Category Archives: Film

Quicksilver Scene di X-Men

Baru saja nonton X-Men: Apocalypse dan lagi-lagi sebagaimana pada sekuel X-Men sebelumnya (X-Men: Days of Future Past), scene di mana Quicksilver doing his thing, menjadi scene ter-epic dalam film ini menurut saya, haha. Sebelum menonton ini, saya sama sekali nggak mengikuti trailer atau build-up story tentang film X-Men ini. Jadi nggak expect sama sekali kehadiran Quicksilver (diperankan oleh Evan Peters) di film ini, mengingat perannya di sekuel sebelumnya tidak terlalu menonjol.

Ini dia scene epik Quicksilver di X-Men: Days of Future Past:

Ini dia lagu yang dipakai di scene Quicksilver di X-Men: Days of Future Past. Time In A Bottle by Jim Croce. Liriknya juga pas banget sama scene-nya Quicksilver. 😀

Eh, ternyata Quicksilver muncul lagi di Apocalypse ini dan perannya ternyata cukup vital. Tapi yang paling epik tentu saja scene dia ketika menyelamatkan (hampir) semua orang di X-Mansion. Dan, sama seperti sekuel sebelumnya di Days of Future Past, entah gimana backsound music-nya bisa terasa pas banget dengan scene dia beraksi dengan latar belakang karakter-karakter lain yang lagi frozen.

Lagunya ternyata lumayan bikin stuck juga haha. Iseng-iseng nyari lagunya di YouTube.

 

Advertisement

[Video] Simple Song in HIMYM S08E24

Akhirnya ketemu juga apa dan siapa pengisi background soundtrack di episode final (episode 24) How I Met Your Mother beberapa minggu yang lalu. Lagu backsound itu berjudul “Simple Song” dan penyanyinya adalah The Shins. Lagu itu diputar di momen-momen terakhir episode final, termasuk ketika scene siapa pemeran the girl with the yellow umbrella (cewek berpayung kuning) alias the mother-nya terungkap.

“Hi, one ticket to Farhampton please.”

Itu dia satu-satunya kalimat yang diucapkan the mother di episode tersebut. Ini dia klip cuplikan penghujung akhir episode final kemarin (credit to CBS and HitFix).

[Video] 9 Summers 10 Autumns Trailer

Ini dia trailer film “9 Summers 10 Autumns” yang kabarnya akan tayang dalam waktu dekat ini (sekitar bulan April-Mei). Nggak sabar ingin menonton visualisasi dari versi novelnya.

Menariknya pemeran Iwan di film ini, Ihsan, di kehidupan nyatanya pun sebenarnya memiliki kemiripan latar belakang. Ayah Iwan adalah seorang sopir angkot/truk, dan Ayah Ihsan adalah seorang tukang becak. Berasal dari keluarga yang pas-pasan, keduanya, baik Iwan maupun Ihsan, dengan perjuangannya akhirnya sama-sama meraih sukses di bidang masing-masing. Iwan menjadi direktur sebuah perusahaan di New York, dan Ihsan menjadi seorang pemenang di kompetisi Indonesian Idol. Mungkin dengan kemiripan latar belakang tersebut Ihsan akan terlihat lebih menjiwai perannya sebagai Iwan di dalam film ini. Hmm … menarik disimak. 🙂

Menyimak “Perjalanan Spiritual” pada Film Life of Pi

Life of Pi

Life of Pi (marcelosantosiii.com)

Life of Pi ini sebenarnya sudah ada sejak 2001 dalam bentuk novel. Menjelang akhir tahun 2012 kemarin, tepatnya bulan November, film yang mengadaptasi novel tersebut baru saja rilis. Saya sendiri belum pernah membaca novelnya dan baru sempat menonton filmnya baru-baru ini. Tapi tidak ada salahnya kan saya sedikit memberikan sedikit opini mengenai film tersebut, hehehe. Eh, tapi sebelum itu, perlu digarisbawahi ya, opini saya ini belum tentu sama sebagaimana yang dimaksudkan oleh sang author alias penulis cerita aslinya.

Oke, di menit-menit awal menonton film ini saya mulai menebak-nebak akan ke mana dialog antara Pi dewasa dan sang novel writer. Saya pun berpikiran bahwa ‘petunjuk’ menuju kepada substansi dari film ini sebenarnya secara eksplisit telah diungkapkan pada dialog (sekitar menit ke-10) ketika sang novel writer berkata pada Pi dewasa, “He (Mamaji) said you had a story that would make me believe in God.”

