Pada awal Ramadhan kemarin, dalam rangka urusan kerjaan, saya terpaksa tinggal selama 6 hari di kota Shah Alam dan Kuala Lumpur, Malaysia. Walaupun sudah beberapa kali ke Malaysia, ini pertama kalinya saya ke sana saat bulan Ramadhan.
Sebuah pengalaman yang saya sudah nanti-nantikan sebelumnya. Saya ingin sekali suatu saat bisa merasakan suasana Ramadhan di negara lain. Alhamdulillah akhirnya kesempatan itu datang juga di Ramadhan tahun ini.
Tidak ada perbedaan yang signifikan terkait durasi puasa di Shah Alam dan KL ini dengan Bandung, kota di mana saya berdomisili saat ini. Durasi puasa di Shah Alam dan KL ini hanya lebih lama 30 menitan daripada di Bandung. Di Bandung (zona GMT+7) waktu Maghrib adalah pukul 17.41 dan Subuh adalah pukul 04.34 (±13 jam). Sedangkan di KL yang berada di zona waktu GMT+8, waktu Maghrib adalah pukul 19.22 dan Subuh adalah pukul 05.40 (±13,5 jam).
Kesempatan Ramadhan pertama di negeri orang ini pun saya manfaatkan untuk mencoba suasana berbuka puasa dan sholat tarawih di berbagai masjid yang ada di sana. Berikut ini adalah 5 masjid yang sempat saya datangi untuk berbuka puasa dan sholat tarawih selama di sana.
1. Masjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah (Shah Alam)
Menurut catatan Wikipedia, masjid ini adalah masjid terbesar di Malaysia dan yang kedua di Asia Tenggara setelah Masjid Istiqlal di Jakarta, Indonesia. Kabarnya masjid ini mampu menampung jamaah hingga 24.000 orang! Namanya diambil dari nama pendirinya yaitu Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah, Sultan Negeri Selangor.

Masjid Sultan Shalahuddin Abdul Aziz Shah saat maghrib
Sayangnya, karena saya baru datang ke masjid ini saat adzan dikumandangkan, saya pun tidak kebagian hidangan berbukanya. Hanya ikut merasakan “suasana”-nya saja 😆.
Memang sangat ramai sekali jamaah yang datang.Tak pasti juga berapa jumlahnya. Tapi mungkin sampai ribuan.
Umumnya yang saya lihat mereka datang dengan keluarga. Banyak saya lihat pasangan suami istri yang duduk secara melingkar makan bersama anak-anaknya. Hidangan buka puasanya sendiri dikemas dalam tupperware-tupperware begitu. Dan menunya langsung makanan berat.
Sholat Maghrib baru dilaksanakan sekitar 15-20 menit setelah adzan. Secara umum, kultur di sini memang berbeda dari yang biasa kita temui di Indonesia. Di Malaysia ini, setelah adzan maghrib, jamaah langsung menyantap makanan berat. Baru setelah itu sholat Maghrib berjamaah dilaksanakan. Sementara itu di Indonesia, umumnya jamaah menikmati ta’jil atau makanan ringan untuk sekedar membatalkan puasa lalu langsung dilanjutkan sholat berjamaah.
Sholat Tarawih di Masjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah ini dilaksanakan sebanyak 20 rakaat, 2 rakaat salam dan ditutup Witir 3 rakaat dengan format 2+1 rakaat salam. Walaupun jumlah rakaatnya banyak, sholat Tarawih tidak dilakukan dengan tergesa-gesa. Tidak ada ceramah saat pelaksanaan Tarawih.
Saya mendapati bahwa format seperti itulah yang umumnya diterapkan oleh masjid-masjid di Malaysia. Dari 5 masjid yang saya datangi, semuanya menggunakan format seperti itu.
Namun, ada hal di sini yang baru kali ini saya temui dalam pelaksanaan Tarawih. Imam Tarawihnya dirotasi setiap 4 rakaat. Ada 3-4 imam, kalau tidak salah, yang bergantian memimpin sholat Tarawih. Di Indonesia imam Tarawih ya cuma 1 saja sepanjang sholat.
2. Surau Al-Ittihadiyyah (Shah Alam)
Walaupun namanya ‘surau’, bukan ‘masjid’, tetapi ukuran Surau Al-Ittihadiyyah ini terbilang besar juga. Masih mampu memuat ratusan orang saya kira. Di Malaysia memang masjid yang berukuran kecil biasa disebut dengan ‘surau’.
Di Surau Al-Ittihadiyyah ini sayangnya saya tidak sempat ikut merasakan suasana berbuka puasa. Saya hanya sempat mengikuti sholat Tarawihnya saja.
Sholat Tarawih di sini pelaksanaannya lebih lama daripada yang saya ikuti di Masjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah. Jika di Masjid Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah sholat Tarawih berakhir pukul 22.20, di Surau Al-Ittihadiyyah ini kurang lebih pukul 22.40 sholat baru berakhir.
Di Surau Al-Ittihadiyyah ini imam membaca setengah halaman Al-Qur’an tiap rakaatnya. Mungkin karena itu sholat Tarawih lebih lama. Imam melantunkan surat setelah Al-Fatihah dengan melihat mushaf yang diletakkan di depan. Begitu pula di depan shaf pertama, ada beberapa mushaf yang dibuka agar jamaah bisa menyimak bacaan imam. Seperti halnya Masjid Sultan Sultan Salahuddin Abdul Aziz Shah, di sini imam juga dirotasi tiap 4 rakaat.
3. Masjid Negara (Kuala Lumpur)
Masjid yang satu ini mungkin sudah banyak yang tahu. Salah satu tourist attraction yang sangat populer juga di Kuala Lumpur. Bahkan, tidak sedikit turis asing atau bule-bule yang datang mengunjungi Masjid Negara atau yang juga dikenal sebagai National Mosque ini.
Tentu saja mereka tidak beribadah di sana. Mereka hanya datang melihat-lihat dan berfoto. Namun biasanya pihak Masjid Negara juga menyiapkan guide yang akan bertugas untuk menjelaskan kepada para turis tersebut — yang umumnya adalah bule-bule non-muslim — mengenai seluk-beluk tentang Islam dan masjid ini.

