Jumat, 31 Desember 2010. Stasiun Tugu Jogjakarta ini tampaknya akan menjadi “rumah” kami selama berada di Jogjakarta. Bagaimana tidak, demi pengiritan pengeluaran, untuk urusan tidur dan mandi, semua kami lakukan di stasiun itu. Selain itu, carrier-carrier yang kami bawa juga kami titipkan di tempat penitipan barang di selatan stasiun.
Seperti pada pagi hari itu. Begitu sholat shubuh kami langsung mandi di toilet umum di sebelah mushola stasiun Tugu. Nggak bawa sabun mandi? Beli saja di bapak penjaga toilet itu. Selain sabun mandi, bapak itu juga menjual sampo dan peralatan mandi lainnya.
Selesai mandi, aku dan kawan-kawan menikmati udara pagi itu di stasiun sambil mengamati kereta api yang datang dan pergi di stasiun itu. Di dekat pintu masuk peron timur terdapat spot tourist information center yang dapat menjadi tempat bertanya mengenai pariwisata di Jogjakarta ini. Di sana kita juga bisa memperoleh peta wisata Jogjakarta secara gratis. Aku pun memanfaatkan fasilitas itu untuk bertanya mengenai jalur-jalur busway menuju tempat wisata yang ada di Jogja.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Tempat penitipan barang yang berada di bangunan selatan stasiun sudah buka. Kami pun segera menitipkan barang-barang kami di tempat itu. Biaya untuk sewa satu loker (ukuran lumayan besar, bisa menampung hingga 3-4 tas besar) mulai dari pagi sampai malam adalah Rp10.000. Di parkir selatan stasiun sebenarnya juga menerima penitipan barang. Lebih murah, cuma Rp1.000 per tas. Tapi demi alasan keamanan kami memilih tempat penitipan yang lebih mahal itu.
Dari stasiun kami beranjak menuju shelter Malioboro I yang berada tidak jauh dari stasiun. Kira-kira hanya 5 menit dengan jalan kaki untuk mencapai sana. Tarif “masuk” shelter itu adalah Rp3.000 dan kita bisa naik busway sepuasnya, termasuk berganti-ganti busway, asalkan kita belum keluar meninggalkan shelter :D. Tujuan kami saat itu adalah ke Candi Prambanan. Kami ke sana dengan menaiki busway jalur 1A dan menempuh perjalanan sekitar 1 jam.
Wisata Candi Prambanan dan Situs Ratu Boko
Aku tak ingat kapan terakhir kali berwisata ke candi Prambanan ini. Yang kuingat, sudah dua kali aku ke sana. Pertama, saat liburan kelulusan SD bersama teman-teman satu sekolah (tahun 2001), dan kedua, jalan-jalan bersama keluarga saat lebaran di Jogjakarta (lupa kapan).
Ada yang berbeda dengan wisata Candi Prambanan saat ini. Saat akan masuk, kita ditawari apakah mau mengambil paket wisata ke Situs Ratu Boko juga atau tidak. Jika iya, tiket masuknya Rp30.000 dan jika tidak (hanya ke Candi Prambanan saja), tiket masuknya Rp23.000. Karena selisihnya tanggung banget, kami pun ambil saja paket yang include wisata Situs Ratu Boko itu.
Dari Prambanan ke Ratu Boko kami menaiki kendaraan yang sudah disediakan oleh pengelola wisata setempat. Sistemnya antar jemput pulang-pergi dari Ratu Boko-Prambanan. Tapi, begitu ada mobil yang stand by kita bisa langsung menaikinya selama masih ada tempat duduk tersisa. Jika tidak, terpaksa harus mengantri dulu dengan calon penumpang yang lain. Oiya, Jarak kompleks Prambanan-Ratu Boko hanya 2 km saja. Jadi perjalanan Ratu Boko-Prambanan ini tidak lama, paling cuma sekitar 15 menit.
Di Candi Ratu Boko
Begitu tiba di kompleks Situs Ratu Boko kami berjalan menuju plaza Andrawina (sebuah halaman dengan paving block yang luas) yang berada di dekat pintu masuk kompleks tersebut. Dari atas plaza tersebut kami bisa melihat pemandangan luas ke arah kompleks Candi Prambanan dan wilayah Jogjakarta. Aku membayangkan pasti pemandangan saat malam hari akan lebih indah dilihat dari atas sini karena akan terlihat gemerlap lampu di bawah sana. Dari atas plaza ini pula pengunjung sering menikmati datangnya sunrise atau sunset. Selain itu, ternyata tempat ini juga sering digunakan untuk pesta pernikahan lho.
