Tag Archives: jalan-jalan

Trekking di Tahura

Trekking ke Curug Omas Maribaya

Minggu lalu 2 hari sebelum puasa Ramadan, saya main ke Tahura (Taman Hutan Rakyat) Ir. H. Djuanda Bandung bersama teman saya. Setelah beberapa kali ke sana baru kali ini saya trekking sampai ke Curug Omas Maribaya 😬. Dari gerbang depan Tahura Dago Pakar, Curug Omas ini jaraknya sekitar 5,5 km.

Sebelumnya paling pol saya cuma pernah trekking sampai jembatan yang terletak di samping jalan tikus menuju perkampungan warga. Padahal dari jembatan tersebut rupanya tinggal 500 meteran lagi ke Curug Omas.

Kalau menurut catatan aplikasi Strava saya, total jarak tempuh ada 11,7 km pulang-pergi (PP). Semestinya bisa lebih pendek lagi kalau dari pintu masuk utama Anda langsung berjalan straight ke arah timur laut (menuju Goa Belanda). Nah kemarin kami muter dulu lewat arah barat daya (menuju Kolam Pakar kemudian putar balik menyusuri jalur paving menuju Goa Jepang). Nah, jika langsung ke Goa Belanda, mungkin bisa menghemat 500 meteran.

Pintu masuk Goa Belanda

Jalur trekking menuju Curug Omas Maribaya ini cukup straightforward. Kita tinggal mengikuti jalur paving saja hingga mentok. Insya Allah tidak akan tersasar. Memang ada beberapa percabangan sepanjang jalur tersebut, seperti ke jembatan gantung/penangkaran rusa, Batu Batik, dan Curug Lalay. Tapi jalur utama menuju Curug Omas Maribaya tetap terlihat paling jelas. Kalaupun kita belok ke Penangkaran Rusa, kita masih bisa meneruskan trekking lagi melewati jembatan PDAM untuk kembali lagi ke jalur utama tadi.

Continue reading
Advertisement

Hari Keempat di KL: Jalan-Jalan Keliling KL

Mungkin agak heran kenapa langsung aku skip ke hari keempat. Tak banyak yang diceritakan tentang kegiatanku di hari ketiga karena hari itu seharian adalah untuk urusan “kerjaan”. Jalan-jalan sih iya, tapi untuk urusan “kerjaan”. Oh ya, di hari ketiga ini aku sempat mampir juga ke kota Dasanrama (bener begitu kan tulisannya?). Tentu saja masih  dalam rangka urusan “kerjaan”. 😛

Nah, di hari Sabtu ini, atau hari keempatku berada di Malaysia, aku dan Jiwo memutuskan untuk memanfaatkan waktu kami untuk jalan-jalan keliling Kuala Lumpur. Tujuan pertama kami adalah Muzium Negara alias National Museum. Dari Taman Jaya — stasiun terdekat kawasan tempat kami menginap — kami menumpang kereta LRT menuju KL Sentral.

Dari KL Sentral sempat bingung juga mau ke arah mana untuk menuju ke Muzium Negara.  Kami benar-benar buta arah. Untung ada GPS. Buka aplikasi Google Maps, dan rute jalan kaki menuju Muzium Negara pun digenerasi oleh aplikasi. Kami mengikuti rute yang telah ditunjukkan. Sebenarnya jarak point to point-nya nggak jauh. Tapi karena akses jalan yang tersedia memaksa kita harus memutar, jadi jarak tempuhnya pun menjadi lebih jauh. Walaupun lumayan juga jalan kaki lebih dari sekilo, nggak apa-apalah, yang penting nggak nyasar, hehehe. 😀

Gerbang Muzium Negara

Gerbang Muzium Negara

Biaya masuk ke dalam museum ini adalah RM 5 atau hampir Rp 15.000 per orang untuk turis asing. Cukup mahal memang. Harga tiket untuk turis lokal dan turis asing memang dibedakan. Kami yang WNI pun tentu saja masuk kategori turis asing.

Ruang D Muzium Negara

Ruang D Muzium Negara

Secara umum, ruangan museum ini dibagi menjadi 4 berdasarkan perjalanan waktu sejarah yang dialami Malaysia. Ruang A untuk zaman prasejarah. Ruang B untuk zaman kesultanan atau saat masuknya Islam ke tanah melayu. Ruang C untuk zaman penjajahan dan Ruang D untuk masa modern.

Dari cara penyajian menurutku kemasannya tidak monoton alias objeknya cukup variatif. Tidak hanya menampilkan miniatur-miniatur orang-orangan yang rasanya sudah umum selalu ada di tiap museum sejarah. Di muzium negara ini ada replika kapal perang, tahta kesultanan, sel tahanan, dll. Selain itu dari segi desain interiornya juga cukup menarik alias tidak monoton.

