Belakangan ini di media massa banyak diberitakan mengenai peningkatan aktivitas vulkanik yang terjadi pada Gunung Bromo. Berbicara Gunung Bromo, aku jadi teringat kenangan masa SMA dulu. Saat itu aku dan teman-teman sekelas ngadain acara jalan-jalan ke Gunung Bromo untuk mengisi liburan kenaikan kelas (dari kelas XI ke kelas XII).
Jadi, pada hari itu, Rabu 5 Juli 2006, sehabis nonton semifinal Piala Dunia 2006 Jerman vs Italia yang dimenangkan Italia 2-0, aku sholat Subuh lalu langsung berangkat ke sekolah (SMAN 3 Malang). Ya, kami memang sudah janjian akan berangkat bareng-bareng sekelas dari sekolah. Aku dan teman-teman sekelas kala itu (Telocor XI IA-5) pergi jalan-jalan didampingi beberapa guru seperti Pak Basuki (beliau ini petualang sejati, di usianya yang sudah kepala 5 masih sanggup memimpin penjelajahan alam), Pak Ye (guru kesenian), mas Bison, dan mas Aswin (keduanya guru komputer). Tahu sendirilah, acara liburan kayak gitu tu nggak akan disetujui oleh pihak sekolah kalo tidak ada guru yang mendampingi.
Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika kami berangkat dari sekolahan. Kami naik angkot bareng yang terbagi menjadi beberapa kloter ke Terminal Arjosari Malang kemudian dilanjutkan lagi perjalanan ke “rest house”, atau tempat singgah, milik keluarga ketua OSIS kami saat itu, Rani, di Tumpang. Di sana kami menunggu semua kloter berkumpul agar bisa berangkat bareng-bareng ke Bromo.
Dari sana kami melanjutkan perjalanan lagi dengan mencarter truk dan berhenti di kawasan pegunungan tempat perbatasan Kabupaten Lumajang dengan Kabupaten Malang, nama daerahnya adalah Bantengan. Ketika itu waktu kira-kira sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Yang bikin aku dan teman-teman kagum, begitu turun dari truk, kami langsung disuguhi paronama yang sungguh menakjubkan. Subhanallah…! Tampak di kejauhan bawah sana hamparan rerumputan hijau yang sangat indah dengan barisan bukit-bukit di kanan kirinya. Tampak juga ada sebuah garis yang berkelak-kelok di bawah sana yang awalnya aku kira adalah sebuah sungai, yang nyatanya adalah sebuah jalan berpasir biasa. Subhanallah…! Bagaikan mimpi saja.
Di Bantengan itu kami beristirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Di tempat tersebut kami mengisi energi dulu. Ada yang bikin mie instan, makan sarapan bawaan masing-masing, sekedar minum kopi, sampai foto-foto. Kebetulan di tempat pemberhentian tadi itu ada sebuah gubug atau pos untuk beristirahat.
Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 pagi. Saatnya perjalanan dilanjutkan. Kali ini kami menyusuri hamparan ilalang menuruni bukit menuju kaldera Bromo purba yang tampak indah itu. Menariknya, meskipun saat itu matahari sudah hampir tepat di atas kepala, temperatur udara di kawasan itu cukup sejuk (kalo nggak mau disebut dingin). Mungkin sekitar 17 derajat. Makanya sangat disarankan untuk Anda yang pergi ke sana agar memakai jaket.
Angin semilir yang cukup sejuk benar-benar dan suasana yang benar-benar hening, sangat berbeda dengan di kota, membuat mata dan pikiran ini jadi segar. Benar-benar bikin rileks. Apalagi sepanjang perjalanan kita terus disuguhi panorama menakjubkan. Serulah pokoknya! 😀
Sampai di bawah kami behenti lagi di sebuah pos. Dari pos itu jarak menuju Bromo masih sekitar 6 km lagi. Di sana lagi-lagi kami berfoto-foto ria lagi. Ada juga yang bikin kopi untuk sekedar menghangatkan badan. Di pos itu kami sempat bertemu dengan teman-teman backpacker yang kebetulan habis pulang dari Bromo.
Setelah merasa puas, kami melanjutkan perjalanan kembali menyusuri lautan pasir kaldera Bromo purba ini. Sial bagiku. Saat itu aku ke sana cuma pake sandal jepit. Berat juga jalan pake sandal jepit di lautan pasir ini. Cukup sering terselip pasir di sandalnya. Belum lagi debu-debu pasir yang beterbangan disebabkan jejak kaki kita. Sangat disarankan untuk mengenakan masker atau penutup mata agar tidak kemasukan debu itu.
Sepanjang jalan, kami dikelilingi hamparan ilalang yang tampak mengering. Kalau dilihat-lihat jalan yang tampak pada foto di atas, sebenarnya juga merupakan jalur yang sering dipakai oleh turis untuk ber-off road ria menggunakan jeep yang disewakan di dekat kawasan Gunung Bromo. Oiya, di sisi kanan dan kiri kita juga tampak hamparan perbukitan yang terlihat “mulus” dan hijau. Orang-orang menyebutnya dengan bukit “teletubbies” atau bukit “tabi” karena menyerupai ilustrasi perbukitan yang ada di film anak-anak itu.
Setelah melalui kawasan ilalang yang cukup lebat, akhirnya sampai juga di tengah lautan pasir yang amat luas. Di sana kami beristirahat lagi setelah menempuh kurang lebih 1,5-2 jam perjalanan dari pos sebelumnya.
