Judul: Rendang Traveler: Menyingkap Bertuahnya Rendang Minang Penulis: Reno Andam Suri Penerbit: Terrant Ink Tahun Terbit: 2012 Tebal: 200 halaman
Akhir Juni kemarin di jagat dunia maya Indonesia sempat heboh dengan berita penayangan episode kuliner Gordon Ramsay di National Geographic yang mengeksplorasi kekayaan kuliner khas Sumatra Barat, khususnya rendang. Maklum, sebagai orang Indonesia tentunya kita bangga masakan khas dari negara kita tercinta ini bisa diangkat di sebuah channel yang ditonton oleh jutaan orang di seluruh dunia.
Di circle media sosial saya, terutama mereka yang paham seluk-beluk mengenai masakan rendang tidak ketinggalan untuk memberikan opininya. Terutama terkait dengan masakan yang rendang yang dibuat oleh Gordon Ramsay.
Hingar bingar pembahasan tentang rendang yang mewarnai pemberitaan di berbagai media massa online dan media sosial saat itu membuat saya tertarik untuk mengenal lebih dekat terhadap dunia perendangan.
Saya kemudian secara impulsif mencari buku yang membahas mengenai rendang. Beberapa hasil penelusuran online saya banyak yang menjadikan buku Rendang Traveler sebagai referensi. Saya pun membeli buku tersebut di salah satu toko online.
Sesuai judulnya, Rendang Traveler ini bisa dibilang merupakan sebuah catatan Reno dari hasil perjalananannya mengeksplorasi khazanah kuliner Rendang di tanah kelahirannya, ranah Minang.
Karena itu, sudut pandang yang diberikan di dalam buku ini lebih banyak ditulis mengalir mengikuti dimensi waktu dan lokasi layaknya seorang traveler dalam menceritakan itinerary-nya. Ia tidak melulu bercerita tentang rendang. Tapi juga mengenai objek-objek wisata yang menarik atau tempat kuliner di daerah yang ia kunjungi.
Sementara itu, segala hal tentang rendang di buku ini sendiri, kebanyakannya memang merupakan hasil wawancaranya baik dengan berbagai pelaku kuliner atau masyarakat setempat di sana. Dalam cerita itu ada banyak pengetahuan yang bisa kita dapatkan dari mereka yang memang sudah secara turun-temurun mewarisi dan menjaga tradisi teknik pengolahan beraneka jenis rendang.
Selama ini kita yang bukan orang Minang mungkin hanya mengenal rendang sebagai olahan makanan berbahan daging atau ayam. Rupanya tidak selalu. Di tanah asalnya, ada berbagai jenis rendang yang bahannya mungkin tidak pernah kita sangka.
Setiap daerah di Sumatra Barat umumnya masing-masing memiliki jenis rendang yang khas atau populer di sana. Di Desa Parambahan, Batu Sangkar misalnya. Di sana dalam setiap acara adat selalu disajikan rendang belut sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu undangan.
Sementara itu di daerah pesisir, seperti Painan dan Pariaman, kita bisa menjumpai rendang lokan. Lokan adalah kerang dengan cangkang yang cukup besar yang biasa ditemui di muara sungai. Ada cerita juga mengenai bagaimana tradisi menangkap lokan ini.
Selain kedua jenis rendang itu, masih banyak jenis rendang lainnya yang diceritakan di buku ini. Ada rendang itiak dan rendang jariang (jengkol) di Bukittinggi. Lalu, ada rendang pensi di Maninjau, Agam.
Lainnya ada rendang daun kayu, rendang paru, rendang runtiah, rendang sapuluik itam (ketan hitam), rendang tumbuak, rendang telur, rendang cubadak (nangka), dan rendang batokok. Semua yang disebutkan baru saja ini merupakan rendang-rendang hasil penelusuran di Payakumbuh, kampung halaman Reno.
Rendang sendiri sebenarnya bukan nama masakan. Tetapi secara bahasa kurang lebih artinya adalah “menggongseng” atau mengaduk secara terus-menerus. Karena itu banyak bahan yang bisa direndang sebetulnya. Dan setiap bahan kita harus paham bagaimana perlakuannya karena jika tidak hati-hati, bahan yang dimasak bisa hancur saat proses pembuatan rendang.
Jumlah kelapa yang digunakan untuk pembuatan rendang ternyata juga berbeda tergantung pada daerahnya. Kelapa yang berasal dari daerah pantai ternyata memiliki rasa yang lebih manis dan banyak santannya.
Jumlah kelapa yang dipakai untuk 1 kg daging atau bahan rendang, biasanya berkisar 3-5 kelapa. Jika memakai kelapa dari daerah pegunungan, kita akan memerlukan jumlah lebih banyak dari itu.
Di Sumatra Barat, mungkin karena kebutuhan kelapa yang tinggi, ternyata sampai ada profesi pengambil kelapa di sana. Dan siapa sangka ternyata mereka juga memanfaatkan monyet untuk mengambil kelapa dari pohon-pohon yang tinggi menjulang itu. Monyet-monyet tersebut sudah terlatih untuk mengambil kelapa sesuai arahan dari sang pemiliknya di bawah.
Semua hal yang dibahas dan diceritakan oleh Reno dalam buku ini diabadikannya dalam berbagai foto berwarna yang sangat cantik. Jadi seketika itu juga selain membaca, kita juga bisa langsung mendapatkan bayangan bagaimana tampilan masakan atau objek-objek lainnya yang menjadi fokus cerita.
Reno bukan sekedar traveler. Dirinya yang merupakan putri Minang menurut saya berhasil membuat bonding dengan masyarakat yang ditemuinya sehingga informasi yang digalinya bisa mengalir dengan enak dan cukup lengkap. Mungkin karena latar belakangnya juga sebagai pengusaha rendang “Uni Farah”, ia cukup paham juga mengenai dunia perendangan ini.
Menarik juga mempelajari khazanah perendangan ini. Makanan rendang ini memang sudah melekat sekali dalam kehidupan masyarakatnya sehingga bisa dikatakan sebagai bagian dari budaya Minang.