Monthly Archives: January 2011

Catatan Liburan Akhir Tahun 2010 (Day 7) : Jatim Park

Kamis, 30 Desember 2010. Tidak lama waktu kami singgah di Malang. Cukup satu malam saja. Pagi itu sekitar pukul 9 aku dan kawan-kawan sudah berpamitan kepada keluargaku untuk melanjutkan perjalanan kembali.

Dari rumahku kami menaiki angkot menuju Polowijen. Di sana kami mampir dulu ke toko oleh-oleh khas Malang “Ken Arok” yang terletak persis di bawah fly over dekat persimpangan rel kereta api dan tepat berada di samping kantor kelurahan Polowijen. Khairul dan Neo tampak bersemangat sekali mencari oleh-oleh keripik buah yang memang menjadi khas oleh-oleh asal Malang. Sementara itu, aku dan Kamal menunggu mereka di depan toko tersebut.

Mampir ke toko oleh-oleh khas Malang

Mampir ke toko oleh-oleh khas Malang

Neo mencari oleh-oleh

Neo memilih oleh-oleh

Dari toko oleh-oleh “Ken Arok” kami lanjut lagi menaiki angkot ke stasiun Malang Kota Baru. Di sana kami berencana menitip tas-tas kami yang berat-berat untuk diambil pada waktu sore harinya. Ya, kami mau jalan-jalan dulu. Masih ada waktu sekitar lima jaman sebelum kereta Malabar yang akan kami tumpangi berangkat.

Main-main di Jatim Park

Dari stasiun kami pergi menuju terminal Landungsari. Di sana sudah menunggu teman kami satu jurusan yang sebenarnya juga temanku satu sekolah mulai dari SD sampai kuliah sekarang, yakni Haris. Perjalanan berlanjut lagi dengan menaiki angkot Landungsari-Batu. Ya, kami akan bermain-main di Jawa Timur Park atau yang biasa disebut cukup dengan “Jatim Park” saja. Tidak sampai setengah jam perjalanan dari Landungsari ke terminal Batu. Dari sana kami melanjutkan perjalanan yang tinggal berjarak beberapa ratus meter saja.

Woww..! kami sempat terperangah begitu mengetahui harga tiket masuk Jatim Park mencapai Rp50.000 per orang. Tiket masuk itu sudah bersifat terusan. Maksudnya, kita dapat dengan gratis masuk atau menaiki 53 wahana yang ada di sana tanpa perlu membayar biaya lagi. Kata salah seorang teman yang sudah sering pergi ke sana, sebenarnya untuk hari biasa, Senin-Kamis, harga tiket terusannya Rp35.000 per orang.  Kalau hari Jumat-Minggu Rp45.000 per orang. Mungkin ini gara-gara masa liburan anak sekolah sehingga harga tiketnya mencapai segitu.

Sudah lama aku nggak berkunjung ke Jatim Park ini. Terakhir kali ke sini seingatku adalah 8,5 tahun yang lalu (sekitar Juni 2002) saat aku masih kelas 1 SMP . Kala itu, aku ke Jatim Park karena sekolahku, MTsN Malang I, mengadakan studi tur ke sana. Seluruh siswa kelas satu diwajibkan untuk mengikuti acara ini. Di sana kami selain bersenang-senang juga harus membuat rangkuman atas pengetahuan yang kami dapat dari penjelasan atau eksperimen yang ditampilkan di wahana pembelajaran.

Aku juga masih ingat, saat itu wahana yang ada belum sebanyak sekarang dan harga tiketnya masih Rp7.500 untuk hari biasa dan Rp15.000 untuk hari libur. Tapi sistemnya masih belum terusan. Artinya, setiap kita akan memasuki wahana permainan, kita perlu membayar lagi.

Oke, sekarang balik lagi ke jalan-jalanku yang sekarang. Masa lalu ya cukup diingat saja. 😀

Cara penunjukkan tiket terusan di Jatim Park ini cukup unik. Setiap orang harus melingkarkan tiketnya di pergelangan tangan masing-masing. Setiap akan memasuki wahana permainan, “gelang” pengunjung akan ditandai oleh petugas wahana. Jadi setiap orang tidak bisa memasuki wahana lebih dari satu kali.

Mempelajari peta lokasi wahana-wahana di Jatim Park

Mempelajari peta lokasi wahana-wahana di Jatim Park

Pamer gelang tiket

Pamer gelang tiket

Masuk Jatim Park

Begitu masuk Jatim Park

Superneo penolong Khairul :D

Superneo penolong Khairul 😀

Banyak sekali wahana di Jatim Park ini. Ada 53 wahana yang boleh dimasuki secara gratis untuk pengunjung dengan tiket terusan. Di luar itu, beberapa wahana seperti gokart dan flying fox, pengunjung dikenakan biaya tambahan. Angka 53 itu sepertinya terdengar sangat banyak. Akan tetapi, angka 53 itu sebagian besar disumbangkan oleh banyaknya wahana yang memang diperuntukkan hanya untuk anak-anak saja dan wahana pembelajaran seperti sains dan sejarah. Jadi, wahana permainan yang memang dapat dimasuki oleh anak-anak remaja atau dewasa mungkin hanya beberapa persen dari angka 53 itu. Tapi overall, seru juga wahana-wahana yang ada di Jatim Park ini buat senang-senang atau lucu-lucuan sama teman-teman.