Salah satu scene antara sang writer dengan Pi

Salah satu scene antara sang writer dengan Pi

Dalam pandangan saya film ini — terlepas dari substansi sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh sang penulis novel yang asli — secara umum memang mengisahkan mengenai ‘perjalanan spiritual’ sang tokoh utama, Pi, dalam memercayai keberadaan Tuhan.

Di awal diceritakan bahwa Pi terlahir sebagai seorang Hindu, agama ‘pertama’-nya. “None of us knows God until someone introduces us,” begitu katanya, menyiratkan bahwa ‘pilihan’-nya atas Hindu terjadi karena memang diperkenalkan oleh orang tuanya sedari kecil.

Perjalanan spiritualnya berlanjut ketika Pi remaja berkenalan dengan Kristen dari seorang pendeta di sebuah gereja di suatu desa. Di titik tersebut Pi mengklaim ia menemukan God’s love alias kasih Tuhan di dalam Kristen. Uniknya, dalam satu monolognya Pi berterima kasih kepada Dewa Wisnu (salah satu Tuhan dalam Hindu) karena telah memperkenalkannya pada Kristen.

“But God wasn’t finished with me yet.”

Kali ini Pi berkenalan dengan Islam setelah memperhatikan umat muslim yang sholat berjamaah di sebuah masjid. Ia pun mempraktikkan ibadah sholat tersebut. Di titik itu Pi mengatakan bahwa ia menemukan ketentraman di sana. Akhirnya Pi remaja pun di saat tersebut mempraktikkan ketiga agama tersebut sebagai keyakinannya.

Sampai di titik ini saya bergumam dalam hati saya, “Wew, film ini seperti ingin menyebarkan pemahaman agama universal sebagaimana yang diusung JIL (Jaringan Islam Liberal).” Perjalanan spiritual Pi itu seperti ingin menunjukkan bahwa semua agama adalah jalan-jalan yang sah menuju Tuhan yang sebenarnya sama. Dewa Wisnu, Kristus, dan Allah yang disebutkan oleh Pi itu hanya sekedar nama untuk Tuhan yang sama di agama yang berbeda. Saya berpikir bahwa pesan itulah sebenarnya yang sedang Pi sampaikan.

Namun, hal menarik muncul di meja makan pada suatu momen makan malam keluarga kecil Pi. Kakak Pi menjadikan keyakinan Pi — meyakini dan menjalankan 3 keyakinan sekaligus bersamaan — sebagai bahan becandaan. Ayah Pi pun menimpali dengan mengatakan, “You cannot follow three different religions at the same time, Piscine, because …

believing in everything at the same time is the same as not believing in anything at all.”

Percaya kepada segalanya — dalam hal ini tentu saja yang dimaksud lebih khusus adalah agama — secara bersamaan, sama artinya dengan tidak percaya sama sekali kepada semuanya. Ayah Pi pun melanjutkan,

“Instead of leaping from one religion to the next, why not start with reason?”

Seems familiar, right? Mengingatkan kita akan kisah Nabi Ibrahim bukan? Bedanya, pada kisah Nabi Ibrahim, beliau bukannya berpindah antar keyakinan atau agama, melainkan — sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-An’am 76-79 — mencoba mengamati ‘kans’ bintang (ayat 76), kemudian bulan (ayat 77), dan kemudian matahari (ayat 78), apakah ‘layak’ untuk menjadi Tuhan. Akan tetapi, dengan reasoning-nya akhirnya beliau mematahkan kaumnya yang meyakini dan menyembah ketiganya. Dan di ayat 79 disebutkan bahwa beliau menyatakan meyakini dan megikuti agama Allah sebagai agama yang benar.

The point is Continue reading

Basa-Basi Pisang Goreng

Judul di atas adalah judul sebuah film pendek yang ikut serta dalam festival film LA Indie Movie 2009. Sudah lama memang. Sudah hampir 2 tahun yang lalu. Tapi saya baru tahu film itu baru-baru ini dari teman saya, hehe. Meskipun sudah lama banget, tidak ada salahnya kan kalau saya berkomentar sedikit tentang film itu.

