Tag Archives: android

Mengatasi Konflik Subnet antara Jaringan Lokal dan VPN di MacOS

Baru-baru ini saya menemukan masalah ketika mencoba mengakses beberapa server dengan VPN (Virtual Private Network) kantor menggunakan wifi di rumah dari MacBook. Jika menggunakan wifi kantor, biasanya tidak ada masalah.

Untuk browsing biasa, sebenarnya tidak ada masalah. Namun ketika mencoba mengakses via SSH ke server yang berada di jaringan VPN, selalu gagal terhubung. Saya ping juga pun jaringan gagal menemukan server yang dimaksud.

Gagal ping server gitlab yang ada di IP 192.168.0.104

Sebagai informasi, di kantor saya menggunakan layanan internet dari Megavision. Sementara di rumah saya menggunakan layanan internet dari First Media. Saya sempat berpikir apakah karena faktor settingan router-nya ya.

Selanjutnya saya mencoba mengetes koneksi VPN tersebut dari HP Android saya. Masih di jaringan wifi yang sama. Ternyata saya bisa mengakses server-server tersebut. Artinya tidak ada masalah pada settingan router wifi.

Saya mencoba menge-ping IP address MacBook dari HP Android saya. Tidak bisa. IP address tidak ditemukan. Lucunya, jika saya menge-ping IP address HP Android dari MacBook, ping berhasil.

Ping MacBook di IP 192.168.0.18 dari HP Android gagal
Ping HP Android di IP 192.168.0.9 dari MacBook berhasil

Di situ saya menyadari ternyata default gateway pada kedua device ini berbeda. HP Android menggunakan default gateway dari jaringan VPN. Sementara MacBook masih menggunakan jaringan lokal (local network). Karena itu MacBook masih bisa menemukan device HP Android, sedangkan HP Android tidak bisa menemukan IP MacBook.

Hal tersebut bisa terjadi, khususnya di MacBook, karena subnet local network di wifi rumah saya (192.168.0.1/24) juga di-cover oleh jaringan VPN tersebut sehingga terjadi konflik. Itulah sebabnya saya tidak bisa terhubung ke server di jaringan VPN dengan IP address 192.168.0.xxx. Sedangkan untuk server dengan IP address di subnet yang lain seperti 172.19.211.xxx, saya bisa mengaksesnya.

Tapi saya masih belum paham kenapa MacBook menggunakan default gateway dari local network. Sedangkan HP Android otomatis menggunakan default gateway dari jaringan VPN.

Kemudian saya menjadi kepikiran. Jaringan wifi kantor kan menggunakan subnet 192.168.1.1/24. Pantas saja koneksi VPN-nya lancar-lancar saja.

Solusi yang pasti untuk masalah ini sebenarnya adalah dengan mengubah subnet dari jaringan wifi rumah ke subnet selain 192.168.0.1/24 (dan subnet lain yang berpotensi konflik dengan subnet di dalam jaringan VPN). Namun dalam beberapa kasus, mungkin kita tidak memiliki akses untuk melakukan pengaturan tersebut.

Ada alternatif cara lain yang juga bisa menjadi solusi. Kita bisa menambahkan route pada routing table MacBook agar semua traffic ke IP address di subnet 192.168.0.1/24 diarahkan melalui jaringan VPN.

Routing tables ketika awal terhubung ke VPN

Dari routing tables di atas kita bisa melihat IP address 192.168.0.xxx (Destination 192.168.0) diasumsikan berada dalam local network yang sama dengan host (link#4). Gateway tersebutlah yang ingin kita ubah agar traffic diarahkan ke jaringan VPN.

Sebelumnya, kita perlu menghapus terlebih dahulu route untuk destinasi tersebut dengan menjalankan command berikut dari terminal:
$ sudo route -n delete -net 192.168.0/24
delete net 192.168.0

Selanjutnya kita menambahkan kembali route dengan destinasi tadi, tapi kali ini mengarahkannya ke gateway VPN:
$ sudo route -n add -net 192.168.0/24 192.168.20.19
add net 192.168.0: gateway 192.168.20.19

Dalam kasus di atas IP address gateway VPN adalah 192.168.20.19. Berikut ini adalah perubahan routing tables yang telah diterapkan:

Routing tables yang baru

Kini saya sudah bisa mengakses server yang ada di jaringan VPN.