Sekedar saran saja. Kalau ingin main ke Jatim Park sebaiknya jangan bertepatan dengan momen liburan anak-anak sekolah. Jika tidak, Anda akan mengalami nasib yang sama seperti dengan yang kami alami: antrian padat mengular! Jika Anda memang mengalokasikan waktu seharian penuh di sana, maka saran tadi silakan diabaikan. 😛

Nah, karena antrian yang padat itu tidak banyak wahana yang bisa kami kunjungi. Apalagi waktu kami juga terbatas.

Wahana pertama yang kami kunjungi, pertama, adalah rumah hantu. Untuk menikmati wahana ini, kami harus mengantri terlebih dahulu, setidaknya ada setengah jam. Saat memasuki wahana ini, kesan seram (lebih tepatnya mungkin kesan “mengagetkan”) yang ingin diciptakan kurang terasa karena Continue reading

Catatan Liburan Akhir Tahun 2010 (Day 6) : Malangku Rumahku

Rabu, 29 Desember 2010. Dari pelabuhan Ketapang kami berjalan menuju stasiun Banyuwangi Baru yang berjarak tidak sampai 1 km. Menurut rencana, rute berikutnya adalah naik Gunung Bromo melalui jalur Probolinggo. Untuk sampai ke Probolinggo, kami akan menumpang KA Tawang Alun yang berangkat pukul 5 tepat dari stasiun Banyuwangi Baru. Akan tetapi, kabar yang menyebutkan bahwa erupsi Gunung Bromo masih terus berlangsung, membuat kami memikirkan ulang rencana tersebut. Sempat terjadi diskusi yang cukup lama di antara kami mengenai keputusan yang akan diambil. Namun, pada akhirnya kami seapakat bahwa kami akan membeli tiket KA Tawang Alun dengan mengambil tujuan ke Malang. Jika dalam perjalanan kondisi abu tidak terlalu parah, kami akan turun di stasiun Probolinggo dan jadi pergi ke Gunung Bromo. Setelah itu, aku langsung membeli empat tiket KA Tawang Alun jurusan Malang seharga Rp18.500 per orang.

Perjalanan dengan KA Tawang Alun

Pukul setengah 5 ketika kami memasuki peron, sudah stand by KA Tawang Alun di jalur 2 stasiun Banyuwangi Baru. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum berangkat. Aku pun mencari toilet dan mushola untuk melaksanakan sholat shubuh.

KA Tawang Alun

KA Tawang Alun

Pukul 5 pagi tepat kereta diberangkatkan. Pagi itu KA Tawang Alun terdiri atas 4 gerbong ekonomi bermotif nutri sari dan ditarik 1 lokomotif berjenis BB. Kondisi dalam gerbong penumpang masih cukup sepi. Mungkin karena baru berangkat dari stasiun pertama dan di samping itu stasiun Banyuwangi Baru juga berada di sebuah daerah pinggiran Banyuwangi yang tidak begitu ramai. Begitu kereta berangkat ketiga temanku yang lain itu langsung tertidur. Masih ngantuk sepertinya mereka karena kurang tidur.

Tertidur

Tertidur

Ketika kereta Tawang Alun tiba di stasiun Klakah (55 km sebelum Probolinggo), kepala stasiun Klakah meminta penumpang untuk menutup semua jendela dan pintu kereta untuk mengantisipasi masuknya abu Gunung Bromo ke dalam kereta. Benar saja, sepanjang perjalanan setelah Klakah ini, di sisi kanan dan kiri terlihat abu-abu beterbangan. Walaupun semua jendela sudah ditutup, tetap saja masih banyak debu yang masuk melalui celah-celah di dalam kereta. Yang paling kentara adalah tumpukan pasir yang tiba-tiba sudah nyaris tebal saja di atas meja kecil samping jendela kereta. Tumbuhan-tumbuhan dan rumah-rumah yang dilalui sepanjang perjalanan juga tampak terselimuti abu. Aku berani bilang, abu yang sekarang ini lebih tebal dari pada sewaktu kami berangkat ke Bali 4 hari yang lalu. Orang-orang di dalam kereta pun semuanya ikut mengenakan masker.

Melihat kondisi abu yang cukup parah itu, kami akhirnya memutuskan untuk tidak jadi ke Bromo. Mungkin lain waktu ya teman-teman. Yang paling tampak kekecewaanya adalah si Neo yang terlihat sangat berkeinginan untuk pergi ke Bromo. Aku sendiri sudah pernah sekali ke Bromo sewaktu SMA dulu.

Tanaman pun tertutup abu

Tanaman pun tertutup abu

Para penumpang menggunakan masker (kecuali Kamal :D)

Para penumpang menggunakan masker (kecuali Kamal :D)

Tiba di Malang

Waktu telah menunjukkan sekitar pukul 1 siang ketika kami sampai di Lawang, atau “pintu”nya Kota Malang ini. Belasan menit kemudian kereta tengah melalui kawasan Karangploso ketika Neo berkata, “Bau rokoknya kok menyengat ya di sini.” Ya wajar saja di kiri kereta ini terletak sebuah pabrik rokok yang sangat besar di Malang yang sudah dikenal orang.

Akhirnya tiba juga kereta ini di Malang. Kami turun di stasiun Malang Kota Baru. Suasana stasiun saat itu sangat ramai. Banyak calon penumpang yang menunggu kereta. Bahkan sebagian besar dari mereka langsung berebut naik kereta yang baru saja kami tumpangi ini. Kami pun terpaksa berdesak-desakan mencari jalan keluar.