Bagi yang ingin menonton film tersebut, ini dia streamingnya yang dapat ditonton via Youtube:

Film besutan Ruth Redico (Yogyakarta) ini menggunakan bahasa Jawa untuk dialog pemeran-pemerannya. Bahasa Jawa yang dipakai adalah Jawa halus alias krama inggil. Tapi ada juga sih beberapa dialog yang pakai bahasa Jawa ngoko.

Kesan saya terhadap film ini adalah film ini cukup kocak dan menyentil. Apa yang disentil? Apalagi kalau bukan karakter orang Jawa yang sungkanan. Bahkan, sampai urusan makan pisang goreng pun masih sungkan-sungkan. Di mulut bilangnya mempersilakan yang lain untuk duluan (makan pisang goreng), padahal di dalam hatinya dia sendiri sangat menginginkan (pisang goreng itu). Kalau saya sih, jika sudah menyangkut urusan makanan, tidak sungkan-sungkan kalau memang saya suka dan lapar, hehe.

Di akhir film itu ada sebuah lagu penutup beraliran rap yang memiliki lirik yang mengangkat tema tentang budaya orang Jawa yang sungkanan itu. Kerennya, lagu rap itu menggunakan lirik bahasa Jawa! Ini dia kutipannya:

Basa-basi wong Jowo
Saiki dadi budoyo
Ning lambe arep ngomong opo
Njubule ning ati nduwe karep liyo

Salah sawijining
Sifate wong Jowo
Wis mbudidoyo
Soko jaman semono
Ora biso ilang
Ora biso diganti
Eh lho kok saiki malah ngisin-ngisini
Basa-basi dumadi soko rasa sungkan
Roso sungkan ning wong lan ewoh-ewohan
Wong tuwo ning enom
Cah enom ning tuwo
Biso-biso malah dadi marai molo

Walah, pancen mbingungke
Yen wis koyo ngene, suwe-suwe biso dadi padu
Cocot canyocot, malah dadi saru
Yen tangan lan sikil wis melu, ora urusanku
Ora usah tukaran, mending guyon-guyonan
Lha wong dhewe iki urip soko kekancan
Basa-basi kuwi yo mung kebiasaan
Ora basa-basi, yo ora popo tho yoo…

3 Idiots: Film Penuh Inspirasi

Pertama kali mendengar judulnya, yang terbayang olehku adalah film ini akan bercerita tentang perilaku kocak “kebodohan” 3 orang sekawan. Apalagi poster film itu menggambarkan seorang yang tampak “menyerah” dengan rumus-rumus kalkulus yang ada di hadapannya di atas sebuah papan tulis.

Ternyata bayanganku itu salah. Film ini malah bercerita tentang sebaliknya, yaitu kisah persahabatan 3 orang yang luar biasa dengan dibumbui kejadian-kejadian kocak, kreatif, jenius, dan penuh drama. Menurutku yang menjadi nilai lebih dari film ini adalah jalan cerita yang sukar ditebak, selalu bikin penasaran, chemistry yang begitu kuat dari ketiga sahabat itu, dan cukup banyak pesan moral yang disampaikan di dalam film ini. Selain itu, hal penting yang membuat film ini menjadi lebih mudah dicerna karena ceritanya mengangkat tema tentang kehidupan yang saat ini kujalani, yaitu dunia kampus, dan juga mengenai persahabatan.

Awalnya aku kurang begitu antusias untuk menonton film ini. Maklumlah… aku tidak begitu suka nonton film India karena sudah bukan rahasia umum jika film India selama ini sangat terkenal dengan adanya nyanyian dan tarian yang kalau ditotal, bisa-bisa sampai 20% dari keseluruhan konten film… hehehe… 🙂 Tetapi, sejak menonton film My Name Is Khan beberapa waktu yang lalu, aku jadi tertarik untuk mengetahui kabar film India yang lainnya. Apalagi teman-temanku yang sudah menonton 3 Idiots, memberikan rekomendasi untuk menontonnya. Aku pun dibuat penasaran. Ternyata benar, film ini memang recommended bangetlah.

