Agar Kebiasaan Tak Terputus

Tak jarang ketika kita sedang mencoba untuk konsisten dalam menjalani sebuah kebiasaan (yang positif), akan ada saja hal-hal yang menginterupsi kita pada suatu saat tertentu sehingga menyebabkan kita melewatkan kebiasaan tersebut. Interupsi itu datangnya bisa dari faktor internal atau eksternal.

Faktor internal bisa disebabkan memang lagi sakit atau malas misalnya. Sedangkan faktor eksternal bisa terjadi karena tiba-tiba ada pekerjaan lain yang lebih penting untuk dilakukan atau kondisi di luar yang memang tidak memungkinkan, seperti cuaca buruk misalnya.

Dalam hal semangat, kerajinan, atau kegigihan, yang namanya manusia, pasti ada yang namanya naik turun. Siapapun bisa mengalami. Di dalam Islam bahkan ada istilahnya untuk menyebut fenomena ini, yakni futur. Futur, sebagaimana saya kutip dari sini, bermakna rasa malas dan lemah setelah sebelumnya ada masa rajin dan semangat.

Menurut James Clear dalam bukunya, Atomic Habit, ketika kebiasaan kita mendapatkan interupsi — sehingga kita melewatkannya — kita perlu menyikapinya dengan menerapkan prinsip sederhana: never miss twice. Jangan sampai kita melewatkan untuk yang kedua kalinya. Begitu terlewat lagi, besar kemungkinan kita berat untuk melanjutkan kebiasaan tersebut, hingga akhirnya lama-lama akan hilang.

Missing once is an accident. Missing twice is the start of a new habit.

~ James Clear (Atomic Habits)

Sekadar sharing contoh kasus saja. Salah satu hobi saya adalah lari. Dalam seminggu saya menjadwalkan untuk lari sebanyak 3x. Di antara jadwal lari itu biasanya saya selingi dengan 1-2 hari untuk beristirahat. Sekali lari biasanya saya mematok target lari dengan jarak tertentu.

Dalam seminggu saya memiliki target bisa berlari mencapai mileage minimal 20K. Sebagai contoh, jika 2 hari yang lalu saya berlari 5K, hari ini berlari 7K, berarti lusa saya harus berlari minimal 8K agar target pribadi tersebut tercapai.

Pada kenyataannya, untuk bisa konsisten berlari dengan mengejar mileage tersebut, tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kadang kala ketika sudah tiba jadwalnya untuk lari, walaupun berlari sudah menjadi kebiasaan, perasaan malas itu selalu ada saja.

Semakin berat dengan ditambah justifikasi seperti cuaca yang sedang dingin-dinginnya (suhu pagi hari di Bandung dan Malang pada waktu-waktu tertentu bisa kurang dari 20°C), badan yang masih lelah karena aktivitas sehari sebelumnya, rasa kantuk yang masih menghinggapi, atau teringat hari itu ada deadline di kantor.

Pikiran-pikiran negatif yang muncul tersebut tentu saja membuat energi aktivasi yang saya perlukan untuk memulai berlari menjadi sangat besar. Apalagi membayangkan saya harus berlari jauh lebih dari 5 km dan bakal menghabiskan waktu lebih dari 30 menit ditambah dengan waktu untuk pemanasan dan pendinginan.

Sepertinya benar apa yang disampaikan oleh James Clear. Permasalahan itu seringkali ada dalam cara berpikir kita. Kita terlalu menuntut kesempurnaan sehingga malah membuat kita menunda-nunda atau bahkan tidak memulainya.

If you can’t do something perfectly, then you shouldn’t do it all. Pola pikir negatif seperti itulah yang kita sering kali terjebak di dalamnya.

Begitu saya skip lari di jadwal yang seharusnya, efeknya berlanjut ke hari setelahnya. Energi aktivasi yang diperlukan juga semakin besar. Belum lagi badan, terutama kaki, perlu adjustment lagi agar kuat berlari sejauh biasanya.

Karena itu James Clear menekankan bahwa penting sekali untuk sekadar show up. Dalam kasus saya, contoh bentuk show up itu mungkin hanya sekadar work out sederhana (biasanya latihan strength untuk memperkuat kaki dan core) atau jalan kaki.

It’s easy to train when you feel good, but it’s crucial to show up when you don’t feel like it — even if you do less than you hope.

~ James Clear (Atomic Habits)

Energi yang dikeluarkan untuk kedua contoh tadi tidaklah besar. Mudah untuk dilakukan dan tidak ada lari-larinya sama sekali. Tapi keduanya berkontribusi kepada kebiasaan lari saya tersebut.

Selain itu juga masih kongruen dengan identitas yang ingin saya bangun melalui kebiasaan lari tersebut. Yakni menjadi orang yang (berusaha) selalu tetap bugar. Dengan cara tersebut, ketika tiba jadwal berikutnya untuk lari lagi, saya bisa tetap nyetel.

Sebagaimana yang juga disampaikan James Clear dalam bukunya, Atomic Habits, identity adalah layer terpenting yang harus dimiliki seseorang untuk menjaga agar suatu kebiasaan tersebut dapat bertahan lama (bahkan sepanjang hidup), dibandingkan dengan kebiasaan yang sekadar berbasiskan outcome atau process. Karena itu, penting bagi kita untuk menetapkan identitas yang ingin kita bangun terlebih dahulu sebelum menerapkan sebuah kebiasaan.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s