Sampai di luar stasiun, kami tidak langsung pergi. Kami mampir dulu ke Continue reading

Catatan Liburan Akhir Tahun 2010 (Day 5) : Rainy Day In Denpasar

Selasa, 28 Desember 2010. Badan ini rasanya pegal-pegal semua pagi itu ketika aku terbangun. Capai juga tiduran semalaman di dalam mobil. Waktu menunjukkan telah pukul 4.15 WITA. Ouww, ternyata aku orang yang pertama bangun. Padahal rencana kami sebelumnya adalah bangun pagi-pagi kemudian berangkat ke pantai Sanur untuk melihat sunrise di sana. Makanya, begitu bangun aku juga langsung membangunkan teman-teman yang lain. Beberapa menit kemudian kami langsung berangkat menuju pantai Sanur.

Menuju Pantai Sanur

Lokasi pantai Sanur tidak begitu jauh dari Kuta. Jaraknya hanya sekitar 15 km. Jalanan yang masih sepi karena masih jam 5 pagi membuat perjalanan menjadi lebih cepat.

Sekitar 20 menit kemudian kami sudah sampai di pantai Sanur. “Lho, tapi mana pantainya?” gumam kami. “Kok nggak meyakinkan gitu ya.” Tidak terlihat tempat parkir yang disediakan untuk pengunjung. Dari mobil pantai di depan sana terlihat hanya sekelumit saja. kemudian kami mencoba bertanya kepada bapak-bapak yang sedang sibuk menyiapkan sesuatu di jalan. “Pak, lokasi pantai Sanur di sebelah mana ya?” tanya Kamal. “Dari perempatan itu belok kiri dik.” kata bapak itu.

Kami pun langsung cabut kembali ke perempatan itu dan berbelok ke kiri. Kira-kira ada ratusan meter mobil melaju. Tak lama kemudian terlihat papan penunjuk jalan “Sanur Beach 300 M”. Kami pun berbelok menuju jalan itu. Supaya lebih meyakinkan, kami bertanya dulu kepada penjaga minimarket yang ada di dekat ujung jalan masuk itu. “Mas, kalau mau ke pantai Sanur lewat sini ya?” tanyaku. “Sanur yang mana mas?” tanya balik masnya. Dalam hati aku bertanya-tanya apa maksud orang ini dengan kata “Sanur yang mana”. Memangnya pantai Sanur ada banyak ya. “Di depan jalan itu kan ada tulisan ‘Sanur Beach 300 M’ mas. Kalau mau ke Sanur Beach benar lewat sini kan?” tanyaku lagi. “Oh, mau ke Sanur Beach… Iya, benar, lewat sini.” jawabnya. Oke, setelah itu kami pun melaju mantap menyusuri jalan itu menuju “Sanur Beach”.

Akhirnya tiba juga kami di ujung jalan. Pantai sudah terlihat di depan mobil sana. Tapi… “Kok tempat parkirannya sempit banget ya. Selain itu ada tulisan lagi di samping kanan jalan: ‘Selain pekerja kontruksi bangunan, dilarang parkir di sini’.” gumam kami lagi. Selain itu pantainya juga kecil. Cuma ada dua orang yang sedang berada di tepi pantai menunggu sunrise. Kami pun balik lagi ke tempat minimarket tadi untuk bertanya kembali.

“Mas, beneran nggak sih pantai Sanurnya itu yang 300 M dari sini tadi?” tanyaku. “Lho, masnya ini mau ke ‘pantai Sanur’ atau ke ‘Sanur Beach’ sih?” tanya balik masnya. “Ke pantai Sanur.” jawabku. “Oalah, lha sampeyan tadi nanyanya mau ke ‘Sanur Beach’. Saya kira mau ke hotel. Makanya saya sempat bingung tadi. kalau ke hotel ‘Sanur Beach’ memang lewat sini.” kata masnya sambil sedikit tertawa. Dalam hati aku juga ingin tertawa.

Di dalam bahasa Bali ternyata ada juga kata “sampeyan” sebagaimana di dalam bahasa jawa. Cukup banyak juga kosa kata bahasa Bali yang mirip bahasa Jawa. Selain kata “sampeyan” ada juga kata “tingali” yang artinya menengok atau melihat. Kata ini sempat aku dengar dari bapak rental mobil yang kami sewa kemarin.

Oke, kembali ke topik. Nah, oleh masnya, dikasih tahu kalau pantai Sanur itu kalau dari tempat kami tinggal jalan lurus saja ke utara kemudian sampai perempatan belok kanan. “Lho, itu kan tempat yang kami datangi pertama tadi.” gumam kami. Kami pun langsung cabut kembali menuju tempat itu.

Sampai di sana, tiba-tiba saja sudah ramai manusia. Wajar saja, saat itu sudah jam 6 pagi WITA. Jalan yang pagi-pagi begitu lengang dan tidak ada “pintu masuk” objek wisata di sana, sekarang sudah ada. Penjaga pintu masuknya ternyata bapak yang pertama kali kami tanya. “Wah, parah benar. Kami disesatkan.” gerutu kami. Ya sudahlah, tidak apa-apa. Kami membayar Rp5.000 untuk tiket masuk berempat plus mobil.

Langit Mendung di Pantai Sanur

Pagi itu kami kurang beruntung. Kami baru sampai di Pantai Sanur ketika waktu menunjukkan sekitar pukul 6 lebih. Padahal sudah berangkat pagi-pagi. Sayangnya, gara-gara “nyasar“, kami jadi kesiangan sampai pantainya. Sudah gitu, mendung pula pagi itu.

Yup, pagi itu matahari tampak malu-malu. Ia tak mau memperlihatkan mukanya yang bersinar. Langit di ujung timur sana pun demikian, tampak gelap karena terselimuti awan mendung. Tapi, samar-samar terlihat bayang-bayang garis sinar matahari yang terpantul di atas permukaan laut.

