Category Archives: Renungan

menampung air hujan dengan ember

Berkah Air Hujan

Ini cerita 2-3 minggu lalu sebenarnya. Saat itu daerah di mana saya tinggal sedang mengalami penggiliran air PDAM. Air PDAM hanya mengalir pada jam-jam tertentu.

Namun rupanya ketika jam giliran air menyala pun debit airnya tidak cukup deras sehingga air tidak kuat untuk naik ke torrent air kontrakan saya.

Lewat waktu subuh, air pun juga sudah habis duluan. Ada beberapa hari juga di mana kontrakan benar-benar tidak mendapat pasokan air sama sekali.

Untungnya ketika itu beberapa hari turun hujan deras di Kota Bandung. Saya bersama teman-teman kontrakan menampung air hujan tersebut dengan ember-ember yang kami punya.

Terasa sekali berkahnya air hujan kala itu. Air hujan tersebut bisa langsung kami manfaatkan untuk kebutuhan rumah seperti mencuci piring, mandi, wudhu, dan istinja.

Ketika itu hujan deras turun secara rutin dalam beberapa hari. Kami benar-benar tertolong karena hujan tersebut. Manfaat air hujan itu sungguh terasa bagi kami.

Pada saat bersamaan di tempat lain yang masih berada di Kota Bandung, ternyata hujan deras tersebut justru menyebabkan banjir. Banjir tersebut menyebabkan macet di beberapa ruas jalan (salah satu beritanya ada di sini). Bahkan di dekat Pasar Cikaso kabarnya ada gerobak tukang ayam goreng yang hanyut terbawa arus banjir.

Tentu saja dua perspektif kejadian yang kami alami dan orang lain alami itu adalah sebuah paradoks. Saya pun menjadi sedikit merenung.

Air hujan yang seharusnya merupakan sebuah berkah bagi semua makhluk di bumi ini, ternyata juga bisa menjadi musibah. Apakah air hujannya yang salah? Tentu sama sekali tidak.

Jangan-jangan selama ini kita mungkin lebih sering bersikap take for granted atas air hujan yang turun. Air hujan dianggap angin lalu saja.

Tak jarang kita juga mungkin pernah mendengar keluhan seperti “Duh, hujan lagi, hujan lagi” atau “Duh hujan nih, bakal banjir lagi sepertinya” pada saat hujan turun. Na’udzubillah min dzalik. Semoga kita tidak sampai begitu, mengeluarkan celaan atau penyesalan atas hujan yang dirasa mengganggu aktivitas kita.

Sebaliknya, kita seyogyanya mengikuti anjuran Rasulullah untuk selalu mensyukuri turunnya air hujan dengan berdo’a agar hujan tersebut memberikan keberkahan dan kebermanfaatan.

اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً

Ya Allah turunkanlah kepada kami hujan yang bermanfaat. (HR. Bukhari)

Jika hujan ternyata turun dengan lebatnya hingga menimbulkan kekhawatiran pada kita, rupanya Rasulullah pun sudah mencontohkan doanya pula.

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَر

Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan (HR. Bukhari)

Dari contoh doa Rasulullah tersebut sudah semestinya kita perlu banyak-banyak bersyukur kepada Allah ketika hujan turun. Banyak manfaat hujan yang bisa kita rasakan. Jika hujan ternyata menyebabkan banjir atau longsor, sudah semestinya pula menjadi renungan bersama. Mungkin memang kitanya sendiri yang kurang menjaga atau melestarikan lingkungan sekitar kita.

Advertisement

Agar Kebiasaan Tak Terputus

Tak jarang ketika kita sedang mencoba untuk konsisten dalam menjalani sebuah kebiasaan (yang positif), akan ada saja hal-hal yang menginterupsi kita pada suatu saat tertentu sehingga menyebabkan kita melewatkan kebiasaan tersebut. Interupsi itu datangnya bisa dari faktor internal atau eksternal.

Faktor internal bisa disebabkan memang lagi sakit atau malas misalnya. Sedangkan faktor eksternal bisa terjadi karena tiba-tiba ada pekerjaan lain yang lebih penting untuk dilakukan atau kondisi di luar yang memang tidak memungkinkan, seperti cuaca buruk misalnya.

