Tag Archives: S2

S2, Kerja, dan Menikah

Tiga kata itulah yang kini sering menjadi topik perbincangan hangat di antara beberapa teman dekatku. Kalau dulu semasa orientasi kampus di Sabuga kami dikenalkan oleh bapak-bapak alumni kampus gajah ini dengan 3 hal yang menggambarkan kehidupan kampus: buku, pesta, dan cinta, kini sepertinya 3 hal itu telah tergantikan dengan 3 yang aku sebutkan di judul tulisan ini.

Bukan hal yang aneh ketika ketiga hal itu tiba-tiba menjadi trending topic di antara para SWASTA (baik itu Mahasiswa Sedang Tugas Akhir, Mahasiswa Sudah Sidang Tugas Akhir, maupun Mahasiswa Sudah Sarjana Teknik). Ketika kita akan meninggalkan dunia perkampusan ini, pasti mau tidak mau kita harus menyusun rancangan perjalanan hidup berikutnya.

Bagi teman-teman yang waktu kelulusannya ‘tertunda’ seperti aku ini, setidaknya masih punya sedikit nafas untuk memikirkan itu. Bagi teman-teman yang akan lulus April ini, sudah mulai tampak kegalauan mereka.

Kegalauan itu mengarah kepada apakah setelah lulus mau memilih S2 atau kerja dan siapakah pendamping wisudanya (dan tentu juga sebagai pendamping hidupnya) nanti. Dari pengamatanku soal S2 sebenarnya tak terlalu begitu menjadi pertimbangan yang berat di antara teman-teman yang lulus. Intinya mereka tak mempermasalahkan bisa S2 atau tidak. Jadi tingkat kegalauan untuk urusan S2 ini sangat rendahlah.

Untuk urusan kerja, beberapa teman sering curhat mengenai standar gaji yang selayaknya mereka terima. Ya, dari obrolan dengan beberapa kawan, aku menangkap secara sadar bahwa teman-teman di sejurusan ataupun jurusan ‘sebelah’ tak ada kekhawatiran tak mendapatkan pekerjaan (baguslah …). Yang menjadi kekhawatiran mereka sebagaian besar adalah masalah kecocokan dengan pekerjaan dan gaji yang tak ‘seberapa’.

Terakhir, mengenai ‘menikah’, satu hal, kata tersebut merupakan kata yang cukup sakral. Bagi sebagian orang hal ini mungkin terasa sangat sensitif, tapi bagi sebagian yang lain hal ini selalu menarik untuk diperbincangkan. Aku pun sering tak sungkan mengobrol atau mendengar curhatan seorang teman tentang hal yang satu ini.

Kegalauan tentang hal ini di kalangan SWASTA dimulai ketika terbebani untuk mendapatkan pendamping di hari wisudanya. Hmm … tentang ini, aku tak tahu asal usulnya dari mana. Bahkan, ada seorang teman yang akan lulus April ini dia tengah berusaha mati-matian untuk memperolehnya. Tapi bukan sekedar pendamping wisuda, melainkan juga sebagai pendamping hidup.

Di luar tiga hal itu aku yakin pasti setiap orang punya pemikiran sendiri yang berbeda mengenai rencana perjalanan hidup berikutnya. Intinya sih, mari kita persiapkan bersama-sama apa yang sudah kita rencanakan dan jangan sampai terjebak dalam kegalauan yang berlarut-larut. Hahaha. 😀

Saya Ingin Lanjut Kuliah Ke Luar Negeri

Hahaha… sesuai judulnya, ada kata-kata “ingin”, artinya saya memang masih belum tahu apakah bakal kesampaian untuk kuliah ke sana. Tapi saat saya menulis ini, saya mulai memantapkan niat untuk melangkah ke sana. Yak, terus terang awalnya tak ada bayangan dari saya untuk melanjutkan kuliah S2. Yang terbayang adalah ingin lulus S1 lalu mendapatkan pekerjaan yang layak atau bikin start up company bersama teman-teman dan mendapatkan gaji yang tinggi untuk menghidupi keluarga saya kelak (hahaha…).

