Tag Archives: camping

Ranca Upas

Camping di Kampung Cai Ranca Upas

Selepas dari jalan-jalan ke Kawah Cibuni Rengganis Sabtu itu (19/1), saya dan teman-teman tidak langsung pulang ke Bandung. Kami semua pergi ke Kampung Cai Ranca Upas yang juga masih berada di kawasan Ciwidey.

Kami memang berencana untuk camping di sana. Perlengkapan seperti tenda, matras, sleeping bag, lampu senter, kompor portable, panci, dan peralatan makan sudah kami bawa. Khusus untuk tenda, matras, dan sleeping bag, kami menyewanya di salah satu toko rental peralatan outdoor yang ada di Jl. Gagak, Bandung sebelum berangkat.

Tiket Masuk

Kampung Cai Ranca Upas ini adalah sebuah kompleks tempat wisata alam yang menawarkan berbagai macam aktivitas di sana. Selain camping, aktivitas lain yang juga tidak kalah populernya adalah berkunjung ke penangkaran rusa.

Jika ingin camping, setiap pengunjung akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp10.000, selain biaya tiket masuk sebesar Rp15.000. Selain itu ada biaya tambahan yang dikenakan untuk sepeda motor yang menginap. Biayanya Rp5.000 per sepeda motor, selain biaya parkir normal Rp3.000.

Jadi untuk berkemah di Ranca Upas, setiap orang setidaknya akan perlu mengeluarkan biaya Rp25.000 dan Rp8.000 untuk parkir sepeda motornya. Untuk mobil, saya tidak tahu biayanya.

Semua biaya itu dibayarkan saat akan melewati pos penjagaan di gerbang masuk kompleks. Ada petugas yang akan menghitung.

Area parkir sepeda motor di Ranca Upas
Area parkir sepeda motor di Ranca Upas

Oh ya, jangan lupa bawa uang yang cukup ya. Di sana tidak ada ATM soalnya.

Continue reading
Melewati hutan antara Pos 2-3

Pendakian Gunung Sumbing Via Kaliangkrik (Bag. 2): Mendaki Sampai Pos 3

Minggu, 25 Desember 2016

Basecamp (1722 mdpl) – Pos 1 (2127 mdpl)

Dari basecamp menuju Pos 1 ini di awal medan trek masih berupa jalan cor-coran karena masih berada di dalam dusun. Kemiringan jalannya lumayan terjal. Selepas keluar dari dusun, kami melewati ladang-ladang milik warga setempat.

Di jalan kami cukup sering berpapasan dengan warga yang sedang bercocok tanam di ladangnya. Beberapa warga juga tampak tengah turun membawa ranting-ranting kayu bakar, rumput, atau hasil ladang mereka.

Mereka sangat ramah kepada pendaki. Suka menyapa kami dan tak sedikit yang bilang, “Monggo pinarak mas…”

Cukup banyak variasi tanaman yang ditekuni oleh penduduk setempat di ladang-ladang mereka ini. Sejauh mata memandang, saya melihat tanaman-tanaman antara lain seperti kol, bawang, wortel, dan teh. Selain itu, masih ada lagi tentunya.

Berjalan melalui ladan-ladang warga

Berjalan melalui ladan-ladang warga

Di situ medan trek yang kami hadapi sudah berupa anak-anak tangga yang tersusun dari batu-batu. Jalan yang kami lalui juga konsisten menanjak terus. Belum sampai pos 1 Continue reading

Memasuki kawasan hutan cemara

Catatan Pendakian Gunung Merbabu (Hari 1)

Kamis, 31 Desember 2015

Bus Kramat Djati yang saya tumpangi dari Bandung tiba di Terminal Boyolali tepat ketika waktu menunjukkan pukul 5.30. Di terminal telah menunggu Listi, mbak Meli, mas Teguh, dan mas Jamal. Mereka masing-masing datang dari Jakarta dan Cikampek. Kecuali Listi, yang lain baru saya kenal saat itu.

Selain kami, di terminal juga ada 2 orang pendaki lagi yang juga hendak naik Merbabu. Mereka berdua datang dari Majalengka. Kami semua berencana untuk naik Gunung Merbabu melalui pintu masuk Selo.

Di terminal telah menunggu sebuah minibus jurusan Boyolali-Cepogo-Selo. Bus tersebut belum mau berangkat jika penumpang bus dirasa belum cukup. Total saat itu kami sudah bertujuh. Oleh mas sopirnya sebenarnya sudah ditawari berangkat saat itu juga. Kami meminta masnya untuk menunggu lebih lama lagi karena kami perlu belanja logistik dulu. Tapi oleh masnya kami ditawari untuk belanja di sekitar Pasar Cepogo saja. Kami pun setuju. Jadilah kami berangkat saat itu juga.