Jadi, 3 Idiots ini bercerita tentang kisah 3 sekawan bernama Rancho (diperankan oleh Aamir Khan), Raju (Sharman Joshi), dan Farhan (R. Madhavan). Awal pertemuan mereka terjadi ketika mereka menjalani OSPEK oleh senior mereka di Imperial College of Engineering (ICE), yang diceritakan sebagai institut engineering terbaik di India. Kesan awal bahwa Rancho adalah seorang jenius sudah diperlihatkan dengan ide cemerlang yang dilakukannya demi menghindari paksaan mengikuti perploncoan. Di situ diceritakan bahwasannya sistem pendidikan di kampus tersebut tidak memanusiakan mahasiswanya, tetapi malah memperlakukan mereka layaknya sebuah mesin. Paradigma yang terbentuk di kampus itu adalah lulus dengan nilai bagus, mendapat pekerjaan, gaji tinggi, dan hidup bahagia. Mencoba meng-quote salah satu dialog Rancho dalam film tersebut, “This is a college, not a pressure cooker“.

Dengan sistem pendidikan seperti itu menyebabkan mahasiswanya bukannya semangat mencari ilmu, melainkan hanya berusaha mendapatkan gelar semata. Dalam film itu pada salah satu adegannya dikisahkan ada salah seorang mahasiswa bernama Joy Lobo yang bunuh diri gara-gara putus asa TA-nya ditolak oleh rektor kampus tersebut karena proyeknya dianggap mustahil untuk diselesaikan dalam jangka waktu yang diberikan. Padahal,  sebelum ia bunuh diri, Rancho diam-diam juga membantu mengerjakan proyek TA yang telah ditinggalkan Joy itu dan ternyata berhasil. Fenomena mahasiswa bunuh diri karena tidak kuat menghadapi tekanan dalam proses akademik itu ternyata benar-benar terjadi di India, tidak hanya di film itu. Dalam lagu Give Me Some Sunshine (baru kali ini dengar lagu India yang enak :D) yang dinyanyikan oleh Joy Lobo dalam salah satu adegan keputusasaannya disebutkan bahwa ada sekitar berapa persen (aku lupa, pokoknya gedhe) kasus bunuh diri di India karena masalah tekanan akademik.

Si Joy Lobo meminta kesempatan untuk menyelesaikan proyeknya

Si Joy Lobo meminta kesempatan untuk menyelesaikan proyeknya

Hal menarik lainnya dari film ini adalah ketika Farhan akhirnya memutuskan berhenti kuliah engineering di kampus itu setelah mendapatkan masukan dari Rancho. Ia berniat untuk berkiprah secara total dalam bidang yang disenanginya, yaitu bidang fotografi. Ia ingin mengejar cita-citanya sebagai wild life photographer. Sejak awal ia memang tidak ingin menjadi engineer. Pilihan untuk menjadi engineer itu adalah karena keinginan ayahnya yang bergitu keras. Fenomena serupa (lagi-lagi) ternyata juga terjadi di India di mana diceritakan dalam film itu bahwa pada umumnya sebuah keluarga akan mendorong anak lak-ilakinya agar menjadi engineer sedangkan untuk anak perempuan akan didorong untuk menjadi dokter. Dua profesi tersebut sepertinya dianggap sebagai profesi yang bergengsi di kalangan orang tua di India. Kalau di Jawa mungkin mirip dengan orang tua yang kebanyakan mengharapkan anaknya menjadi PNS kali ya…

Nah, intinya, pesan yang ingin disampaikan dalam film itu adalah “ikuti kata hati kita, lakukan apa yang benar-benar kita sukai, kejar impian itu sampai dapat, jangan paksakan kita mengerjakan sesuatu yang bukan passion kita”.

3 Idiots: Raju, Rancho, Farhan

3 Idiots: Raju, Rancho, Farhan

Ada sebuah jargon menarik yang terus didengun-dengungkan sepanjang film itu, yaitu kata-kata “aal izz well” yang sebenarnya merupakan kalimat bahasa inggris “all is well” (semua baik-baik saja). Maksudnya adalah kita jangan pernah sampai takut menghadapi hidup. Ketakutan-ketakutan tidak beralasan yang ada pada diri kita harus dihilangkan karena hal tersebut akan menjadi gembok diri kita untuk berkembang. Jika kita mengalami kesulitan, yakinlah bahwa pasti akan selalu ada jalan keluar untuk itu. Ada teman-teman di sekeliling kita yang akan siap membantu kita.

