Monthly Archives: January 2011

Kuliah Perdana Studium Generale

Dua hari yang lalu, tepatnya hari Sabtu 29 Januari 2011, telah dilaksanakan kuliah perdana mata kuliah Studium Generale (selanjutnya disingkat SG). Seperti yang dikemukakan Rektor ITB, Bapak Profesor Akhmaloka, di awal sambutannya membuka kuliah itu, kuliah SG ini sudah lama tidak dibuka. Saat beliau masuk menjadi mahasiswa S1 ITB awal 80-an, kuliah SG ini sudah tidak ada. Namun, kini kuliah itu akhirnya diadakan kembali dengan menghadirkan menteri-menteri RI sebagai pengisi kuliahnya.

Pilihan pertama sebagai “dosen” di kuliah perdana SG ini jatuh kepada Bapak Suharso Monoarfa, Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) RI. Beliau dulunya juga sempat menjadi mahasiswa S1 di ITB dan juga seorang aktivis di kampus Ganesha ini. Topik yang diangkat dalam kuliah beliau saat itu adalah “Pengurangan Kemiskinan Sebagai Ideologi Pembangunan”. Kuliah itu sendiri berlangsung selama kurang lebih 2 jam termasuk tanya jawab. Banyak cerita inspiraif dan motivasi yang beliau sisipkan selama kuliah itu dengan menceritakan perjalanannya selama menjadi mahasiswa hingga akhirnya menjadi menteri. Sungguh beruntung aku dan teman-teman mahasiswa ITB lainnya yang mungkin sudah hampir sedikit lagi akan lulus masih bisa menikmati mata kuliah SG yang dibuka pertama kalinya setelah mati berpuluh-puluh tahun.

Suasana Kuliah SG

Suasana Kuliah SG

Advertisement

Semester Baru, Semangat Baru

Tiba juga hari yang ditunggu-tunggu. Setelah melalui liburan kurang lebih sebulan lamanya, tepat pada tanggal 24 Januari 2010 hari Senin kemarin akhirnya kegiatan perkuliahan dimulai lagi.

Semester II tahun ajaran 2010/2011 ini mungkin (Insya Allah) akan menjadi semester terakhirku berkuliah di ITB. Kesempatan ini tentu jangan sampai kusia-siakan. Bersamaan dengan itu, kegiatanku di keorganisasian di kampus maupun kegiatan sebagai tim materi praktikum PTI C untuk anak-anak TPB berakhir menjelang semester ini. Artinya, aku bisa mencurahkan fokus lebih besar untuk perkuliahan di semester 8 ini.

Pada semester ini aku mengambil 17 SKS (jika tidak ada perubahan). Sebenarnya cukup banyak kuliah pilihan yang dibuka pada semester ini yang menarik buatku. Tapi, karena aku mengejar lulus bulan Juli atau Oktober tahun ini, aku memutuskan untuk mengambil sejumlah itu saja. 17 SKS bukan angka yang sedikit mengingat sebagian besar teman-teman seangkatanku bahkan ada yang hanya mengambil 4-14 SKS saja.

Tapi sayang sekali kalau kuliah di ITB hanya mengambil SKS sedikit pada satu semesternya karena di ITB (untuk angkatan 2008 ke bawah) tidak ada sistem biaya per SKS. Jadi mau kuliah berapa SKS pun tetap membayar sesuai engan biaya SPP yang telah ditetapkan.

Kuliahku yang 17 SKS itu antara lain:

1. Tugas Akhir 2 (4 SKS)
2. Keamanan Informasi (3 SKS), diajar oleh Pak Budi Rahardjo
3. Topik Khusus Sains Komputer 1 kelas 01 (Natural Language Processing 3 SKS), diajar oleh Bu Ayu Purwarianti
4. Pengembangan Aplikasi Mobile (3 SKS), diajar oleh Pak Yusep Rosmansyah
5. Sosioteknologi Informasi (2 SKS), diajar oleh Pak Munawar
6. Stadium Generale (2 SKS)

KSM Semester 8

KSM Semester 8

Oiya, ada mata kuliah yang baru di semester ini, namanya: Stadium Generale atau orang lebih mengenalanya dengan sebutan “kuliah umum”. Yup, ini mata kuliah baru di ITB yang bisa diikuti oleh seluruh mahasiswa ITB. Yang menarik, pengajarnya bukan dosen-dosen di ITB, melainkan (konon katanya) menteri-menteri dari kabinet Indonesia Bersatu. Hmm… aku sudah nggak sabar untuk segera mengikuti kuliah ini. Kira-kira apa sih yang akan disampaikan oleh bapak-bapak atau ibu-ibu menteri itu.