Dari berbagai objek yang ada di museum mungkin yang paling menarik buatku adalah yang terdapat pada ruang modern, khususnya memorabilia video perjuangan tim bulutangkis Malaysia kala menjuarai Piala Thomas tahun 1992. Mungkin karena aku suka bulutangkis kali ya.

Tapi ngomong-ngomong, ada nggak sih museum yang menampilkan sejarah Indonesia di era modern ini? Khususnya yang menampilkan prestasi-prestasi yang sudah diraih negara kita di kancah internasional di era modern ini. Tak hanya sejarah perpolitikan saja.

Oh iya, dari sisi konten yang ditampilkan, menurutku masih lebih kaya museum di Indonesia, khususnya museum Benteng Vredeburg yang ada di Yogyakarta. Di sana benar-benar komplet menyajikan kronologis sejarah Yogyakarta dari masa prasejarah hingga masa penjajahan.

Pasar Seni

Pasar Seni

Oke, cukup dengan jalan-jalan ke museumnya. Kami pun langsung menuju ke Pasar Seni alias Central Market. Kita hendak cari oleh-oleh di sini. Dari Muzeum Negara kami berjalan kaki. Lumayan capai juga sih, jaraknya ada lah sekitar 1 km lebih. Kami juga sempat menyeberangi stasiun Kuala Lumpur yang rancang bangunannya khas masa kolonial.

Kalau mau mencari oleh-oleh “berbau” Malaysia yang murah, di Pasar Seni lah tempatnya.   Di sana banyak kios-kios yang menjual beraneka ragam souvenir Malaysia seperti gantungan kunci, miniatur Petronas, hiasan kulkas, kaos, dan kerajinan tangan lainnya.

Suasana di dalam Pasar Seni

Suasana di dalam Pasar Seni

Namanya juga pasar, kita bisa melakukan tawar-menawar di sana. Tapi, walaupun namanya pasar, kesan bersih tetap terjaga di lingkungan dalam Pasar Seni ini. Satu nilai positif untuk kita contoh.

Ada kejadian menarik waktu aku hendak membeli souvenir di salah satu toko di sana. Aku mencoba menawar dengan sok-sokan pakai aksen Melayu. Setelah beberapa percakapan, tiba-tiba Continue reading

Jalan-Jalan Ke Agrowisata Sondokoro Tasikmadu

Pada H+1 lebaran ini (Rabu, 31/8)–aku berlebaran tanggal 30/8–aku bersama keluarga besar Sragen jalan-jalan ke tempat wisata keluarga Agrowisata Sondokoro, Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Pada mulanya tempat ini merupakan pabrik gula saja, tempat melakukan penggilingan tebu dan pembuatan gula. Namun, pada perjalanannya untuk mendorong peningkatan industri pariwisata di Kabupaten Karanganyar, sejak tahun 2005 dibangun suatu tempat agrowisata yang lebih mengenalkan tentang pabrik gula sebagai ikon wisata.

Monumen lokomotif sepur lori

Monumen lokomotif sepur lori

Kami sekeluarga tiba di tempat agrowisata Sondokoro sekitar jam setengah sebelas siang. Cuaca saat itu panas menyengat. Namun, ketika masuk area wisata, hawa panas itu berganti menjadi hawa sejuk dan teduh karena banyaknya pohon-pohon besar yang rindang yang berada di area wisata. Melihat pohon-pohon yang begitu besar, aku menduga usia pohon-pohon itu sudah mencapai puluhan atau ratusan tahun.

Tiket masuk area wisata ini per orangnya adalah Rp5.000. Kurang tahu sih, apakah besarnya tiket masuk itu khusus saat momen lebaran saja atau memang biasanya segitu. Kalau memang khusus lebaran, berarti harusnya kalau hari biasa lebih murah lagi.

Rel lori yang melintas di tengah-tengah tempat wisata

Rel lori yang melintas di tempat wisata

Agrowisata Sondokoro memiliki banyak wahana di dalamnya. Setiap wahana, biasanya (atau bahkan semuanya) ditarik tiket masuk lagi. Wahana favorit di Sondokoro ini tentu saja wisata sepur lorinya. Ada banyak rangkaian sepur lori (kereta tebu) yang disiapkan di tempat wisata ini. Kereta tersebut siap berkeliling mengantarkan para pengunjung menikmati seantero tempat wisata ini.

