Category Archives: Opini

Selamat Jalan Nelson Mandela!

Kamis malam kemarin (5/12) waktu setempat, atau Jumat dini hari waktu Indonesia, dunia telah kehilangan seorang tokoh inspirasi hampir seluruh penduduk dunia ini. Dialah Nelson Mandela, presiden pertama kulit hitam di Afrika Selatan. Perjuangannya menolak praktik kolonial dan apartheid, walaupun gara-gara hal tersebut ia sampai beberapa kali dipenjara, telah mendapatkan pengakuan dan menjadi inspirasi dunia internasional.

Aku sendiri mengetahui Nelson Mandela ketika masih SD kelas 6 dari pelajaran IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial). Guruku saat itu bercerita bahwa Nelson Mandela ini adalah seorang pahlawan dunia. Nelson Mandela mampu mengakhiri politik Apartheid di Afrika Selatan. Keberhasilannya tersebut telah membuka mata dunia bahwa memang tak sepantasnya praktik diskriminasi ras dilakukan dalam kehidupan bersosial dan bernegara.

Somehow aku tiba-tiba kepikiran, kalau tidak ada perjuangan Nelson Mandela (dan Frederik Willem de Klerk, presiden kulit putih terakhir Afrika Selatan yang mengakhiri apartheid) dkk, bisa jadi nasib Afrika Selatan akan seperti Amerika Serikat dan Australia di mana orang-orang kulit putih melakukan diskriminasi terhadap penduduk pribuminya (masing-masing suku Indian dan suku Aborigin). Kalau tidak ada perjuangan tersebut, bisa jadi penduduk Afrika Selatan sekarang benar-benar merupakan orang-orang kulit putih dan penduduk aslinya hanya menjadi objek turisme saja.

Terlepas dari itu, melihat sosok Nelson Mandela ini, aku selalu merasa bahwa Nelson Mandela ini orang Indonesia. Di koran-koran dan internet semua fotonya selalu mengenakan batik! Kabarnya beliau menyukai batik Indonesia setelah diberikan kado baju batik dalam kunjungannya ke Indonesia. Sejak itu beliau selalu mengenakan batik di setiap kegiatan formalnya, termasuk ke sidang umum PBB.

Nelson Mandela, mungkin kini kau memang telah tiada. Kepergianmu telah meninggalkan duka yang mendalam bagi dunia ini. Namun, nama dan jasa-jasamu tentu akan terus terekam dalam sejarah peradaban manusia di dunia ini. Selamat jalan Nelson Mandela!

PKN

Beberapa hari belakangan ini sedang heboh isu PKN yang dilangsungkan selama satu minggu tanggal 1-7 Desember 2013 ini. Apa itu PKN? PKN adalah singkatan dari Pekan Kuliner Kondom Nasional. Penyelenggaraan PKN yang digagas oleh Kementrian Kesehatan ini dilakukan bertepatan dengan hari AIDS sedunia yang jatuh setiap tanggal 1 Desember.

Wew, cara penanganan isu AIDS zaman sekarang dibandingkan dengan zaman saat aku masih SMP/SMA sudah jauh berbeda ternyata. Dulu seminar edukasi penyakit HIV/AIDS yang aku ikuti saat SMP sangat menekankan kepada kami para pelajar agar menghindari pergaulan bebas yang dapat menghantarkan perilaku seperti free sex, penggunaan narkoba, tato dan tindik karena berisiko tinggi dalam penularan virus HIV, Hepatitis B, atau Hepatitis C. Nah, kalau sekarang ternyata metode “edukasi” HIV/AIDS ke masyarakat itu adalah dengan meluncurkan program Pekan Kondom Nasional. Bahkan salah satu kegiatannya adalah cara meluncurkan “Bus Kondom” yang akan berkeliling ke sejumlah tempat nongkrong anak muda (baca beritanya di sini).