Dalam hal semangat, kerajinan, atau kegigihan, yang namanya manusia, pasti ada yang namanya naik turun. Siapapun bisa mengalami. Di dalam Islam bahkan ada istilahnya untuk menyebut fenomena ini, yakni futur. Futur, sebagaimana saya kutip dari sini, bermakna rasa malas dan lemah setelah sebelumnya ada masa rajin dan semangat.

Menurut James Clear dalam bukunya, Atomic Habit, ketika kebiasaan kita mendapatkan interupsi — sehingga kita melewatkannya — kita perlu menyikapinya dengan menerapkan prinsip sederhana: never miss twice. Jangan sampai kita melewatkan untuk yang kedua kalinya. Begitu terlewat lagi, besar kemungkinan kita berat untuk melanjutkan kebiasaan tersebut, hingga akhirnya lama-lama akan hilang.

Missing once is an accident. Missing twice is the start of a new habit.

~ James Clear (Atomic Habits)

Sekadar sharing contoh kasus saja. Salah satu hobi saya adalah lari. Dalam seminggu saya menjadwalkan untuk lari sebanyak 3x. Di antara jadwal lari itu biasanya saya selingi dengan 1-2 hari untuk beristirahat. Sekali lari biasanya saya mematok target lari dengan jarak tertentu.

Dalam seminggu saya memiliki target bisa berlari mencapai mileage minimal 20K. Sebagai contoh, jika 2 hari yang lalu saya berlari 5K, hari ini berlari 7K, berarti lusa saya harus berlari minimal 8K agar target pribadi tersebut tercapai.

Pada kenyataannya, untuk bisa konsisten berlari dengan mengejar mileage tersebut, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kadang kala ketika sudah tiba jadwalnya untuk lari, walaupun berlari sudah menjadi kebiasaan, perasaan malas itu selalu ada saja.

Semakin berat dengan ditambah justifikasi seperti cuaca yang sedang dingin-dinginnya (suhu pagi hari di Bandung dan Malang pada waktu-waktu tertentu bisa kurang dari 20°C), badan yang masih lelah karena aktivitas sehari sebelumnya, rasa kantuk yang masih menghinggapi, atau teringat hari itu ada deadline di kantor.

Pikiran-pikiran negatif yang muncul tersebut tentu saja membuat energi aktivasi yang saya perlukan untuk memulai berlari menjadi sangat besar. Apalagi membayangkan saya harus berlari jauh lebih dari 5 km dan bakal menghabiskan waktu lebih dari 30 menit ditambah dengan waktu untuk pemanasan dan pendinginan.

Sepertinya benar apa yang disampaikan oleh James Clear. Permasalahan itu seringkali ada dalam cara berpikir kita. Kita terlalu menuntut kesempurnaan sehingga malah membuat kita menunda-nunda atau bahkan tidak memulainya.

If you can’t do something perfectly, then you shouldn’t do it all. Pola pikir negatif seperti itulah yang kita sering kali terjebak di dalamnya.

Begitu saya skip lari di jadwal yang seharusnya, efeknya berlanjut ke hari setelahnya. Energi aktivasi yang diperlukan juga semakin besar. Belum lagi badan, terutama kaki, perlu adjustment lagi agar kuat berlari sejauh biasanya.

Karena itu James Clear menekankan bahwa penting sekali untuk sekadar show up. Dalam kasus saya, contoh bentuk show up itu mungkin hanya sekadar work out sederhana (biasanya latihan strength untuk memperkuat kaki dan core) atau jalan kaki.

It’s easy to train when you feel good, but it’s crucial to show up when you don’t feel like it — even if you do less than you hope.

~ James Clear (Atomic Habits)

Energi yang dikeluarkan untuk kedua contoh tadi tidaklah besar. Mudah untuk dilakukan dan tidak ada lari-larinya sama sekali. Tapi keduanya berkontribusi kepada kebiasaan lari saya tersebut.

Selain itu juga masih kongruen dengan identitas yang ingin saya bangun melalui kebiasaan lari tersebut. Yakni menjadi orang yang (berusaha) selalu tetap bugar. Dengan cara tersebut, ketika tiba jadwal berikutnya untuk lari lagi, saya bisa tetap nyetel.

