Sabtu, 25 Desember 2010. Sepanjang perjalanan dari Bandung aku terus berdiri di tengah-tengah gerbong kereta di antara penumpang yang berdesak-desakan. Sesekali aku mencoba memejamkan mata walaupun dalam kondisi berdiri. Kalo nggak gitu bakalan bosan sekali menunggu perjalanan ini. Kala rasa capai berdiri melanda, aku coba paksakan duduk atau jongkok di atas lantai kereta sambil berharap orang-orang di sekitarku ini cepat turun, hehehe…:D.
Sampai di Lempuyangan
Perjalanan melelahkan itu ternyata berakhir juga. Pukul 7.00 kereta sampai di stasiun Lempuyangan, Jogjakarta. Lumayan telat sih, dari jadwal yang seharusnya. Untungnya masih bisa mengejar keberangkatan KA Sri Tanjung tujuan Banyuwangi pukul 7.30. Makanya, begitu sampai aku langsung segera beli tiket. Sudah lama aku nggak mampir stasiun Lempuyangan ini. Terakhir kali, waktu masih SD dulu. Jadinya, aku merasa pangling saat sampai di stasiun ini. Stasiun yang dulunya masih kecil dan agak lusuh, sekarang tampak bersih, modern, dan megah.
Aku sempat kebingungan mencari di mana loket penjualan karcis kereta api di sana. Tempat loket yang lama yang kuingat ternyata sudah nggak buka lagi. Untung ada mas-mas baik hati yang ngasih tahu tempat penjualan karcis di mana. Harga karcis KA Sri Tanjung jurusan Jogjakarta-Banyuwangi Rp35.000 sama seperti harga karcis KA Kahuripan Bandung-Kediri.
KA Sri Tanjung yang disiapkan di Stasiun Lempuyangan ini masih lengang. Padahal kereta akan berangkat 15 menit lagi. Kami pun bingung mau pilih kursi di mana, hehehe… :D. Sambil menunggu di kereta kami makan nasi gudeg bungkusan yang dibeli di stasiun.
Dalam gerbong yang kami tumpangi ternyata ada anak-anak ITB yang lain bersama kami. Dilihat dari jaket himpunannya mereka masing-masig adalah satu anak Mesin, satu anak Geodesi, dan satunya lagi anak Universitas Pasundan. Mereka berencana backpacking juga ke Lombok dan Bali.
Oiya, ada cerita lucu saat perjalanan kereta di petak Klaten-Solo. Ada seorang waria lagi ngamen di samping kursi kami. Tiba-tiba dengan genitnya dia megang mulut Neo yang lagi tidur (mau ngelap ilernya kali ya.. hahaha..). Terus dia nyolek si Khairul juga. Setelah itu dia mau nyolek aku juga. Untungnya, dengan tangkisanku, usahanya gagal :). Setelah itu dia ganti ngamen di kursi penumpang belakang kami. Tak tahunya, tiba-tiba dia berbuat yang lebih parah ke diriku. Dia mrekes dadaku dari samping belakang. Kayaknya dia masih penasaran setelah kutangkis tadi. Sumpah, kejadian itu benar-benar mimpi buruk buatku.
Perjalanan Surabaya-Banyuwangi
Kereta sampai Stasiun Surabaya Gubeng sekitar pukul 15.00. Sampai di sana lokomotif diputar, pindah ke gerbong paling “belakang” yang selanjutnya jadi yang paling “depan”. Kereta berhenti selama kurang lebih 20 menit di stasiun itu kemudian melanjutkan perjalanan lagi.
Di stasiun Sidoarjo naik penumpang pasangan suami-istri yang hendak pergi ke Banyuwangi. Mereka berdua ikut duduk di bangku yang kami tumpangi. Ternyata mereka orang Banyuwangi asli dan sering juga jalan-jalan ke Bali. Jadinya sepanjang perjalanan itu bapak itu sering bercerita tentang Bali.
Tak terasa satu jam kemudian kereta sampai di stasiun Pasuruan. Oleh kepala stasiun Pasuruan, penumpang diminta untuk menutup jendela dan pintu kereta serta memakai masker karena setelah itu kereta akan melanjutkan perjalanan ke kawasan Probolinggi yang memang tertimpa hujan abu dari letusan Gunung Bromo. Benar saja, sepanjang perjalanan dari Probolinggo sampai stasiun mana, aku lupa, hamparan ilalang dan tanaman lainnya serta atap-atap rumah penduduk di sekitar kereta tampak tertutup abu. Saat itu, abu juga masih beterbangan di sekeliling kereta.
Sampai Banyuwangi
Malam itu KA Sri Tanjung telat parah. Dari jam 21.15 yang dijadwalkan tiba di stasiun Banyuwangi Baru, nyatanya kereta baru sampai saat jam hampir menunjukkan waktu pukul 11 malam. Bagi kami sih nggak masalah saat itu karena dengan begitu kami bisa lebih lama tidur di dalam kereta saat perjalanan. Hehehe… 😀
Awalnya kami berniat mau menginap di dalam stasiun Banyuwangi Baru sampai subuh. Ternyata stasiun Banyuwangi Baru ini bukan tipe stasiun yang buka 24 jam. Beberapa saat setelah kami baru duduk-duduk di bangkus tasiun, tiba-tiba beberapa petugas keamanan meminta kami untuk keluar stasiun. Terpaksa kami akhirnya ngemper di teras depan stasiun. Banyak juga orang-orang yang sudah ngemper di depan stasiun.
Beruntung di depan stasiun malam-malam gitu masih ada orang jualan makanan. Kami pun ngisi perut dulu. Lumayan, ada sate, mie rebus/goreng, dan kopi. Tinggal pilih. Habis makan, kami istirahat dulu tidur di teras stasiun, sampai menjelang subuh.
Waaah, Dhito, asyik ya ber-backpacking bersama teman-teman. Masa-masa sekolah/kuliah memang masa paling indah, bisa bebas kemana pergi. Kalau sudah berkeluarga dan bekerja, nggak bisa sebebas itu, makanya nikmati masa bujang dengan pengalaman yang banyak.
LikeLike
Hehehe… Iya pak. Hitung-hitung refreshing juga sebelum menghadapi TA 2. 😀
LikeLike