Selama sepekan penuh masyarakat (termasuk anak kecil yang masih polos) akan terpapar berita mengenai kondom, kondom, dan kondom. Bahkan sangat mungkin sekali anak-anak kecil yang kebetulan sedang diajak orang tuanya ke mall akan melihat bus kondom itu dan bertanya pada orang tuanya, “Pa, Ma, itu bus apa sih ada gambar cewek (gambar Jupe) pose tiduran gitu? Kondom itu apa yah?” WTH!!!

Parahnya, di UGM sejumlah orang dari bus kondom (walaupun katanya mangkalnya di luar kampus, bukan di dalam) itu sampai membagi-bagikan kondom gratis kepada orang-orang yang sedang lewat saat itu. Bahkan, sampai ada yang berpesan kondomnya dapat digunakan sama pacar (baca beritanya di sini). Subhanallah!!

Mungkin aku tak cukup pintar untuk memahami logika yang digunakan oleh Kementerian Kesehatan negeriku ini, khususnya sang Ibu Menteri Kesehatan, dalam kampanye HIV/AIDS. Mungkin menurut mereka kampanye gunakan kondom sebelum berhubungan seks mungkin lebih efektif dibandingkan kampanye hindari seks pra nikah dan perselingkuhan karena berisiko tertular penyakit HIV/AIDS. Sudah jelas Pekan Kondom Nasional ini menyasar pada pelaku hubungan seks bebas (baca: seks pra nikah, selingkuh, prostitusi) — karena nggak mungkin kan suami-istri yang disuruh pakai kondom agar tak tertular AIDS — sehingga logika yang kutangkap adalah pemerintah menganggap perilaku seks bebas tersebut adalah biasa karena “mendukung”-nya dengan mengingatkan pelakunya agar jangan lupa menggunakan pengaman (baca: kondom).

Pemikiran bodohku mengatakan kebijakan itu bisa muncul karena kehidupan kita yang semakin sekuler, mengenyampingkan ajaran agama (karena dianggap tradisional), dan mengikuti budaya barat yang liberal. Karena seks bebas ini masuk ranah pribadi, pemerintah merasa tidak berhak melarang-larangnya, sehingga yang bisa dilakukan pemerintah cuma bisa menghimbau saja agar jangan lupa pakai pengaman agar tak sampai terkena HIV/AIDS. Padahal di dalam Al-Qur’an (Al Isra 17:32) bahkan Al-Kitab (Ibrani 13:4) sekalipun manusia sudah diperintahkan untuk menjauhi zina.

Oleh karena itu, logika bodohku berkata kampanye menghindari zina dalam rangka untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS jauh lebih substantif ketimbang kampanye kondom itu. Bahkan, kampanye kondom justru meningkatkan peluang (baca: bahasa halus dari mengajak) orang melakukan “seks berisiko”.

Oh ya bodohnya aku, baru ingat beberapa waktu yang lalu sempat beredar juga berita mengenai praktek “seks kilat” di gedung DPR (baca beritanya di sini). Sang ketuanya sendiri telah mengakui adanya praktek seperti itu dan cuma bisa menghimbau agar tidak ada lagi kondom bekas pakai yang ditemukan di tempat sampah gedung DPR. Oh pantes…

Setelah kegiatan Pekan Kondom Nasional dengan “bus kondom”-nya yang kontroversial itu usai, jangan terkejut bila kelak akan kita dapati pemandangan kondom dijual pedagang asongan di tempat-tempat umum seperti mereka menjual rokok sekarang. Ngerilah. Na’udzubillah. Tanda-tanda kehidupan manusia sekarang akan menuju kondisi yang disebutkan di dalam hadits di bawah ini sepertinya sudah semakin tampak:

Dari Abdullah bin Umar, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kiamat tidak akan terjadi sampai orang-orang bersetubuh di jalan-jalan seperti layaknya keledai.” Aku (Ibnu ‘Umar) berkata, “Apa betul ini terjadi?”. Beliau lantas menjawab, “Iya, ini sungguh akan terjadi”. (HR. Ibnu Hibban, Hakim, Bazzar, dan Thabrani)[1]