Yang jelas, karena ini (Insya Allah) akan menjadi semester terakhirku, kesempatan berkuliah di ITB semester terakhir ini tidak akan kusia-siakan. Mudah-mudahan semester ini akan memberikan kesan yang tidak terlupakan selama aku berkuliah di ITB. Amin. 🙂

Akhirnya Lengser Juga

Pada hari sabtu dan minggu lalu (tanggal 22-23 Januari 2010) telah diselenggarakan Rapat Anggota Tahunan (RAT) XXVII Kokesma ITB yang bertempat di ruang TVST ’82 (dulu TVST A). Pada acara itu dilakukan pemberian laporan pertangungjawaban oleh kepengurusan 2010. Selain itu, dilakukan pula pemaparan rencana program kerja pengurus yang baru untuk tahun 2011.

Alhamdulillah, meskipun diwarnai berbagai drama (kalau aku boleh bilang) di dalamnya, tetapi acara berjalan dengan lancar. Walaupn sempat terjadi masalah di sana-sini, aku pribadi memberikan apresiasi yang sangat tinggi kepada adik-adik angkatan 2008 dan 2009 di Kokesma yag telah bersikap sangat aktif dan kritis. Hal tersebut tidak pernah aku jumpai di RAT-RAT Kokesma sebelumnya.

Aku sendiri bersyukur akhirnya bisa mengakhiri tugas di Kokesma ini. Pengabdian sejak TPB, mengikuti pelatihan demi pelatihan yang diselenggarakan di Kokesma, kemudian menjadi maganger di divisi Toko Kesejahteraan Mahasiswa (Tokema), lalu lanjut lagi menjadi staf admin di divisi Tokema, hingga akhirnya musibah menimpa saya, yaitu saya dipilih menjadi ketua divisi Tokema. Suatu tugas yang tidak ringan kalau aku boleh katakan. Sebab, dengan terlibatnya dalam kepengurusan itu, ada konsentrasi dan waktu yang harus terbagi antara kegiatan akademik dengan organisasi. Itulah konsekuensi yang harus dibayar.

Indeks prestasiku secara konstan selalu turun semenjak menjabat sebagai staf. Tapi seharusnya, hal tersebut tidak bisa menjadi pembenaran. Oleh karena itu, aku berusaha melihat sisi lain yang telah kuperoleh selama aktif di Kokesma. Manajemen waktu, aktivitas bisnis, komunikasi, negosiasi, strategi penjualan, hubungan dengan rektorat dan masih banyak ilmu lainnya yang telah kuperoleh. Itu semua tidak mungkin aku dapatkan jika hanya berkutat di akademik saja.

Di acara RAT itu aku mendapatkan “kado” dari teman-teman berupa tempat air minum (hadiah door prize) dan gelas kenang-kenangan dari adik-adik di Kokesma. Di akhir acara juga sempat diputarkan video flash mengenai kaleidoskop dan testimoni dari teman-teman untuk kepengurusan 2010. So sweet… 🙂

TERIMA KASIH KOKESMA ITB!

Nah, sekarang, dengan lengsernya aku dari kepengurusan Kokesma, aku mengumpulkan niat untuk fokus kembali ke kuliah lagi. Mudah-mudahan pada semester terakhir ini (Insya Allah) aku bisa meningkatkan indeks prestasiku semata-mata demi membahagiakan kedua orang tuaku yang sudah membiayaiku kuliah selama 4 tahun ini.

Suasana RAT hari kedua

Suasana RAT hari kedua

Kenang-kenangan dari RAT

Kenang-kenangan dari RAT

Hasbiyallah, Cukuplah Allah Bagiku

حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ…

…Cukuplah Allah bagiku. Tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arsy yang agung.”(At-Taubah [9]: 129)

Potongan ayat di atas terus terang adalah salah satu ayat “favorit” saya. Setiap membaca atau teringat ayat di atas, hati saya selalu merasa tenang.