Dari plaza Andrawina itu kami berjalan lagi menuju kompleks situs Ratu Boko. Perlu diketahui, situs Ratu Boko ini diduga kuat merupakan bekas bangunan keraton atau istana raja. Sama sekali berbeda dengan situs-situs candi pada umumnya yang merupakan tempat pemujaan atau ibadah. Lebih lengkapnya, informasi penelitian mengenai situs Ratu Boko ini dapat dibaca di Wikipedia atau di sini atau di sini.
Situs yang menempati lahan seluas 250.000 m2 ini memiliki bangunan-bangunan yang terdiri atas gapura utama, lapangan, candi pembakaran, kolam, pendapa, kompleks keputren dan kompleks gua. Di sebelah utara candi pembakaran terdapat gardu pandang yang berada di atas bukit. Dari gardu pandang itu kita bisa melihat pesona kawasan Jogjakarta dengan sebagai latar belakangnya dari ketinggian. Di halaman depan dekat pintu masuk wisata dan sebelum gapura utama ada sebuah kandang rusa di sana. Kalau yang ini, tentu saja bukan termasuk peninggalan Ratu Boko. 😀
Oiya, ada yang kelupaan. Ada charge yang harus kita bayar kalau kita mau memakai kamera atau cam recorder di dalam kompleks Ratu Boko. Kamera Rp5.000, dan video Rp7.500. Kurang tahu juga alasannya kenapa harus bayar.
Lumayan jauh juga ternyata mengelilingi kompleks Ratu Boko itu mulai dari gapura, lapangan, pendapa, “goa”, lapangan, candi pembakaran, gardu pandang, dan kembali ke gapura utama lagi. Kompleks wisata Ratu Boko ini ternyata juga bersinggungan langsung dengan pemukiman penduduk yang berada di daerah sekitar sana.
Kala itu kami sempat bertemu seorang kakek yang sudah sangat tua di dekat “goa” di kompleks Ratu Boko itu (aku lupa nama goanya). Kalau nggak salah beliau sempat mengatakan usianya sudah 85 tahun. Kakek itu sempat bercerita tentang sejarah goa itu juga. Selain itu, si kakek juga sempat memberikan nasihat-nasihat kepada kami. 😀
Di Candi Prambanan
Dari Ratu Boko balik lagi ke kompleks candi Prambanan. Seperti yang sudah kuceritakan di awal, ini adalah kali ketiga aku berkunjung ke candi Prambanan. Agak bosan juga sih. Beda mungkin ya “sensasi”nya saat masih SD. Kalau dulu saat masih SD ke sini rasanya senang banget karena bisa melihat langsung objek-objek yang memang sedang dipelajari di sekolah.
Makanya di kompleks Prambanan ini aku tidak terlalu antusias untuk memasuki candi-candi yang ada di sana. Apalagi ada sebagian candi yang tidak boleh dimasuki karena sedang dalam renovasi akibat Gempa 2006 lalu. Nah, di Prambanan ini aku cuma memosisikan diriku sebagai pendamping saja bagi dua teman kuliahku yang baru pertama ke sini dan oiya, ada satu lagi, kenalkan namanya mbak Mita, dia dari Bandung juga sama seperti kami. Kami bertiga berkenalan dengan kakak itu setelah secara kebetulan terus berada di tempat yang sama mulai dari stasiun Tugu, busway, hingga Candi Prambanan ini. Karena kakaknya sendirian, ya sudah kami ajak ngobrol hingga akhirnya jalan bareng.
Kami juga sempat mengelilingi kompleks Prambanan di sana dengan menaiki kereta-keretaan (odong-odong kan istilahnya?). Per orang dikenakan biaya Rp5.000. Sepanjang perjalanan kita dapat melihat candi Bubrah, Candi Lumbung, dan Candi Sewu yang letaknya masih berada di kompleks itu. Khusus untuk Candi Sewu, kita diberi kesempatan untuk turun dan berjalan-jalan di sana selama kurang lebih 5 menit.