Tapi perspektif berpikir saya mulai berubah setelah (lebih tepatnya sedang) menjalani Tugas Akhir (TA) di tingkat terakhir ini. Adalah dosen pembimbing saya yang mengatakan bahwa kalau saya mau serius mengerjakan TA saya ini, TA saya itu dapat berguna untuk melanjutkan S2 di luar negeri. Beliau menceritakan itu karena memang beliau sudah pengalaman (beliau S3 di JKU Linz-Austria). Ketika saya mendengar itu pertama kali, saya merasa biasa-biasa saja, sampai akhirnya saya mulai mengerjakan TA dan banyak membaca paper-paper dari luar negeri sebagai bahan TA saya. Saya mulai berpikir, “Wah, asyik juga ya kalau bisa melakukan riset seperti ini. Saya bisa memberikan sesuatu yang kontributif untuk masyarakat banyak.” Terus terang saya kagum dengan banyaknya riset yang ada di luar negeri. Bahkan, untuk topik TA yang saya ambil, banyak juga paper dari Vietnam yang saya peroleh dari internet. Selain itu banyak juga paper yang saya baca juga berasal dari negara-negara Eropa Timur, seperti Bulgaria dan Republik Ceko. Dari sini saya melihat dunia riset di negara-negara berkembang ternyata sangat banyak juga. Ayo, Indonesia jangan mau kalah… 😀

Kembali lagi ke perihal lanjut S2. Entah kenapa tiba-tiba saya memilih untuk berusaha mengambil S2 di Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST), Daejeon, Korea Selatan. Mungkin karena topik TA yang saya ambil serupa dengan salah seorang kakak angkatan yang saat ini sedang mengambil S2 di KAIST sana, hehehe.

Saya pun banyak berdiskusi dengan dia mengenai perkuliahan di sana dan bagaimana kehidupan di Daejeon sana, terutama bagi seorang muslim seperti saya ini. Ternyata, menurut dia, boleh dibilang perguruan tinggi di luar negeri yang sangat kondusif bagi mahasiswa muslim itu ya di KAIST itu. Di sana ada Mushola yang disediakan dalam kampus, makanan halal juga tidak susah diperoleh, sholat Jumat juga mudah karena hanya berjarak 15 menit dari Islamic Center of Daejeon (ICD). Biaya hidup di sana juga tergolong sangat murah. Dari 900 ribu won yang dia terima dari beasiswa perbulannya (1 won = Rp 9) katanya dia cuma menghabiskan 300 ribu won saja.

Sisi lain Daejeon, di sana juga banyak tempat-tempat riset perusahaan multi nasional seperti Samsung, LG, Hyundai, dll. Bisa dibilang Daejeon itu sillicon valley-nya Korea, kata dia. Kayak Bandung mungkin ya, dengan ITB salah satu di dalamnya :D.

Mendengar cerita dari kakak itu tentang KAIST, potensi, peluang, dan kehidupan di sana membuat saya semakin mantap untuk berusaha agar bisa kuliah di sana. Tapi jauh sebelum itu harus saya selesaikan dulu TA saya ini, hehehe. Apalagi, yang dibilang dosen pembimbing saya (seperti yang saya sebutkan di awal) ternyata memang benar. TA dia sewaktu masih S1 dulu ternyata menjadi pertimbangan profesor di sana untuk bisa diterima di KAIST.

Tulisan ini saya buat bukan untuk menyombongkan diri (memang apanya yang mau disombongkan? :D), melainkan untuk pemacu diri saya saja dan siapa tahu ada teman-teman yang sudah kuliah di luar negeri (syukur kalau alumni KAIST) mau share juga kepada saya. Bagi saya, cita-cita memang harus tinggi, karena usaha kita akan berbanding lurus dengan tingginya cita-cita yang kita canangkan. Dulu saya sewaktu SMA bercita-cita masuk ITB, saya buka webnya, dan hal yang paling banyak saya lakukan saat browsing itu cuma melihat foto-foto kampus dan kehidupan di dalamnya. Tujuannya sih supaya di otak saya saat itu berpikir “ITB, ITB, ITB, dan ITB”, hahaha. Belajar pun jadi semangat. Makanya saya sisipin foto KAIST di tulisan ini juga, hehehe. Bismillahirrahmanirrahim, yang penting TA dulu! 😀

KAIST (source: apec-smeic.org)

KAIST (source: apec-smeic.org)