Sepertinya kita tak perlu menunggu lama untuk hal tersebut terjadi. Karena di belahan dunia barat sana, tepatnya di Swiss, hal itu sudah terjadi. Mereka menyediakan bilik-bilik untuk bercinta di pinggir jalan!! Mereka menyebutnya dengan nama “sex drive-in” (baca beritanya di sini). Kalau lapar dan buru-buru, kita bisa memanfaatkan fasilitas “drive-thru” di beberapa restoran. Nah sekarang kalau tiba-tiba “kebelet” dan buru-buru, jangan khawatir ada fasilitas “sex drive-in” ini. Subhanallah… *speechless*

Bilik-bilik cinta di Swiss

“Bilik-bilik cinta” di Swiss

Dunia, oh dunia… umurmu sudah tak panjang lagi.

Miss Hometown = Miss Childhood?

When you finally go back to your old hometown, you find it wasn’t the old home you missed but your childhood — Sam Ewing

Well, actually I can’t agree more on that quote. 🙂

Terkadang ketika jenuh dengan kesibukan atau rutinitas sehari-hari di tanah perantauan, terpikir oleh saya untuk pulang ke kampung halaman. Tiba-tiba perasaan rindu itu muncul begitu saja. Well, itu bukan berarti setiap menemui kejenuhan lantas saya beli tiket untuk pulang kampung :D. Menyalurkan hobi membaca, main sepakbola, badminton, lari, pergi ke alam, dan sebagainya bagi saya cukup menjadi media yang efektif untuk mengurangi kejenuhan itu.

Tapi poin saya sesungguhnya bukan itu :P. Ketika pertama kali membaca quote dari Mr. Ewing tadi, saya pun berpikir, “Ah, benar juga ya.”

Setiap kali pulang ke kampung halaman, bayang-bayang masa lalu seringkali muncul di benak saya. Bukan masa lalu yang kelam atau bagaimana ya, hehehe. Maksud saya begini. Ketika melalui sebuah jalanan, tanpa disadari saya bergumam dalam hati, “Ini jalanan yang dulu saya lalui setiap saya ke sekolah.”

Lalu, ketika saya berada di lingkungan rumah, “Di lapangan ini dulu saya biasa main sepakbola sama tetangga-tetangga saya”, “Di rumah ini dulu saya biasa dinasehati oleh orang tua”, dsb.

Ketika lewat sekolah, kampus, atau masjid, “Di sini dulu saya dan kawan-kawan rohis pernah kajian bareng.” Dan seterusnya, seterusnya …

Childhood Memories

Childhood Memories

Well, mungkin bukan maksud hati sengaja untuk mengingat-ingat masa lalu. Namun pikiran-pikiran seperti itu tanpa disadari memang sangat mungkin untuk muncul ke permukaan. Menurut saya, hal tersebut cukup wajar karena sebuah daerah disebut kampung halaman tentu karena ia memiliki  keterikatan historis yang panjang dengan kita, dan menjadi saksi bisu atas masa kecil atau remaja yang kita telah lalui di sana.

Namun, tak selalu yang namanya kerinduan terhadap kampung halaman itu terjadi karena kerinduan akan masa lalu. Kerinduan untuk bertemu dengan keluarga (orang tua), suasana, dan kuliner khas kampung halaman juga bisa menjadi sebab.

Satu hal yang pasti, kita tidak akan pernah bisa menangkap kembali masa childhood  itu. Tapi kita bisa menjadikannya sebagai refleksi atas apa yang telah kita lalui hingga kita berada di tempat kita yang sekarang. Menyegarkan kembali mimpi-mimpi yang pernah kita buat di masa itu, apa tujuan kita di dalam menempuh hidup ini, dsb. Yang dengan itu kemudian ada energi positif yang bisa kita bawa kembali ke tanah perantauan. 🙂

Menyimak “Perjalanan Spiritual” pada Film Life of Pi

Life of Pi

Life of Pi (marcelosantosiii.com)

Life of Pi ini sebenarnya sudah ada sejak 2001 dalam bentuk novel. Menjelang akhir tahun 2012 kemarin, tepatnya bulan November, film yang mengadaptasi novel tersebut baru saja rilis. Saya sendiri belum pernah membaca novelnya dan baru sempat menonton filmnya baru-baru ini. Tapi tidak ada salahnya kan saya sedikit memberikan sedikit opini mengenai film tersebut, hehehe. Eh, tapi sebelum itu, perlu digarisbawahi ya, opini saya ini belum tentu sama sebagaimana yang dimaksudkan oleh sang author alias penulis cerita aslinya.