Untuk lebih lengkapnya mengenai daftar wahana yang ada di Sondokoro, silakan lihat foto di bawah ini. 😀

Daftar wahana di Sondokoro

Daftar wahana di Sondokoro

Aku sendiri hanya menikmati wahana “terapi ikan” saja. Tiket masuknya Rp7.000. Di sana kaki kita dicelupkan ke dalam sungai buatan berukuran kecil di wahana tersebut. Tunggu saja, beberapa saat kemudian akan berdatangan ikan-ikan air tawar menciumi (baca: menggigit) kaki kita. Rasanya sih seperti dicubit kaki kita ini oleh ikan-ikan itu. Ikan-ikan yang ada di tempat terapi ikan Sondokoro ini antara lain meliputi ikan mujahir, mas, dan sebagainya.

Ikan-ikan berkumpul di sekitar kaki

Ikan-ikan berkumpul di sekitar kaki

Kesan pertama yang biasa dirasakan adalah sakit keenakan, tertawa geli, dan selanjutnya tubuh mulai merasa lemas, kemudian mengantuk karena nikmatnya suasana di sana yang sejuk dan tenang sambil diiringi gemericik suara air yang mengalir. Terapi ikan ini setelah kubaca dari artikel ini katanya dapat memberikan efek kesehatan bagi tubuh karena telapak kaki merupakan pusat aliran syaraf yang apabila ditotok bisa memperlancar peredaran darah serta membantu metabolisme tubuh. Selain itu gigitan ikan tersebut berguna juga untuk melepaskan kulit mati di sekitar telapak kaki dan jari-Jari. Dampak lainnya secara psikologis adalah membuat kita merasa lebih rileks sih menurutku.

Sayang sih nggak sempat mengeksplor lebih banyak wahana yang ada di Sondokoro. Maklum, keluargaku cucu-cucunya sudah pada besar-besar, hahaha. Sedangkan wahana yang ada di sana memang lebih cocok untuk orang tua bersama anak-anaknya yang masih sekolah atau balita. Lagipula kami juga cuma sebentar mengunjungi Sondokoro ini, cuma sekitar 2 jam di sana.

Sehabis dari Sondokoro, sebelum pulang, kami makan siang dahulu di Lembah Hijau Multifarm, masih di Karanganyar juga. Tempatnya nggak jauh dari Sondokoro. Cuma sekitar 20 menit perjalanan dengan menggunakan mobil.

Jalan-Jalan di Car Free Day

Pagi ini tadi saya jalan-jalan menikmati suasana pagi Kota Bandung di area Car Free Day (CFD) Dago. Akhirnya… 😀

Seriously, ini adalah pengalaman pertama saya jalan-jalan di CFD :P. Walaupun daerah kosan saya tidak berada jauh dari area CFD Dago, tapi entah kenapa saya kurang begitu berminat untuk main-main ke sana. Waktu hari Minggu pagi biasa saya habiskan untuk, kalau nggak main voli di kampus, lari pagi di SARAGA, atau nyuci-nyuci pakaian di kosan, hehehe.

Nah, pagi hari ini tadi rencana untuk main ke CFD akhirnya konkret juga. Bersama teman-teman sekontrakan seperti bung Adi, bung Kamal, dan bung Haris, serta bung Umar, kami berangkat bersama-sama ke kawasan CFD. Ternyata seperti ini toh suasana CFD itu. Banyak aktivitas yang dilakukan para warga Bandung di area ini. Ada yang olahraga senam, sepedaan, main sepatu roda, main egrang, dan main skateboard. Selain itu, ada juga perusahaan-perusahaan yang numpang ngiklan atau promosi produk di sana. Yang mahasiswa-mahasiswa juga nggak ketinggalan ada yang ngedanus atau promosi acara mereka. Terakhir, tentu saja banyak pedagang dadakan yang bertebaran di sepanjang area CFD.

Yang jelas suasananya bener-bener ramai banget. Semua orang tumpah ruah di sana. Sepertinya, momen CFD memang banyak dimanfaatkan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga atau teman-teman sejawat. Kalau ingin berolahraga kurang pas kalau di CFD, lebih enak di SARAGA, kecuali kalau mau bersepeda. 😀

Orang-orang bersepeda

Orang-orang bersepeda

Ibu-ibu senam

Ibu-ibu senam

Jalan-jalan

Jalan-jalan

DAGO

DAGO

Catatan Perjalanan Tur ke Sukabumi & Ciamis (Day 1) : Perjalanan Dimulai

Latar Belakang Perjalanan

Ide awal rencana jalan-jalan ini sebenarnya sudah tercetus sejak kami (aku, Neo, Khairul, dan Kamal) kembali dari jalan-jalan ke Bali-Malang-Jogja akhir tahun 2010 atau sekitar 3 bulan yang lalu. Kami berniat untuk mengadakan backpacking lagi ke tempat lain di Indonesia. Muncullah wacana suatu saat kami akan berjalan-jalan lagi ke objek wisata alam di Jawa Barat, Lombok, Rajaampat Papua, Sulawesi, dan Sumatra. Wacana ini kami gulirkan ke teman-teman yang lain.

