 2 jam. Kami bersiap-siap untuk melakukan summit attack. Ada satu teman yang memutuskan untuk tidak ikut karena kakinya masih terasa sakit karena pendakian seharian sebelumnya.
Saat itu tak hanya kami, kelompok pendaki yang lain juga tengah bersiap-siap. Kami semua berkumpul dan berdoa bersama sebelum memulai pendakian ke Puncak Mahameru tengah malam itu. Pukul 23.30 pendakian pun dimulai.
Minggu, 30 November 2014
Summit Attack
Dari Kalimati kami mendaki menuju Arcopodo. Arcopodo merupakan kawasan vegetasi terakhir sebelum Puncak Mahameru. Pendakian kali ini terasa lebih ringan karena tidak perlu membawa beban yang berat di punggung.
Sekitar 1,5 jam kami menyusuri hutan Arcopodo. Kemudian tibalah kami di batas terakhir vegetasi. Medan berikutnya yang kami hadapi adalah lautan pasir berkerikil. Ketinggian saat itu sebagaimana yang aku cek dari GPS-ku adalah sekitar 3000 mdpl. Wew, berarti ada 676 meter ketinggian lagi yang harus kami tempuh untuk sampai puncak.
Teman-teman pendaki yang lain memilih untuk beristirahat di perbatasan tersebut terlebih dahulu. Sementara aku dan kenalan baruku, Gianluca, orang Italia yang sedang bekerja di Surabaya, melanjutkan pendakian. Jadilah kami berdua menjadi orang yang paling depan dalam summit attack itu.
Awal-awal medan pasir ini belum terasa berat. Aku bisa menjejakkan kaki dengan ‘normal’ karena sedikit terbantukan oleh pasir yang agak basah sehingga membuatnya agak padat. Langkah demi langkah akhirnya kesulitan itu datang juga. Kaki ini susah untuk dicengkeramkan ke tanah. Jika tak mampu menahannya, maka kita akan terperosok 1-2 langkah ke bawah.
Aku mencoba strategi pertama. Mendaki layaknya macan yang berjalan dengan 4 kaki. Tanganku kugunakan untuk mencengkeram kerikil dan bebatuan yang ada di depanku. Sekali gerak, aku bisa dapat 4-6 langkah. Lumayan ber-progress. Pada titik ini ternyata jarak antara kami (aku dan Gianluca) dengan teman-teman pemuncak lainnya sudah cukup jauh.
Semakin lama tenagaku semakin terkuras. Aku merasakan keletihan. Sudah 1,5 jam aku mendaki tanah berpasir ini. Namun, saat kulihat GPS-ku, ternyata kami baru setengah jalan dari Arcopodo tadi. Kami berada di ketinggian 3300-an mdpl. Masih ada 300-an meter lagi.
Lama-lama aku tertinggal oleh Gianluca. Jarakku dengannya semakin jauh. Tapi masih tak sejauh jarak antara diriku dengan pendaki di belakangku. Pada titik ini aku benar-benar merasa seperti sendirian. Di tengah kegelapan malam, tak ada suara sedikitpun. Benar-benar hening. Belum pernah aku merasakan keheningan yang benar-benar hening tanpa suara seperti itu. Bahkan suara angin pun tak terdengar.
Berkurangnya tenaga ditambah tipisnya oksigen di ketinggian, membuat tubuhku lemas. Aku sempat tertidur 1-3 menit beberapa kali. Pada titik ini aku sempat merasa putus asa dan sedikit frustrasi. Sempat merenung beberapa saat. Gianluca berteriak dari depan, “Dhito, are you okay??” Kemudian aku pun membalasnya, “Yeah, I’m fine.”
Dengan mengumpulkan semangat tersisa, aku melanjutkan pendakian kembali. Di titik ini aku merasa sangat sepakat dengan quote dari Edmund Hillary, pendaki pertama yang berhasil mencapai puncak Mount Everest: “It is not the mountain we conquer, but ourselves”.