Oke, di menit-menit awal menonton film ini saya mulai menebak-nebak akan ke mana dialog antara Pi dewasa dan sang novel writer. Saya pun berpikiran bahwa ‘petunjuk’ menuju kepada substansi dari film ini sebenarnya secara eksplisit telah diungkapkan pada dialog (sekitar menit ke-10) ketika sang novel writer berkata pada Pi dewasa, “He (Mamaji) said you had a story that would make me believe in God.”

Salah satu scene antara sang writer dengan Pi

Salah satu scene antara sang writer dengan Pi

Dalam pandangan saya film ini — terlepas dari substansi sesungguhnya yang ingin disampaikan oleh sang penulis novel yang asli — secara umum memang mengisahkan mengenai ‘perjalanan spiritual’ sang tokoh utama, Pi, dalam memercayai keberadaan Tuhan.

Di awal diceritakan bahwa Pi terlahir sebagai seorang Hindu, agama ‘pertama’-nya. “None of us knows God until someone introduces us,” begitu katanya, menyiratkan bahwa ‘pilihan’-nya atas Hindu terjadi karena memang diperkenalkan oleh orang tuanya sedari kecil.

Perjalanan spiritualnya berlanjut ketika Pi remaja berkenalan dengan Kristen dari seorang pendeta di sebuah gereja di suatu desa. Di titik tersebut Pi mengklaim ia menemukan God’s love alias kasih Tuhan di dalam Kristen. Uniknya, dalam satu monolognya Pi berterima kasih kepada Dewa Wisnu (salah satu Tuhan dalam Hindu) karena telah memperkenalkannya pada Kristen.

“But God wasn’t finished with me yet.”

Kali ini Pi berkenalan dengan Islam setelah memperhatikan umat muslim yang sholat berjamaah di sebuah masjid. Ia pun mempraktikkan ibadah sholat tersebut. Di titik itu Pi mengatakan bahwa ia menemukan ketentraman di sana. Akhirnya Pi remaja pun di saat tersebut mempraktikkan ketiga agama tersebut sebagai keyakinannya.

Sampai di titik ini saya bergumam dalam hati saya, “Wew, film ini seperti ingin menyebarkan pemahaman agama universal sebagaimana yang diusung JIL (Jaringan Islam Liberal).” Perjalanan spiritual Pi itu seperti ingin menunjukkan bahwa semua agama adalah jalan-jalan yang sah menuju Tuhan yang sebenarnya sama. Dewa Wisnu, Kristus, dan Allah yang disebutkan oleh Pi itu hanya sekedar nama untuk Tuhan yang sama di agama yang berbeda. Saya berpikir bahwa pesan itulah sebenarnya yang sedang Pi sampaikan.

Namun, hal menarik muncul di meja makan pada suatu momen makan malam keluarga kecil Pi. Kakak Pi menjadikan keyakinan Pi — meyakini dan menjalankan 3 keyakinan sekaligus bersamaan — sebagai bahan becandaan. Ayah Pi pun menimpali dengan mengatakan, “You cannot follow three different religions at the same time, Piscine, because …

believing in everything at the same time is the same as not believing in anything at all.”

Percaya kepada segalanya — dalam hal ini tentu saja yang dimaksud lebih khusus adalah agama — secara bersamaan, sama artinya dengan tidak percaya sama sekali kepada semuanya. Ayah Pi pun melanjutkan,

“Instead of leaping from one religion to the next, why not start with reason?”