Salah satu sudut Masjid Negara
Di Masjid Negara ini alhamdulillah saya akhirnya berkesempatan untuk merasakan suasana berbuka puasa dengan menikmati hidangannya juga. Hehehe.
Masjid Negara ini agak anti–mainstream sepertinya dibandingkan masjid-masjid yang saya datangi lainnya di Shah Alam dan KL. Usai adzan maghrib, jamaah tidak langsung berbuka dengan makanan berat, tetapi hanya menikmati ta’jil saja. Makanan berat dihidangkan setelah pelaksanaan sholat Maghrib.
Ta’jilnya juga cukup sederhana. Kurma dan minuman sirup saja. Nggak tahu juga ya kalau ada tambahan yang lain yang di luar pengamatan saya. Yang jelas, semuanya self service. Ambil sendiri di konter-konter yang dijaga oleh panitia.
Tapi rupanya pada hari-hari kerja ada menu bubur lambuk yang disajikan sebagai hidangan berbuka juga. Hal itu saya ketahui dari sebuah pengumuman yang saya baca di layar TV masjid. Karena hari itu adalah hari Sabtu, tentu saja menu tersebut tidak ada.

Orang-orang menunggu berbuka puasa di Masjid Negara
Format buka puasa makanan berat di sini adalah semi prasmanan. Usai sholat Maghrib, jamah keluar dari ruang utama dan pergi mengantri di selasar masjid untuk mengambil makanan.
Panjang juga antrian yang terjadi saat itu. Ada 2 sayap antrian, yakni sayap utara dan selatan masjid. Yang jamaah pria disediakan area berbuka di lantai bawah masjid.
Menu berbuka saat itu adalah ‘semacam’ Nasi Hainan (saya sebut ‘semacam’ karena nggak tahu apakah benar Nasi Hainan atau bukan 😬) dengan ayam dan lalapannya. Enak sekali rasanya. Nasi dan ayamnya diambilkan oleh panitia. Tapi itu saja defaultnya sudah banyak. Saya sendiri sampai harus minta dikurangi nasinya 😅. Untuk lalapan dan kuahnya bebas ambil sendiri.

