Monthly Archives: January 2012

S2, Kerja, dan Menikah

Tiga kata itulah yang kini sering menjadi topik perbincangan hangat di antara beberapa teman dekatku. Kalau dulu semasa orientasi kampus di Sabuga kami dikenalkan oleh bapak-bapak alumni kampus gajah ini dengan 3 hal yang menggambarkan kehidupan kampus: buku, pesta, dan cinta, kini sepertinya 3 hal itu telah tergantikan dengan 3 yang aku sebutkan di judul tulisan ini.

Bukan hal yang aneh ketika ketiga hal itu tiba-tiba menjadi trending topic di antara para SWASTA (baik itu Mahasiswa Sedang Tugas Akhir, Mahasiswa Sudah Sidang Tugas Akhir, maupun Mahasiswa Sudah Sarjana Teknik). Ketika kita akan meninggalkan dunia perkampusan ini, pasti mau tidak mau kita harus menyusun rancangan perjalanan hidup berikutnya.

Bagi teman-teman yang waktu kelulusannya ‘tertunda’ seperti aku ini, setidaknya masih punya sedikit nafas untuk memikirkan itu. Bagi teman-teman yang akan lulus April ini, sudah mulai tampak kegalauan mereka.

Kegalauan itu mengarah kepada apakah setelah lulus mau memilih S2 atau kerja dan siapakah pendamping wisudanya (dan tentu juga sebagai pendamping hidupnya) nanti. Dari pengamatanku soal S2 sebenarnya tak terlalu begitu menjadi pertimbangan yang berat di antara teman-teman yang lulus. Intinya mereka tak mempermasalahkan bisa S2 atau tidak. Jadi tingkat kegalauan untuk urusan S2 ini sangat rendahlah.

Untuk urusan kerja, beberapa teman sering curhat mengenai standar gaji yang selayaknya mereka terima. Ya, dari obrolan dengan beberapa kawan, aku menangkap secara sadar bahwa teman-teman di sejurusan ataupun jurusan ‘sebelah’ tak ada kekhawatiran tak mendapatkan pekerjaan (baguslah …). Yang menjadi kekhawatiran mereka sebagaian besar adalah masalah kecocokan dengan pekerjaan dan gaji yang tak ‘seberapa’.

Terakhir, mengenai ‘menikah’, satu hal, kata tersebut merupakan kata yang cukup sakral. Bagi sebagian orang hal ini mungkin terasa sangat sensitif, tapi bagi sebagian yang lain hal ini selalu menarik untuk diperbincangkan. Aku pun sering tak sungkan mengobrol atau mendengar curhatan seorang teman tentang hal yang satu ini.

Kegalauan tentang hal ini di kalangan SWASTA dimulai ketika terbebani untuk mendapatkan pendamping di hari wisudanya. Hmm … tentang ini, aku tak tahu asal usulnya dari mana. Bahkan, ada seorang teman yang akan lulus April ini dia tengah berusaha mati-matian untuk memperolehnya. Tapi bukan sekedar pendamping wisuda, melainkan juga sebagai pendamping hidup.

Di luar tiga hal itu aku yakin pasti setiap orang punya pemikiran sendiri yang berbeda mengenai rencana perjalanan hidup berikutnya. Intinya sih, mari kita persiapkan bersama-sama apa yang sudah kita rencanakan dan jangan sampai terjebak dalam kegalauan yang berlarut-larut. Hahaha. 😀

Advertisement

Kenapa Kau Modem Mobi?

Modem

Modem

Agak kecewa dengan kinerja modem M*bi Sm**tfr*n akhir-akhir ini. Entah kenapa tiba-tiba koneksi sering putus sendiri. Tidak cuma aku yang mengalami hal serupa. Teman sekosan juga mengeluhkan hal yang sama.

Pengaruh sinyal atau jaringan? Kurang tahu, dan bisa jadi. Ya, di daerah kosanku, daerah Cisitu-Sangkuriang dan sekitarnya, entah kenapa di beberapa tempat, sinyal beberapa operator seluler cukup buruk di sini. Salah satunya adalah operator modem ini. Padahal ini adalah daerah kosan mahasiswa yang potensial sekali untuk menjadi pelanggan mereka.