Sebagaimana yang juga disampaikan James Clear dalam bukunya, Atomic Habits, identity adalah layer terpenting yang harus dimiliki seseorang untuk menjaga agar suatu kebiasaan tersebut dapat bertahan lama (bahkan sepanjang hidup), dibandingkan dengan kebiasaan yang sekadar berbasiskan outcome atau process. Karena itu, penting bagi kita untuk menetapkan identitas yang ingin kita bangun terlebih dahulu sebelum menerapkan sebuah kebiasaan.

Memaknai Usia

Minggu lalu (20/4) seperti biasa sekitar jam 9 malam sebelum tidur saya ngoprek-ngoprek sesuatu sembari memutar siaran radio MQFM (102.7 FM). Malam itu kebetulan sang penyiar sedang membicarakan topik kontemplasi yang membuat saya cukup teralihkan dari kegiatan saya karena saya pun menjadi ikutan berkontemplasi.

Kurang lebih sang penyiar bertanya seperti ini, “Bagaimana Anda memaknai bertambahnya umur? Apakah Anda memandangnya sebagai sebuah peluang atau memanndangnya dengan kekhawatiran?”

“Jika memaknainya sebagai peluang, peluang apa sih yang bisa ditemukan ketika usia bertambah? Jika memandangnya dengan kekhawatiran, apa sih yang dikhawatirkan?”

Dari segi fisik, bertambahnya usia sering diidentikkan dengan semakin besarnya potensi penyakit yang siap menghampiri kita. Ibarat kendaraan yang sudah dipakai bertahun-tahun lamanya, munculnya keluhan di sana-sini menjadi hal yang lumrah ditemui.

Namun hal tersebut sebenarnya bisa dicegah atau diminimalisisasi dengan mulai memperhatikan dan menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang baik seperti menjaga hidup bersih, pola makan yang sehat, dan berolahraga. Kita pasti semua tidak ingin ketika tua kelak menjadi susah untuk beraktivitas atau merepotkan orang lain karena kondisi fisik kita. Na’udzubillahi min dzalik.

Di sisi lain, bertambahnya usia semestinya membuat kita juga bisa lebih bijak. Belakangan saya mencoba mencari-cari apakah ada konsep atau model mengenai kebijaksanaan (wisdom). Rupanya sudah ada. Model tersebut diajukan oleh Monika Ardelt, di mana model wisdom tersebut terdiri atas 3 dimensi, yakni reflective, cognitive, dan affective.

Setiap dimensi memiliki karakteristik kepribadian masing-masing yang dapat kita identifikasi (baca di sini). Di antaranya adalah berusaha memahami suatu peristiwa dengan lebih dalam terutama dalam kaitannya dengan interpersonal. Selain itu juga berusaha melihat suatu peristiwa dari berbagai perspektif sebelum mengambil kesimpulan. Lebih pandai mengatur emosi dan menahan ego untuk merasa selalu benar. Serta lebih menaruh simpati kepada orang lain.

Bertambahnya usia juga membuat kita sadar bahwa tidak pernah ada istilah “waktu yang tepat”. There is never a right time. Kita menjadi lebih menghargai dan fokus pada waktu sekarang, seolah-olah memang waktu yang kita miliki memang tinggal saat ini saja. Besok belum tentu. Yang sudah berlalu biarlah berlalu.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah pernah mengisyaratkan seandainya kita memiliki sebiji kurma dan kiamat akan terjadi esok, maka hendaknya kita tetap menanamnya selagi mampu.

Ya, kita tidak akan pernah tahu dengan pasti apa yang akan terjadi esok. Apa yang bisa kita perbuat sekarang, kita kerjakan. Terus mengerjakan kerbaikan walaupun manfaatnya tidak langsung kita rasakan pada hari itu. Bisa jadi kebaikan atau hal positif yang kita lakukan hari ini akan bermanfaat bagi kita setelah sekian lama di kemudian hari atau bahkan baru terasa manfaatnya bagi generasi setelah kita.

Insya Allah tidak ada yang sia-sia. Seandainya bukan kita yang merasakan, insya Allah perbuatan baik tersebut bisa menjadi pahala yang mengalir bagi diri kita kelak.