Tampaknya kereta tadi memang didesain untuk sekalian mengantarkan pengunjung ke pintu keluar. Kesannya sebenarnya tampak seperti “mengusir” pengunjung karena mana tahu ada pengunjung yang masih belum ingin pulang tapi kok tahu-tahu kereta berhenti di dekat pintu keluar dan pak “masinis” berkata “pintu keluarnya di sebelah sana ya”. Tapi bagi kami memang tidak masalah karena kebetulan kami memang ingin keluar. Tapi aku positive thinking saja, mungkin pak “masinis cuma mau ngasih tahu saja kalau pintu keluarnya di sana. 😀
Sepertinya tempat-tempat wisata yang ada pos pemeriksaan tiket masuk sekarang (setidaknya yang sudah pernah kukunjungi), pintu keluarnya (kadang-kadang pintu masuk juga) memang dirancang untuk menyusuri area pasar souvenir terlebih dahulu baru bisa benar-benar “keluar” :D. Jadi, mau tidak mau kita pasti akan menengok kepada souvenir-souvenir yang dijajakan itu. Perasaan kok dulu nggak begitu ya. Tapi bagus juga sih, jadi ikut membantu melariskan barang-barang pedagang itu.
Keluar dari Prambanan, rombonganku berpisah dengan mbak Mita. Dia akan melanjutkan perjalanan ke manaaa gitu (aku lupa). Katanya sekitar 13 km dari Prambanan. Wah, mbak ini benar-benar hebat, backpacking sendirian :D. Setelah berpisah dengan mbak Mita, aku dan kawan-kawan berjalan menuju masjid besar yang berada persis di depan kompleks Prambanan itu untuk menunaikan sholat Jumat.
Benteng Vredeburg
Seusai sholat Jumat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju benteng Vredeburg yang berada di kawasan Malioboro. Kami pergi ke sana dengan menaiki bus TransJogja jalur 1A. Menyenangkan sekali di Jogja ada moda transportasi seperti bus TransJogja atau busway ini. Setelah panas-panasan di bawah terik matahari langit Jogjakarta, kami langsung merasakan kesejukan begitu menaiki busway ini karena ada AC di dalamnya. 😀
Tiket masuk beteng Vredeburg ini sangat murah, hanya Rp2.000 per orang. Dengan uang segitu kita bisa menikmati diorama-diorama yang menampilkan ilustrasi sejarah kemerdekaan Indonesia, terutama saat Jogjakarta menjadi ibukota sementara Republik Indonesia saatagresi militer Belanda pasca kemerdekaan. Diorama-diorama itu juga disertai audio-audio narasi yang menceritakan masing-masing ilustrasi itu. Uniknya audio itu dapat kita setel sendiri dengan menekan tombol yang ada di depan kotak diorama-diorama itu.
Diorama-diorama itu disebar ke dalam 4 bangunan di lokasi Vredeburg itu, dan diberi nama Diorama 1, Diorama 2, Diorama 3, dan Diorama 4. Urutan diorama tersebut tidak sekedar angka biasa, tapi juga merepresentasikan urutan kronologis sejarah kemerdekaan Indonesia.
Di Vredeburg itu kita juga dapat bersepeda onthel yang disewakan di sana. Sayang aku nggak ingat berapa harga sewanya.
Selesai melihat diorama-diorama dan berkeliling kompleks vredeburg, kami menyudahi diri dan meninggalkan vredeburg menuju keraton Jogjakarta. Sayangnya, kami datang terlalu sore, sehingga pintu masuk untuk wisatawan sudah ditutup. Akhirnya kami foto-foto saja dari belakang (atau depan?) keraton yang berbatasan dengan alun-alun Jogjakarta itu.
Balik ke Stasiun Tugu
Tak terasa waktu maghrib sudah akan tiba. Kami pun berjalan lagi untuk balik ke stasiun tugu. Di tengah perjalanan kami bertiga menyempatkan diri untuk mampir ke pedagang-pedagang yang berada di sepanjang jalan malioboro itu sambil melihat-lihat souvenir yang mereka jajakan. Neo dan Khairul membeli batik di sebuah toko batik yang berada di kawasan Malioboro sebagai oleh-oleh untuk saudara mereka di Sumatera barat dan juga membeli kaos untuk mereka pakai sendiri. Sedangkan aku, di sana cuma mampir beli satu kaos dan satu celana saja.
