Selasa, 28 Desember 2010. Badan ini rasanya pegal-pegal semua pagi itu ketika aku terbangun. Capai juga tiduran semalaman di dalam mobil. Waktu menunjukkan telah pukul 4.15 WITA. Ouww, ternyata aku orang yang pertama bangun. Padahal rencana kami sebelumnya adalah bangun pagi-pagi kemudian berangkat ke pantai Sanur untuk melihat sunrise di sana. Makanya, begitu bangun aku juga langsung membangunkan teman-teman yang lain. Beberapa menit kemudian kami langsung berangkat menuju pantai Sanur.
Menuju Pantai Sanur
Lokasi pantai Sanur tidak begitu jauh dari Kuta. Jaraknya hanya sekitar 15 km. Jalanan yang masih sepi karena masih jam 5 pagi membuat perjalanan menjadi lebih cepat.
Sekitar 20 menit kemudian kami sudah sampai di pantai Sanur. “Lho, tapi mana pantainya?” gumam kami. “Kok nggak meyakinkan gitu ya.” Tidak terlihat tempat parkir yang disediakan untuk pengunjung. Dari mobil pantai di depan sana terlihat hanya sekelumit saja. kemudian kami mencoba bertanya kepada bapak-bapak yang sedang sibuk menyiapkan sesuatu di jalan. “Pak, lokasi pantai Sanur di sebelah mana ya?” tanya Kamal. “Dari perempatan itu belok kiri dik.” kata bapak itu.
Kami pun langsung cabut kembali ke perempatan itu dan berbelok ke kiri. Kira-kira ada ratusan meter mobil melaju. Tak lama kemudian terlihat papan penunjuk jalan “Sanur Beach 300 M”. Kami pun berbelok menuju jalan itu. Supaya lebih meyakinkan, kami bertanya dulu kepada penjaga minimarket yang ada di dekat ujung jalan masuk itu. “Mas, kalau mau ke pantai Sanur lewat sini ya?” tanyaku. “Sanur yang mana mas?” tanya balik masnya. Dalam hati aku bertanya-tanya apa maksud orang ini dengan kata “Sanur yang mana”. Memangnya pantai Sanur ada banyak ya. “Di depan jalan itu kan ada tulisan ‘Sanur Beach 300 M’ mas. Kalau mau ke Sanur Beach benar lewat sini kan?” tanyaku lagi. “Oh, mau ke Sanur Beach… Iya, benar, lewat sini.” jawabnya. Oke, setelah itu kami pun melaju mantap menyusuri jalan itu menuju “Sanur Beach”.
Akhirnya tiba juga kami di ujung jalan. Pantai sudah terlihat di depan mobil sana. Tapi… “Kok tempat parkirannya sempit banget ya. Selain itu ada tulisan lagi di samping kanan jalan: ‘Selain pekerja kontruksi bangunan, dilarang parkir di sini’.” gumam kami lagi. Selain itu pantainya juga kecil. Cuma ada dua orang yang sedang berada di tepi pantai menunggu sunrise. Kami pun balik lagi ke tempat minimarket tadi untuk bertanya kembali.
“Mas, beneran nggak sih pantai Sanurnya itu yang 300 M dari sini tadi?” tanyaku. “Lho, masnya ini mau ke ‘pantai Sanur’ atau ke ‘Sanur Beach’ sih?” tanya balik masnya. “Ke pantai Sanur.” jawabku. “Oalah, lha sampeyan tadi nanyanya mau ke ‘Sanur Beach’. Saya kira mau ke hotel. Makanya saya sempat bingung tadi. kalau ke hotel ‘Sanur Beach’ memang lewat sini.” kata masnya sambil sedikit tertawa. Dalam hati aku juga ingin tertawa.
Di dalam bahasa Bali ternyata ada juga kata “sampeyan” sebagaimana di dalam bahasa jawa. Cukup banyak juga kosa kata bahasa Bali yang mirip bahasa Jawa. Selain kata “sampeyan” ada juga kata “tingali” yang artinya menengok atau melihat. Kata ini sempat aku dengar dari bapak rental mobil yang kami sewa kemarin.
