9 Summers 10 Autumns. Sebuah novel karya Iwan Setiawan yang menceritakan mengenai perjalanan hidupnya dari kota Apel, Batu, hingga ke kota The Big Apple, New York.
Sebenarnya saya selesai membaca novel ini sudah sekitar 3 bulan yang lalu. Sudah agak lama memang. Namun juga bisa dibilang telat banget sih mengingat novel ini di-publish tahun 2011. Tapi baru sekarang saya berkesempatan untuk menulis sedikit resensinya. Kebetulan juga versi layar lebarnya akan segera dirilis juga dalam waktu dekat, jadi sambil menulis resensi ini saya juga sedikit membaca lagi novelnya, hehe.
Cerita dimulai ketika Iwan menjadi korban penodongan di sebuah jalan dekat stasiun. Di tengah penodongan itu ia melihat bocah kecil dengan baju putih dan celana merah, persis seragam anak SD pada umumnya. Di bagian tersebut saya sempat bertanya-tanya, “Siapa sebenarnya bocah kecil berseragam SD ini?” Sampai bab 2, bab 3 aku pun masih penasaran. Ngapain pula anak kecil ini keluyuran sendirian pakai seragam SD di kota New York.
Setelah itu, saya mulai menduga bahwa bocah kecil ini adalah hanya sosok imajiner Iwan. Bocah kecil itu seolah adalah refleksi dari diri Iwan sendiri. Refleksi akan masa lalunya. Namun, pada saat-saat tertentu bocah kecil ini ternyata bisa memberikan saran atau nasehat kepada Iwan. Saya menduga bocah kecil itu juga menjadi refleksi dari suara hatinya.
Menarik juga. Menurut saya gaya penceritaan yang dilakukan oleh Iwan ini cukup unik. Iwan mengurai perjalanan hidupnya dengan menjadikan seorang anak kecil sebagai subjek pendengarnya. Saya sempat berpikiran bahwa bocah ini pun sebenarnya bisa dianggap merepresentasikan saya dan juga pembaca pada umumnya. Bagaimana tidak, seperti halnya sang bocah, pembaca juga sama-sama dibuat penasaran dan ingin terus mengikuti cerita Iwan.
Membaca novel ini saya langsung menangkap bahwa mas Iwan di dalam novel ini — nggak tahu juga ya aslinya gimana, hehe — adalah seorang yang cukup melankolis. Terlihat sekali dari bagaimana mas Iwan mengungkapkan kisah masa lalunya. Berasal dari keluarga yang boleh dikatakan pas-pasan, banyak lika-liku kehidupan yang dia tempuh untuk bisa sukses menjadi seorang direktur di New York. Tentu perasaan haru tak luput di dalamnya. Iwan sendiri ‘mengakui’-nya dalam sebuah paragraf yang saya quote berikut ini:
Menulis kembali kenangan masa lalu butuh sebuah keberanian. Banyak lembar ingatan yang tak berani aku sentuh, karena melankoli yang muncul bisa meledak dan tak ada kekuatan diriku untuk meredamnya.
Paragraf di atas merupakan salah satu favorit saya di novel ini. Kenapa? Karena saya pun sering merasakannya. Membuka kenangan masa lalu itu tak mudah. Sekali membukanya, bisa hanyut di dalamnya. Istilahnya anak gaul zaman sekarang, bakal susah move on, hehehe. Akan tetapi, seperti yang dikatakan Iwan di dalam novel ini, dengan mengingat memori masa kecilnya itu membuatnya bijak dalam mengenal dirinya.
Overall, kisah perjalanan hidup mas Iwan ini memang dapat menjadi inspirasi dan memberikan motivasi bagi para pembacanya. From nothing to something, istilahnya begitulah. Semangat juang yang ditunjukkan mas Iwan di dalam hidupnya memang layak untuk dijadikan inspirasi.
Sekilas ‘genre’-nya memang mirip tetralogi terkenal Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, yang juga menceritakan perjuangan seorang anak dari latar belakang yang kurang lebih sama, dalam meraih mimpi-mimpinya. Saya di sini tidak ingin membandingkan keduanya karena masing-masing bagi saya mempunyai kisahnya tersendiri dan menawarkan ‘sensasi’ yang berbeda bagi pembaca dalam mengikutinya.
Satu hal yang juga saya suka dari novel 9 Summers 10 Autumns ini adalah gaya bercerita mas Iwan di novel ini pun seolah membawa saya ikut menyelami perjalanan hidupnya. Mungkin penggunaan kata ganti orang pertama “aku” pada sudut pandang penceritaan novel ini memberikan pengaruh tersebut. Selain itu, alur dan penggunaan diksi yang agak-agak melankolis juga membuat saya larut di dalamnya.
Hal terpenting lainnya, di novel ini Mas Iwan telah menunjukkan pula serta mengingatkan makna kesederhanaan dalam hidup dan rasa cinta terhadap keluarga, terutama orang tua. Kalau saya cermati, karena alasan itu pulalah, mas Iwan memutuskan untuk ‘mengakhiri’ karirnya di Amerika Serikat dan kembali ke Kota Batu.
9 Summers 10 Autumns. Selama periode tersebut mas Iwan menjalani kehidupannya di New York, Amerika Serikat. Jika boleh menilai, mungkin saya akan memberikan (minimal) 9 dari 10, haha. Yang jelas bagi saya buku ini recommended bangetlah. Jadi tidak sabar untuk menonton versi layar lebarnya. 🙂