Oiya, sebelumnya mungkin Anda bertanya-tanya kenapa tiba-tiba saya menulis ini. Ya, saya menulis ini karena saya baru saja mengalami kekecewaan (dan juga mungkin penyesalan) mendalam atas hasil yang saya peroleh. Padahal, saya merasa saya sudah berusaha (dan berkorban) sedemikian rupa tapi hasil yang diperoleh sungguh tidak memuaskan saya.

Terpukul? Terus terang iya. Tapi inilah indahnya Islam. Banyak cara untuk menutupi kesedihan yang berlarut-larut itu. Qiyamul lail adalah salah satu (saya katakan) metode untuk menghilangkan kesedihan itu. Dalam qiyamul lail kita bisa merasakan ketenangan malam, suasana yang penuh kesunyian karena di saat itu ribuan manusia tengah terlelap dalam tidurnya. Dalam ritual itu pula saya bisa dengan sepuasnya berkhalwat (berduaan) dengan Allah tanpa diganggu suara berisik sedikitpun.

Ibarat sepasang kekasih, dalam keheningan malam itu saya curahkan seluruh isi hati saya kepada-Nya. Bahkan, terus terang curhatan itu sering saya lakukan dengan menangis. Malu? Ngapain juga malu, kalau nangis di tempat umum, mungkin iya, hehehe :). Tapi, terkadang menurut saya menangis itu perlu. Orang yang kuat bukanlah orang yang tidak pernah menangis. Justru orang yang “bisa” menangis, sebenarnya dia adalah orang yang kuat. Kenapa saya berkata demikian? Karena dengan menangis, artinya ia mampu menghilangkan ego atau kecongkakannya yang membuat hatinya keras. Makanya tidak heran ada orang bijak mengatakan “menangis itu dapat melunakkan hati yang keras”.

Wah, kok sepertinya semakin melebar ke mana-mana ya. Oke, kembali ke topik.

Dengan selalu mengingat ibroh dari ayat di atas, rasa penyesalan, kekecewaan, ketakutan, kesulitan, dan kegelisahan yang saya alami sedikit demi sedikit dapat tergerus.

Catatan Liburan Akhir Tahun 2010 (Day 9) : The Last Day, Going to Merapi

Sabtu, 1 Januari 2011. Wah, sudah sampai hari ke-9 aja. Waktu ternyata berjalan begitu cepat. Hari ke-9 ini sesuai rencana adalah hari terakhir kami melakukan tur Bali-Malang-Jogja.

Pagi itu tampaknya anak-anak masih merasakan kantuk yang cukup berat. Wajar saja, malamnya kami baru kembali ke stasiun Tugu jam 1 dan baru bisa tidur mungkin sekitar jam setengah 2 dini hari. Tapi aku beruntung pagi itu ketika terbangunkan karena ada seorang calon penumpang yang tiba-tiba menyenggol kakiku saat sedang tidur di bangku stasiun. Kenapa beruntung? Karena saat aku terbangun pas sekali adzan shubuh di mushola stasiun itu berkumandang. Aku pun tidak ketinggalan sholat shubuh berjamaah di mushola stasiun.

Namun, rasa kantuk ternyata masih menderaku. Habis sholat aku pun mencari tempat kosong untuk berbaring lagi. Tapi ada yang beda dengan stasiun saat itu. Di mana-mana banyak orang tiduran. Tampaknya mereka sama seperti kami backpacker-backpacker yang menumpang tidur dan mandi di stasiun. Pantas saja kamar mandi antrinya panjang banget. Akhirnya aku terpaksa tidur sambil duduk saja.

Yang namanya tidur sambil duduk memang nggak nyaman. Makanya, tidak sampai satu jam aku terbangun dan sudah tidak bisa tidur lagi. Ternyata stasiun sudah dipenuhi calon penumpang saat aku terbangun. Satpam-satpam stasiun pun bertindak. Orang-orang yang tiduran di bangku pun dibangunkan semua agar bangku-bangku stasiun itu dapat ditempati calon penumpang “sungguhan”.

