Terjawab sudah rasa penasaran saya akan perubahan (sangat sangat sangat) positif dalam pelayanan KAI. Membaca buku ini saya jadi mengerti bagaimana permasalahan-permasalahan yang ada di tubuh KAI sebelumnya yang membuat KAI berjalan di tempat, jika tak mau disebut semakin terpuruk seiring berjalannya waktu.
Saya sepakat dengan yang dikatakan Dahlan Iskan, Ignasius Jonan memang kurang waras dan kosro. Sudah enak-enak menjabat sebagai Managing Director Citibank, beliau mau repot-repot ngurus KAI yang tengah terpuruk dan seolah nyaris tak punya harapan untuk berubah menjadi lebih baik. Beliau diangkat pada tahun 2009 oleh menteri BUMN saat itu, Sofyan Djalil, tanpa memiliki background sama sekali dalam manajemen di bidang transportasi. Namun, PT KAI bukan BUMN pertama yang beliau pimpin. Sebelumnya beliau pernah menjabat sebagai direktur utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (Persero) pada 2001-2006.
Setelah menjabat sebagai direktur utama PT KAI, dengan latar belakangnya sebagai seorang profesionalisme dengan pengalaman segudang, Jonan sukses mengubah kultur perusahaan KAI dari birokrasi menjadi korporasi. Jonan juga berhasil merombak mindset pegawai KAI agar memiliki etos tinggi dalam melayani.
Baginya melayani penumpang dengan baik dan ramah adalah sebuah keharusan karena pada hakikatnya penumpanglah yang memberi makan KAI. Kebersihan stasiun dan kereta baginya merupakan bentuk penghargaan sekaligus pelayanan kepada penumpang. Kebersihan toilet menjadi salah satu indikasi paling gampang untuk mengukur sejauh mana customer friendly telah menjadi prioritas jajarannya,
Good Corporate Governance (GCG) merupakan hal yang paling sering didengungkan dalam usaha perubahan mindset karyawan. Di awal kepemimpinannya Jonan juga menetapkan 4 pilar utama KAI: keselamatan, pelayanan, ketepatan waktu, dan kenyamanan. Masing-masing pilar tersebut memiliki target terukur dan trennya membaik dari tahun ke tahun kepemimpinannya.
Angka kecelakaan ditekan dengan meningkatkan kedisiplinan petugas di stasiun dan perjalanan kereta, diklat, sertifikasi masinis, disiplin pemeriksaan dan perawatan lokomotif, kereta, gerbong, persinyalan, dan perlintasan KA. Hasilnya, PLH (Peristiwa Luar biasa Hebat) turun dari 113 pada tahun 2008, menjadi 100 pada tahun 2009, 76 pada tahun 2010, dan 54 pada tahun 2012. Rate of accident turun dari 0,302 (tahun 2007) ke 0,016 (tahun 2012).
Perubahan positif pada tubuh KAI terasa puncaknya pada peenyelenggaraan angkutan lebaran hari raya Idul Fitri 2012. Pemandangan penumpang kereta api berdesak-desakan di dalam kereta, masuk lewat jendela, berdiri di dalam toilet, bahkan ada yang sampai ikut naik lokomotif, sudah tak tampak lagi. Fenomena tersebut ibarat puncak gunung es dari sebuah proses perubahan yang berlangsung secara evolusioner di seluruh lini korporasi PT KAI.
Berbagai penghargaan bergengsi pun diterima PT KAI. Di ajang IT Excellence Award 2012 Asia Psifik, PT KAI meraih posisi 5 besar atau finalis. Inovasi IT di bidang Rail Ticketing System (RTS) kalah dari inovasi IT Changi Airport di Singapura. Perubahan kultur yang terjadi di tubuh PT KAI ternyata juga meraih pengakuan pada ajang BUMN Innovation Award 2013. PT KAI meraih penghargaan Gold Level untuk kategori Best Corporate Innovation Culture & Management. Dan masih ada banyak penghargaan yang lain.
Membaca buku ini saya juga bisa ikut merasakan gaya kepemimpinan Jonan di KAI. Sebab, penulis banyak menyisipkan kutipan-kutipan broadcast message dan email yang disampaikan Jonan kepada milis gruo KAI, serta hasil wawancara beberapa pihak yang berhubungan.
Salut dengan penulis dan timnya yang menurut saya cukup sukses dalam menyajikan gambaran perubahan yang terjadi di tubuh KAI di era kepemimpinan Ignasius Jonan dibandingkan sebelumnya. Ulasan yang disampaikan juga sangat komprehensif karena disarikan dari banyak sumber. Terakhir, buku ini sangat saya rekomendasikan bagi Anda yang ingin mencari inspirasi untuk melakukan sebuah perubahan, khususnya dalam suatu organisasi.
Like this:
Like Loading...