Tapi yang jelas, sebelumnya aku selalu nyaman menggunakan modem ini. Mungkinkah karena semakin hari pengguna yang semakin banyak? Sehingga membuat bandwidth menjadi berkurang? Oh iya, permasalahannya bukan lelet ding. Tapi koneksi yang putus-putus. Sebelumnya tak pernah seperti ini.

Alhasil karena semakin susah mendapatkan koneksi internet di kosan, ngeblog pun menjadi jarang, hehehe. Apa perlu ganti modem operator lain? Dua orang teman sekosan baru saja membeli modem operator CDMA yang lain dan tampak lancar-lancar saja. Tak ada permasalahan sinyal di daerah Cisitu-Sangkuriang ini. Streaming YouTube pun luar biasa lancarnya. Hmm … 🙄

 

(Masih) Masuk Kuliah (Lagi)

Ya, akhirnya masuk kuliah lagi. Kok masih masuk kuliah? You know why lah … kenapa aku masuk kuliah lagi. Setelah semester kemarin mengambil “cuti” alias 0 SKS, sekarang aku mengambil kuliah lagi 8 SKS. Sebenarnya aku tinggal butuh 2 SKS lagi untuk lulus, tapi rasa haus akan ilmu (cieeeh…) dan suasana perkuliahan membuatku ingin mengambil lebih.

Tapi fakta di lapangan sungguh berbeda. Dengan usia segini dan status bahwa aku adalah mahasiswa semester 10 yang masih nyetor muka ke kampus membuat langkah kaki ini terasa berat. Beberapa mata memandangku dan mungkin seraya bertanya dalam hati mereka — walaupun ada juga yang menanyakan langsung, “Lho mas ini kok masih di kampus aja, kirain udah lulus.” Aku pun hanya bisa tersenyum, tapi kecut.

Untungnya ada beberapa teman senasib dan seperjuangan dalam meneruskan sisa kuliah di ITB ini. Jadi perasaan malu dan berat itu sedikit tereduksilah. Ibarat kopi, yang mulanya pahit setelah dikasih gula jadi berkurang pahitnya. Yah, dijalani sajalah.

Akhirnya aku pun perlu mereview lagi keputusanku mengambil 8 SKS. Mungkin saat masa PRS nanti, aku akan menguranginya menjadi hanya 5 SKS saja maksimum. Tapi yang jelas, setidaknya aku ingin menyampaikan salam hangat kepada diriku sendiri, “Welcome back to your campus again, buddy!” Hehehe … 😀

Bismillah …

Berkunjung ke Negeri Ringgit (Lagi)

Malaysia

Malaysia

Hari ini — tepatnya pagi tadi pukul 8.30 — aku berangkat dari Bandara Husein Sastranegara, Bandung menuju Kuala Lumpur LCCT, Malaysia dengan menumpang pesawat AirAsia. Beda dengan keberangkatan aku sebelumnya ke Malaysia yang bersama Jiwo, kali ini aku harus terbang sendirian ke Malaysia. Benar-benar pengalaman pertama berpergian naik pesawat sendiri, dan juga pengalaman pertama ke luar negeri sendiri. Untungnya aku sudah paham prosedur check-in dan berhadapan dengan pihak keimigrasian. Selain itu aku juga masih ingat bagaimana mencapai KL Sentral dan beberapa tempat di Kuala Lumpur setibanya di Bandara Kuala Lumpur.

Sebuah tantangan sih sebenarnya berada di negeri orang sendirian tanpa ada yang memandu. Aku harus aktif bertanya kepada orang lokal atau memahami berbagai papan informasi yang dipasang di setiap tempat.