Memburu tiket bus malam di terminal Giwangan

Seperti yang sudah aku bilang di awal, stasiun pagi itu sangat ramai, begitu pula antrian kamar mandinya. Karena itu, nggak enak juga sama pengantri yang lain saat menggunakan kamar mandi itu. Akhirnya aku cuma cuci muka dan gosok-gosok badan saja pagi itu.

Habis bersih-bersih diri kami pergi menuju shelter Malioboro I untuk menyegat busway. Tujuan kami kala itu akan pergi ke terminal bus Giwangan untuk membeli tiket bus balik ke Bandung. Kami terpaksa berencana membeli tiket bus karena kehabisan tiket KA Malabar ekonomi yang ke Bandung.

Di dalam busway

Di dalam busway

Wah, mahal amat tiket bus malam ke Bandung. Entah karena memang musim liburan atau karena mereka ingin menipu kami, harganya tinggi sekali saat itu. Harga tiket bus K#amat D#ati sampai Rp150.000 dan bisa ditawar sampai Rp135.000. Sementara itu bus R#jaw#li harganya Rp120.000 tapi non-AC. Mahal amat ya. Sayangnya Bus B#dim#n yang biasa aku naiki Bandung-Jogja, tidak buka agen di terminal itu. Kalau hari biasa dia cuma Rp80.000 saja (setahun lalu). Akhirnya, kami pun membatalkan niat untuk menaiki bus malam. Pilihan terakhir kami jatuh ke KA Kahuripan yang berangkat pukul 20.15 dari stasiun Lempuyangan, Jogja.

Menengok daerah letusan Merapi

Dari shelter terminal Giwangan kami naik busway jalur 3A menuju shelter Kenthungan. Dari shelter Kenthungan kami berjalan sebentar menuju perempatan Ring Road Utara, tepatnya sekitar Jalan Raya Kaliurang Km 6. Kami melanjutkan perjalanan dengan menaiki bus Jogja-Kaliurang. Ongkos bus dari Ring Road menuju Kaliurang itu Rp5.000 per orang. Kami sendiri tidak turun sampai terminal Pakem, tapi turun di pertigaan besar dekat pasar Pakem.

Kami sempat bingung akan melanjutkan perjalanan ke Merapi dengan apa. Padahal perjalanan masih jauh. Kata salah satu penduduk di sana jaraknya kurang lebih sekitar 16 km lagi. Gayung bersambut, ternyata di sana terdapat pangkalan ojek yang menawarkan jasa perjalanan ke Merapi melihat daerah bekas letusan Merapi.

Kami sempat melakukan tawar menawar dengan bapak tukang ojeg yang kami datangi pertama. Gila aja, beliau menawarkan Rp100.000 per orang untuk sampai di desa Kinahrejo tempatnya Mbah Maridjan itu. Alasan beliau, situasi saat itu sedang ramai, banyak orang berlibur. Tapi tambah beliau, itu belum termasuk uang sukarela untuk warga daerah korban letusan. Padahal kata beliau, posnya itu nggak cuma satu. Wah, kami jadi berpikir ulang untuk pergi ke sana.

Kami pun berlalu menuju pangkalan ojeg yang lain. Di sanalah akhirnya kami deal dengan tukang ojeg mengenai ongkos ke daerah korban letusan itu. Ongkos per orang Rp70.000. Kata tukang ojeg kalau hari biasa, biasanya Rp50.000. Lagi-lagi alasan musim liburan dan jalanan ramai kena macet orang-orang yang mau ke Merapi, sehingga ongkosnya naik. Entah benar atau tidak. Tapi, ya sudahlah kalau begitu. Kami pun jadi pergi ke sana.