Kebetulan ketika itu aku sedang baca-baca post di forum Traveller-nya Kaskus. Aku melihat cerita-cerita perjalanan anak-anak Kaskus ke Sukabumi dan Green Canyon, Ciamis. Khusus Green Canyon, jujur aku baru tahu ada tempat seindah itu ketika membaca postingan di Kaskus itu. Aku pun mengusulkan Green Canyon jadi objek alam wajib yang harus dikunjungi pada kesempatan jalan-jalan berikutnya. Akhirnya, anak-anak memang memilih Sukabumi dan Ciamis sebagai tujuan jalan-jalan berikutnya. Kebetulan ada dua orang teman yang masing-masing memiliki villa/rumah yang bisa ditinggali di dua kota itu. Lumayan kan bisa menghemat pengeluaran :D. Waktu yang dipatok sudah jelas, yakni sehabis UTS, tepatnya hari Jumat-Senin.

Persiapan Perjalanan

Mulailah teman-teman di-invite via Facebook dengan membuat note dan ajakan secara langsung. Run down dan anggaran biaya juga sudah disusun dalam note itu. H-2 sebelum perjalanan kami semua berkumpul di Padepokan Sandal36B (Sebutan untuk kontrakanku, hehehe) membahas persiapan jalan-jalan dan mem-fix-kan semua rencana yang sudah disusun, termasuk daftar orang yang ikut. Semuanya memang harus dipersiapkan secara matang karena perjalanan ini melibatkan banyak orang dan juga waktu yang terbatas. Perjalan kali ini kami beri code name “Tour D’Jabar” (walaupun sebenarnya cuma dua kota saja yang dikunjungi, hehehe).

Rapat persiapan @ Sandal36B House

Rapat persiapan @ Padepokan Sandal36B

Perjalanan Pun Dimulai

Sore itu (Jumat, 18 Maret 2011) sebagian anak-anak Informatika ITB sedang menghadapi UTS Sosioteknologi Informasi, termasuk aku dan beberapa teman pasukan perjalanan Tour D’Jabar. Entah kerasukan apa aku saat itu, ujian yang sebenarnya dijatah waktu 2 jam itu, hanya 50 menit saja waktu yang kuhabiskan untuk mengerjakan soal-soal yang diberikan itu. Maklum, ujiannya hafalan banget soalnya. Meskipun demikian, aku bukanlah yang pertama keluar dari ruang kelas saat ujian itu. Sudah ada belasan anak yang selesai sebelum aku.

Begitu kelar ujian, aku langsung cabut balik ke kontrakan mengambil barang-barang yang sudah kusiapkan untuk jalan-jalan. Bersama Adi, Kamal, dan Pras, kami berangkat bareng-bareng dari kontrakan menuju gerbang depan kampus, tempat kami berkumpul.

Kami tiba di gerbang depan kampus sekitar pukul 17.15. Tapi tidak ada tanda-tanda pasukan yang lain berkumpul di situ. Setelah dicari-cari ternyata sebagian pasukan yang lain sudah menunggu di bawah jam ITB, sementara sebagian yang lain sedang berada di tempat rental menunggu mobil yang akan disewa dikembalikan penyewa sebelumnya. Yang jelas rencana keberangkatan kami yang dijadwalkan pada pukul 17.30 berantakan gara-gara penyewa mobil sebelumnya telat mengembalikan. Kami baru bisa berangkat saat jam menunjukkan pukul 20.15.

Walaupun telat, antusiasme teman-teman tetap tinggi mengikuti perjalanan ini. Tujuan kami malam itu adalah sampai di rumah penginapan kami di Surade, Kabupaten Sukabumi. Perjalanan kami menuju Surade memakan waktu sekitar 5 jam lebih.Jalan yang kami lalui tidak selamanya mulus. Saat memasuki petak jalan menuju Surade, ada beberapa teman kami menjadi korban mengalami mual-mual malam itu, bahkan hingga muntah. Maklum, jalan yang dilalui berkelak-kelok dan aspal jalan yang sangat jelek, banyak lubang di mana-mana.

Oiya, di tengah perjalanan itu kami menyempatkan untuk mampir makan malam di rumah makan di Cianjur. Ngomong-ngomong, enak euy sate Maranggi yang kami santap saat makan malam itu. Sebandinglah sama harganya, haha.