Server Gitlab yang ada di IP 192.168.0.104 bisa merespon

Namun solusi ini hanya temporary sifatnya. Jika kita melakukan re-connect ke wifi tadi, routing tables ini akan kembali seperti semula. Tentu saja setelah itu kita perlu melakukan pengaturan route lagi. Jika ingin permanen, solusi dengan mengubah subnet jaringan lokal wifi tadi lah caranya.

Advertisement
L Camera

Memotret dalam Format RAW dengan Android Lollipop

Pasti semua sudah pada tahu lah ya sekitar sebulan yang lalu Google telah meluncurkan Operating System Android terbarunya yang diberi nama Lollipop (Android 5.0). Tapi mungkin masih banyak yang belum tahu kalau di Lollipop ini kita bisa memotret dalam format RAW.

Memang sih fitur “istimewa” itu datangnya bukan dari kamera bawaan. Bukan juga dari aplikasi-aplikasi kamera yang ada di Google Play Store macam LINE Camera, VSOCAM, Camera 360, atau sebangsanya. Melainkan masih berupa aplikasi eksperimen dari seorang (atau kelompok) developer dari Taiwan, “PkmX”, yang diunggah ke Github.

Aplikasi tersebut dia beri nama “L Camera”. Jadi apabila Anda tertarik untuk menggunakannya, silakan download APK-nya di link Github tersebut.

Kenapa saya bilang “istimewa”? Bagi mereka yang cukup mengerti tentang dunia fotografi digital, pasti mengerti apa sih keuntungan memotret dalam format RAW. Well, saya pun sebenarnya bukan orang yang terlalu mengerti fotografi. Motret aja cuma ngandalin kamera HP. Kadang-kadang saja Continue reading

Menjalankan Flash Video di Android KitKat

Sudah lama sih sebenarnya ingin share tentang cara menjalankan flash video di Android KitKat. Bagi yang sudah meng-update perangkat Android-nya ke KitKat pasti menemui masalah Flash player-nya tidak jalan. Muncul pesan yang mengatakan “This plug-in is not supported”.

Yup, baca-baca di XDA Developers, ternyata ada beberapa API yang dihapus di Android KitKat ini. Padahal API itu dibutuhkan oleh Flash Player agar dapat berjalan.

Thanks to @surviveland yang sudah melakukan modifikasi pada flash player sehingga bisa jalan di Android KitKat. Namun, web browser yang bisa mendukung flash player saat ini baru Dolphin Browser saja.

Berikut ini aku kutip dari situs XDA Developers tersebut langkah-langkah untuk membuat flash player bisa jalan di Android KitKat:

1. Unduh dan pasang Dolphin Browser

    • Download di sini
    • Pada bagian settings Dolphin Browser pastikan bahwa Dolphin Jetpack dalam kondisi on (Klik Menu>Settings).

Screenshot_2014-04-03-21-28-31

2. Unduh dan pasang flash player yang sudah dimodifikasi

    • Download di sini
    • Setelah memasang flash player, pada bagian settings Dolphin Browser pastikan bahwa Flash Player dalam kondisi on (Klik Menu>Settings>Web Content).

Screenshot_2014-04-03-21-35-01

Cukup mudah kan? Yayy… masih bisa muter flash video di Android. 😀

Visual Live Score bwf.tournamentsoftware.com menggunakan flash player

Visual Live Score bwf.tournamentsoftware.com menggunakan flash player

Google Location History

Aku baru tahu belakangan ini bahwa Google ternyata memiliki fitur location history setelah membaca artikel di TechChrunch ini kemarin. Sebenarnya sekitar 1-2 minggu yang lalu juga pernah membaca artikel serupa, cuma lupa di website mana. Nah, di artikel TechCrunch itu disebutkan bahwa sebenarnya fitur ini tuh sudah ada sejak 4 tahun yang lalu. Wew, kenapa aku bisa baru tahu. 😯

Location history itu bisa diakses di alamat https://maps.google.com/locationhistory. Ini dia salah satu screenshoot dari location history punya ane.