Seems familiar, right? Mengingatkan kita akan kisah Nabi Ibrahim bukan? Bedanya, pada kisah Nabi Ibrahim, beliau bukannya berpindah antar keyakinan atau agama, melainkan — sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-An’am 76-79 — mencoba mengamati ‘kans’ bintang (ayat 76), kemudian bulan (ayat 77), dan kemudian matahari (ayat 78), apakah ‘layak’ untuk menjadi Tuhan. Akan tetapi, dengan reasoning-nya akhirnya beliau mematahkan kaumnya yang meyakini dan menyembah ketiganya. Dan di ayat 79 disebutkan bahwa beliau menyatakan meyakini dan megikuti agama Allah sebagai agama yang benar.

The point is Continue reading

Prosedur Baru Pembatalan Tiket Kereta Api

Jujur, aku baru tahu ternyata PT KAI telah menerapkan prosedur baru pembatalan tiket kereta api terhitung sejak 1 Maret 2013 yang lalu. Prosedur yang baru ini kualami sendiri kemarin Jumat sewaktu membatalkan tiket di Stasiun Malang Kota Baru.

Tiket promo kereta api

Tiket kereta api

Seperti diketahui, pada sistem lama calon penumpang cukup menyerahkan tiket yang dibatalkan pada loket stasiun dan orang tersebut langsung menerima secara tunai uang sejumlah 75% dari harga tiket dan diterima saat itu juga. Prosedur tersebut sangat mudah dan tidak berbelit.

Namun, pada sistem yang baru ini calon penumpang harus mengisi formulir pembatalan tiket terlebih dahulu dan menyerahkan fotocopy-an identitas yang sesuai dengan yang tertera pada tiket. Uang hasil pembatalan tersebut tidak langsung diserahkan pada saat itu juga, tetapi baru bisa dicairkan 30-45 hari sesudahnya, bisa secara tunai atau transfer ke bank. Sungguh lama nian bukan.

Rupanya perubahan sistem ini, seperti yang disebutkan pada beberapa media massa seperti Suara Merdeka, Bisnis Jateng, dan Rada Jogja, adalah demi membatasi ruang gerak para calo. Menurutku itu alasan yang make sense sih. Aku dulu pernah berpikir, dengan sistem boarding pass — menunjukkan kartu identitas sesuai tiket — yang diterapkan PT KAI, kira-kira celah apa yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh calo.

Saat itu aku kepikiran dua: (1) Calo memberikan fotocopy-an identitas — atau bahkan kartu identitas yang “asli”, tapi tentu saja sebenarnya palsu (buat sendiri) —  yang sesuai dengan tiket kepada sasarannya. Walaupun ini agak absurd, tapi jika petugas tidak secara teliti membandingkan wajah dengan yang tertera pada identitas tersebut, calon penumpang tersebut bisa tetap lolos. Soal fotocopy-an, saya pernah beberapa kali mendapati petugas yang meloloskan calon penumpang yang cuma menunjukkan fotocopy-an kartu identitas saja karena calon penumpang beralasan macam-macam yang membuat petugas luluh. (2) Calo membuat deal dengan calon penumpang untuk membatalkan tiket yang dibelinya sehingga calon penumpang tersebut dapat membeli tiket tersebut via loket resmi sesuai identitasnya. Tentunya dalam deal tersebut, calon penumpang akan membayar ke calo di luar harga normal. Tapi untuk kasus ini sebenarnya agak berisiko sih. Bagaimana apabila di saat bersamaan di loket stasiun lain ada pula calon penumpang yang menunggu hingga detik terakhir munculnya tiket yang dibatalkan, bisa-bisa calon penumpang yang tadi deal dengan calo bisa keduluan oleh calon penumpang di tempat lain.