Makan malam di Cianjur

Makan malam di Cianjur

Kami sampai di tempat penginapan sekitar pukul satu malam lebih. Rasanya benar-benar lega saat itu. Tempatnya juga benar-benar nyaman, menggoda kami untuk segera pergi tidur malam itu. Kata “nyaman” di sini jangan dibayangkan di sana kami semua tidur di atas tempat tidur yang empuk atau mendapatkan fasilitas yang wah. Walaupun kami tidur beralaskan karpet dan harus tidur berjejer-jejer bagaikan barisan ikan pindang dijemur, kami sudah cukup senang. Karena di sanalah rasa kekeluargaan kami benar-benar terasa. Kalau orang Jawa bilang, “makan nggak makan, yang penting ngumpul” rasanya memang pas dengan kondisi kami saat itu.

Nah, supaya Anda-anda tidak bertanya-tanya siapa sih orang yang disebutkan dalam tulisanku ini, sekarang akan saya perkenalkan masing-masing orang tersebut berikut ini:

Pasukan komplit

Pasukan komplit

Dari kiri ke kanan :

  1. Pras : cah Lamongan, temanku  satu SMA dulu, satu-satunya peserta jalan-jalan yang bukan anak Informatika (dia anak Elektro).
  2. Saya sendiri 😀 : bendahara jalan-jalan kali ini, kameramen dengan narasi garing.
  3. Luthfi : asli Garut, selalu bersikap cool.
  4. Haryus : sama-sama berasal dari daerah plat N sepertiku (tapi dia anak Pasuruan), salah satu driver  dalam perjalanan ini, suka dibuli-buli selama perjalanan, asisten fotografer dalam jalan-jalan kali ini. 😀
  5. Adi : asli Sukabumi, tour guide kami selama di Sukabumi, turut membantu memberikan tumpangan rumah selama di Sukabumi (losmen), paling bolang di antara yang lain.
  6. Kamal : asli Pekanbaru, paling sanguinis di antara yang lain.
  7. Kuncoro : asli Sragen, satu-satunya anak Informatika yang bukan dari prodi Teknik Informatika alias dari prodi Sistem & Teknologi Informasi.
  8. Ginanjar : asli Banjar, turut menyediakan tumpangan rumah selama kami jalan-jalan di Ciamis, suka menggaring, driver dalam perjalanan ini.
  9. Rizky : Obama dari Depok, salah satu driver dalam jalan-jalan, fotografer kami selama jalan-jalan, tapi selalu jadi bahan buli-buli.
  10. Neo : asli Padang, driver paling ngebut dalam jalan-jalan ini, koordinator EO acara jalan-jalan ini.
  11. Khairul : asli Bukittinggi, paling banyak tidur kayaknya, suka dibuli-buli juga.
  12. Tere : asli Aceh, sama seperti Luthfi selalu bersikap cool.
  13. Jiwo : cah Magetan, fotografer utama dalam perjalanan ini, salah satu driver juga.

Report perjalanan lengkap selama 3 hari itu selanjutnya akan aku posting secara berurutan. Nantikan saja. 🙂

Catatan Liburan Akhir Tahun 2010 (Day 3) : Denpasar Moon

Ahad, 26 Desember 2010. Pukul setengah empat subuh kami berempat beranjak dari stasiun Banyuwangi Baru menuju pelabuhan Ketapang. Saat itu kami benar-benar tidak tahu pelabuhan Ketapang ada di sebelah mana. Kami hanya berjalan mengikuti arah suara bel kapal yang terdengar cukup kencang sampai stasiun. Ternyata benar, pelabuhan Ketapang itu sangat dekat dengan stasiun. Cukup ditempuh 10 menit dengan jalan kaki dari stasiun Banyuwangi Baru ke arah timur sampai ketemu jalan raya kemudian belok kanan.

Sebelum ke pelabuhan Ketapang, kami mampir dulu di Ind*mar*t yang berada tepat di depan gang masuk stasiun tepat di pinggir jalan raya. Di sanam kami membeli perbekalan dulu sebelum menyeberang ke Bali. Mumpung di sini lebih murah karena kata orang-orang, kalau sudah di Bali, apa-apa mahal di sana.

Di depan jalan masuk stasiun Banyuwangi Baru

Di depan jalan masuk stasiun Banyuwangi Baru

Menyeberang dengan kapal feri

Sudah lama aku nggak pernah naik kapal feri sejak terakhir kalinya saat aku masih berusia 3 tahun. Saat itu aku bersama keluarga jalan-jalan ke Madura naik kapal feri dari Tanjung Perak Surabaya ke Ujung kamal Madura. Setelah sekian lama, akhirnya aku bakal naik feri lagi (wah, ndeso tenan seh mas iki :D).