Riwayat lokasi

Riwayat lokasi

Location history ini bisa kita lihat secara detail per tanggal dan bahkan juga per jam. Jadi pada tanggal sekian jam sekian kita berada di mana, Google sudah merekamnya ternyata.

Google tahu dari mana? Jika Anda adalah seorang pengguna Android, ketika melakukan setup account pertama kali di hp Anda, pasti akan muncul prompt dengan tulisan “Google wants to know your location” atau “Google could transmit your location…” atau yang semacamnya (aku lupa tepatnya). Nah, bila Anda menyetujuinya, artinya pada saat-saat tertentu Google bisa saja mengakses lokasi Anda dan mengirimkannya ke server Google. Selain di initial setup, opsi pengaturan izin akses lokasi ini dapat diubah kapanpun di menu Settings. Aku kurang begitu tahu apakah di device lain selain Android, apakah Google melakukan hal serupa (baca: meminta akses lokasi).

Alasanku kenapa aku memilih menghidupkan servis Google ini sebenarnya sebagai tindakan preventif saja sih seandainya aku terkena musibah hp hilang, dicuri orang, dan sebagainya. Nah, lucunya aku baru tahu jika ternyata Google juga menyediakan ‘fasilitas’ untuk melihat riwayat lokasi kita itu. Kelebihan lainnya jika menghidupkan servis lokasi ini, Google bisa menebak di mana rumah dan tempat kerja/sekolah/kampus kita berdasarkan rutinitas kita sehari-hari.

Tahu kan fitur “Google Now” yang diunggulkan Google sebagai saingannya Siri-nya Apple, yang berperan (seolah) sebagai asisten pribadi. Nah, di fitur Google Now itu Google akan menanyakan apakah alamat ini tuh rumah kita atau kantor kita. Kalau kita mengiyakan atau mengoreksinya, besok-besoknya Google akan memberikan reminder jam berapa kita berangkat kerja dan jam berapa kita waktunya pulang, serta rekomendasi jalan mana yang sebaiknya kita lalui, berdasarkan ya rutinitas tadi. Pernah suatu saat aku stay di hotel di Kuala Lumpur beberapa hari karena ada urusan kerja, eh, hebatnya dia bisa langsung meng-adjust di mana “home” dan di mana “work”.

Mind blowing bukan? 😀

Nah, setelah mengetahui itu kadang-kadang aku merasa ngeri sendiri. Di sisi lain aku memang merasa terbantukan dengan adanya “asisten” pribadi ini. Tapi di sisi lain tetap saja aku merasa khawatir dengan disalahgunakannya data pribadiku ini (kayak orang penting aje, haha). Tahu sendiri kan beberapa waktu lalu sempat heboh berita penyadapan di Indonesia-Australia dan beberapa negara lainnya. Thanks to Edward Snowden yang telah membocorkan informasi-informasi “sakral” terkait dengan dunia perintelijenan.

Yep, itulah teknologi yang terkadang bisa menjadi pisau bermata dua. Yang penting perlu dicamkan sih bahwa sekarang ini kita hidup di zaman di mana informasi mudah didapat. Karena itu, kita perlu bijak membagikan suatu informasi. Di halaman location history itu kita bisa menggunakan fitur hapus riwayat, baik per lokasi, per hari, ataupun seluruh riwayat, jika kita tidak ingin riwayat lokasi kita diketahui oleh Google. 😀

Stay TuneIn

TuneIn

TuneIn

TuneIn ini adalah salah satu aplikasi online yang saya suka untuk mendengarkan radio. Yang saya suka adalah karena pilihan channel-nya sangat banyak dan sepertinya hampir semua negara di dunia dia cover. Kadang-kadang kalau lagi bosan, saya mencoba mendengarkan channel radio dari negara-negara lain. Biasanya sih channel-channel dari negara Malaysia, Italia, Spanyol, UK, US, Jepang, Korea. Eitt… walau beberapa negara itu ada bahasanya yang tidak saya mengerti, tapi saya suka saja mendengarkan  keunikan aksen dari masing-masing negara itu.