Singkat cerita, kami akhirnya tiba di suatu daerah yang bernama Kalikuning. Sesampainya di sana kami membayar Rp10.000 per orang kepada warga sana. Terus terang kami nggak tahu mekanisme pembayaran masuk di sana karena ini benar-benar pengalaman pertama dan kami juga belum punya cerita dari teman-teman dekat yang pernah ke sana sehingga bisa dijadikan bahan komparasi. Kami sih berpikir positif saja, mereka tidak sedang menipu kami. 😦

Di kawasan Kalikuning itu kami melihat sisa-sisa hutan yang pepohonannya sudah pada gundul dan mati akibat wedhus gembel dan juga lahar dingin yang melintasi daerah itu. Sesaat aku berpikir, subhanallah… begitu besarnya kekuasaan Allah. Jika Dia sudah berkehendak, kun fayakun, jadilah maka jadilah. Daerah itu yang sebelumnya dipenuhi pepohonan hijau dan menjadi tempat tinggal makhluk-makhluk-Nya sekarang musnah begitu saja. namun, seiring berjalannya waktu, daerah itu mulai ditumbuhi tunas-tunas tanaman hijau yang masih mungil-mungil yang Insya Allah semakin lama akan membuat daerah itu hijau kembali.

Oiya, saat melihat-lihat kondisi daerah itu, kami juga ditemani seorang pemuda yang juga penduduk asli daerah itu. Dia banyak bercerita mengenai kondisi Merapi saat meletus, kondisi sesungguhnya mbah Maridjan saat meninggal, hingga perkembangan daerah itu pasca letusan Merapi. Mengenai kondisi mbah Maridjan di mana media-media mengatakan bahwa beliau sedang bersujud (seolah-olah sudah pasrah akan datangnya kematian) ketika meninggal, hal itu diluruskan oleh pemuda itu. Sebenarnya, saat itu beliau juga ingin turun bersama warga yang lain. Akan tetapi, nasib berkata lain. Beliau tertimpa runtuhan balok kayu dan jatuh tersujud hingga akhirnya ikut terkena wedhus gembel.

Dari pemuda itu kami juga ditunjukkan Desa Kinahrejo tempat tinggal mbah Maridjan. Tapi sayangnya ternyata jauh dari Kalikuning itu. Kami pun sempat merasa ditipu tukang ojeg itu karena tujuan kami sebenarnya ingin pergi ke sana juga. Kami sempat protes kepada tukang ojeg itu karena tidak jadi diantarkan ke sana. Tapi tukang ojeg berdalih jalanan menuju ke sana macet, bakal lama sampai sana sehingga nggak akan terburu. Bisa-bisa baru balik ketika hari sudah gelap. Ya sudahlah. Akhirnya, untuk menutupi “kekurangan” itu saat pulangnya, kami minta diantarkan hingga tempat untuk nyegat kendaraan umum yang balik ke Jogja (habisnya lumayan jauh sih jarak dari pangkalan ojeg itu ke terminal).

Yak, inilah foto-foto ketika berkunjung ke daerah Kalikuning itu. Mohon maaf sebagian foto ada yang kurang begitu jelas karena terpaksa menggunakan kamera handphone yang sudah jadul.

Jalan bersama "tour guide" (jaket hitam)

Jalan bersama "tour guide" (jaket hitam)

Pepohonan yang gersang

Pepohonan yang gersang

aku dan neo

aku dan neo

Tunas-tunas baru

Tunas-tunas baru

Kembali ke Bandung

Puas memenuhi hasrat ingin tahu akan kondisi terbaru daerah yang terkena letusan Merapi, kami kembali lagi ke Jogja. Kami diantar tukang ojek itu sampai terminal Pakem. Di sana kami melanjutkan lagi naik kendaraan umum dengan mobil jenis L300. Kami sempat diturunkan di tengah jalan karena saking sepinya. Akhirnya kami ganti naik minibus Kaliurang-Jogja. Herannya bus yang satu ini malah cukup ramai penumpang. Kami turun di shelter Kenthungan untuk ganti kendaraan dengan busway menuju shelter Malioboro. Kami harus naik busway dua kali untuk menuju Malioboro. Pertama naik busway ke terminal Jombor, baru setelah itu ganti naik busway busway yang menuju ke Malioboro.

Sampai di Malioboro kami langsung mengambil tas di stasiun Tugu. Tanpa banyak mengulur waktu, kami langsung kembali lagi ke shelter Malioboro untuk menaiki busway menuju stasiun Lempuyangan. Hari sudah malam ketika kami sampai di stasiun Lempuyangan, yaitu sekitar pukul 19.15. Sesampainya di sana kami langsung membeli tiket KA Kahuripan untuk 3 orang ke Bandung dengan ongkos per orangnya Rp 24.000.

