Sabtu, 1 Januari 2011. Wah, sudah sampai hari ke-9 aja. Waktu ternyata berjalan begitu cepat. Hari ke-9 ini sesuai rencana adalah hari terakhir kami melakukan tur Bali-Malang-Jogja.
Pagi itu tampaknya anak-anak masih merasakan kantuk yang cukup berat. Wajar saja, malamnya kami baru kembali ke stasiun Tugu jam 1 dan baru bisa tidur mungkin sekitar jam setengah 2 dini hari. Tapi aku beruntung pagi itu ketika terbangunkan karena ada seorang calon penumpang yang tiba-tiba menyenggol kakiku saat sedang tidur di bangku stasiun. Kenapa beruntung? Karena saat aku terbangun pas sekali adzan shubuh di mushola stasiun itu berkumandang. Aku pun tidak ketinggalan sholat shubuh berjamaah di mushola stasiun.
Namun, rasa kantuk ternyata masih menderaku. Habis sholat aku pun mencari tempat kosong untuk berbaring lagi. Tapi ada yang beda dengan stasiun saat itu. Di mana-mana banyak orang tiduran. Tampaknya mereka sama seperti kami backpacker-backpacker yang menumpang tidur dan mandi di stasiun. Pantas saja kamar mandi antrinya panjang banget. Akhirnya aku terpaksa tidur sambil duduk saja.
Yang namanya tidur sambil duduk memang nggak nyaman. Makanya, tidak sampai satu jam aku terbangun dan sudah tidak bisa tidur lagi. Ternyata stasiun sudah dipenuhi calon penumpang saat aku terbangun. Satpam-satpam stasiun pun bertindak. Orang-orang yang tiduran di bangku pun dibangunkan semua agar bangku-bangku stasiun itu dapat ditempati calon penumpang “sungguhan”.
Memburu tiket bus malam di terminal Giwangan
Seperti yang sudah aku bilang di awal, stasiun pagi itu sangat ramai, begitu pula antrian kamar mandinya. Karena itu, nggak enak juga sama pengantri yang lain saat menggunakan kamar mandi itu. Akhirnya aku cuma cuci muka dan gosok-gosok badan saja pagi itu.
Habis bersih-bersih diri kami pergi menuju shelter Malioboro I untuk menyegat busway. Tujuan kami kala itu akan pergi ke terminal bus Giwangan untuk membeli tiket bus balik ke Bandung. Kami terpaksa berencana membeli tiket bus karena kehabisan tiket KA Malabar ekonomi yang ke Bandung.
Wah, mahal amat tiket bus malam ke Bandung. Entah karena memang musim liburan atau karena mereka ingin menipu kami, harganya tinggi sekali saat itu. Harga tiket bus K#amat D#ati sampai Rp150.000 dan bisa ditawar sampai Rp135.000. Sementara itu bus R#jaw#li harganya Rp120.000 tapi non-AC. Mahal amat ya. Sayangnya Bus B#dim#n yang biasa aku naiki Bandung-Jogja, tidak buka agen di terminal itu. Kalau hari biasa dia cuma Rp80.000 saja (setahun lalu). Akhirnya, kami pun membatalkan niat untuk menaiki bus malam. Pilihan terakhir kami jatuh ke KA Kahuripan yang berangkat pukul 20.15 dari stasiun Lempuyangan, Jogja.
Menengok daerah letusan Merapi
Dari shelter terminal Giwangan kami naik busway jalur 3A menuju shelter Kenthungan. Dari shelter Kenthungan kami berjalan sebentar menuju perempatan Ring Road Utara, tepatnya sekitar Jalan Raya Kaliurang Km 6. Kami melanjutkan perjalanan dengan menaiki bus Jogja-Kaliurang. Ongkos bus dari Ring Road menuju Kaliurang itu Rp5.000 per orang. Kami sendiri tidak turun sampai terminal Pakem, tapi turun di pertigaan besar dekat pasar Pakem.
Kami sempat bingung akan melanjutkan perjalanan ke Merapi dengan apa. Padahal perjalanan masih jauh. Kata salah satu penduduk di sana jaraknya kurang lebih sekitar 16 km lagi. Gayung bersambut, ternyata di sana terdapat pangkalan ojek yang menawarkan jasa perjalanan ke Merapi melihat daerah bekas letusan Merapi.
Kami sempat melakukan tawar menawar dengan bapak tukang ojeg yang kami datangi pertama. Gila aja, beliau menawarkan Rp100.000 per orang untuk sampai di desa Kinahrejo tempatnya Mbah Maridjan itu. Alasan beliau, situasi saat itu sedang ramai, banyak orang berlibur. Tapi tambah beliau, itu belum termasuk uang sukarela untuk warga daerah korban letusan. Padahal kata beliau, posnya itu nggak cuma satu. Wah, kami jadi berpikir ulang untuk pergi ke sana.
Kami pun berlalu menuju pangkalan ojeg yang lain. Di sanalah akhirnya kami deal dengan tukang ojeg mengenai ongkos ke daerah korban letusan itu. Ongkos per orang Rp70.000. Kata tukang ojeg kalau hari biasa, biasanya Rp50.000. Lagi-lagi alasan musim liburan dan jalanan ramai kena macet orang-orang yang mau ke Merapi, sehingga ongkosnya naik. Entah benar atau tidak. Tapi, ya sudahlah kalau begitu. Kami pun jadi pergi ke sana.