 

Sunrise yang tertutup awan

Sunrise yang tertutup awan

Hotel dan sebuah motor boat yang berada di kawasan Sanur

Hotel dan sebuah motor boat yang berada di kawasan Sanur

Menikmati pagi di Sanur

Menikmati pagi di Sanur

Tidak lama kami berada di pantai Sanur itu. Mungkin hanya setengah jam. Setelah itu kami kembali ke mobil. Kemudian masing-masing dari kami pergi mencari toilet umum untuk mandi! Biaya penggunaan toilet untuk mandi di sana standar seperti toilet umum pada umumnya, yakni Rp2.000 saja.

Selang beberapa menit setelah semua selesai mandi, tiba-tiba turun hujan deras. Kami pun langsung kembali ke mobil lalu melanjutkan perjalanan lagi ke Bali Selatan. Tujuan kami adalah Pantau Dreamland dan Suluban.

Sampai di Uluwatu

Tidak sampai satu jam dari pantai Sanur untuk mencapai kawasan Uluwatu ini. Jalan-jalan yang digambarkan dalam peta yang kami beli kemarin sudah sangat jelas. Selain itu papan penunjuk jalan di setiap persimpangan juga sangat membantu.

Tapi ketika sampai di persimpangan terakhir, kami salah mengambil jalan lurus. Harusnya mengambil jalan ke kanan jika ingin ke pantai Dreamland atau Suluban. Begitu mengambil jalan lurus di depan sudah ada pintu masuk menuju pura Uluwatu. Karena sudah terlanjur dan bayar karcis parkir sebesar Rp5.000, kami pun masuk saja.

Tidak beberapa lama begitu kami masuk, hujan yang sebelumnya sudah reda, ternyata mengguyur lagi dengan derasnya. Bahkan kali ini bisa dibilang cuaca di sana mendekati badai. Angin berhembus kencang sekali dari arah laut. Bahkan, aku melihat ada satu pohon yang tumbang di kawasan sana karena diterpa angin yang begitu kencang. Daun-daun berguguran. Naumn, begitu hujan reda kami bisa melihat pemandangan yang indah di lautan bawah sana.

 

Pemandangan sekitar Uluwatu

Pemandangan sekitar Uluwatu

Hempasan ombak di Uluwatu

Hempasan ombak di Uluwatu

Jalan-Jalan Mencari Souvenir

Dari Uluwatu kami langsung kembali ke Kuta untuk mengembalikan mobil. Waktu yang tersisa untuk sewa mobil sudah tidak cukup untuk keliling-keliling lagi. Tepat pukul 11 kurang sedikit mobil kami kembalikan.

Acara selanjutnya adalah jalan-jalan mencari souvenir. Tas-tas kami yang berat kami titipkan kepada salah seorang teman Kamal yang kebetulan berdomisili di Denpasar. Kami pun bisa berjalan-jalan dengan nyaman tanpa membawa beban yang berat.

Baru melangkah sekitar 1-2 km, tiba-tiba di tengah perjalanan turun hujan deras. Terpaksa kami berteduh di salah satu bangunan yang terletak di depan jalan Majapahit sambil menunggu hujan reda. Hujan yang ditunggu ternyata cuma sebentar saja. Kami pun melanjutkan langkah lagi.

Setengah jam berjalan tiba-tiba Continue reading

Catatan Liburan Akhir Tahun 2010 (Day 4) : Keliling Bali

Senin, 27 Desember 2010. Hujan deras mengguyur pagi itu selama kurang lebih dua jam sejak sekitar pukul 6. Seperti yang direncanakan sebelumnya, hari itu kami akan berkeliling Bali dengan mobil sewaan. Karena di antara kami semuanya benar-benar buta jalan di Bali, aku dan Neo berinisiatif untuk mencari orang yang menjual peta Bali di sekitar Kuta ini. Pagi itu, selepas hujan reda, kami langsung jalan-jalan keluar mencari peta.

Kami mencoba memasuki gang-gang yang berada di kawasan Kuta itu. Meskipun hanya berupa gang atau jalan-jalan sempit, tapi kawasan itu sangat ramai dengan kafe-kafe, toko-toko, dan tourist information center. Di salah satu jalan ada sebuah kotak yang dihantung di depan sebuah toko yang ternyata isinya adalah semacam brosur-brosur gitu. Di kotak itu tertulis “Free Map”. Oh, ternyata isinya adalah peta yang ditawarkan secara gratis. Sayangnya, isi petanya hanya mencakup jalan-jalan kawasan kuta-legian saja. Tapi, nggak apa-apalah. Lumayan, dikasih gratis kok nolak. 😀

Setelah menyambangi beberapa toko, akhirnya kami menemukan sebuah toko yang menjual peta Bali. Tapi harganya sangat mahal, Rp 60 ribu! Namun, terus terang isi petanya sangat lengkap. Yang jelas petanya bukan seperti yang biasa ada di atlas itu. Ini ada peta jalan rayanya juga seperti di Google Maps. Tapi peta jalan yang tersedia hanya di beberapa tempat saja yang di sana ada objek wisata terkenal. Ketika kami mencoba menawar-nawar, mbak penjualnya tetap keukeuh. Ya sudahlah, terpaksa peta itu kami beli seharga segitu. Kayaknya mbaknya tahu kami bakal butuh banget.

