Monthly Archives: April 2013

Menjajal Facebook Home

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 12 April, Facebook secara resmi merlilis aplikasi Facebook Home di Google Play. Namun, sebagaimana yang diberitakan oleh beberapa media, di antaranya Endgadget dan Gizmodo, saat ini Facebook Home hanya available untuk handset HTC One, HTC One X, HTC One X+, Samsung Galaxy S III dan Samsung Galaxy Note II, serta akan menyusul Samsung Galaxy S4.

Dalam dua hari sejak diluncurkannya di Google Play, Situs Axeetech melaporkan bahwa average rating yang diterima Facebook Home hanya 2,4! Bahkan 44% pengguna memilih bintang 1! Banyak testimoni tidak memuaskan yang disampaikan oleh pengguna untuk Facebook Home ini.

Karena penasaran, akhirnya saya memutuskan untuk mencobanya. Sebenarnya gadget saya bukan termasuk gadget-gadget yang ‘terpilih’ itu. Baca-baca di XDA Developer, ternyata ada member yang membagi trik untuk menginstal aplikasi Facebook Home ini di any Android phone! Minimal versi ICS (4.0). Tidak perlu nge-root segala. Yayy… akhirnya bisa mencobanya juga! 🙂

Tampilan Facebook Home (Stand By)

Facebook Home

Pilihan menu Facebook Home

Pilihan navigasi Facebook Home

Screenshot di paling kiri adalah tampilan Facebook Home ketika dalam mode stand by atau bisa dibilang default-nya lah. Ada gambar avatar kita dalam bentuk lingkaran di tengah bagian bawah dengan latar belakangnya adalah news feed dari teman-teman Facebook kita, entah itu status, foto, atau apapunlah itu.

Timeline tersebut bergerak dengan interval tertentu mirip dengan animasi carousel yang sudah umum itu. Apabila avatar kita sentuh, akan muncul 3 pilihan navigasi Facebook Home, yakni: Messenger, Apps, dan aplikasi yang dibuka sebelumnya.

All apps

All apps

Apps Shortcut

Apps Shortcut

Berbeda dengan tampilan standar Android ICS ke atas yang navigasi daftar aplikasinya di-swipe secara horizontal, pada Facebook Home ini arah swipe-nya adalah vertikal dan tidak ada paging untuk daftar aplikasi tersebut.

Swipe horizontal adalah untuk berpindah dari mode “All Apps” ke mode “Apps shortcut”. Shortcut-shortcut yang ada di home kita sebelumnya ditempatkan oleh Facebook di sana. Bedanya, di Facebook Home ini shortcut-shortcut tersebut tidak bisa di-grouping. Di bagian atas container “Apps Shortcut” itu terdapat shortcut untuk update status, mengunggah foto, dan check-in. Oh ya, hampir lupa, kita mempunyai opsi apakah Facebook Home ini ditampilkan secara full screen ataupun tidak — masih menyisakan notification bar Android di paling atas.

Overall, setelah menjajal Facebook Home ini, saya benar-benar sepakat dengan pendapat Axeetech di artikelnya yang saya sebutkan di atas tadi.

… the application is useful only for heavy users of Facebook, which is not customizable or makes more difficult to access other features of Android.

Dari sisi desain tampilan antarmuka (UI) saya sebenarnya menyukai Facebook Home ini. Smooth, cool, dan stylish. Namun, entah mungkin karena belum biasa, saya merasa navigasi ke aplikasi atau fitur-fitur lain Android menjadi lebih susah. Oh ya, widget! Widget-widget yang saya pasang di homescreen yang lama ternyata pun terntara tidak diakomodasi oleh Facebook Home. Entah di mana saya bisa mengaksesnya.

Facebook Home ini bagi saya terkesan sungguh Facebook-sentris. Bagi pengguna aktif Facebook, Facebook Home ini mungkin akan sangat menarik. Sekedar info saja, saya sebenarnya bukan termasuk pengguna aktif Facebook. Saya tidak cukup sering — bahkan amat, amat, amat jarang — mengupdate status Facebook saya. Oleh karena itu, fitur shortcut untuk update status, mengunggah foto, dan check-in tadi benar-benar useless bagi saya. Akan tetapi saya cukup suka dengan ide menjelajahi timeline Facebook sebagai latar belakang homescreen ini. Mendapat feel yang berbeda dalam men-stalking orang, wkwkwkk.