Berbuka puasa di Masjid Negara setelah sholat Maghrib
Shalat Tarawih di Masjid Negara juga sama dilaksanakan sebanyak 20 rakaat 2 rakaat salam dan ditutup Witir 3 rakaat (2+1). Kurang lebih pukul 22.40 pelaksanaan sholat Tarawih dan Witir berakhir.
Namun, berbeda dengan masjid-masjid lainnya, kali ini imam Tarawihnya hanya ada 1 sepanjang sholat. Well, saya hanya menebak dari suaranya saja sih yang sama karena dari tempat saya sholat saya tidak bisa melihat dengan jelas posisi imam. Jadi mungkin saya bisa salah juga.
4. Masjid Jamek (Kuala Lumpur)
Seperti halnya Masjid Negara, Masjid Jamek juga merupakan salah satu tourist attraction di Kuala Lumpur yang sangat populer di kalangan turis. Terutama mungkin karena statusnya sebagai masjid tertua yang didirikan di Kuala Lumpur.

Suasana sekitar 1,5 jam sebelum berbuka di Masjid Jamek
Di antara semua masjid yang saya kunjungi selama di Shah Alam dan KL ini, Masjid Jamek adalah yang menurut saya terbaik dalam penyajian hidangan buka puasanya. ‘Terbaik’ di sini ini utamanya karena berbanding lurus dengan banyaknya variasi dalam hidangan berbukanya. Hahaha.
Bayangkan saja, saat berbuka kita sudah disuguhkan menu bubur lambuk dan nasi putih dengan lauk rendang daging dan ikan, plus satu botol air mineral 600 ml. Yaaay… akhirnya kesampaian mencoba bubur lambuk juga. Bagi yang belum tahu, bubur lambuk ini is a must kalau ke Malaysia saat bulan Ramadhan. Bubur lambuk ini sudah menjadi tradisi di Malaysia setiap bulan Ramadhan.

Bubur lambuk yang disajikan di Masjid Jamek
Secara umum, ‘bubur’ di bubur lambuk itu sendiri sebenarnya mirip bubur ayam yang biasa kita temui di Indonesia. Bedanya adalah warnanya yang kecokelatan dan memiliki rasa rempah-rempah yang khas dan tajam. Lalu buburnya dicampur dengan potongan daging kecil-kecil gitu. Selain bubur lambuk daging, juga ada bubur lambuk yang pakai ayam juga. Tapi yang mainstream ya pakai daging. Rasanya enaaak banget! 😋
Untuk ta’jilnya dihidangkan beberapa buah kurma dan irisan apel. Minumannya selain air mineral juga ada teh yang bisa diambil sendiri. Tak hanya saat berbuka saja, usai shalat Tarawih, kita masih disuguhi makanan berat lagi dengan menunya ketika itu adalah soto ayam plus beberapa jajanan tradisional. Alhamdulillah gizi terpenuhi bangetlah pokoknya buka puasa dan Tarawih di Masjid Jamek. 😄

Soto ayam yang disajikan sesudah sholat Tarawih
Tapi ada satu hal yang saya sesalkan. Saya terlambat satu rakaat sholat Maghrib gara-gara harus menghabiskan makanan saya. Saya pikir waktu yang dialokasikan untuk berbuka puasa ini agak lama karena menunya banyak. Ternyata hanya sekitar 15 menit saja. Tahu gitu saya cukupkan makan bubur lambuk dulu, baru makan nasinya setelah sholat.
Tapi herannya kok orang-orang kok banyak yang cepet ya makannya 😅. Walaupun tidak sedikit juga sih yang tidak makan sampai habis bis. Mubazir banget.