Tarif kapal feri untuk menyeberang dari Ketapang ke Gilimanuk cuma Rp6.000 per orang. Perjalanan selalu tersedia selama 24 jam non stop. Kalau diamati, sebenarnya jauh lebih murah menyeberang dengan naik kapal langsung tanpa kendaraan dibandingkan dengan naik kendaraan umum atau bawa kendaraan sendiri. Sebab tanpa sengaja di pelabuhan saya menemukan tiket yang telah dibuang si empunya dan di tiket itu tertulis tarif sebesar Rp343.000 untuk kendaraan orang itu yang termasuk golongan VI A.

Oke, setelah itu kami naik ke atas kapal feri. Sampai di sana langsung disambut lagu-lagu bergenre melayu yang diputar oleh awak kapal. Yup, di belakang kapal disuguhi sebuah TV LCD yang memutar video-video lagu karaoke melayu dan dangdutan. Lumayanlah, ada hiburan :P.

Melangkah menuju kapal feri

Melangkah menuju kapal feri

Di atas kapal feri

Di atas kapal feri

Ternyata indah juga ya pemandangan malam hari pelabuhan jika dilihat kejauhan dari kapal. Gemerlap lampu kota terlihat terang benderang dari kejauhan di tengah luasnya lautan yang gelap.

Tak terasa, jam dinding kapal telah menunjukkan waktu pukul 4.00. Sudah saatnya untuk sholat Shubuh nih. Di kapal feri juga tersedia mushola dan tempat wudlu serta toilet bagi penumpang. Kami pun sholat Shubuh di kapal feri itu.

Penyeberangan dari Ketapang ke Gilimanuk itu memakan waktu sekitar 45 menit. Kapal berangkat dari Ketapang pukul 3.45 dan merapat di Gilimanuk pukul 4.30.

memandang ke laut lepas

memandang ke laut lepas

Bali mulai tampak dari kejauhan

Bali mulai tampak dari kejauhan

Sampai di Gilimanuk

Suasana pagi yang segar menyambut kami setibanyanya di pelabuhan Gilimanuk. Begitu turun kapal, ada jeda waktu di mana kami terbengong tidak tahu harus jalan ke mana. Kami mengamati orang-orang pejalan kaki yang baru turun dari kapal, melihat ke mana mereka akan melangkah, sambil berharap mereka memiliki tujuan yang sama dengan kami. 🙂

Suasana pagi di pelabuhan Gilimanuk

Suasana pagi di pelabuhan Gilimanuk

“Dug..dug..dug..”. Tiba-tiba panggilan alam menghampiriku. Aku harus segera pergi ke tolilet. Oh, ternyata di area pelabuhan itu terdapat toilet yang berada persis di ujung bangunan depan dermaga tempat kapal tadi merapat. Lumayan, toilet di pelabuhan itu ternyata gratis alias nggak perlu membayar, bisa pake sepuasnya :D.

Nah, mumpung gratis, kami pun mandi sekalian. Sudah hampir dua hari kami nggak mandi karena terus berada di dalam kereta api. Bau badan anak-anak sudah nggak tertahankan lagi. Alhamdulillah, akhirnya bisa mandi lagi. Sueger.. ger.. ger… 😀

Sehabis semua selesai mandi, kami mengobrol-ngobrol dengan petugas kebersihan di toilet itu. Orangnya cukup ramah dan kooperatif untuk dijadikan tempat bertanya. Kami mencoba mencari tahu berapa tarif transportasi umum dari Gilimanuk itu ke Denpasar dari orang tersebut. Kata beliau, biasanya tarifnya berkisar antara Rp20.000-Rp30.000.

Perlu diketahui, sebelumnya, kami juga sudah punya referensi dari blog-blog orang yang kami baca. Kami bertanya untuk memastikan saja agar selisihnya tidak sampai terlalu jauh. Berdasarkan pengalaman orang-orang yang ditulis pada blog mereka, sebagian besar mengatakan kalau beruntung kita bisa dapat tarif Rp20.000 ke Denpasar. Tapi pada umumnya memang kena Rp25.000.