Dengan banyaknya negative feedback dari pengguna, menurut saya, tentu Facebook tak akan tinggal diam. Mungkin Facebook akan mencoba mengubah konsep Facebook Home ini agar tidak terlalu Facebooksentris? Hahaha, kecil sih kemungkinan untuk itu. Yang jelas fitur widget yang menjadi ciri khas Android saya pikir ke depannya akan coba dikembalikan oleh Facebook. Ah, kok jadi berspekulasi begini. Kita lihat saja sih nanti. 😀

Miss Hometown = Miss Childhood?

When you finally go back to your old hometown, you find it wasn’t the old home you missed but your childhood — Sam Ewing

Well, actually I can’t agree more on that quote. 🙂

Terkadang ketika jenuh dengan kesibukan atau rutinitas sehari-hari di tanah perantauan, terpikir oleh saya untuk pulang ke kampung halaman. Tiba-tiba perasaan rindu itu muncul begitu saja. Well, itu bukan berarti setiap menemui kejenuhan lantas saya beli tiket untuk pulang kampung :D. Menyalurkan hobi membaca, main sepakbola, badminton, lari, pergi ke alam, dan sebagainya bagi saya cukup menjadi media yang efektif untuk mengurangi kejenuhan itu.

Tapi poin saya sesungguhnya bukan itu :P. Ketika pertama kali membaca quote dari Mr. Ewing tadi, saya pun berpikir, “Ah, benar juga ya.”

Setiap kali pulang ke kampung halaman, bayang-bayang masa lalu seringkali muncul di benak saya. Bukan masa lalu yang kelam atau bagaimana ya, hehehe. Maksud saya begini. Ketika melalui sebuah jalanan, tanpa disadari saya bergumam dalam hati, “Ini jalanan yang dulu saya lalui setiap saya ke sekolah.”

Lalu, ketika saya berada di lingkungan rumah, “Di lapangan ini dulu saya biasa main sepakbola sama tetangga-tetangga saya”, “Di rumah ini dulu saya biasa dinasehati oleh orang tua”, dsb.

Ketika lewat sekolah, kampus, atau masjid, “Di sini dulu saya dan kawan-kawan rohis pernah kajian bareng.” Dan seterusnya, seterusnya …

Childhood Memories

Childhood Memories

Well, mungkin bukan maksud hati sengaja untuk mengingat-ingat masa lalu. Namun pikiran-pikiran seperti itu tanpa disadari memang sangat mungkin untuk muncul ke permukaan. Menurut saya, hal tersebut cukup wajar karena sebuah daerah disebut kampung halaman tentu karena ia memiliki  keterikatan historis yang panjang dengan kita, dan menjadi saksi bisu atas masa kecil atau remaja yang kita telah lalui di sana.

Namun, tak selalu yang namanya kerinduan terhadap kampung halaman itu terjadi karena kerinduan akan masa lalu. Kerinduan untuk bertemu dengan keluarga (orang tua), suasana, dan kuliner khas kampung halaman juga bisa menjadi sebab.

Satu hal yang pasti, kita tidak akan pernah bisa menangkap kembali masa childhood  itu. Tapi kita bisa menjadikannya sebagai refleksi atas apa yang telah kita lalui hingga kita berada di tempat kita yang sekarang. Menyegarkan kembali mimpi-mimpi yang pernah kita buat di masa itu, apa tujuan kita di dalam menempuh hidup ini, dsb. Yang dengan itu kemudian ada energi positif yang bisa kita bawa kembali ke tanah perantauan. 🙂

[Video] 9 Summers 10 Autumns Trailer

Ini dia trailer film “9 Summers 10 Autumns” yang kabarnya akan tayang dalam waktu dekat ini (sekitar bulan April-Mei). Nggak sabar ingin menonton visualisasi dari versi novelnya.