Aku masih sering kagok di sini. Walaupun bahasa Malaysia dan bahasa Indonesia mirip-mirip, tapi ada beberapa kata yang aku harus mikir dulu arti kata itu apa dan apakah mereka ngerti kata dalam bahasa Indonesia yang aku ucapkan. Seperti kata ‘kamar’. Mereka menyebutnya ‘bilik’. Terus tempat tidur atau kasur, mereka menyebutnya ‘katil’. Akhirnya, terpaksa harus dicampur dengan bahasa Inggris untuk beberapa kata yang aku atau mereka tak familiar dengan kata-kata dalam bahasa asli masing-masing.

Amcorp Mall

Amcorp Mall

Oh ya, tentang tempat makanan baru, kali ini aku mencoba makan di food court yang ada di lantai bawah Amcorp Mall, yakni di Restoran Al-Hayat. Menunya nasi paprik kantonis (RM 6.10) dan teh ais (RM 1.40). Mahal juga ya. Kalau malam, memang susah sih nyari makanan di Petaling jaya — kawasan tempatku menginap — yang harganya sekelas harga menu warung.

Layar Laptop Mulai Bergaris (Lagi)

Layar bergaris

Layar bergaris

Layar laptop mulai bergaris (lagi) :(. Berarti ini kali kedua layar laptopku bermasalah setelah tepat setahun yang lalu selesai diperbaiki. Dulu aku menserviskan laptopku ke Acer Service Center yang ada di jalan Gatot Subroto, Bandung. Selama kurang lebih seminggu laptopku harus menginap di tempat servis.

Kalau dulu tanpa laptop seminggu, memang tak masalah. Kalau sekarang … wah, susah rasanya tanpa laptop. Tak akan bisa ‘produktif’ karena banyak kerjaan yang harus diselesaikan dengan laptop. Terpaksa harus cari pinjaman nih. 🙂

Tapi sejauh ini sih, kondisi layar bergaris atau warna pecah itu terjadi kadangkala. Kadang-kadang dan cukup sering juga layar tiba-tiba kembali normal dan bisa bertahan lama. Jadi mungkin rencana untuk menservis laptop ditunda dulu sampai kondisinya memang benar-benar parah. Tentu saja juga sambil menunggu ada pinjaman laptop. 😀

[Video] Malaysian Boy

Selama berada di Malaysia beberapa waktu yang lalu, entah itu di bus, mall, ataupun di TV aku sering mendengar lagu “Malaysian Boy” ini diputar. Waktu kali pertama mendengar ini, aku merasa de javu. Aku yakin sekali lagu ini rasanya pernah denger di manaaa … gitu sebelumnya. Bener dugaanku, ternyata lagu “Malaysian Boy” ini merupakan remix lagu “American Boy” yang lebih dulu populer. Aku baru tahu setelah dikasih tahu seorang teman.

Tapi walaupun remix, lagu ini terdengar lebih enak dari lagu aslinya. Mungkin karena ditambahkan rap dan bahasanya lebih akrab di telinga kali ya, walaupun ada aksen-aksen Melayunya. 😀

Hari Keempat di KL: Jalan-Jalan Keliling KL

Mungkin agak heran kenapa langsung aku skip ke hari keempat. Tak banyak yang diceritakan tentang kegiatanku di hari ketiga karena hari itu seharian adalah untuk urusan “kerjaan”. Jalan-jalan sih iya, tapi untuk urusan “kerjaan”. Oh ya, di hari ketiga ini aku sempat mampir juga ke kota Dasanrama (bener begitu kan tulisannya?). Tentu saja masih  dalam rangka urusan “kerjaan”. 😛

Nah, di hari Sabtu ini, atau hari keempatku berada di Malaysia, aku dan Jiwo memutuskan untuk memanfaatkan waktu kami untuk jalan-jalan keliling Kuala Lumpur. Tujuan pertama kami adalah Muzium Negara alias National Museum. Dari Taman Jaya — stasiun terdekat kawasan tempat kami menginap — kami menumpang kereta LRT menuju KL Sentral.