Kita hari ini sejatinya adalah hasil kumpulan kebiasaan-kebiasaan dan keputusan-keputusan yang kita ambil di masa lalu. Oleh karena itu, jika kita mengharapkan masa depan yang lebih baik, baik dunia maupun akhirat, kita perlu berinvestasi untuk diri kita dengan terus melakukan kebiasaan-kebiasaan positif dan perencanaan yang baik di masa sekarang.

Marhaban Ya Ramadan 1441 H

Petang tadi pemerintah telah secara resmi menetapkan malam ini kita telah memasuki malam awal Ramadan. Esok hari (24 April 2020) adalah hari pertama kita berpuasa.

Ramadan kali ini mungkin akan menjadi Ramadan yang tak akan terlupakan dalam hidup kita. Ramadan di kala wabah covid-19, di mana masyarakat dihimbau untuk menghindari segala bentuk kerumunan, termasuk kegiatan sholat berjamaah di masjid.

Sholat tarawih di masjid yang menjadi ciri khas ibadah keseharian umat muslim di bulan Ramadan pun terpaksa ditiadakan. Masyarakat dihimbau untuk melaksanakan sholat tarawih di kediaman masing-masing.

Ada perasaan yang aneh tentunya menjalani Ramadan dengan kondisi seperti ini. Jika dulu semangat beribadah kita di bulan Ramadan terbantu oleh suasana yang terbentuk di lingkungan sekitar kita. Pada masa pandemi ini, suasana itu mungkin tidak akan kita temukan.

Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi kita untuk tetap bersemangat memanfaatkan momen bulan Ramadan ini untuk meningkatkan ketakwaan kita sebagaimana tujuan berpuasa Ramadan itu sendiri (QS. Al-Baqarah 183).

Hikmahnya mungkin Ramadan kali ini bisa menjadi momen untuk fokus mengokohkan pondasi ketakwaan dalam entitas terkecil di masyarakat, yakni keluarga. Yakni, dengan membangun iklim keilmuan dan ketaatan dalam keluarga, seperti belajar bersama-sama, membaca Qur’an bersama-sama, beribadah tarawih bersama-sama, dan sebagainya.

Di awal bulan Ramadan ini, saya ingin mengucapkan juga selamat menjalankan ibadah puasa Ramadan kepada rekan-rekan pembaca sekalian. Semoga kita semua bisa memanfaatkan bulan Ramadan ini dengan sebaik-baiknya.

Marhaban ya Ramadan 1441 H!

Olahraga atau Tidak Olahraga

Dua hari yang lalu banyak pihak dikejutkan oleh berita meninggalnya salah seorang aktor berkewarganegaraan Malaysia yang beristrikan seorang selebritis Indonesia. Mengejutkan karena meninggalnya terbilang mendadak. Apalagi beliau dikenal gemar berolahraga dan dianggap memiliki gaya hidup sehat.

Hal tersebut ternyata menjadi perhatian banyak media massa dan mungkin juga menjadi pembahasan di beberapa whatsapp group. Rata-rata mereka membahas pentingnya untuk melakukan medical check-up secara rutin karena penyakit jantung bisa dimiliki seseorang tanpa terdeteksi sejak awal.

Terkait hal itu sebaiknya kita memang mendengar orang-orang yang ahli di bidangnya. Saya sendiri tidak memiliki kapasitas keilmuan untuk membahas hal tersebut dari perspektif kedokteran atau biologi. Saya hanya ingin mengambil ibrah saja terkait hal ini.

Meninggalnya beliau kembali mengingatkan saya bahwasannya ajal masing-masing tidak ada yang tahu kapan datangnya. Alam bawah sadar kita mungkin selalu berpikir bahwa ajal sangat dekat pada mereka yang sudah tua atau yang sedang menderita suatu penyakit berat.

Nyatanya tidak dalam kejadian ini. Sang aktor tersebut bisa dikatakan masih terbilang muda. Secara fisik juga sangat segar bugar. Namun beliau ternyata mendahului mereka yang mungkin saat ini sudah berusia senja atau yang sudah menderita penyakit berat bertahun-tahun.