Menariknya pemeran Iwan di film ini, Ihsan, di kehidupan nyatanya pun sebenarnya memiliki kemiripan latar belakang. Ayah Iwan adalah seorang sopir angkot/truk, dan Ayah Ihsan adalah seorang tukang becak. Berasal dari keluarga yang pas-pasan, keduanya, baik Iwan maupun Ihsan, dengan perjuangannya akhirnya sama-sama meraih sukses di bidang masing-masing. Iwan menjadi direktur sebuah perusahaan di New York, dan Ihsan menjadi seorang pemenang di kompetisi Indonesian Idol. Mungkin dengan kemiripan latar belakang tersebut Ihsan akan terlihat lebih menjiwai perannya sebagai Iwan di dalam film ini. Hmm … menarik disimak. 🙂

[Book] 9 Summers 10 Autumns

9 Summers 10 Autumns

9 Summers 10 Autumns

9 Summers 10 Autumns. Sebuah novel karya Iwan Setiawan yang menceritakan mengenai perjalanan hidupnya dari kota Apel, Batu, hingga ke kota The Big Apple, New York.

Sebenarnya saya selesai membaca novel ini sudah sekitar 3 bulan yang lalu. Sudah agak lama memang. Namun juga bisa dibilang telat banget sih mengingat novel ini di-publish tahun 2011. Tapi baru sekarang saya berkesempatan untuk menulis sedikit resensinya. Kebetulan juga versi layar lebarnya akan segera dirilis juga dalam waktu dekat, jadi sambil menulis resensi ini saya juga sedikit membaca lagi novelnya, hehe.

Cerita dimulai ketika Iwan menjadi korban penodongan di sebuah jalan dekat stasiun. Di tengah penodongan itu ia melihat bocah kecil dengan baju putih dan celana merah, persis seragam anak SD pada umumnya. Di bagian tersebut saya sempat bertanya-tanya, “Siapa sebenarnya bocah kecil berseragam SD ini?” Sampai bab 2, bab 3 aku pun masih penasaran. Ngapain pula anak kecil ini keluyuran sendirian pakai seragam SD di kota New York.

Setelah itu, saya mulai menduga bahwa bocah kecil ini adalah hanya sosok imajiner Iwan. Bocah kecil itu seolah adalah refleksi dari diri Iwan sendiri. Refleksi akan masa lalunya. Namun, pada saat-saat tertentu bocah kecil ini ternyata bisa memberikan saran atau nasehat kepada Iwan. Saya menduga bocah kecil itu juga menjadi refleksi dari suara hatinya.

Menarik juga. Menurut saya gaya penceritaan yang dilakukan oleh Iwan ini cukup unik. Iwan mengurai perjalanan hidupnya dengan menjadikan seorang anak kecil sebagai subjek pendengarnya. Saya sempat berpikiran bahwa bocah ini pun sebenarnya bisa dianggap merepresentasikan saya dan juga pembaca pada umumnya. Bagaimana tidak, seperti halnya sang bocah, pembaca juga sama-sama dibuat penasaran dan ingin terus mengikuti cerita Iwan.

Membaca novel ini saya langsung menangkap bahwa mas Iwan di dalam novel ini — nggak tahu juga ya aslinya gimana, hehe — adalah seorang yang cukup melankolis. Terlihat sekali dari bagaimana mas Iwan mengungkapkan kisah masa lalunya. Berasal dari keluarga yang boleh dikatakan pas-pasan, banyak lika-liku kehidupan yang dia tempuh untuk bisa sukses menjadi seorang direktur di New York. Tentu perasaan haru tak luput di dalamnya. Iwan sendiri ‘mengakui’-nya dalam sebuah paragraf yang saya quote berikut ini:

Menulis kembali kenangan masa lalu butuh sebuah keberanian. Banyak lembar ingatan yang tak berani aku sentuh, karena melankoli yang muncul bisa meledak dan tak ada kekuatan diriku untuk meredamnya.

Paragraf di atas merupakan salah satu favorit saya di novel ini. Kenapa? Karena saya pun sering merasakannya. Membuka kenangan masa lalu itu tak mudah. Sekali membukanya, bisa hanyut di dalamnya. Istilahnya anak gaul zaman sekarang, bakal susah move on, hehehe. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Iwan di dalam novel ini, dengan mengingat memori masa kecilnya itu membuatnya bijak dalam mengenal dirinya.