Belanja Logistik di Cepogo

Setelah 30 menit perjalanan, bus tiba di Pasar Cepogo. Tak ada penumpang tambahan yang naik sepanjang perjalanan itu. Sepi juga penumpangnya. Pantas kata masnya nggak banyak bus yang menuju Selo ini. Di atas jam 11 siang sudah nggak ada bus yang ke Selo katanya.

Di Cepogo ini terdapat pasar yang sangat luas. Ada pusat sayur-sayurannya pula. Lebih murah daripada beli di Boyolali. Di sekitar pasar terdapat minimarket Indomaret dan Rahma Swalayan.

Di Cepogo kami membeli kebutuhan logistik, terutama untuk perbekalan makanan selama pendakian nanti. Namun di sini kami tidak berhasil mendapatkan gas kaleng. Untungnya Continue reading

Catatan Perjalanan ke Ranu Kumbolo & Bromo (Bagian 4): Bromo

Siang itu menunjukkan pukul 14.00 ketika kami selesai menunaikan sholat dhuhur dijama’ dengan ashar. Kami sempat ragu apakah akan berjalan kaki ke sana. Teman-teman sudah kelihatan lelah. Jarak yang ditempuh juga sangat jauh (asumsi jalan lewat daerah Bantengan).

Akhirnya kami memutuskan untuk mencarter jeep saja yang memang banyak berjejeran di depan kantor TNBTS. Negosiasi dilakukan dan bapak sopir jeepnya mentok di angka 500 ribu. Itu tawaran pertama dan bapaknya tidak mau memberikan kesempatan buat kami untuk menawar. Istilahnya, ‘take it or leave it‘.

Sebenarnya aku tidak terlalu kaget juga dengan tarif yang ditawarkan oleh sopir jeep tersebut. Sehari sebelumnya aku sempat bertanya kepada bapak sopir truk yang membawa kami ke Ranu Pani mengenai ongkos normal Ranu Pani-Bromo itu. Kata bapaknya sih di kisaran 450 ribu kalau naik jeep. Yah, pada faktanya ongkos yang ditawarkan selisih 50 ribu dari tarif normal. Bapak sopir jeep ini beralasan karena lagi peak season sehubungan dengan acara Avtech di Semeru ini jadi wajar harga segitu.

Kalau bukan karena keterbatasan waktu, mungkin kami akan memaksakan untuk berjalan kaki saja ke Bromo. Kami pun akhirnya mengambil tawaran jeep tersebut.

Perjalanan dengan jeep dari Ranu Pani ke Bromo ini melalui Desa Ranu Pani, Bantengan, pertigaan Jemplang, bukit teletubbies (savana), dan lautan pasir. Di Bantengan kami berhenti sejenak untuk foto-foto dengan latar belakang kaldera Tengger.

Savana Tengger

Savana Tengger

Berempat di Bantengan

Berempat di Bantengan

Arghh … berada di Bantengan (dan juga Bromo) ini mengingatkanku akan masa SMA dulu (baca artikel ini). Ketika itu aku dan teman-teman sekelas jalan-jalan ke Bromo dengan didampingi beberapa guru juga. Saat disanalah aku tiba-tiba menyadari aku ‘menyukai’ salah seorang teman cewekku di kelas, hahaha.

Ok, kembali ke topik lagi. Dari Bantengan jeep melanjutkan perjalanan lagi menuju pertigaan Jemplang. Untuk menuju ke savana, jeep memang harus mengambil jalan memutar melalui pertigaan Jemplang karena memang dari sanalah akses jalan yang tersedia. Sedangkan apabila ingin berjalan kaki, dari Bantengan ini kita bisa melakukan trekking menuruni dinding kaldera melalui jalan setapak yang ada.

Di savana jeep berhenti lagi memberikan kesempatan kepada kami untuk berfoto-foto. Alhamdulillah, walaupun di Ranu Pani siang itu sempat turun hujan, di kaldera Tengger ini tidak tampak bekas dan tanda-tanda hujan turun. Kami pun bisa leluasa menikmati alam kaldera Tengger ini. Angin yang berhembus di sana juga sangat sejuk.

Neo dan Luthfi yang baru pertama kali ke kaldera Tengger ini sampa terkagum-kagum. Kayak di film Skyfall kata mereka pemandangan di sini.

Di depan jeep

Di depan jeep

Savana

Savana

Savana

Savana

Setelah puas berfoto-foto, kami kembali ke jeep dan melanjutkan perjalanan ke Gunung Bromo. Total waktu tempuh dari Ranu Pani hingga ke Gunung Bromo ini hampir dua jam, termasuk waktu untuk foto-foto.

Ketika tiba di kaki Gunung Bromo, waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 4 sore lebih. Masih ada waktu buat kami untuk menikmati Bromo sebelum langit gelap. FYI, waktu maghrib di kawasan Bromo ini ketika itu sekitar pukul setengah enam kurang.