Oke, kembali ke topik. Nah, oleh masnya, dikasih tahu kalau pantai Sanur itu kalau dari tempat kami tinggal jalan lurus saja ke utara kemudian sampai perempatan belok kanan. “Lho, itu kan tempat yang kami datangi pertama tadi.” gumam kami. Kami pun langsung cabut kembali menuju tempat itu.
Sampai di sana, tiba-tiba saja sudah ramai manusia. Wajar saja, saat itu sudah jam 6 pagi WITA. Jalan yang pagi-pagi begitu lengang dan tidak ada “pintu masuk” objek wisata di sana, sekarang sudah ada. Penjaga pintu masuknya ternyata bapak yang pertama kali kami tanya. “Wah, parah benar. Kami disesatkan.” gerutu kami. Ya sudahlah, tidak apa-apa. Kami membayar Rp5.000 untuk tiket masuk berempat plus mobil.
Langit Mendung di Pantai Sanur
Pagi itu kami kurang beruntung. Kami baru sampai di Pantai Sanur ketika waktu menunjukkan sekitar pukul 6 lebih. Padahal sudah berangkat pagi-pagi. Sayangnya, gara-gara “nyasar“, kami jadi kesiangan sampai pantainya. Sudah gitu, mendung pula pagi itu.
Yup, pagi itu matahari tampak malu-malu. Ia tak mau memperlihatkan mukanya yang bersinar. Langit di ujung timur sana pun demikian, tampak gelap karena terselimuti awan mendung. Tapi, samar-samar terlihat bayang-bayang garis sinar matahari yang terpantul di atas permukaan laut.
- Hotel dan sebuah motor boat yang berada di kawasan Sanur
- Menikmati pagi di Sanur
Tidak lama kami berada di pantai Sanur itu. Mungkin hanya setengah jam. Setelah itu kami kembali ke mobil. Kemudian masing-masing dari kami pergi mencari toilet umum untuk mandi! Biaya penggunaan toilet untuk mandi di sana standar seperti toilet umum pada umumnya, yakni Rp2.000 saja.
Selang beberapa menit setelah semua selesai mandi, tiba-tiba turun hujan deras. Kami pun langsung kembali ke mobil lalu melanjutkan perjalanan lagi ke Bali Selatan. Tujuan kami adalah Pantau Dreamland dan Suluban.
Sampai di Uluwatu
Tidak sampai satu jam dari pantai Sanur untuk mencapai kawasan Uluwatu ini. Jalan-jalan yang digambarkan dalam peta yang kami beli kemarin sudah sangat jelas. Selain itu papan penunjuk jalan di setiap persimpangan juga sangat membantu.
Tapi ketika sampai di persimpangan terakhir, kami salah mengambil jalan lurus. Harusnya mengambil jalan ke kanan jika ingin ke pantai Dreamland atau Suluban. Begitu mengambil jalan lurus di depan sudah ada pintu masuk menuju pura Uluwatu. Karena sudah terlanjur dan bayar karcis parkir sebesar Rp5.000, kami pun masuk saja.
Tidak beberapa lama begitu kami masuk, hujan yang sebelumnya sudah reda, ternyata mengguyur lagi dengan derasnya. Bahkan kali ini bisa dibilang cuaca di sana mendekati badai. Angin berhembus kencang sekali dari arah laut. Bahkan, aku melihat ada satu pohon yang tumbang di kawasan sana karena diterpa angin yang begitu kencang. Daun-daun berguguran. Naumn, begitu hujan reda kami bisa melihat pemandangan yang indah di lautan bawah sana.
Jalan-Jalan Mencari Souvenir
Dari Uluwatu kami langsung kembali ke Kuta untuk mengembalikan mobil. Waktu yang tersisa untuk sewa mobil sudah tidak cukup untuk keliling-keliling lagi. Tepat pukul 11 kurang sedikit mobil kami kembalikan.
Acara selanjutnya adalah jalan-jalan mencari souvenir. Tas-tas kami yang berat kami titipkan kepada salah seorang teman Kamal yang kebetulan berdomisili di Denpasar. Kami pun bisa berjalan-jalan dengan nyaman tanpa membawa beban yang berat.
Baru melangkah sekitar 1-2 km, tiba-tiba di tengah perjalanan turun hujan deras. Terpaksa kami berteduh di salah satu bangunan yang terletak di depan jalan Majapahit sambil menunggu hujan reda. Hujan yang ditunggu ternyata cuma sebentar saja. Kami pun melanjutkan langkah lagi.