Overall, kisah perjalanan hidup mas Iwan ini memang dapat menjadi inspirasi dan memberikan motivasi bagi para pembacanya. From nothing to something, istilahnya begitulah. Semangat juang yang ditunjukkan mas Iwan di dalam hidupnya memang layak untuk dijadikan inspirasi.

Sekilas ‘genre’-nya memang mirip tetralogi terkenal Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, yang juga menceritakan perjuangan seorang anak dari latar belakang yang kurang lebih sama, dalam meraih mimpi-mimpinya. Saya di sini tidak ingin membandingkan keduanya karena masing-masing bagi saya mempunyai kisahnya tersendiri dan menawarkan ‘sensasi’ yang berbeda bagi pembaca dalam mengikutinya.

Satu hal yang juga saya suka dari novel 9 Summers 10 Autumns ini adalah gaya bercerita mas Iwan di novel ini pun seolah membawa saya ikut menyelami perjalanan hidupnya. Mungkin penggunaan kata ganti orang pertama “aku” pada sudut pandang penceritaan novel ini memberikan pengaruh tersebut. Selain itu, alur dan penggunaan diksi yang agak-agak melankolis juga membuat saya larut di dalamnya.

Hal terpenting lainnya, di novel ini Mas Iwan telah menunjukkan pula serta mengingatkan makna kesederhanaan dalam hidup dan rasa cinta terhadap keluarga, terutama orang tua. Kalau saya cermati, karena alasan itu pulalah, mas Iwan memutuskan untuk ‘mengakhiri’ karirnya di Amerika Serikat dan kembali ke Kota Batu. 

9 Summers 10 Autumns. Selama periode tersebut mas Iwan menjalani kehidupannya di New York, Amerika Serikat. Jika boleh menilai, mungkin saya akan memberikan (minimal) 9 dari 10, haha. Yang jelas bagi saya buku ini recommended bangetlah. Jadi tidak sabar untuk menonton versi layar lebarnya. 🙂

Daylight Saving Time

Ah, bodohnya saya baru ngeh tentang daylight saving time atau biasa disingkat dengan DST. Selama ini cuma sering dengar tanpa tahu maksudnya. Maklum, di Indonesia istilah ini tidak cukup populer karena memang tidak pernah menerapkannya.

Saya baru menyadarinya ketika kemarin mau menonton final turnamen Australia Badminton Open Grand Prix Gold 2013 via live streaming. Hari-hari sebelumnya selisih waktu antara WIT (West Indonesia Time) alias WIB (Waktu Indonesia Barat) dengan waktu lokal Sydney sebagaimana yang disebutkan oleh situs World Time Server adalah 4 jam.

Nah, seharusnya pukul 09.00 WIB atau 13.00 waktu lokal Sydney pertandingan final sudah dimainkan. Nyatanya sampai pukul 9 lewat, belum mulai juga. Setelah dicek lagi, eh ternyata selisih waktu Sydney dengan WIB berubah menjadi hanya 3 jam. Dari yang semula zona waktu Sydney adalah Australian Eastern Daylight Time (AEDT) GMT+11 berubah menjadi Australian Eastern Standard Time (AEST) GMT+10.

Setelah googling-googling, ternyata daylight saving time ini memang kebanyakan diterapkan di sebagian besar negara-negara yang berada di belahan bumi utara dan selatan, termasuk Australia itu. Sejarah latar belakang kenapa diterapkannya daylight saving time bisa dibaca di link ini. Daftar negara-negara di dunia mana saja yang menggunakan DST bisa dibaca di link ini. Uniknya ternyata Malaysia yang notabene masih berada di kawasan tropis pun pernah menerapkan sistem tersebut. Yakni, ketika masih menjadi wilayah koloni Inggris dan setelah merdeka, masih menggunakannya hingga tahun 1981.

Apai itu daylight saving time? Sederhananya, ketika masuk masa daylight saving time itu, jam kawasan setempat akan dimajukan sejam dan ketika masa daylight saving time berakhir, jam kawasan tersebut akan di-‘kembalikan’ alias mundur sejam. Sebagai ilustrasi, bisa dilihat di link berikut untuk kawasan Sydney dan sekitarnya.