Perjalanan dimulai

Akhirnya kami mendapatkan mobil sewaan juga, Toyota Avanza, dengan harga sewa Rp 225 ribu untuk 24 jam. Pukul 11 tepat mobil itu kami sewa dan kita langsung berangkat. Tujuan pertama kami adalah Tanah Lot. Neo berperan sebagai driver, aku sebagai navigator yang melihat papan penunjuk jalan, Khairul dan Kamal berperan sebagai pencari rute dengan melihat peta yang sudah kami beli dengan mahal tadi.

Khairul dan Kamal

Khairul dan Kamal

Neo

Neo

Sampai di Tanah Lot

Hanya berbekal peta dan papan penunjuk jalan, kami sampai juga akhirnya di Tanah Lot. Alhamdulillah tidak sampai nyasar ke mana-mana. Tiket masuk ke Tanah Lot untuk 4 orang dengan mobil sebesar Rp 35 ribu. Tanah Lot merupakan objek wisata yang menawarkan keunikan karena adanya sebuah pura yang berada di atas bongkahan batu raksasa yang dipisahkan dengan daratan oleh laut. Sampai di sana kami berfoto-foto dulu. Kencang juga ya ombak di sana.

Di Tanah Lot

Di Tanah Lot

Bunga merekah di Tanah Lot

Bunga merekah di Tanah Lot

Deburan ombak di Tanah Lot

Deburan ombak di Tanah Lot

Lanjut ke Ubud

Selesai jalan-jalan di Tanah Lot, kami melanjutkan perjalanan ke Ubud. Objek yang akan kami datangi adalah “Bali Bird Park & Reptiles”. Sialnya, kali ini kami benar-benar tersesat. Berjam-jam kami muter-muter nggak jelas. Ada suatu saat di mana sebenarnya kami sudah sedikit lagi sampai di Bali Bird Park itu. Tapi sialnya, kami tidak tahu di mana kami berada di mana saat itu, akhirnya kami putar arah.

Setelah sekian lama berputar-putar akhirnya sampai juga di jantung kawasan Ubud. Kawasan ubud memang terkenal dengan keseniannya. Di pinggir-pinggir jalan bertebaran toko-toko atau galeri yang menjual atau memamerkan karya-karya seni mereka.

Tak mau hanya sekedar melihat dari dalam mobil, kami mencoba turun dan masuk ke salah satu galeri lukisan yang ada di sana yang kebetulan memiliki parkir yang luas. Sayang, aku lupa nama galeri itu. Begitu selesai parkir, kami beranjak masuk ke dalam galeri. Oh, ternyata dimintai tiket oleh penjaganya. Okelah kalau begitu kami akan membeli dulu. Tak lama kemudian mata kami terbelalak kaget. What?? Alamak, harga tiket masuknya Rp40.000!! “Itu sudah untuk empat orang ya?” dengan polosnya aku bertanya kepada petugas tiket itu. Tiba-tiba aku tersadar Rp40.000 yang tertulis di loket itu mana mungkin ditujukan untuk 4 orang. Akhirnya dengan malunya kami nggak jadi masuk. Kami pun ngeloyor pergi begitu saja tanpa menunggu komentar bapaknya. Hihihi… 😀

Dari galeri lukisan itu, kami melanjutkan perjalanan lagi ke objek wisata “Wenara Wana”. Sebenarnya kami kurang begitu tahu sih objek wisata apa yang ditawarkan di sana. Yang kami tahu tentang “Wenara Wana” hanya dua kata kunci saja, “hutan” dan “kera”. Tapi, dari pada nggak ada tempat yang dikunjungi selama di Ubud, ya sudah kami ke sana saja sambil berharap tiket masuknya bakal murah.

Begitu turun dari mobil, kera-kera sudah banyak berkeliaran di halaman depan objek wisata itu menyambut kami. Lagi-lagi biaya tiket masuk ke objek wisata itu benar-benar membuat kami mengernyitkan dahi. Biaya masuknya memang lebih “murah” dari pada di galeri lukisan tadi, tapi Continue reading

Catatan Liburan Akhir Tahun 2010 (Day 3) : Denpasar Moon

Ahad, 26 Desember 2010. Pukul setengah empat subuh kami berempat beranjak dari stasiun Banyuwangi Baru menuju pelabuhan Ketapang. Saat itu kami benar-benar tidak tahu pelabuhan Ketapang ada di sebelah mana. Kami hanya berjalan mengikuti arah suara bel kapal yang terdengar cukup kencang sampai stasiun. Ternyata benar, pelabuhan Ketapang itu sangat dekat dengan stasiun. Cukup ditempuh 10 menit dengan jalan kaki dari stasiun Banyuwangi Baru ke arah timur sampai ketemu jalan raya kemudian belok kanan.

Sebelum ke pelabuhan Ketapang, kami mampir dulu di Ind*mar*t yang berada tepat di depan gang masuk stasiun tepat di pinggir jalan raya. Di sanam kami membeli perbekalan dulu sebelum menyeberang ke Bali. Mumpung di sini lebih murah karena kata orang-orang, kalau sudah di Bali, apa-apa mahal di sana.

Di depan jalan masuk stasiun Banyuwangi Baru

Di depan jalan masuk stasiun Banyuwangi Baru

Menyeberang dengan kapal feri

Sudah lama aku nggak pernah naik kapal feri sejak terakhir kalinya saat aku masih berusia 3 tahun. Saat itu aku bersama keluarga jalan-jalan ke Madura naik kapal feri dari Tanjung Perak Surabaya ke Ujung kamal Madura. Setelah sekian lama, akhirnya aku bakal naik feri lagi (wah, ndeso tenan seh mas iki :D).