Kami menitipkan carriercarrier kami kepada bapak-bapak penjual makanan di kaki Bromo itu. Sebagai balas jasanya kami memberikan uang 10 ribu kepada beliau agar mau menjaga barang-barang kami.

Setelah itu, kami bersama-sama menaiki tangga untuk menuju kawah Bromo. Kondisi anak tangga ini sangat Continue reading

Pendakian ke Gunung Gede (Bagian 2 – Tamat) : Puncak Gede

Tak terasa waktu sudah mendekati subuh. Kabut yang semalam konsisten memenuhi seluruh ruang di udara Surya Kencana, kini hanya mengapung di kepala gunung saja. Kami pun mulai memberesi perlengkapan, termasuk membongkar tenda. Tetapi sebelum itu, kami mengisi perut terlebih dahulu dengan memakan mie instan.

Sholat subuh

Sholat subuh

Butuh waktu agak lama ternyata buat memberesi perlengkapan kami dan menatanya ke dalam tas kembali. Mungkin karena ukuran tenda yang sempit membuat kami tak leluasa bergerak dan juga karena penerangan yang tak cukup. Kami pun terpaksa harus bergantian. Dua orang beres-beres, sementara yang lainnya sambil menunggu, sholat subuh dulu.

Semuanya beres ketika jam menunjukkan pukul 5. Wah, bakal kehilangan momen sunrise nih, dalam hati ku berujar. Sebabnya, jarak tempuh dari Surya Kencana Barat ke puncak Gede setidaknya memakan waktu 30 menitan. Itupun kalau kita mendaki normal tanpa banyak istirahat.

Pendakian subuh-subuh

Pendakian subuh-subuh

Faktanya, medan pendakian dari Surya Kencana Barat ke puncak Gede ini memang benar-benar sangat menanjak. Belum lagi beban carrier yang kami bawa, semakin membuat berat langkah kami. Ditambah dengan kondisi saat itu yang masih cukup gelap.

Ketika mungkin sudah ada separuh perjalanan lebih, aku pun memacu diri untuk berlari menuju puncak dengan meninggalkan teman-temanku yang masih beristirahat. Pikirku waktu itu, satu orang pokoknya harus ada yang menangkap momen sunrise itu. Tapi setelah kupikir-pikir kemudian, keputusan yang aku ambil itu sebenarnya salah juga sih, meninggalkan teman di belakang. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan mereka? Atau terjadi pada diriku sendiri?

Pada akhirnya aku sampai juga di puncak Gunung Gede lebih awal dari teman-teman. Ketika itu waktu telah menunjukkan pukul 6 lewat 10 pagi. Sudah terlambat sebenarnya untuk menyaksikan sunrise. Walaupun demikian, setidaknya aku masih bisa menyaksikan langit kemerahan sisa-sisa rekahan fajar di balik sang surya. Subhanallah, sungguh pemandangan yang mempesona!

Sunrise di Puncak Gede

Sunrise di Puncak Gede

Sedikit OOT, ketika berada di puncak Gede itu, aku sempat disapa salah seorang anak ITB. Dia mengenaliku dari jaket Himpunan Mahasiswa Teknik Informatika yang kukenakan. Ternyata dia anak Tambang 2007 seangkatan denganku. Dia naik ke Gunung Gede karena ikut acara Mountain Magazine kalau nggak salah.

Sekitar setengah jam kemudian 3 orang temanku menyusul tiba di puncak Gede. Jadilah kami berfoto-foto bersama menikmati pemandangan di atas puncak Gunung Gede ini. Ketika itu, kondisi di puncak Gede ini angin bertiup cukup kencang dan suhunya juga sangat dingin.

Kawah Gunung Gede

Kawah Gunung Gede

Berempat di puncak Gede

Berempat di puncak Gede

Jalan di puncak Gede

Jalan di puncak Gede

Dari atas puncak Gunung Gede ini kita juga bisa melihat langsung Gunung Pangrango dan juga Gunung Salak di kejauhan.

Pangrango

Pangrango

Selain itu, tampak juga dari puncak Gunung Gede ini alun-alun Surya Kencana Barat yang menjadi kawasan favorit pendaki untuk berkemah.

Perkemahan di Surya Kencanan Barat

Perkemahan di Surya Kencanan Barat

Setelah puas berfoto-foto, sekitar pukul 8 pagi kami mulai perjalanan menuruni Gunung Gede ini. Kali ini jalur yang kami tempuh adalah jalur Cibodas. Dari puncak Gunung Gede kami berjalan ke arah barat. Kami melalui turunan yang oleh para pendaki dikenal dengan sebutan “turunan setan” atau “tanjakan setan” — tergantung dari mana arah kita melaluinya. Disebut demikian karena Continue reading