Oh, jadi ngeh juga kenapa pada bulan April-September jadwal pertandingan sepak bola Eropa lebih awal sejam — menurut waktu di Indonesia dan juga negara-negara yang tidak menggunakan DST — dibandingkan dengan pada periode Oktober-Maret. Padahal sebenarnya jam pertandingan menurut waktu setempat mah tetap-tetap saja. 😀

[Kuliner] My Little Kitchen

Sudah lama nggak posting tentang pengalaman kulineran, hehehe. Kali ini kebetulan saja sempat foto-foto makanannya jadi kepikiran untuk menulisnya di blog. Selain itu, ini juga kulineran pertamaku ke restoran My Little Kitchen di jalan Setiabudi, dekat pertigaan Geger Kalong Hilir.

Jadi ceritanya malam tadi setelah acara wisudaan di kampus aku dan beberapa teman lama ingin mencari tempat makan yang enak untuk ngobrol-ngobrol lama. Maklum, sudah lama kami tidak ngumpul-ngumpul bareng karena entah sibuk dengan pekerjaan masing-masing ataupun karena memang sudah berbeda kota domisili.

Atas ide seorang teman, akhirnya kami memilih My Little Kitchen (MYLK) sebagai tempat makan tujuan kami malam ini. Kebetulan juga ada seorang teman yang mempunyai kartu member di sana. Lumayan, bisa dapat diskon hingga 15% katanya.

Bersama Wafi di Sabuga

Bersama Wafi di Sabuga

Oh ya, sebelumnya aku mau mengucapkan selamat wisuda dululah buat teman 3 tahun sekontrakan dulu, bung Wafi. Agak OOT sebentar, pada wisuda kali ini (April 2013) jumlah anggota IF dan STI ’07 yang diwisuda cuma dua orang. Wafi salah satu di antaranya. Sayang euy, tadi dia nggak bisa ikut join kami makan-makan karena buru-buru pulang ke Jakarta. Kok yang diwisuda malah nggak ikut nih gimana, haha. Padahal ada yang mau traktiran. 😀

Ok, balik lagi. My Little Kitchen ini tempatnya menurutku sangat nyaman. Restoran ini memiliki dua lantai. Kami tadi memilih tempat di bagian balkon lantai dua. Agak dingin sih memang berada di luar. Apalagi tadi daerah Setiabudi tengah diguyur hujan gerimis. Tapi, entahlah, aku merasa fine saja, bahkan makan jadi nikmat karena suasananya cukup dingin-dingin segar di balkon tadi.

Soal harga, dibandingkan dengan restoran-restoran steak sejenis, harganya cukup reasonableRange-nya kalau tidak salah tadi aku lihat sekitar 20 ribu sampai 100-an ribu juga ada. Di daftar menunya diberikan penanda untuk menu-menu yang recommended. Aku pesan steak T-bone (42.500 IDR) tadi. Bukan termasuk menu yang direkomendasikan sih sebenarnya. Tapi, toh enak juga kok. Kita bisa milih sauce-nya mau yang pepper, mushroomatau barbeque. Kentangnya pun bisa milih yang mashed atau french fries.

T-bone

T-bone

IMG_20130406_200726

Nggak terasa tadi kami nongkrong di sana sampai 2 jam lebih. Kebetulan restorannya tadi juga lagi nggak begitu ramai sih. Padahal malam minggu. Oh ya, kalau mau tahu review-review yang lain tentang My Little Kitchen, bisa baca-baca di link ini dari TripAdvisor.

Menyimak “Perjalanan Spiritual” pada Film Life of Pi

Life of Pi

Life of Pi (marcelosantosiii.com)

Life of Pi ini sebenarnya sudah ada sejak 2001 dalam bentuk novel. Menjelang akhir tahun 2012 kemarin, tepatnya bulan November, film yang mengadaptasi novel tersebut baru saja rilis. Saya sendiri belum pernah membaca novelnya dan baru sempat menonton filmnya baru-baru ini. Tapi tidak ada salahnya kan saya sedikit memberikan sedikit opini mengenai film tersebut, hehehe. Eh, tapi sebelum itu, perlu digarisbawahi ya, opini saya ini belum tentu sama sebagaimana yang dimaksudkan oleh sang author alias penulis cerita aslinya.