Tarif kapal feri untuk menyeberang dari Ketapang ke Gilimanuk cuma Rp6.000 per orang. Perjalanan selalu tersedia selama 24 jam non stop. Kalau diamati, sebenarnya jauh lebih murah menyeberang dengan naik kapal langsung tanpa kendaraan dibandingkan dengan naik kendaraan umum atau bawa kendaraan sendiri. Sebab tanpa sengaja di pelabuhan saya menemukan tiket yang telah dibuang si empunya dan di tiket itu tertulis tarif sebesar Rp343.000 untuk kendaraan orang itu yang termasuk golongan VI A.

Oke, setelah itu kami naik ke atas kapal feri. Sampai di sana langsung disambut lagu-lagu bergenre melayu yang diputar oleh awak kapal. Yup, di belakang kapal disuguhi sebuah TV LCD yang memutar video-video lagu karaoke melayu dan dangdutan. Lumayanlah, ada hiburan :P.

Melangkah menuju kapal feri

Melangkah menuju kapal feri

Di atas kapal feri

Di atas kapal feri

Ternyata indah juga ya pemandangan malam hari pelabuhan jika dilihat kejauhan dari kapal. Gemerlap lampu kota terlihat terang benderang dari kejauhan di tengah luasnya lautan yang gelap.

Tak terasa, jam dinding kapal telah menunjukkan waktu pukul 4.00. Sudah saatnya untuk sholat Shubuh nih. Di kapal feri juga tersedia mushola dan tempat wudlu serta toilet bagi penumpang. Kami pun sholat Shubuh di kapal feri itu.

Penyeberangan dari Ketapang ke Gilimanuk itu memakan waktu sekitar 45 menit. Kapal berangkat dari Ketapang pukul 3.45 dan merapat di Gilimanuk pukul 4.30.

memandang ke laut lepas

memandang ke laut lepas

Bali mulai tampak dari kejauhan

Bali mulai tampak dari kejauhan

Sampai di Gilimanuk

Suasana pagi yang segar menyambut kami setibanyanya di pelabuhan Gilimanuk. Begitu turun kapal, ada jeda waktu di mana kami terbengong tidak tahu harus jalan ke mana. Kami mengamati orang-orang pejalan kaki yang baru turun dari kapal, melihat ke mana mereka akan melangkah, sambil berharap mereka memiliki tujuan yang sama dengan kami. 🙂

Suasana pagi di pelabuhan Gilimanuk

Suasana pagi di pelabuhan Gilimanuk

“Dug..dug..dug..”. Tiba-tiba panggilan alam menghampiriku. Aku harus segera pergi ke tolilet. Oh, ternyata di area pelabuhan itu terdapat toilet yang berada persis di ujung bangunan depan dermaga tempat kapal tadi merapat. Lumayan, toilet di pelabuhan itu ternyata gratis alias nggak perlu membayar, bisa pake sepuasnya :D.

Nah, mumpung gratis, kami pun mandi sekalian. Sudah hampir dua hari kami nggak mandi karena terus berada di dalam kereta api. Bau badan anak-anak sudah nggak tertahankan lagi. Alhamdulillah, akhirnya bisa mandi lagi. Sueger.. ger.. ger… 😀

Sehabis semua selesai mandi, kami mengobrol-ngobrol dengan petugas kebersihan di toilet itu. Orangnya cukup ramah dan kooperatif untuk dijadikan tempat bertanya. Kami mencoba mencari tahu berapa tarif transportasi umum dari Gilimanuk itu ke Denpasar dari orang tersebut. Kata beliau, biasanya tarifnya berkisar antara Rp20.000-Rp30.000.

Perlu diketahui, sebelumnya, kami juga sudah punya referensi dari blog-blog orang yang kami baca. Kami bertanya untuk memastikan saja agar selisihnya tidak sampai terlalu jauh. Berdasarkan pengalaman orang-orang yang ditulis pada blog mereka, sebagian besar mengatakan kalau beruntung kita bisa dapat tarif Rp20.000 ke Denpasar. Tapi pada umumnya memang kena Rp25.000.

Nah, mas penjaga toilet itu menawarkan untuk mencarikan bus ke Denpasar di terminal Gilimanuk. Kami pun mengiyakan. Selang beberapa menit kemudian datang si mas itu sama seorang kenek bus. Ternyata benar, tarif pertama yang ditawarkan oleh kenek bus itu Rp25.000. Kami pun mencoba menawar Rp20.000. Setelah negosiasi sebentar, akhirnya sepakat Rp20.000 itu. Nggak butuh waktu lama kenek bus itu untuk mengiyakan. Makanya kami sempat curiga juga, sebenarnya berapa sih ongkos dari Gilimanuk ke Denpasar itu. Tapi, berapapun itu, yang jelas pagi itu pukul 6.30 jadilah kami berangkat ke Denpasar dengan menumpang bus “Bahagia”.

Perjalanan Gilimanuk-Denpasar

Sepanjang perjalanan mulai dari Giliminauk, Negara, Tabanan, hingga Denpasar pemandangan indah tersaji di kanan-kiri jalan. Taman nasional, sawah-sawah, hingga pantai bisa kita temui sepanjang perjalanan itu. Perjalanan berhenti ketika bus memasuki terminal Ubung. Suasana panas menyengat menyambut kami.

Selain itu, sesampainya di sana, begitu kami turun, sudah banyak sopir-sopir taksi, angkot, dan bus yang menawari tumpangan kepada kami. Terus terang, saat itu kami sampai bingung mau melanjutkan dengan naik kendaraan apa. Bahkan, tujuan berikutnya mau ke mana kami juga masih abstrak.