Kali ini aku mencoba strategi kedua: mendaki dengan posisi tubuh normal dan menapak tilasi langkah kaki yang sudah dijejakkan oleh Gianluca. Ternyata itu sangat membantu. Sekali gerak, aku bisa mengambil 3-4 langkah. Setelah itu istirahat sebentar mengambil nafas dan mengambil langkah kembali.
Gianluca menungguku di depan. Aku bertanya kepadanya, “Are we already on the top?” Kemudian ia menjawab, “I don’t know. I’m waiting for you. I want us to reach to the top together.” Wow, baik banget ini bule.
Aku pun mengecek GPS-ku. Ketika itu kami sudah tiba di ketinggian 3600 m. Masih ada sekitar 76 meter ketinggian lagi untuk didaki.
Dalam suasana gelap kami kesulitan untuk melihat lingkungan di sekitar kami. Kami belum tahu puncak Semeru seperti apa. Namun, perlahan tapi pasti kami akhirnya tiba juga di puncak. “Yeaayy, we are on the top!!”
Puncak Semeru ternyata berupa tanah pasir bebatuan yang relatif datar. Di kejauhan kami melihat ada tiang dengan bendera yang menancap. Kami pun menuju ke sana. Gianluca memintaku untuk memotret dirinya di samping tiang bendera Indonesia dengan plat bertuliskan “Puncak Mahameru 3676 MDPL” yang mulai memudar.
Ketika itu waktu menunjukkan pukul 4.15. Sudah masuk waktu Subuh berarti. Aku pun bertayamum dan mendirikan sholat Subuh di Puncak Mahameru ini.
Tak berapa lama kemudian Gianluca pamitan untuk turun. Wew, secepat ini?? Dia bertanya padaku mau turun kapan. Aku bilang aku mungkin mau stay sampai jam 7-8 pagi atau at least sampai teman-teman datang.
Btw, tahu nggak berapa usia Gianluca ini? 49 Tahun men! Kerennya di usia 49 tahun ini fisiknya masih sangat bugar. Dia menjadi orang pertama di antara pendaki-pendaki yang lain yang mencapai Puncak Mahameru hari itu. Padahal pendaki-pendaki yang lain usianya masih rentang 18-30 tahun. Katanya dia memang hobi naik gunung, termasuk di kampung halamannya di Italia sono.
Selang 30 menit setelah kami sampai puncak, akhirnya orang ketiga datang. Ternyata Aban, teman satu kelompok pendakianku. Beberapa menit kemudian mulai berdatangan rekan-rekan pendaki yang lain. Di ufuk timur, rona merah matahari terbit mulai terlihat Sayangnya itu ternyata momen cerah terakhir yang kami lihat.
Pukul 5 pagi langit yang harusnya sudah mulai terang ternyata diselimuti awan mendung. Tak hanya itu, hujan rintik-rintik pun mulai turun. Kabut tebal menyelimuti Puncak Mahameru. Hawa pun terasa semakin dingin. Serius, benar-benar dingin!
Ada seorang pendaki yang baru tiba di puncak dia kemudian menangis sejadi-jadinya karena menggigil kedinginan. Oleh teman-temannya ia diselimuti jaket tambahan, dan dipeluk rame-rame agar terasa lebih hangat.
Yup, basah dan dingin mewarnai suasana Puncak Mahameru tersebut. Tak sedikit yang kemudian akhirnya memutuskan untuk langsung turun. Aku dan Aban menunggu Zaki dan Ragil yang masih belum tiba. Sambil menunggu kami berfoto-foto di atas puncak ini sambil berharap langit akan kembali cerah.
Pukul 6.30 Zaki dan Ragil masih belum tiba. Langit juga masih mendung dan awan masih menurunkan gerimis. Hawa dingin pun masih belum hilang. Kami akhirnya memutuskan untuk turun. Kami sempat su’udzon jangan-jangan Zaki dan Ragil memutuskan untuk balik ke Kalimati di tengah perjalanan.
Namun, baru sekitar 5-10 menit kami menuruni Puncak Mahameru, kami bertemu dengan mereka. Akhirnya kami pun bersama-sama menaiki Puncak Mahameru kembali. Untung belum terlalu jauh turunnya hehe.