Hmm… sebenarnya masih ada banyak inspirasi lain yang bisa diambil dari film ini. Banyak kalimat-kalimat bagus yang dapat kita renungkan. Secara garis besar, film ini memang menawarkan sesuatu yang sungguh berbeda dari film yang ada sekarang. Aku sendiri dibuat penasaran terus sepanjang film itu. Sepanjang film, aku selalu menebak-nebak di manakah Rancho sekarang, seperti apakah dia sekarang, dsb. Benar-benar unpredictable. Film ini juga mampu memainkan emosi penontonnya. Ada kalanya kita terhibur dengan ulah-ulah kocak tokoh-tokohnya, ada juga adegan yang dapat membuat kita terharu melihat begitu kuatnya persahabatan yang mereka jalin. Mereka tidak segan-segan untuk memberikan pengorbanan secara total demi menolong sahabatnya. Banyak nilai-nilai kemanusiaan yang dicontohkan oleh tokoh-tokoh utamanya.Adegan yang cukup menegangkan adalah kejadian di mana anak dari rektornya yang dibenci oleh mahasiswa-mahasiswanya akan melahirkan, sementara cuaca sedang buruk sehingga tidak ada ambulans yang bisa memberikan pertolongan. Akhirnya, dengan modal nekad juga, mahasiswa-mahasiswa itu membantu persalinan dengan alat seadanya, salah satunya yaitu dengan vacuum cleaner untuk “menyedot” bayinya.

Oiya, lagu-lagu yang diputar di film ini bagus-bagus kok. Enak didengar, lebih modern, dan liriknya benar-benar inspiratif. Namun, di balik serunya film itu, ada beberapa hal yang dilakukan oleh tokoh utamanya yang tidak pantas ditiru oleh kita, seperti mabuk-mabukan, (maaf) mengencingi rumah rektornya, ciuman dengan wanita yang belum halal bagi dirinya, dsb. Tetapi, overall, film ini memang recommended-lah.

Rancho lulus dengan predikat yang terbaik

Rancho lulus dengan predikat sebagai yang terbaik

Di Balik Cerita My Name Is Khan

Baru saja kemarin malam aku dan beberapa kawan di KOKESMA menonton film My Name is Khan di salah satu sinema di Kota Bandung ini. Cukup telat sih karena sudah sebulan yang lalu film ini dirilis. Aku cukup tertarik untuk menontonnya karena mendengar dari beberapa teman tentang ide cerita dari film ini yang mencoba mengangkat fenomena islamofobia di Amerika Serikat pasca serangan 9/11. Film Bollywood yang hak distribusinya dibeli oleh FOX STAR ini memang berbeda dengan film-film Bollywood seperti kebanyakan yang banyak menyelipkan musik-musik dan tarian India.

My Name is Khan menceritakan tentang perjalanan hidup seorang muslim India bernama Rizvan Khan, yang diperankan oleh Shahruk Khan. Dalam film ini Rizvan Khan diceritakan sebagai seorang yang memiliki kelainan mental “Aspergus Syndrome”. Meskipun demikian, dia adalah seorang yang sangat cerdas dan memiliki jiwa kemanusiaan yang sangat tinggi. Saat dewasa, pasca meninggalnya ibunya,  ia memutuskan untuk menyusul adiknya, Zakir, yang lebih dahulu menetap di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat ia menikahi seorang wanita janda beranak satu bernama Mandira. Pernikahan tersebut sempat ditentang adiknya karena tidak setuju Rizvan menikahi wanita yang berbeda agama dengan dirinya (Mandira seorang Hindu).

Rizvan dan istrinya menjalani kehidupan dengan penuh bahagia dan mereka berdua memiliki usaha produk kosmetik sendiri yang berjalan sukses. namun semuanya berubah sejak kejadian 9/11. Suatu ketika istrinya mengalami depresi berat akibat terbunuhnya anak mereka yang bernama Sameer Khan dalam sebuah insiden yang dilatarbelakangi kebencian teman-temannya karena Sameer adalah anak seorang muslim. Kematian itu sangat menyakitkan dan tidak bisa diterima oleh Mandira. Mandira mempersalahkan keputusannya menikah dengan seorang muslim sehingga menyebabkan terbunuhnya satu-satunya anak mereka. Mandira pun dalam keadaan emosi yang luar biasa meluapkan amarahnya kepada Rizvan dan meminta suaminya itu memberitahukan kepada seluruh rakyat Amerika dan juga presiden AS bahwa Rizvan Khan adalah seorang muslim dan ia bukan teroris.  Ia tidak diperbolehkan kembali ke istrinya sebelum misinya terpenuhi.