Berbuka puasa di Masjid Jamek
Sementara itu, terkait pelaksanaan sholat Tarawih, di sini pun juga sama. 20 Rakaat 2 rakaat salam dan ditutup dengan Witir 3 rakaat (2+1). Imam tarawihnya dirotasi setiap 4 rakaat. Kalau tidak salah ada 3 imam. Pelaksanaannya lebih cepat dibandingkan dengan yang di Masjid Negara. Sekitar pukul 22.20, sholat sudah berakhir.
5. Masjid Al-Bukhary (Kuala Lumpur)
Terus terang saya baru mengetahui keberadaan masjid ini dari googling saat itu. Mulanya saya penasaran apakah ada masjid besar di sekitar kawasan Bukit Bintang. Hasil googling mengantarkan saya kepada sebuah thread yang ada di situs TripAdvisor. Di sana ada beberapa member menyebutkan Masjid Al-Bukhary ini.
Setelah saya cross check ke Google Maps, ternyata lokasinya masih walkable dari Bukit Bintang. Hanya 1,3 km saja dari Sungai Wang Plaza. Lokasinya sendiri ada di Hang Tuah sebenarnya.
Perjalanan ke sana bisa ditempuh dengan naik monorail jurusan Stasiun Hang Tuah. Tapi sore itu tampaknya sedang peak hour. Banyak sekali orang-orang yang hendak naik monorail dari Stasiun Bukit Bintang. Lama pula selisih waktu antar monorail yang datang. Akhirnya saya putuskan untuk berjalan kaki saja ke sana.
Seperti halnya di Masjid Jamek, di Masjid Al-Bukhary ini hidangan berbuka puasa sudah disiapkan sejak 1-2 jam sebelumnya. Tikar-tikar sudah digelar membentuk beberapa baris. Di atasnya hidangan berbuka juga sudah disiapkan.

Hidangan berbuka puasa di Masjid Al-Bukhary
Variasi menu yang disajikannya pun kurang lebih mirip seperti di Masjid Jamek. Ada bubur lambuk dan makanan berat. Untuk ta’jilnya tersedia kurma dan irisan buah semangka. Minumannya disediakan satu teko tupperware berisi sirup untuk 4 orang.
Di Masjid Al-Bukhary ini alhamdulillah dapat bubur lambuk lagi. Fix lah ini bubur lambuk menjadi menu favorit saya selama buka puasa di Malaysia. Hahaha.
Tapi soal rasa, menurut saya masih lebih sedap bubur lambuk yang disajikan di Masjid Jamek. Yang ini buburnya agak lebih encer dan rasa bumbu rempah-rempahnya kurang tajam (karena itu mungkin warnanya kurang cokelat?). Well, saya nggak tahu juga sih rasa bubur lambuk yang aslinya kayak bagaimana.

Hidangan buka puasa Masjid Al-Bukhary
Waktu yang disediakan untuk menikmati hidangan buka puasa ini tampaknya lebih lama daripada yang disediakan di Masjid Jamek sebelumnya. Saya tidak mengukur waktu dengan pasti sih.
Yang jelas, alhamdulillah saya bisa menghabiskan semua hidangan yang disajikan tersebut sebelum iqomah dan juga tanpa tergesa-gesa. Bahkan, saya masih sempat menunggu beberapa menit sebelum iqomah.

Menunggu waktu Isya’ di Masjid Al-Bukhary
Untuk sholat Tarawihnya, di sini juga sama 20 rakaat 2 rakaat salam. Satu hal yang mungkin agak berbeda dengan pengalaman sholat Tarawih di 4 masjid sebelumnya, sholat Tarawih di sini lebih cepat pelaksanaannya. Tidak saja karena cara imamnya yang membaca dengan cepat, tapi juga beberapa surat pilihannya juga merupakan surat-surat pendek.
Terkait rotasi imam, di sini pun juga menerapkannya. Ada 3-4 imam yang bergantian memimpin sholat Tarawih setiap 4 rakaat.
Sayangnya, di sini saya tidak bisa mengikuti sholat Tarawih sampai selesai. Hanya ikut 8 rakaat saja karena terpaksa harus menyiapkan demo untuk keesokan harinya. Sayang sekali harus kehilangan pahala keutamaan mengikuti shalat bersama imam hingga selesai. Saya pun jadinya juga tidak tahu apakah di sini juga ada pembagian makanan berat sesi ke-2 seperti yang ada di Masjid Jamek. 😬