Setengah jam berjalan tiba-tiba hujan deras mengguyur lagi. Kebetulan di pojok jalan ada tempat makan yang bersebelahan dengan factory outlet Supernova. Kami pun mampir makan di sana sambil berharap hujan cepat reda.
Pas banget. Setelah kami selesai makan, hujan juga ikut selesai. Memang sih, masih ada hujan rintik-rintik. Tapi hajar saja.
Dari tempat makan itu kami mampir ke salah satu toko souvenir yang sudah cukup terkenal dengan jargonnya “pabrik kata-kata”. Kami menyempatkan mampir ke sana, sekedar membeli souvenir kenangan. Ada kaos, sticker, dan gantungan kunci yang kami beli.
Di depan toko “pabrik kata-kata” itu ada banyak toko-toko yang juga menjual kaos-kaos dan cendera mata lainnya dengan harga yang relatif murah. Harga kaos di sana mulai dari Rp12.500 sampai Rp35.000 ada semua. Selain itu ada juga kain pantai, gelang-gelangan, dan pernak-pernik lainnya. Aku juga sempat mampir membeli kaos di sana yang seharga Rp12.500. Bagus-bagus desainnya.
Ke Pantai Kuta untuk terakhir kali
Setelah puas berbelanja souvenir, kami melangkah kembali menuju pantai Kuta. Kami masih penasaran setelah gagal melihat sunset di hari pertama kami di Bali. Saat itu waktu masih menunjukkan sekitar pukul 15.00 WITA. Kala itu suasanai pantai Kuta sangat ramai meskipun pagi harinya sempat diguyur hujan selama beberapa jam. Cuaca siang itu sangat terik.
Di pantai kami duduk-duduk saja di atas pasir sambil mengamati orang-orang yang bermain selancar di lautan sana. Seru juga sepertinya melihat mereka bermain surfing.
Lama-kelamaan kami bosan juga nggak ada kerjaan selain duduk-duduk menunggu datangnya sunset. Khairul dan Neo akhirnya merebahkan badan ke pasir kemudian langsung tertidur. Tampak kelelahan sekali mereka sepertinya. Tak lama kemudian aku juga menyusul tertidur. Habisnya hembusan angin di sana memang enak buat tidur. Bikin ngantuk, hehehe. Cuma Kamal saja yang masih terjaga.
- Tiduran di pantai
Tiba-tiba langit mendung. Hujan rintik-rintik mulai mengguyur. Lama-kelamaan hujan menjadi semakin deras. Akhirnya kami langsung terbangun dan menyingkir dari pantai. Orang-orang di tepi pantai lainnya pun juga demikian. Mereka berlarian mencari tempat untuk berteduh. Hanya para peselancar itu yang sepertinya masih menikmati permainannya.
“Sepertinya bakal mendung terus nih sampai nanti sore.” kata Kamal. “Gimana kalau kita langsung balik aja hei.” ajak Kamal kepada kami. Memang, kami pesimis juga sih bahwa senja nanti bakal bisa melihat sunset di pantai Kuta ini. Tidak ada tanda-tanda langit bakal cerah lagi. Kami pun sepakat memutuskan untuk langsung kembali menuju Gilimanuk.
Menuju Gilimanuk
Dari pantai Kuta kami menumpang taksi menuju terminal Ubung. Kali ini ongkosnya lebih murah Rp10.000 dari pada taksi sebelumnya yang kami tumpangi dari Ubung ke Kuta. Perjalanan dari Kuta ke Ubung kira-kira memakan waktu sekitar 1 jam. Kami tiba di terminal Ubung kala waktu menunjukkan sekitar pukul 5 sore.
Setelah itu kami langsung mencari bus tujuan Gilimanuk. Saat kami menaiki bus itu, baru kami saja penumpang yang ada di dalamnya. Tidak lama kemudian bus berangkat. Tapi kali ini dia ngetem dulu di depan terminal Ubung mencari penumpang. Karena lelah, kami semua tertidur.