Hmm… sebagai catatan, aku tidak tahu “teori” di atas apakah sungguh benar terjadi di lapangan. Yang jelas, dengan sistem baru di mana pihak yang membatalkan tiket baru memperoleh uang setelah 30-45 hari, tentu akan menjadi berpikir panjang sebelum membeli ataupun membatalkan tiket. Namun, aku tetap bertanya-tanya apakah sistem yang baru ini dapat menekan angka pembatalan tiket seperti yang diklaim PT KAI bahwa ada rata-rata 20% pembatalan tiket dari total 50.000 transaksi per hari.

Pesan Tiket KA Online

Akhirnya aku kesampaian juga menjajal sistem pemesanan tiket kereta api melalui internet. Seminggu yang lalu aku memesan tiket untuk perjalanan balik ke Bandung dari Jogja. Sistemnya ternyata nggak jauh beda dengan sistem e-commerce pada umumnya. Hanya saja karena diriku tak punya kartu kredit, jadinya pembayaran kulakukan melalui ATM. Langkah-langkah pemesanan tiket KA ini kurang lebih sebagai berikut:

1. Buka situs http://kereta-api.co.id

2. Pada kolom “Info Jadwal & Reservasi” pilih stasiun asal, stasiun tujuan, tanggal keberangkatan, dan jumlah calon penumpang (maksimal untuk 4 orang).

Memilih stasiun asal, tujuan, tanggal, dan jumlah calon penumpang

Memilih stasiun asal, tujuan, tanggal, dan jumlah calon penumpang

3. Masukkan kode verifikasi sesuai gambar yang tertera dan klik tombol ‘Tampilkan’.

4. Lalu sistem akan menampilkan halaman daftar perjalanan dan tarif kereta api yang tersedia untuk rute dan tanggal tersebut.

Daftar perjalanan dan tarif kereta

Daftar perjalanan dan tarif kereta

Untuk mengetahui sisa tempat duduk yang tersedia untuk masing-masing kelas, kita bisa meng-hover tombol ‘Booking’. Di sana akan muncul tooltip bertuliskan angka yang menunjukkan sisa tempat duduk tersebut. 5. Klik tombol ‘Booking’ pada jadwal dan kelas kereta yang ingin kita pesan. 6. Sistem akan menampilkan halaman terms agreement. Beri tanda cek pada teks pernyataan dan klik tombol ‘Lanjutkan’.

7. Isi data calon penumpang sesuai dengan kartu identitas yang berlaku. Ingat, data (khususnya nama) yang nantinya akan tertera di tiket harus sesuai dengan data pada kartu identitas. Jangan lupa isikan alamat email yang valid dari pemesan. Pastikan alamat email tersebut valid. Sebab, email ini akan digunakan untuk pengiriman bukti pemesanan tiket. Klik ‘Selanjutnya’ untuk lanjut ke tahap berikutnya.

8. Pilih metode pembayaran. ATM atau kartu kredit. Klik ‘Selanjutnya’ untuk mengkonfirmasi.

9. Begitu proses reservasi selesai, kita akan mendapatkan kode pembayaran yang akan kita jadikan nomor referensi saat melakukan pembayaran baik via ATM maupun kartu kredit. Lembar reservasi ini selain dapat kita cetak langsung saat itu, juga dikirimkan ke email kita dalam format file PDF.

10. Melakukan proses pembayaran melalui alat yang sudah dipilih sebelumnya. Oh iya, perlu diingat, batas waktu pelunasan pembayaran adalah terhitung 3 jam sejak proses reservasi selesai dikonfirmasi. Apabila, pelunasan tidak segera dilakukan, reservasi yang telah dilakukan akan dianggap batal.

11. Untuk pengecekan status pembayaran dapat melalui halaman http://kereta-api.co.id/ibook.html?check=booking atau klik tombol “Check Kode Booking” pada halaman beranda. Masukkan kode pembayaran. Setelah itu, sistem akan menampilkan status pembayaran kita. Selain bisa mengecek melalui halaman tersebut, kita juga akan mendapatkan email konfirmasi status pembayaran yang telah diperbaharui beserta buktinya dalam format PDF. Lembar dalam file PDF inilah yang harus kita cetak untuk ditukarkan dengan tiket kereta yang valid.