Nah, mas penjaga toilet itu menawarkan untuk mencarikan bus ke Denpasar di terminal Gilimanuk. Kami pun mengiyakan. Selang beberapa menit kemudian datang si mas itu sama seorang kenek bus. Ternyata benar, tarif pertama yang ditawarkan oleh kenek bus itu Rp25.000. Kami pun mencoba menawar Rp20.000. Setelah negosiasi sebentar, akhirnya sepakat Rp20.000 itu. Nggak butuh waktu lama kenek bus itu untuk mengiyakan. Makanya kami sempat curiga juga, sebenarnya berapa sih ongkos dari Gilimanuk ke Denpasar itu. Tapi, berapapun itu, yang jelas pagi itu pukul 6.30 jadilah kami berangkat ke Denpasar dengan menumpang bus “Bahagia”.

Perjalanan Gilimanuk-Denpasar

Sepanjang perjalanan mulai dari Giliminauk, Negara, Tabanan, hingga Denpasar pemandangan indah tersaji di kanan-kiri jalan. Taman nasional, sawah-sawah, hingga pantai bisa kita temui sepanjang perjalanan itu. Perjalanan berhenti ketika bus memasuki terminal Ubung. Suasana panas menyengat menyambut kami.

Selain itu, sesampainya di sana, begitu kami turun, sudah banyak sopir-sopir taksi, angkot, dan bus yang menawari tumpangan kepada kami. Terus terang, saat itu kami sampai bingung mau melanjutkan dengan naik kendaraan apa. Bahkan, tujuan berikutnya mau ke mana kami juga masih abstrak.

Akhirnya, kami mencari tempat makan dulu untuk menghindari keramaian itu. Kebetulan ada warung “Arema” di depan terminal Ubung itu. Dari namanya kelihatan banget orang Malang nih yang punya, dan Insya Allah makanannya halal. Perlu diketahui, susah sekali mencari warung makanan yang halal di Bali. Solusinya memang cari warung makan orang Jawa atau Minang yang kebetulan juga cukup banyak di sana dan insya Allah halal. Kami membeli 3 mangkok rawon dan 1 mangkok soto ayam di warung itu. Masing-masing seporsi harganya Rp8.000. Cukup mahal memang.

Setelah makan, Neo mencoba bertanya kepada polisi di pos terdekat tentang cara ke Denpasar dan berapa ongkosnya. Sementara aku mencoba melihat jam dinding di dalam warung “Arema” itu. “Wuih… udah jam sentengah sebelas aja!” teriakku waktu itu terkejut. “Masak perjalanan dari Gilimanuk sampai Ubung tadi menghabiskan waktu 3,5-4 jam sih?” tanyaku kepada anak-anak. Kami baru ingat, Bali itu termasuk wilayah WITA. Jadi, sebenarnya kita berangkat pukul 7.30 dan sampai di Ubung sekitar pukul 10.00.

Setelah itu Neo kembali. Setelah sedikit berdiskusi, akhirnya diputuskan kami akan menumpang taksi saja dan tujuan kami adalah ke kuta saja. Baru saja kami keluar dari warung, seorang sopir taksi sudah mendatangi kami di depan warung. Setelah melakukan tawar menawar, akhirnya kami mentok di angka Rp100.000 untuk ongkos taksi. Kata si pak Polisi yang ditanyai Neo memang segitu sih kisarannya, antara Rp80.000-Rp100.000. Tapi nggak apa-apalah. Kondisi panas yang menyengat membuat kami benar-benar lelah saat itu. Belum lagi ditambah tas-tas berat yang kami bawa.

Tanpa perlu berlama-lama, kami langsung setuju saja, dan berangkat ke Kuta-Legian naik taksi. Sepanjang perjalanan kami banyak ngobrol dengan sopir taksi itu bertanya mengenai kehidupan di Bali, rental motor/mobil, hingga penginapan murah di sekitar Kuta.

Sampai di Kuta-Legian

Perjalanan dari Ubung ke Legian memakan waktu sekitar sejam. Sampai di pantai Legian kita nggak tahu harus ke mana lagi. Kami berjalan terus menyusuri pantai Legian dengan memanggul tas-tas yang berat. Sambil jalan, kami berdiskusi hendak ke mana setelah ini. Akhirnya kami sepakat, akan cari penginapan saja.

Kami pun mencoba mencari losmen-losmen murah di sepanjang jalan Poppies seperti yang disarankan sopir taksi tadi. Akhirnya kami menemukan rumah yang menawarkan kamar-kamar di jalan Poppies II gang Sorga. Nama penginapannya “Ayu Beach Inn”. Kami meminta satu kamar untuk empat orang kepada pemilik rumah. Oleh beliau langsung ditawarkan Rp200.000. Sebenarnya jika dibandingkan dengan beberapa penginapan murah di Bandung harga itu termasuk mahal jika melihat fasilitas ditawarkan yang juga sama. Fasilitas itu antara lain, tempat tidur untuk dua orang 2 buah, tempat tidur untuk satu orang 1 buah, 1 lemari pakaian dua bilik, kipas angin, cermin, dan kamar mandi. Tapi harga segitu bisa jadi memang termasuk murah di Bali setelah kami mendengar ada dua orang yang ingin memesan kamar di sana kemudian dibandrol Rp160.000 oleh pemiliknya.