Aplikasi TuneIn ini bisa diakses via web ataupun di-install  pada smartphone macam Android dan iOS. Selain bisa melakukan pencarian berdasarkan lokasi (kota, negara), pengguna juga bisa memfilter channel-channel berdasarkan genre musik, cabang olahraga, topik berita, atau topik obrolan tertentu seperti teknologi, sains, dsb. Btw, ada juga lho channel radio bahasa Jawa yang terdaftar di TuneIn. Kadang-kadang saya stay tune di channel itu juga untuk sekedar menghapus rasa kangen saya mendengar obrolan bahasa Jawa :D.

Dengan memiliki akun di TuneIn kita bisa mem-bookmark channel-channel radio favorit kita. Gratis kok membuat akun di TuneIn. Mendukung Facebook dan Google oAuth. Kalau memilih untuk menggunakan akun berbayar, selain bebas iklan, kita juga akan mendapatkan fitur untuk recording suatu broadcast.

Menjajal Facebook Home

Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 12 April, Facebook secara resmi merlilis aplikasi Facebook Home di Google Play. Namun, sebagaimana yang diberitakan oleh beberapa media, di antaranya Endgadget dan Gizmodo, saat ini Facebook Home hanya available untuk handset HTC One, HTC One X, HTC One X+, Samsung Galaxy S III dan Samsung Galaxy Note II, serta akan menyusul Samsung Galaxy S4.

Dalam dua hari sejak diluncurkannya di Google Play, Situs Axeetech melaporkan bahwa average rating yang diterima Facebook Home hanya 2,4! Bahkan 44% pengguna memilih bintang 1! Banyak testimoni tidak memuaskan yang disampaikan oleh pengguna untuk Facebook Home ini.

Karena penasaran, akhirnya saya memutuskan untuk mencobanya. Sebenarnya gadget saya bukan termasuk gadget-gadget yang ‘terpilih’ itu. Baca-baca di XDA Developer, ternyata ada member yang membagi trik untuk menginstal aplikasi Facebook Home ini di any Android phone! Minimal versi ICS (4.0). Tidak perlu nge-root segala. Yayy… akhirnya bisa mencobanya juga! 🙂

Tampilan Facebook Home (Stand By)

Facebook Home

Pilihan menu Facebook Home

Pilihan navigasi Facebook Home

Screenshot di paling kiri adalah tampilan Facebook Home ketika dalam mode stand by atau bisa dibilang default-nya lah. Ada gambar avatar kita dalam bentuk lingkaran di tengah bagian bawah dengan latar belakangnya adalah news feed dari teman-teman Facebook kita, entah itu status, foto, atau apapunlah itu.

Timeline tersebut bergerak dengan interval tertentu mirip dengan animasi carousel yang sudah umum itu. Apabila avatar kita sentuh, akan muncul 3 pilihan navigasi Facebook Home, yakni: Messenger, Apps, dan aplikasi yang dibuka sebelumnya.

All apps

All apps

Apps Shortcut

Apps Shortcut

Berbeda dengan tampilan standar Android ICS ke atas yang navigasi daftar aplikasinya di-swipe secara horizontal, pada Facebook Home ini arah swipe-nya adalah vertikal dan tidak ada paging untuk daftar aplikasi tersebut.

Swipe horizontal adalah untuk berpindah dari mode “All Apps” ke mode “Apps shortcut”. Shortcut-shortcut yang ada di home kita sebelumnya ditempatkan oleh Facebook di sana. Bedanya, di Facebook Home ini shortcut-shortcut tersebut tidak bisa di-grouping. Di bagian atas container “Apps Shortcut” itu terdapat shortcut untuk update status, mengunggah foto, dan check-in. Oh ya, hampir lupa, kita mempunyai opsi apakah Facebook Home ini ditampilkan secara full screen ataupun tidak — masih menyisakan notification bar Android di paling atas.

Overall, setelah menjajal Facebook Home ini, saya benar-benar sepakat dengan pendapat Axeetech di artikelnya yang saya sebutkan di atas tadi.

… the application is useful only for heavy users of Facebook, which is not customizable or makes more difficult to access other features of Android.