Akhirnya, kami mencari tempat makan dulu untuk menghindari keramaian itu. Kebetulan ada warung “Arema” di depan terminal Ubung itu. Dari namanya kelihatan banget orang Malang nih yang punya, dan Insya Allah makanannya halal. Perlu diketahui, susah sekali mencari warung makanan yang halal di Bali. Solusinya memang cari warung makan orang Jawa atau Minang yang kebetulan juga cukup banyak di sana dan insya Allah halal. Kami membeli 3 mangkok rawon dan 1 mangkok soto ayam di warung itu. Masing-masing seporsi harganya Rp8.000. Cukup mahal memang.

Setelah makan, Neo mencoba bertanya kepada polisi di pos terdekat tentang cara ke Denpasar dan berapa ongkosnya. Sementara aku mencoba melihat jam dinding di dalam warung “Arema” itu. “Wuih… udah jam sentengah sebelas aja!” teriakku waktu itu terkejut. “Masak perjalanan dari Gilimanuk sampai Ubung tadi menghabiskan waktu 3,5-4 jam sih?” tanyaku kepada anak-anak. Kami baru ingat, Bali itu termasuk wilayah WITA. Jadi, sebenarnya kita berangkat pukul 7.30 dan sampai di Ubung sekitar pukul 10.00.

Setelah itu Neo kembali. Setelah sedikit berdiskusi, akhirnya diputuskan kami akan menumpang taksi saja dan tujuan kami adalah ke kuta saja. Baru saja kami keluar dari warung, seorang sopir taksi sudah mendatangi kami di depan warung. Setelah melakukan tawar menawar, akhirnya kami mentok di angka Rp100.000 untuk ongkos taksi. Kata si pak Polisi yang ditanyai Neo memang segitu sih kisarannya, antara Rp80.000-Rp100.000. Tapi nggak apa-apalah. Kondisi panas yang menyengat membuat kami benar-benar lelah saat itu. Belum lagi ditambah tas-tas berat yang kami bawa.

Tanpa perlu berlama-lama, kami langsung setuju saja, dan berangkat ke Kuta-Legian naik taksi. Sepanjang perjalanan kami banyak ngobrol dengan sopir taksi itu bertanya mengenai kehidupan di Bali, rental motor/mobil, hingga penginapan murah di sekitar Kuta.

Sampai di Kuta-Legian

Perjalanan dari Ubung ke Legian memakan waktu sekitar sejam. Sampai di pantai Legian kita nggak tahu harus ke mana lagi. Kami berjalan terus menyusuri pantai Legian dengan memanggul tas-tas yang berat. Sambil jalan, kami berdiskusi hendak ke mana setelah ini. Akhirnya kami sepakat, akan cari penginapan saja.

Kami pun mencoba mencari losmen-losmen murah di sepanjang jalan Poppies seperti yang disarankan sopir taksi tadi. Akhirnya kami menemukan rumah yang menawarkan kamar-kamar di jalan Poppies II gang Sorga. Nama penginapannya “Ayu Beach Inn”. Kami meminta satu kamar untuk empat orang kepada pemilik rumah. Oleh beliau langsung ditawarkan Rp200.000. Sebenarnya jika dibandingkan dengan beberapa penginapan murah di Bandung harga itu termasuk mahal jika melihat fasilitas ditawarkan yang juga sama. Fasilitas itu antara lain, tempat tidur untuk dua orang 2 buah, tempat tidur untuk satu orang 1 buah, 1 lemari pakaian dua bilik, kipas angin, cermin, dan kamar mandi. Tapi harga segitu bisa jadi memang termasuk murah di Bali setelah kami mendengar ada dua orang yang ingin memesan kamar di sana kemudian dibandrol Rp160.000 oleh pemiliknya.

Yang penting bagi kami saat itu adalah akhirnya kami bisa beristirahat Continue reading

Catatan Liburan Akhir Tahun 2010 (Day 2) : Seharian di Kereta

Sabtu, 25 Desember 2010. Sepanjang perjalanan dari Bandung  aku terus berdiri di tengah-tengah gerbong kereta di antara penumpang yang berdesak-desakan. Sesekali aku mencoba memejamkan mata walaupun dalam kondisi berdiri. Kalo nggak gitu bakalan bosan sekali menunggu perjalanan ini. Kala rasa capai berdiri melanda, aku coba paksakan duduk atau jongkok di atas lantai kereta sambil berharap orang-orang di sekitarku ini cepat turun, hehehe…:D.

Sampai di Lempuyangan

Perjalanan melelahkan itu ternyata berakhir juga. Pukul 7.00 kereta sampai di stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Lumayan telat sih, dari jadwal yang seharusnya. Untungnya masih bisa mengejar keberangkatan KA Sri Tanjung tujuan Banyuwangi pukul 7.30. Makanya, begitu sampai aku langsung segera beli tiket. Sudah lama aku nggak mampir stasiun Lempuyangan ini. Terakhir kali, waktu masih SD dulu. Jadinya, aku merasa pangling saat sampai di stasiun ini. Stasiun yang dulunya masih kecil dan agak lusuh, sekarang tampak bersih, modern, dan megah.

Aku sempat kebingungan mencari di mana loket penjualan karcis kereta api di sana. Tempat loket yang lama yang kuingat ternyata sudah nggak buka lagi. Untung ada mas-mas baik hati yang ngasih tahu tempat penjualan karcis di mana. Harga karcis KA Sri Tanjung jurusan Jogjakarta-Banyuwangi Rp35.000 sama seperti harga karcis KA Kahuripan Bandung-Kediri.