Ketika kami berada di puncak, sempat ada harapan langit cerah akan datang. Samudra awan sudah sempat terlihat selama beberapa menit. Hangatnya sinar matahari juga sempat kami rasakan.
Namun, ternyata itu tak bertahan lama. Awan mendung kembali datang. Gerimis kembali turun. Hawa dingin pun kembali kami rasakan. Takut cuaca semakin buruk, kami pun memutuskan untuk turun.
Perjalanan turun ke Kalimati ini jauh lebih mudah. Kami tinggal perosotan saja di lautan pasir berkerikil ini. Eitts… tapi tetap perlu waspada. Pasalnya, jika tak hati-hati bisa saja kita menyenggol batu besar sehingga batu menggelundung ke bawah, dan itu tentu saja akan membahayakan pendaki yang lain di bawah.
Namun, alhamdulillah tidak ada insiden yang berbahaya selama turun dari Puncak Mahameru itu. Perjalanan turun ke Kalimati ini kami tempuh dalam waktu hampir 2 jam.
Turun ke Ranu Kumbolo
Setibanya di tenda, kami langsung membuat sarapan. Menunya simpel saja saat itu, yakni mie instan. Setelah sarapan kami tiduran sekitar 1-2 jam di tenda. Maklum, kami kurang tidur sejak perjalanan dari Jakarta. Lumayan untuk mengisi energi kembali.
Pukul 12 siang kami bangun. Lalu kami mulai mengepaki barang-barang kami. Membongkar tenda dan flysheet. Memasukkannya kembali ke ransel kami.
Pukul 13.30 setelah semuanya beres, kami pun mulai beranjak meninggalkan Kalimati untuk kembali turun ke Ranu Kumbolo. Perjalanan kembali ke Ranu Kumbolo ini tak seberat perjalanan arah sebaliknya ke Kalimati, terutama di rute Cemoro Kandang. Jika sehari sebelumnya kami terengah-engah menyusuri Cemoro Kandang karena treknya yang menanjak secara konstan, kali ini kami bisa berjalan sambil tersenyum bahagia karena treknya menurun (ya iyalah haha).
Di Oro-Oro Ombo kami puas-puaskan untuk memotret keindahan yang ada di sana. Begitu pula ketika menaiki bukit Tanjakan Cinta dan menuruninya sehingga Ranu Kumbolo berada di hadapan. Kami berusaha memotret dari berbagai angle untuk mengabadikan keindahan di sana. Namun, tetap saja, kamera yang paling canggih adalah anugerah Allah yang diberikan pada mata kami sehingga mampu mengamati tiap sudut keindahan di sana dan menyimpannya ke dalam memori otak kami.
2,5 Jam saja waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan kami dari Kalimati ke Ranu Kumbolo ini. Dalam perjalanan tersebut, kondisi cuaca cukup labil. Maju-mundur-maju-mundur, eh kok jadi ngikut Syahrini gini. Maksudnya tuh gerimis-reda-gerimis-reda hehe.
Bermalam di Ranu Kumbolo
Setibanya di Ranu Kumbolo kami segera mencari tanah lapang dengan view yang oke menghadap ke Ranu Kumbolo. Setelah ketemu lokasi yang menurut kami oke, kami pun mendirikan tenda di situ.
Agenda kami sesudahnya adalah makaaaan!! Tentu saja nggak ujug-ujug makanan tersaji di hadapan kami. Pertama kami masak nasi dulu. Lamaaa sekali menunggu nasi ini matang. Hampir 2 jam kayaknya. Sambil menunggu nasi matang, kami melaksanakan sholat maghrib dan isya’.
Alhamdulillah setelah selesai sholat, nasinya jadi. Empuk lagi nasinya hehe. Lauk kami malam itu adalah ikan sarden. Standar banget yak haha.
Saat kami beres makan malam, waktu masih menunjukkan pukul setengah 9 malam. Namun kami sudah bersiap-siap tidur. Peralatan makan kami bersih dan rapikan kembali. Begitu pula barang-barang di luar tenda kami tata lagi ke dalam flysheet. Setelah itu kami tidur. (bersambung)