Dari KL Sentral sempat bingung juga mau ke arah mana untuk menuju ke Muzium Negara.  Kami benar-benar buta arah. Untung ada GPS. Buka aplikasi Google Maps, dan rute jalan kaki menuju Muzium Negara pun digenerasi oleh aplikasi. Kami mengikuti rute yang telah ditunjukkan. Sebenarnya jarak point to point-nya nggak jauh. Tapi karena akses jalan yang tersedia memaksa kita harus memutar, jadi jarak tempuhnya pun menjadi lebih jauh. Walaupun lumayan juga jalan kaki lebih dari sekilo, nggak apa-apalah, yang penting nggak nyasar, hehehe. 😀

Gerbang Muzium Negara

Gerbang Muzium Negara

Biaya masuk ke dalam museum ini adalah RM 5 atau hampir Rp 15.000 per orang untuk turis asing. Cukup mahal memang. Harga tiket untuk turis lokal dan turis asing memang dibedakan. Kami yang WNI pun tentu saja masuk kategori turis asing.

Ruang D Muzium Negara

Ruang D Muzium Negara

Secara umum, ruangan museum ini dibagi menjadi 4 berdasarkan perjalanan waktu sejarah yang dialami Malaysia. Ruang A untuk zaman prasejarah. Ruang B untuk zaman kesultanan atau saat masuknya Islam ke tanah melayu. Ruang C untuk zaman penjajahan dan Ruang D untuk masa modern.

Dari cara penyajian menurutku kemasannya tidak monoton alias objeknya cukup variatif. Tidak hanya menampilkan miniatur-miniatur orang-orangan yang rasanya sudah umum selalu ada di tiap museum sejarah. Di muzium negara ini ada replika kapal perang, tahta kesultanan, sel tahanan, dll. Selain itu dari segi desain interiornya juga cukup menarik alias tidak monoton.

Dari berbagai objek yang ada di museum mungkin yang paling menarik buatku adalah yang terdapat pada ruang modern, khususnya memorabilia video perjuangan tim bulutangkis Malaysia kala menjuarai Piala Thomas tahun 1992. Mungkin karena aku suka bulutangkis kali ya.

Tapi ngomong-ngomong, ada nggak sih museum yang menampilkan sejarah Indonesia di era modern ini? Khususnya yang menampilkan prestasi-prestasi yang sudah diraih negara kita di kancah internasional di era modern ini. Tak hanya sejarah perpolitikan saja.

Oh iya, dari sisi konten yang ditampilkan, menurutku masih lebih kaya museum di Indonesia, khususnya museum Benteng Vredeburg yang ada di Yogyakarta. Di sana benar-benar komplet menyajikan kronologis sejarah Yogyakarta dari masa prasejarah hingga masa penjajahan.

Pasar Seni

Pasar Seni

Oke, cukup dengan jalan-jalan ke museumnya. Kami pun langsung menuju ke Pasar Seni alias Central Market. Kita hendak cari oleh-oleh di sini. Dari Muzeum Negara kami berjalan kaki. Lumayan capai juga sih, jaraknya ada lah sekitar 1 km lebih. Kami juga sempat menyeberangi stasiun Kuala Lumpur yang rancang bangunannya khas masa kolonial.

Kalau mau mencari oleh-oleh “berbau” Malaysia yang murah, di Pasar Seni lah tempatnya.   Di sana banyak kios-kios yang menjual beraneka ragam souvenir Malaysia seperti gantungan kunci, miniatur Petronas, hiasan kulkas, kaos, dan kerajinan tangan lainnya.

Suasana di dalam Pasar Seni

Suasana di dalam Pasar Seni

Namanya juga pasar, kita bisa melakukan tawar-menawar di sana. Tapi, walaupun namanya pasar, kesan bersih tetap terjaga di lingkungan dalam Pasar Seni ini. Satu nilai positif untuk kita contoh.

Ada kejadian menarik waktu aku hendak membeli souvenir di salah satu toko di sana. Aku mencoba menawar dengan sok-sokan pakai aksen Melayu. Setelah beberapa percakapan, tiba-tiba Continue reading