Suara pengamen yang sedang berada di dalam bus yang kami tumpangi membuat kami terbangun. Wow! Sudah penuh saja bus ini. Bahkan melebihi kapasitas kursi yang ada. Sang kenek bus sampai menyiapkan kursi tambahan yang ditaruh di tengah-tengah bus. Langit di luar sudah mulai gelap tanda sudah memasuki waktu maghrib. Sementara bus masih belum berjalan juga. Rasanya sudah hampir satu jam aku tertidur.
Setelah pengamen itu turun, bus itu akhirnya berangkat juga. Sepanjang perjalanan aku tertidur pulas. Benar-benar nikmat perjalanan itu. Fisik yang mulai lelah diisi energinya kembali. Oiya, ongkos dari Ubung ke Gilimanuk ini lebih mahal dari pada ongkos bus yang kami tumpangi dari Gilimanuk ke Ubung. Kali ini ongkosnya Rp25.000.
Awalnya aku membayar Rp20.000. “Mas, kurang 5000.” kata kenek bus. “Lho, biasanya juga segitu kan mas. Kok jadi 25 ribu sih.” kataku. “Tarif malam beda mas. Kami malam-malam masih mau nganterin mas dari Denpasar ke Gilimanuk. Yang lain juga mbayar segitu kok. Coba aja tanya yang lain.” timpalnya. Ya sudahlah. Aku pun dengan berat menyerahkan uang tambahan Rp5.000 kepada kenek bus itu.
Menyeberang ke Ketapang
Saking pulasnya aku tertidur sampai terminal Gilimanuk. Saat itu malam sudah semakin gelap. Kira-kira sekitar pukul 9 malam kami sampai di terminal itu. Tanpa banyak acara, kami langsung menuju pelabuhan.
Sampai di loket, kami langsung membeli empat karcis. Ongkos kapal feri masih sama, Rp6.000 . Tapi ada yang berbeda dengan kapal yang kami tumpangi saat itu. Yup, interiornya jauh berbeda dengan kapal yang kami tumpangi sebelumnya saat berangkat ke Bali. Kapal ini terlihat lebih bonafit. Bangku-bangku yang disediakan untuk penumpang bukan berupa kursi-kursi, tapi lebih menyerupai sofa. Bahannya juga empuk, nggak keras seperti kapal feri yang kami tumpangi sebelumnya. Selain itu, ada TV LCDnya juga di depan bangku penumpang. Kalau kapal sebelumnya, TVnya terletak di belakang penumpang.
Tapi ada satu hal yang sama antara kapal yang sekarang kami tumpangi dengan kapal sebelumnya. Yup, lagu yang diputar! Lagu yang diputar masih sama, lagu-lagu yang agak bernuansa melayu dan video yang diputar juga video-video dangdutan :D. Belakangan aku baru tahu kalau lagu-lagu yang diputar itu lagunya D’Bagindas yang judulnya “Empat Mata” sama “C.I.N.T.A”. Awalnya aku kira yang menyanyikan itu band ST12. 😛
Istirahat di Ketapang
Di Ketapang kami beristirahat dulu. Kebetulan ada mushola di dekat pintu masuk loket penjualan karcis. Kami pun sholat Maghrib dan Isya dengan jama’ di mushola itu. Akhirnya kami bisa sholat di mushola juga. Selama di Bali kami terpaksa harus sholat di kendaraan saat perjalanan atau saat mobil sedang diparkir. Sebab sangat susah sekali menemukan mushola di kawasan wisata di Bali (kalau tidak mau dibilang tidak ada).
Alhamdulillah, di mushola itu juga disediakan colokan listrik jadi kami bisa mengisi ulang baterai HP kami dan juga kamera :D. Pasokan listrik menjadi kesulitan yang kami alami selama di Bali. Susah sekali menemukan colokan listrik yang tersedia di tempat umum.
Sementara yang lain berjaga di mushola, aku dan Kamal keluar ke depan pelabuhan mencari makan malam. Alhamdulillah ada tempat lesehan persis di depan pagar pelabuhan. Kami pun makan di sana sambil menikmati malam di Ketapang. Bulan sabit yang bercahaya begitu terang di langit sana menjadikan malam semakin indah.
Hujan yang terus mengguyur Bali hari ini menjadi kado perpisahan bagi kami ketika meninggalkan Bali. Dari Bali tujuan berikutnya adalah Gunung Bromo.