Tidak perlu waktu lama untuk beristirahat di sana karena jarak Gunung Bromo sudah cukup dekat. Kami pun berdiri lagi dan bersiap mengarungi lautan pasir yang luas itu untuk sampai ke Gunung Bromo. Sepanjang perjalanan tampak berbagai jenis material atau bebatuan dan tidak jarang terdapat beberapa lubang atau cekungan seperti bekas kawah. Menurut para ahli, lautan pasir ini dahulu kala memang merupakan sebuah kaldera (kawah dengan diameter lebih dari 2 km, sumber: kompas) gunung Bromo purba yang terbentuk karena runtuhnya tanah sebagai akibat erupsi.
Satu jam kemudian, akhirnya perjalanan yang melelahkan tapi menyenangkan ini sampai juga di tempat tujuannya, Gunung Bromo. Sekitar 1 km dari Bromo di kejauhan sana tampak ada sebuah pura yang sepertinya merupakan tempat peribadatan masyarakat Tengger di daerah ini.
Setelah itu, kami bersama-sama mendaki Gunung Bromo menuju puncaknya. Ternyata sudah disediakan tangga untuk menuju ke puncak Bromo itu.
Di puncak Gunung Bromo sudah tersaji aroma gas belerang yang sangat menyengat. Saat pertamai sampai di sana terus terang aku sempat agak susah nafas gara-gara kaget dengan bau belerang yang menyengat banget di sana. Tapi lama-lama sudah terbiasa. Setelah itu dengan puasnya kami berfoto-foto di atas Gunung Bromo itu sambil menikmati indahnya ciptaan Allah SWT ini.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Saat itu aku ingat banget aku masih belum sholat. Akhirnya terpaksa aku mencari tempat sepi di antara bukit-bukit di sekitar sana karena memang tidak ada musholla di sana. Air yang ada di botol minuman pun sudah habis. Aku pun bertayamum dengan pasir-pasir yang melimpah di sana (tentunya harus dipilih dulu karena takutnya pasirnya sudah bercampur dengan kotoran kuda yang memang banyak terdapat di sana).
Sekitar pukul 5 sore kami mulai beranjak pulang karena takut kehabisan kendaraan MPU. Kami berjalan menaiki bukit yang ada di seberang Bromo dan tiba di desa Cemoro Lawang (kalo tidak salah ingat). Di sana sudah menunggu MPU jurusan Bromo (Cemoro Lawang) – terminal Probolinggo. Ternyata cukup juga kendaraan itu untuk dinaiki anak-anak sekelas. Tentunya dengan penuh desak-desakan dan ada juga yang nggandhol. Saat perjalanan tampak ada beberapa hotel di sekitar Bromo sana dan banyak terdapat mobil jeep yang siap disewakan.
Kami sampai di terminal Probolinggo sekitar pukul 7 malam. Di sana kami beristirahat, sholat, dan makan malam. Sambil menunggu kemunculan bus jurusan Probolinggo – Malang, kami bersantai-santai di taman depan terminal itu.
Bus yang ditunggu-tunggu pun datang. Lalu kami melanjutkan perjalanan pulang dengan bus itu dan tiba di terminal Arjosari Malang sekitar pukul 11 malam. Setelah itu, kami berpencar pulang ke rumah masing-masing.
Sampai rumah aku nggak langsung tidur, tapi menunggu siaran langsung semifinal Piala Dunia 2006 yang lain, yaitu Perancis vs Portugal. Hehehe… 😀
Benar-benar pengalaman yang menyenangkan dan tak terlupakan. Bisa menikmati panorama yang indah di Bromo bersama teman-teman sekelas dan guru. Pingin sekali waktu kalau sempat ke sana lagi. Teman-teman kuliah banyak sih yang berminat ke sana setelah kuceritain pengalamanku ini. Tapi berhubunga kondisi Bromo sekarang tidak kondusif, mungkin rencana libur akhir semester ini ke Bromo bakal tertunda.
Berita terbaru hari ini, kabarnya Gunung Bromo telah meletus tadi sore (sumber: Detik). Hanya saja letusannya tidak separah Gunung Merapi karena karakteristik kedua gunung tersebut berbeda. Material vulkanik di Gunung Bromo adalah debu hitam (bukan lava pijar), sedangkan material vulkanik di Gunung Merapi adalah lava pijar. Selain itu, karakteristik erupsi Merapi bersifat ekspolsif (erupsi letusan), sedangkan Bromo bersifat efosif (erupsi non-letusan). Semoga saja erupsi Bromo ini tidak separah seperti yang terjadi pada Merapi yang sampai menelan ratusan korban jiwa dan kerugian materi yang sangat besar.
Hello The Theme Foundry
iam 22 years old…
iam from south jakarta…
i like with your blog..
thanks for share…
best regards
Cindy Silvia
LikeLike
mas dhito, perkenalkan saya aziz, saya sedang mencari trainer tentang it mas tentang pemrograman, web, desaign grafis/teknik, sistem kerjanya freelance mas. mohon bantuannya y mas
LikeLike
Kalo boleh tahu, sasarannya untuk siapa ya? Tempatnya di mana? Oiya, balesannya kirim saja ke email saya di muhdhito@gmail.com biar lebih puas ngobrolnya. 🙂
LikeLike