Perjalanan panjang ditempuh Rizvan untuk menunaikan misinya yaitu menyampaikan pesan “My Name is Khan, and I’m not a Terrorist” kepada presiden AS. Berbulan-bulan dan berbagai upaya dilakukan demi misi tersebut. Segala rintangan ia hadapi dengan tenang dan kepolosannya. Hingga akhirnya ia berhasil menemui presiden amerika dan menyampaikan pesannya.

My Name is Khan menyuguhkan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan yang dicitrakan pada sesosok pria yang tidak normal secara mental. Namun di tengah keterbatasan tersebut justru Rizvan-lah yang mampu mengetuk pintu hati jutaan rakyat Amerika tentang bagaimana agama itu mengajarkan keindahan. Agama tidak pernah mengajarkan kebencian, dendam, dan pembunuhan atas nama jihad.

Namun, di balik cerita film tersebut ada beberapa bagian di dalamnya yang menggelitikku. Pertama, pesan dari ibu Rizvan Khan kepada dirinya sewaktu masih kecil saat terjadi konflik Islam dan Hindu di India. Dalam dialognya, ibu Rizvan berkata bahwa “Semua manusia itu sama, yang ada hanyalah manusia yang baik dan manusia yang tidak baik”. Aku menangkap ada ide pluralisme yang ingin disampaikan di sana yaitu bahwa semua agama adalah sama. Memang secara general, semua agama di dunia pasti mengajarkan kebaikan di dalamnya. Namun, di dalam QS. Ali Imran ayat 19 sudah dijelaskan bahwasannya agama yang diridloi di sisi Allah SWT hanyalah Islam. Jika memang meyakini Islam sebagai Ad-Diin, sudah seharusnya konsep bahwa tidak ada perbedaan Islam dengan agama yang lainnya itu ditolak.

Bagian lainnya adalah ketika Rizvan bersikeras menikahi Mandira, yang seorang Hindu, padahal sudah diingatkan oleh Zakir, adiknya, bahwasannya haram menikahi wanita yang berbeda keyakinan. Namun, Rizvan memiliki keyakinan bahwa tidak ada yang membedakan antara Islam dan Hindu, yang ada hanyalah manusia yang baik dan manusia yang buruk. Sehingga ia tetap menikahi Mandira. Shahrukh Khan sendiri dalam kehidupan aslinya juga memiliki istri yang berbeda keyakinan dengan dirinya. Di dalam Al-Quran dinyatakan bahwa seorang muslim haruslah menikahi seorang muslim juga atau menikahi seorang ahli kitab. Ahli kitab adalah orang yang menjadikan kitabnya untuk memahami ayat-ayat Allah.

Masih ada lagi. Yaitu saat Rizvan ikut melakukan doa dan bernyanyi bersama di dalam gereja saat ia berada di Wilhelmina, Georgia. Fenomena yang kutangkap seolah ingin menjelaskan bagaimana sebuah nilai kemanusiaan itu bisa melebihi batas-batas pemisah antar agama. Untuk masalah akidah, Islam secara jelas dan tegas menyatakan bahwa untukku agamaku dan untukmu agamamu (QS. Al-Kafiruun). Toleransi adalah menghormati masing-masing pemeluk agama untuk beribadah sesuai agamanya. Mengikuti acara berdoa bersama dengan pemeluk agama lain bukanlah bentuk toleransi yang dibenarkan itu.

Film ini memang mendapatkan antusiasme yang sangat tinggi dari masyarakat. Film ini turut membantu memulihkan citra bahwa Islam bukan agama terorisme seperti anggapan yang terbentuk pada masyarakat barat secara umum. Film ini juga diharapkan mampu mengurangi perlakuan rasisme yang diterima masyarkat muslim di  negara barat.

Secara keseluruhan film ini memang cukup bagus ditonton karena banyak pelajaran yang bisa diambil. Namun, di balik itu semua, juga harus dilihat seluruh substansi yang dikandung film “My Name Is Khan” ini dan secara bijak memfilter pesan-pesan yang disampaikan dalam film ini. Jangan sampai diri ini tertanam pesan yang salah tentang Islam karena terbuai dengan jalan cerita dan akting tokoh-tokohnya. Tanpa bermaksud menggurui, tulisan ini hanya pendapat pribadiku saja yang mencoba melihat film ini dari sudut pandang lain.