Yang penting bagi kami saat itu adalah akhirnya kami bisa beristirahat Continue reading

Jalan-Jalan ke Bromo

Belakangan ini di media massa banyak diberitakan mengenai peningkatan aktivitas vulkanik yang terjadi pada Gunung Bromo. Berbicara Gunung Bromo, aku jadi teringat kenangan masa SMA dulu. Saat itu aku dan teman-teman sekelas ngadain acara jalan-jalan ke Gunung Bromo untuk mengisi liburan kenaikan kelas (dari kelas XI ke kelas XII).

Jadi, pada hari itu, Rabu 5 Juli 2006, sehabis nonton semifinal Piala Dunia 2006 Jerman vs Italia yang dimenangkan Italia 2-0, aku sholat Subuh lalu langsung berangkat ke sekolah (SMAN 3 Malang). Ya, kami memang sudah janjian akan berangkat bareng-bareng sekelas dari sekolah. Aku dan teman-teman sekelas kala itu (Telocor XI IA-5) pergi jalan-jalan didampingi beberapa guru seperti Pak Basuki (beliau ini petualang sejati, di usianya yang sudah kepala 5 masih sanggup memimpin penjelajahan alam), Pak Ye (guru kesenian), mas Bison, dan mas Aswin (keduanya guru komputer). Tahu sendirilah, acara liburan kayak gitu tu nggak akan disetujui oleh pihak sekolah kalo tidak ada guru yang mendampingi.

Kumpul di sekolah

Kumpul di sekolah

Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika kami berangkat dari sekolahan. Kami naik angkot bareng yang terbagi menjadi beberapa kloter ke Terminal Arjosari Malang kemudian dilanjutkan lagi perjalanan ke “rest house”, atau tempat singgah, milik keluarga ketua OSIS kami saat itu, Rani, di Tumpang. Di sana kami menunggu semua kloter berkumpul agar bisa berangkat bareng-bareng ke Bromo.

Istirahat di Rest House

Istirahat di Rest House

Dari sana kami melanjutkan perjalanan lagi dengan mencarter truk dan berhenti di kawasan pegunungan tempat perbatasan Kabupaten Lumajang dengan Kabupaten Malang, nama daerahnya adalah Bantengan. Ketika itu waktu kira-kira sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Yang bikin aku dan teman-teman kagum, begitu turun dari truk, kami langsung disuguhi paronama yang sungguh menakjubkan. Subhanallah…! Tampak di kejauhan bawah sana hamparan rerumputan hijau yang sangat indah dengan barisan bukit-bukit di kanan kirinya. Tampak juga ada sebuah garis yang berkelak-kelok di bawah sana yang awalnya aku kira adalah sebuah sungai, yang nyatanya adalah sebuah jalan berpasir biasa. Subhanallah…! Bagaikan mimpi saja.

Panroma kaldera Bromo dari atas

Panroma kaldera Bromo dari atas

Di Bantengan itu kami beristirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Di tempat tersebut kami mengisi energi dulu. Ada yang bikin mie instan, makan sarapan bawaan masing-masing, sekedar minum kopi, sampai foto-foto. Kebetulan di tempat pemberhentian tadi itu ada sebuah gubug atau pos untuk beristirahat.

Istirahat di gubug

Istirahat di gubug

Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 pagi. Saatnya perjalanan dilanjutkan. Kali ini kami menyusuri hamparan ilalang menuruni bukit menuju kaldera Bromo purba yang tampak indah itu. Menariknya, meskipun saat itu matahari sudah hampir tepat di atas kepala, temperatur udara di kawasan itu cukup sejuk (kalo nggak mau disebut dingin). Mungkin sekitar 17 derajat. Makanya sangat disarankan untuk Anda yang pergi ke sana agar memakai jaket.

Angin semilir yang cukup sejuk benar-benar dan suasana yang benar-benar hening, sangat berbeda dengan di kota, membuat mata dan pikiran ini jadi segar. Benar-benar bikin rileks. Apalagi sepanjang perjalanan kita terus disuguhi panorama menakjubkan. Serulah pokoknya! 😀

Menuruni bukit

Menuruni bukit

Sampai di bawah kami behenti lagi di sebuah pos. Dari pos itu jarak menuju Bromo masih sekitar 6 km lagi. Continue reading