Wah, ternyata di Malioboro ada Ind#mar#t juga. Asyiknya di sana ada tempat colok dan wifi gratis. Kami pun menyempatkan diri mampir sambil beli sesuatu di sana. Lumayan bisa mengisi ulang energi baterai kamera dan handphone yang sudah mau habis. 😀
Cukup lama kami di sana. Mungkin ada sekitar 1-2 jam. Lumayanlah kamera dan handphone kami akhirnya bisa terisi penuh.
Dari Ind#mar#t kami lanjut jalan lagi dan sampai di stasiun Tugu saat waktu sudah menunjukkan sekitar pukul setengah 9 malam. Lalu kami berjalan menuju tempat penitipan barang di stasiun Tugu. Kami berencana menitipkan tas hingga sore keesokan harinya. Oleh petugasnya diperbolehkan tapi diminta untuk menambah Rp10.000 lagi.
Habis memperpanjang penitipan tas kami masuk ke dalam stasiun Tugu dengan membayar peron Rp2.500 per orang. Di dalam stasiun kami menunaikan sholat dan bersih-bersih diri di toilet gratis yang ada di sana. Setelah semuanya beres, kami cabut lagi ke Malioboro untuk makan malam sekalian menikmati keramaian malam di Jogjakarta saat itu.
Kebetulan malam itu adalah malam pergantian baru. Suasana Malioboro sangat ramai saat itu, penuh dengan lautan manusia. Tak heran, sebab di sanalah pusat tumpah ruahnya masyarakat Jogja untuk merayakan pergantian malam tahun baru.
Menikmati Malam Jogjakarta
Di sepanjang trotoar timur jalan Malioboro banyak terdapat warung-warung lesehan yang nyaman untuk disinggahi. Karena aku lagi ngidam makan bakmi Jogja/Jawa, aku pun merekomendasikan itu ke anak-anak. Sudah lama aku nggak makan bakmi Jogja ini. Sayangnya aku tidak ingat tempat pertama kali aku makan bakmi Jogja itu. Waktu itu diajak keluarga makan bareng di sana dan aku langsung ketagihan :D.
Susah sekali mencari menu bakmie Jogja di antara deretan warung lesehan itu. Kebanyakan memang hanya menyediakan menu lalapan atau nasi goreng saja. Tapi, setelah berjalan sekitar puluhan meter dari ujung jalan Malioboro akhirnya ketemu juga warung yang menyajikan menu yang kami cari itu. Meskipun harganya mahal, Rp15.000, aku nekad beli saja. Namanya juga orang ngidam. Lagi pula kapan lagi aku sempat pergi ke Jogja kalau nggak sekarang. Hehehe… 😀
Habis makan malam, kami berjalan lagi menuju benteng Vredeburg. Semakin malam ruas jalan Malioboro semakin ramai. Orang jalan pun sampai kena macet. Ada yang menarik saat menjelang malam pergantian baru di Malioboro itu. malam itu rombongan komunitas sepeda pancal dari berbagai jenis sepeda melakukan pawai melalui ruas jalan Malioboro itu. Selain itu, ada juga rombongan anak-anak remaja entah dari mana yang menggunakan kostum seperti pakaian khas bangsa Romawi yang berjalan-jalan di sepanjang pinggiran jalan Malioboro.
Malam hari itu di Jogjakarta ditutup dengan pesta kembang api di atas langit perempatan dekat monumen “Serangan Oemoem 11 Maret”.
Ditunggu tulisannya tentang berapa total ongkos yang kalian keluarkan untuk menikmati perjalanan Bandung – Bali- Malang- Yogya ini, Dhito?
LikeLike
Oh, iya pak. Siap. 🙂
LikeLike
Menarik Mas, info yang saya cari adalah tempat penitipan barang di Stasiun Tugu karena saya berencana mau datang ke nikahan teman saya, tetapi malam harinya langsung berangkat dengan KA ke Bandung.
Jam berapa ya tempat penitipan ini tutup, mengingat kereta saya jadwalnya berangkat jam 23.00
Terima kasih
LikeLike
Alhamdulillah, kalo tulisan saya bermanfaat. Mengenai tempat penitipan, itu cuma sampai jam 10 malam aja mas (22.00). Jadi nggak terlalu jauhlah rentang waktunya sama jam keberangkatannya mas.
LikeLike