Singkat cerita, kami akhirnya tiba di suatu daerah yang bernama Kalikuning. Sesampainya di sana kami membayar Rp10.000 per orang kepada warga sana. Terus terang kami nggak tahu mekanisme pembayaran masuk di sana karena ini benar-benar pengalaman pertama dan kami juga belum punya cerita dari teman-teman dekat yang pernah ke sana sehingga bisa dijadikan bahan komparasi. Kami sih berpikir positif saja, mereka tidak sedang menipu kami. 😦
Di kawasan Kalikuning itu kami melihat sisa-sisa hutan yang pepohonannya sudah pada gundul dan mati akibat wedhus gembel dan juga lahar dingin yang melintasi daerah itu. Sesaat aku berpikir, subhanallah… begitu besarnya kekuasaan Allah. Jika Dia sudah berkehendak, kun fayakun, jadilah maka jadilah. Daerah itu yang sebelumnya dipenuhi pepohonan hijau dan menjadi tempat tinggal makhluk-makhluk-Nya sekarang musnah begitu saja. namun, seiring berjalannya waktu, daerah itu mulai ditumbuhi tunas-tunas tanaman hijau yang masih mungil-mungil yang Insya Allah semakin lama akan membuat daerah itu hijau kembali.
Oiya, saat melihat-lihat kondisi daerah itu, kami juga ditemani seorang pemuda yang juga penduduk asli daerah itu. Dia banyak bercerita mengenai kondisi Merapi saat meletus, kondisi sesungguhnya mbah Maridjan saat meninggal, hingga perkembangan daerah itu pasca letusan Merapi. Mengenai kondisi mbah Maridjan di mana media-media mengatakan bahwa beliau sedang bersujud (seolah-olah sudah pasrah akan datangnya kematian) ketika meninggal, hal itu diluruskan oleh pemuda itu. Sebenarnya, saat itu beliau juga ingin turun bersama warga yang lain. Akan tetapi, nasib berkata lain. Beliau tertimpa runtuhan balok kayu dan jatuh tersujud hingga akhirnya ikut terkena wedhus gembel.
Dari pemuda itu kami juga ditunjukkan Desa Kinahrejo tempat tinggal mbah Maridjan. Tapi sayangnya ternyata jauh dari Kalikuning itu. Kami pun sempat merasa ditipu tukang ojeg itu karena tujuan kami sebenarnya ingin pergi ke sana juga. Kami sempat protes kepada tukang ojeg itu karena tidak jadi diantarkan ke sana. Tapi tukang ojeg berdalih jalanan menuju ke sana macet, bakal lama sampai sana sehingga nggak akan terburu. Bisa-bisa baru balik ketika hari sudah gelap. Ya sudahlah. Akhirnya, untuk menutupi “kekurangan” itu saat pulangnya, kami minta diantarkan hingga tempat untuk nyegat kendaraan umum yang balik ke Jogja (habisnya lumayan jauh sih jarak dari pangkalan ojeg itu ke terminal).
Yak, inilah foto-foto ketika berkunjung ke daerah Kalikuning itu. Mohon maaf sebagian foto ada yang kurang begitu jelas karena terpaksa menggunakan kamera handphone yang sudah jadul.
Kembali ke Bandung
Puas memenuhi hasrat ingin tahu akan kondisi terbaru daerah yang terkena letusan Merapi, kami kembali lagi ke Jogja. Kami diantar tukang ojek itu sampai terminal Pakem. Di sana kami melanjutkan lagi naik kendaraan umum dengan mobil jenis L300. Kami sempat diturunkan di tengah jalan karena saking sepinya. Akhirnya kami ganti naik minibus Kaliurang-Jogja. Herannya bus yang satu ini malah cukup ramai penumpang. Kami turun di shelter Kenthungan untuk ganti kendaraan dengan busway menuju shelter Malioboro. Kami harus naik busway dua kali untuk menuju Malioboro. Pertama naik busway ke terminal Jombor, baru setelah itu ganti naik busway busway yang menuju ke Malioboro.
Sampai di Malioboro kami langsung mengambil tas di stasiun Tugu. Tanpa banyak mengulur waktu, kami langsung kembali lagi ke shelter Malioboro untuk menaiki busway menuju stasiun Lempuyangan. Hari sudah malam ketika kami sampai di stasiun Lempuyangan, yaitu sekitar pukul 19.15. Sesampainya di sana kami langsung membeli tiket KA Kahuripan untuk 3 orang ke Bandung dengan ongkos per orangnya Rp 24.000.
Suasana stasiun kala itu sangat ramai. Bahkan, untuk kereta tujuan Jakarta seperti KA Gaya Baru Malam Selatan, banyak penumpang yang terpaksa tidak bisa naik karena saking ramainya. Selain itu, hujan rintik-rintik juga mewarnai malam sebelum kembalinya kami ke “kehidupan sebenarnya” di Bandung.
Kereta yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kereta sempat mengalami keterlambatan sekitar setengah jam dari jadwal yang seharusnya. Lagi-lagi, kami tidak dapat tempat duduk sepanjang perjalanan. Tapi Khairul dan Neo lebih beruntung karena bisa dapat tempat duduk di tengah-tengah penumpang dengan menduduki kardus-kardus penumpang yang kebetulan besar-besar dan diperbolehkan si empunya. Aku sendiri terpaksa duduk di bordes sambil sesekali terkena tetesan air karena atap kereta yang bocor :D. Keesokan harinya kami tiba dengan selamat di stasiun Hall Bandung sekitar pukul 8.00. Alhamdulillah…