Dari sisi desain tampilan antarmuka (UI) saya sebenarnya menyukai Facebook Home ini. Smooth, cool, dan stylish. Namun, entah mungkin karena belum biasa, saya merasa navigasi ke aplikasi atau fitur-fitur lain Android menjadi lebih susah. Oh ya, widget! Widget-widget yang saya pasang di homescreen yang lama ternyata pun terntara tidak diakomodasi oleh Facebook Home. Entah di mana saya bisa mengaksesnya.

Facebook Home ini bagi saya terkesan sungguh Facebook-sentris. Bagi pengguna aktif Facebook, Facebook Home ini mungkin akan sangat menarik. Sekedar info saja, saya sebenarnya bukan termasuk pengguna aktif Facebook. Saya tidak cukup sering — bahkan amat, amat, amat jarang — mengupdate status Facebook saya. Oleh karena itu, fitur shortcut untuk update status, mengunggah foto, dan check-in tadi benar-benar useless bagi saya. Akan tetapi saya cukup suka dengan ide menjelajahi timeline Facebook sebagai latar belakang homescreen ini. Mendapat feel yang berbeda dalam men-stalking orang, wkwkwkk.

Dengan banyaknya negative feedback dari pengguna, menurut saya, tentu Facebook tak akan tinggal diam. Mungkin Facebook akan mencoba mengubah konsep Facebook Home ini agar tidak terlalu Facebooksentris? Hahaha, kecil sih kemungkinan untuk itu. Yang jelas fitur widget yang menjadi ciri khas Android saya pikir ke depannya akan coba dikembalikan oleh Facebook. Ah, kok jadi berspekulasi begini. Kita lihat saja sih nanti. 😀

Feedly Aplikasi Recommended Pengganti Google Reader

Beberapa waktu yang lalu Google mengeluarkan pengumuman bahwa per 1 Juli 2013 mereka akan menutup layanan Google Reader. Tak pelak berita tersebut membuat para pengguna pun mulai mencari aplikasi penggantinya.

Beberapa situs informasi IT seperti The Verge, ExtremeTech, dan LifeHacker mulai menulis review mengenai aplikasi-aplikasi alternatif yang recommended sebagai alternatif untuk Google Reader. Feedly menjadi aplikasi yang selalu disebut di ketiga situs tersebut. Bahkan, dari hasil survei yang dilakukan oleh LifeHacker, aplikasi Feedly menempati urutan pertama dengan vote 64% sebagai aplikasi terbaik pilihan para pengguna untuk alternatif Google Reader. 

Saya sendiri sebenarnya bukan pengguna Google Reader. Mungkin hanya pernah beberapa kali membukanya saja. Thanks to Khairul, teman saya kuliah dulu, yang sudah lama merekomendasikan aplikasi ini kepada saya. Jadi, sudah cukup lama saya sebetulnya menggunakan Feedly sebagai news aggregator atau news reader.

Tampilan web Feedly

Tampilan web Feedly

Yang saya suka adalah desainnya yang cool alias lebih enak dipandang mata dan memiliki user experience yang lebih menarik daripada Google Reader. Tahu sendirilah kalau aplikasi Google Reader itu lebih “to the point”. Tanpa banyak desain yang “aneh-aneh”, langsung menampilkan apa yang menjadi fungsinya. Selain itu, yang bagus dari Feedly ini adalah daftar RSS yang kita subscribe (termasuk kategorisasinya) di Google Reader bisa kita sinkronisasi dengan Feedly ini (dan sebaliknya).

Selain bisa diakses via desktop browser, Feedly juga tersedia untuk perangkat smartphone Android dan iOS (untuk OS lain, saya kurang tahu). Daftar subscribe dan kategorinya pun juga tersinkronisasi dengan yang di browser. Saya kira karena itu jugalah alasan masih lebih memilih Feedly dibanding aplikasi sejenis di mobile seperti Pulse atau Flipboard. Yakni, karena kedua aplikasi itu tak menyediakan versi untuk web atau desktop-nya. Walaupun dari segi fitur dan user experience-nya, sebenarnya juga tidak kalah menarik.

Tampilan versi Android Feedly

Tampilan versi Android Feedly

Aplikasi Pulse pada Android

Aplikasi Pulse pada Android

Tampilan Flipboard pada Android

Tampilan Flipboard pada Android