Lembar tersebut hukumnya wajib kita bawa saat penukaran. Aku sempat mencoba untuk hanya menunjukkan email yang aku terima dengan HP. Namun, petugas tiket menolaknya. Padahal di beberapai maskapai penerbangan, hal seperti ini biasanya tidak dipermasalahkan.

Kelebihan dari reservasi tiket online ini tentu saja kita tidak perlu keluar rumah atau kantor untuk membeli tiket. Cukup dari komputer kita saja. Sedangkan kekurangannya mungkin ya selain kena charge, siap-siap saja antri lagi saat penukaran tiket di stasiun. Tapi biasanya nggak panjang juga kok antriannya.

Berkomentar Tanpa Membaca Dulu?

Sering aku membaca artikel-artikel berita online, entah itu berita politik, sosial, budaya, agama, hiburan, olahraga, dan sebagainya. Tak jarang di beberapa artikel itu telah masuk beberapa komentar dari para pembacanya. Bahkan, tak jarang pula di dalamnya sampai berdebat satu sama lain yang jikalau dikumpulkan bisa menjadi satu atau lebih artikel tersendiri.

Menurutku itu sangat wajar. Setiap orang punya hak beropini, sambil tetap memerhatikan aturan yang ditetapkan oleh moderator atau admin berita. Kadang-kadang malah aku sebagai pembaca malah lebih asyik membaca komentar-komentar pembaca yang lain daripada isi artikelnya itu sendiri :).

Tapi, suatu ketika aku mendapati artikel berita di Yahoo ini, yang komentar-komentar di dalamnya ternyata sangat kontradikitf dengan konten beritanya. Kalau sekedar membaca judul beritanya mungkin bakal nyambung, tapi setelah membaca isi berita dan komentar-komentar di bawahnya, cuma bisa tersenyum-senyum saja.

Suatu ketika aku juga pernah membaca artikel di sini. Aku tahu link berita ini dari tweet akun Twitter portal berita yang bersangkutan. Penasaran dengan judul “Pengurus Bulu Tangkis Ramai-Ramai ke London” dalam tweet tersebut, aku mencoba membuka link berita dan membacanya. Ya Allah … ternyata judulnya menjebak. Secara sekilas, aku berpikir bahwa ‘Pengurus Bulu Tangkis” yang dimaksud adalah pengurus PBSI. Tapi setelah mengunjungi link berita dan membacanya, ternyata yang dimaksud adalah pengurus BAM (PBSI-nya Malaysia). Ini penulisnya sengaja atau bagaimana sih.

Kemudian aku tertarik mengamati mention yang muncul sebagai tanggapan terhadap berita itu. Ternyata sebagian besar follower memiliki persepsi awal yang sama denganku. Mereka mengkritik PBSI melalui mention mereka ke artikel berita itu. Padahal isi beritanya tidak demikian.

Yah, itu mungkin hanya sebagian kecil contoh saja yang kutemukan. Yang bisa kuambil sebagai pertanyaan buat diriku sendiri khususnya, adalah apakah kita sudah sedemikian terlalu reaktifnya — sudah ‘sedemikian’, pakai ‘terlalu’ lagi 😀 — terhadap suatu isu yang muncul, sehingga kita lebih mengedepankan insting atau nafsu kita (entah itu berupa fisik, hujatan, cacian, dsb) untuk merespon isu itu dan tidak mengindahkan nalar lagi (mungkin dengan berusaha menelusuri asal-muasal sumber atau penyebabnya terlebih dahulu).

Tapi, by the way, sepertinya seru juga ya membuat aplikasi semacam sentiment analysis begitu untuk mengamati bagaimana respon pembaca terhadap suatu artikel. Tapi aplikasi ini fokus ke seberapa kontradiktifnya opini ‘pembaca’ (termasuk opini nyampah) terhadap konten berita. Manfaatnya? Kurang tahu juga sih. Tapi setidaknya jadi bisa tahu bagaimana karakter atau budaya berkomentar masyarakat kita di dunia maya.