Suasana stasiun kala itu sangat ramai. Bahkan, untuk kereta tujuan Jakarta seperti KA Gaya Baru Malam Selatan, banyak penumpang yang terpaksa tidak bisa naik karena saking ramainya. Selain itu, hujan rintik-rintik juga mewarnai malam sebelum kembalinya kami ke “kehidupan sebenarnya” di Bandung.

Kereta yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kereta sempat mengalami keterlambatan sekitar setengah jam dari jadwal yang seharusnya. Lagi-lagi, kami tidak dapat tempat duduk sepanjang perjalanan. Tapi Khairul dan Neo lebih beruntung karena bisa dapat tempat duduk di tengah-tengah penumpang dengan menduduki kardus-kardus penumpang yang kebetulan besar-besar dan diperbolehkan si empunya. Aku sendiri terpaksa duduk di bordes sambil sesekali terkena tetesan air karena atap kereta yang bocor :D. Keesokan harinya kami tiba dengan selamat di stasiun Hall Bandung sekitar pukul 8.00. Alhamdulillah…

Suasana sore Malioboro pada malam kepulangan

Suasana sore Malioboro pada malam kepulangan

Menunggu kereta

Menunggu kereta

Catatan Liburan Akhir Tahun 2010 (Day 8) : Wisata Sejarah di Jogjakarta

Jumat, 31 Desember 2010. Stasiun Tugu Jogjakarta ini tampaknya akan menjadi “rumah” kami selama berada di Jogjakarta. Bagaimana tidak, demi pengiritan pengeluaran, untuk urusan tidur dan mandi, semua kami lakukan di stasiun itu. Selain itu, carrier-carrier yang kami bawa juga kami titipkan di tempat penitipan barang di selatan stasiun.

Seperti pada pagi hari itu. Begitu sholat shubuh kami langsung mandi di toilet umum di sebelah mushola stasiun Tugu. Nggak bawa sabun mandi? Beli saja di bapak penjaga toilet itu. Selain sabun mandi, bapak itu juga menjual sampo dan peralatan mandi lainnya.

Selesai mandi, aku dan kawan-kawan menikmati udara pagi itu di stasiun sambil mengamati kereta api yang datang dan pergi di stasiun itu. Di dekat pintu masuk peron timur terdapat spot tourist information center yang dapat menjadi tempat bertanya mengenai pariwisata di Jogjakarta ini. Di sana kita juga bisa memperoleh peta wisata Jogjakarta secara gratis. Aku pun memanfaatkan fasilitas itu untuk bertanya mengenai jalur-jalur busway menuju tempat wisata yang ada di Jogja.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Tempat penitipan barang yang berada di bangunan selatan stasiun sudah buka. Kami pun segera menitipkan barang-barang kami di tempat itu. Biaya untuk sewa satu loker (ukuran lumayan besar, bisa menampung hingga 3-4 tas besar) mulai dari pagi sampai malam adalah Rp10.000. Di parkir selatan stasiun sebenarnya juga menerima penitipan barang. Lebih murah, cuma Rp1.000 per tas. Tapi demi alasan keamanan kami memilih tempat penitipan yang lebih mahal itu.

Dari stasiun kami beranjak menuju shelter Malioboro I yang berada tidak jauh dari stasiun. Kira-kira hanya 5 menit dengan jalan kaki untuk mencapai sana. Tarif “masuk” shelter itu adalah Rp3.000 dan kita bisa naik busway sepuasnya, termasuk berganti-ganti busway, asalkan kita belum keluar meninggalkan shelter :D. Tujuan kami saat itu adalah ke Candi Prambanan. Kami ke sana dengan menaiki busway jalur 1A dan menempuh perjalanan sekitar 1 jam.

Wisata Candi Prambanan dan Situs Ratu Boko

Aku tak ingat kapan terakhir kali berwisata ke candi Prambanan ini. Yang kuingat, sudah dua kali aku ke sana. Pertama, saat liburan kelulusan SD bersama teman-teman satu sekolah (tahun 2001), dan kedua, jalan-jalan bersama keluarga saat lebaran di Jogjakarta (lupa kapan).