Oke, di menit-menit awal menonton film ini saya mulai menebak-nebak akan ke mana dialog antara Pi dewasa dan sang novel writer. Saya pun berpikiran bahwa ‘petunjuk’ menuju kepada substansi dari film ini sebenarnya secara eksplisit telah diungkapkan pada dialog (sekitar menit ke-10) ketika sang novel writer berkata pada Pi dewasa, “He (Mamaji) said you had a story that would make me believe in God.”

Salah satu scene antara sang writer dengan Pi

Salah satu scene antara sang writer dengan Pi

Dalam pandangan saya film ini — terlepas dari substansi sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh sang penulis novel yang asli — secara umum memang mengisahkan mengenai ‘perjalanan spiritual’ sang tokoh utama, Pi, dalam memercayai keberadaan Tuhan.

Di awal diceritakan bahwa Pi terlahir sebagai seorang Hindu, agama ‘pertama’-nya. “None of us knows God until someone introduces us,” begitu katanya, menyiratkan bahwa ‘pilihan’-nya atas Hindu terjadi karena memang diperkenalkan oleh orang tuanya sedari kecil.

Perjalanan spiritualnya berlanjut ketika Pi remaja berkenalan dengan Kristen dari seorang pendeta di sebuah gereja di suatu desa. Di titik tersebut Pi mengklaim ia menemukan God’s love alias kasih Tuhan di dalam Kristen. Uniknya, dalam satu monolognya Pi berterima kasih kepada Dewa Wisnu (salah satu Tuhan dalam Hindu) karena telah memperkenalkannya pada Kristen.

“But God wasn’t finished with me yet.”

Kali ini Pi berkenalan dengan Islam setelah memperhatikan umat muslim yang sholat berjamaah di sebuah masjid. Ia pun mempraktikkan ibadah sholat tersebut. Di titik itu Pi mengatakan bahwa ia menemukan ketentraman di sana. Akhirnya Pi remaja pun di saat tersebut mempraktikkan ketiga agama tersebut sebagai keyakinannya.

Sampai di titik ini saya bergumam dalam hati saya, “Wew, film ini seperti ingin menyebarkan pemahaman agama universal sebagaimana yang diusung JIL (Jaringan Islam Liberal).” Perjalanan spiritual Pi itu seperti ingin menunjukkan bahwa semua agama adalah jalan-jalan yang sah menuju Tuhan yang sebenarnya sama. Dewa Wisnu, Kristus, dan Allah yang disebutkan oleh Pi itu hanya sekedar nama untuk Tuhan yang sama di agama yang berbeda. Saya berpikir bahwa pesan itulah sebenarnya yang sedang Pi sampaikan.

Namun, hal menarik muncul di meja makan pada suatu momen makan malam keluarga kecil Pi. Kakak Pi menjadikan keyakinan Pi — meyakini dan menjalankan 3 keyakinan sekaligus bersamaan — sebagai bahan becandaan. Ayah Pi pun menimpali dengan mengatakan, “You cannot follow three different religions at the same time, Piscine, because …

believing in everything at the same time is the same as not believing in anything at all.”

Percaya kepada segalanya — dalam hal ini tentu saja yang dimaksud lebih khusus adalah agama — secara bersamaan, sama artinya dengan tidak percaya sama sekali kepada semuanya. Ayah Pi pun melanjutkan,

“Instead of leaping from one religion to the next, why not start with reason?”

Seems familiar, right? Mengingatkan kita akan kisah Nabi Ibrahim bukan? Bedanya, pada kisah Nabi Ibrahim, beliau bukannya berpindah antar keyakinan atau agama, melainkan — sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-An’am 76-79 — mencoba mengamati ‘kans’ bintang (ayat 76), kemudian bulan (ayat 77), dan kemudian matahari (ayat 78), apakah ‘layak’ untuk menjadi Tuhan. Akan tetapi, dengan reasoning-nya akhirnya beliau mematahkan kaumnya yang meyakini dan menyembah ketiganya. Dan di ayat 79 disebutkan bahwa beliau menyatakan meyakini dan megikuti agama Allah sebagai agama yang benar.

The point is Continue reading