KA Sri Tanjung yang disiapkan di Stasiun Lempuyangan ini masih lengang. Padahal kereta akan berangkat 15 menit lagi. Kami pun bingung mau pilih kursi di mana, hehehe… :D. Sambil menunggu di kereta kami makan nasi gudeg bungkusan yang dibeli di stasiun.

Makan gudeg di Lempuyangan

Makan gudeg di Lempuyangan

Dalam gerbong yang kami tumpangi ternyata ada anak-anak ITB yang lain bersama kami. Dilihat dari jaket himpunannya mereka masing-masig adalah satu anak Mesin, satu anak Geodesi, dan satunya lagi anak Universitas Pasundan. Mereka berencana backpacking juga ke Lombok dan Bali.

Kereta Sri tanjung masih cukup lengang

Kereta Sri Tanjung masih cukup lengang

Oiya, ada cerita lucu saat perjalanan kereta di petak Klaten-Solo. Ada seorang waria lagi ngamen di samping kursi kami. Tiba-tiba dengan genitnya dia megang mulut Neo yang lagi tidur (mau ngelap ilernya kali ya.. hahaha..). Terus dia nyolek si Khairul juga. Setelah itu dia mau nyolek aku juga. Untungnya, dengan tangkisanku, Continue reading

Catatan Liburan Akhir Tahun 2010 (Day 1) : Awal Perjalanan

Perencanaan

Rencana liburan ini awalnya dicetuskan bareng-bareng oleh beberapa anak IF’07. Salah satunya aku dan seorang teman bernama Neo Enriko. Rencana awal ingin pergi ke pulau Karimunjawa. Tapi, kata seorang teman yang sudah  mencoba bertanya kepada salah satu agen wisata Karimunjawa melalui YM, katanya untuk bulan Desember-Januari ini kondisinya nggak begitu bagus. Akhirnya rencana ke pulau Karimunjawa kami coret.

Selanjutnya, ganti jadi rencana backpacking ke pulau Bali dan beberapa kota di Jawa. Disusunlah rencana itu bareng-bareng. Kali ini ikut nimbrung juga anak IF’07 yang lain, yaitu Khairul Fahmi dan Kamal Mahmudi. Diputuskan tempat yang dikunjungi hanya Bali, Bromo, Malang, dan Jogja saja. Perkiraan pengeluaran untuk transport pun sudah dituliskan. Jadi, setiap orang yang kami ajak, sudah kami berikan gambaran tempat-tempat yang akan dikunjungi dan biaya yang akan dihabiskan, Kami akan lebih banyak menggunakan jasa kereta ekonomi sepanjang perjalanan.

Konkret juga

Kebiasaan di antara kami itu, sudah buat perencanaan panjang-panjang, tapi ujung-ujungnya sering nggak konkret :D. Tanggal 24 Desember 2010 yang sudah ditentukan tidak bisa diundur lagi. Beberapa teman yang sempat diajak ada yang membatalkan diri karena adanya suatu urusan. Akhirnya fix cuma berempat saja peserta jalan-jalan yang jadi berangkat ini, yaitu aku, Neo, Khairul dan Kamal.

Pukul 15.00 tepat kami berangkat dari kontrakan bareng-bareng ke Stasiun Hall Bandung dengan menaiki angkot Cisitu-Tegal lega. Sesampainya di stasiun, kami segera membeli tiket KRD Ekonomi tujuan Padalarang yang harga untuk per orangnya Rp1.000 saja. Kami berencana naik KA Kahuripan dari stasiun pemberangkatan di Padalarang karena kalau naik dari Kiara Condong, kemungkinan besar tidak akan bisa naik karena malam itu adalah malam liburan.

Sial bagi kami,KRD Ekonomi tujuan Padalarang yang harusnya jadwalnya pukul 16.08 berangkat dari Stasiun Hall Bandung, nyatanya baru datang sekitar pukul 18.00. Itupun kereta sudah dalam keadaan super penuh sesak. Belum lagi penumpang yang menumpuk di Stasiun Hall Bandung. Kami pun memutuskan untuk naik pemberangkatan berikutnya saja yang kata petugasnya akan datang pukul 18.30.

Menunggu kereta di Stasiun Hall Bandung

Menunggu kereta di Stasiun Hall Bandung

Lagi-lagi, kereta berikutnya ikutan telat juga nyatanya. Kereta baru datang pukul 19.15. Karena takut tidak dapat mengejar keberangkatan KA Kahuripan di Stasiun Padalarang, kami sepakat memutuskan untuk naik KRD Ekonomi sampai stasiun Cimahi saja.

Di Stasiun Cimahi waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 19.35. Kami pun masih sempat membeli tiket KA Kahuripan jurusan Jogjakarta dan melaksanakan sholat Isya di stasiun. Tiket KA Kahuripan ke Jogjakarta ini sangat murah dibandingkan transportasi yang lain lho. Cukup Rp24.000 saja. Selesai sholat, sekitar 10 menit kemudian, kira-kira pukul 20.08, datanglah KA Kahuripan di Stasiun Cimahi. Kondisi kereta sudah sangat penuh. Kami tidak kebagian tempat duduk, padahal Stasiun Cimahi adalah stasiun nomor 2 yang dilalui KA Kahuripan. Benar saja, saat berhenti di Stasiun Kiara Condong, cukup banyak penumpang yang nggak terangkut saking penuh sesaknya.

Praktis, sepanjang perjalanan terpaksa kami berdiri  berdesak-desakan di tengah kerumunan penumpang dan sekali-sekali kalau beruntung, dapat tempat agak longgar sedikit langsung ndelosor di lantai kereta. Mau murah, memang ada konsekuensinya. Harus mau sengsara juga :D.