Ada yang berbeda dengan wisata Candi Prambanan saat ini. Saat akan masuk, kita ditawari apakah mau mengambil paket wisata ke Situs Ratu Boko juga atau tidak. Jika iya, tiket masuknya Rp30.000 dan jika tidak (hanya ke Candi Prambanan saja), tiket masuknya Rp23.000. Karena selisihnya tanggung banget, kami pun ambil saja paket yang include wisata Situs Ratu Boko itu.

Dari Prambanan ke Ratu Boko kami menaiki kendaraan yang sudah disediakan oleh pengelola wisata setempat. Sistemnya antar jemput pulang-pergi dari Ratu Boko-Prambanan. Tapi, begitu ada mobil yang stand by kita bisa langsung menaikinya selama masih ada tempat duduk tersisa. Jika tidak, terpaksa harus mengantri dulu dengan calon penumpang yang lain. Oiya, Jarak kompleks Prambanan-Ratu Boko hanya 2 km saja. Jadi perjalanan Ratu Boko-Prambanan ini tidak lama, paling cuma sekitar 15 menit.

Di Candi Ratu Boko

Begitu tiba di kompleks Situs Ratu Boko kami berjalan menuju plaza Andrawina (sebuah halaman dengan paving block yang luas) yang berada di dekat pintu masuk kompleks tersebut. Dari atas plaza tersebut kami bisa melihat pemandangan luas ke arah kompleks Candi Prambanan dan wilayah Jogjakarta. Aku membayangkan pasti pemandangan saat malam hari akan lebih indah dilihat dari atas sini karena akan terlihat gemerlap lampu di bawah sana. Dari atas plaza ini pula pengunjung sering menikmati datangnya sunrise atau sunset. Selain itu, ternyata tempat ini juga sering digunakan untuk pesta pernikahan lho.

Pemandangan dari atas plaza

Pemandangan dari atas plaza

Berfoto di atas plaza Andrawina

Berfoto di atas plaza Andrawina

Dari plaza Andrawina itu kami berjalan lagi menuju kompleks situs Ratu Boko. Perlu diketahui, situs Ratu Boko ini diduga kuat merupakan bekas bangunan keraton atau istana raja. Sama sekali berbeda dengan situs-situs candi pada umumnya yang merupakan tempat pemujaan atau ibadah. Lebih lengkapnya, informasi penelitian mengenai situs Ratu Boko ini dapat dibaca di Wikipedia atau di sini atau di sini.

Situs yang menempati lahan seluas 250.000 m2 ini memiliki bangunan-bangunan yang terdiri atas gapura utama, lapangan, candi pembakaran, kolam, pendapa, kompleks keputren dan kompleks gua. Di sebelah utara candi pembakaran terdapat gardu pandang yang berada di atas bukit. Dari gardu pandang itu kita bisa melihat pesona kawasan Jogjakarta dengan sebagai latar belakangnya dari ketinggian. Di halaman depan dekat pintu masuk wisata dan sebelum gapura utama ada sebuah kandang rusa di sana. Kalau yang ini, tentu saja bukan termasuk peninggalan Ratu Boko. 😀

Oiya, ada yang kelupaan. Ada charge yang harus kita bayar kalau kita mau memakai kamera atau cam recorder di dalam kompleks Ratu Boko. Kamera Rp5.000, dan Continue reading

Beli Tiket Kereta Api Termepet

Mungkin ini adalah pengalamanku termepet membeli tiket kereta api. Bayangkan, aku membeli tiket kereta api Turangga pukul 18.59. Padahal kereta akan berangkat pukul 19.00. Jadi hampir tidak ada semenit jeda antara aku membeli tiket dan naik ke dalam kereta.

Makanya, begitu aku membeli tiket kereta, langsung saja aku ambil langkah seribu menuju kereta. Benar saja, begitu aku lompat ke dalam kereta, secara perlahan kereta mulai berjalan. Nggak biasanya aku naik kereta semepet itu. Maklum saja, kepulangan malam hari itu memang benar-benar tidak aku rencanakan. Sorenya sehabis tanding voli membela HMIF di olimpiade di kampus, tiba-tiba langsung kepikiran pingin pulang ke Malang. Hihihi… Ada-ada saja.

Tiket KA bersejarah :)

Tiket KA bersejarah 🙂