Namun bukan berarti mereka yang rajin berolahraga, hasil olahraganya akan sia-sia. Justru olahraga itu insya Allah adalah sebuah ikhtiar kita untuk menjaga fisik yang dikaruniai oleh Allah ini agar dapat menggunakannya untuk aktivitas yang diridloi-Nya.

Aktivitas ibadah mahdhah seperti sholat, puasa, dan naik haji memerlukan fisik yang sehat (walaupun untuk sholat bisa menyesuaikan dengan kondisi ketika sakit). Aktivitas menuntut ilmu dan mencari nafkah pun dapat maksimal ketika fisik dalam kondisi sehat.

Jangan sampai kita lengah ketika memiliki fisik sehat. Jangan sampai kita merasa kesehatan atau tubuh fit yang kita dapatkan adalah karena jerih payah kita. Apalagi beranggapan bahwa kita akan berumur panjang dengan kesehatan itu.

Naudzubillah min dzalik. Kita harus tetap ingat bahwasannya kesehatan dan badan yang fit itu adalah pemberian Allah SWT yang harus senantiasa kita syukuri.

Allah bisa mencabutnya kapan saja. Ajal pun bisa datang seketika.

Pulang

Mengikhlaskan kepergian seseorang yang kita cintai itu ternyata tidak mudah. Apalagi ketika memori kita bersamanya sudah sedemikian banyaknya. Acap kali kenangan-kenangan masa lalu tiba-tiba terlintas dalam pikiran dan seketika itu air mata menetes mengingat waktu-waktu bersamanya yang tak mungkin terulang.

Hati ini juga menjadi terenyuh ketika melihat orang tua, terutama sang ibu, masih terpukul karena kepergian anaknya itu. Sebagai anak, tentu saja saya harus tampak tegar agar bisa menghibur sang ibu. Terkadang ingin rasanya ikut menangis bersama ibu.

Kepergian adik baru-baru ini membuat saya mencoba merenungi sejatinya siapa yang pulang dan siapa yang pergi dalam musibah ini. Jika seorang anggota keluarga pergi keluar rumah untuk berpergian atau merantau, kita akan bersikap biasa karena yakin suatu saat mereka akan pulang ke rumah. Perasaan khawatir mungkin ada terkait keselamatan mereka di perjalanan. Tapi harapan bahwa mereka akan pulang ke rumah masih menyala.

Sementara itu pada kepergian seseorang yang kita cintai untuk selamanya, harapan itu tak ada. Ia tak akan pernah pulang kembali karena memang sejatinya dunia ini bukanlah rumah kita. Adik tidak pergi, tetapi sudah pulang. Orang yang kita anggap pergi untuk selamanya itu sejatinya telah pulang ke tempat asal kita yang sesungguhnya. Sebaliknya, justru kitalah sebenarnya yang tengah bepergian (di dunia) dan menunggu giliran pulang.

Sudah selayaknya kita bersikap sebagai seorang musafir. Tidak berleha-leha dalam perjalanan ini. Ada banyak perbekalan yang perlu kita kumpulkan. Kita pun masih bisa juga membantu menambah perbekalan untuk orang yang pulang mendahului kita. Berharap agar kelak ketika “pulang” nanti, kita bisa berkumpul kembali dengan orang-orang yang kita cintai itu di rumah yang terbaik di surga-Nya.

Selama Masih Bisa Merasa Bersalah

Pernah nggak, kita melakukan kesalahan dan tahu itu salah, tapi entah kenapa kita tidak merasa bersalah? Kita merasa biasa-biasa saja. Jika terjadi demikian, mungkin ada yang salah dengan diri kita.

Bagi saya, bisa merasa bersalah adalah salah satu nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Artinya Allah masih menjaga kita di jalur yang diridloi-Nya. Kita merasa tidak nyaman dengan kesalahan yang kita lakukan dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya di kemudian hari.

Salah satu hal yang saya takutkan adalah suatu saat nikmat itu dicabut. Kesalahan yang telah menjadi kebiasaan akan berbahaya karena hati akan kehilangan sensitivitasnya dan menganggap itu bukan kesalahan lagi, walaupun akal mungkin masih mengetahui bahwa itu salah. Semoga kita terlindungi dari hal yang demikian.

*sumber gambar: WordPress Free Photo Library