Minggu lalu (20/4) seperti biasa sekitar jam 9 malam sebelum tidur saya ngoprek-ngoprek sesuatu sembari memutar siaran radio MQFM (102.7 FM). Malam itu kebetulan sang penyiar sedang membicarakan topik kontemplasi yang membuat saya cukup teralihkan dari kegiatan saya karena saya pun menjadi ikutan berkontemplasi.
Kurang lebih sang penyiar bertanya seperti ini, “Bagaimana Anda memaknai bertambahnya umur? Apakah Anda memandangnya sebagai sebuah peluang atau memanndangnya dengan kekhawatiran?”
“Jika memaknainya sebagai peluang, peluang apa sih yang bisa ditemukan ketika usia bertambah? Jika memandangnya dengan kekhawatiran, apa sih yang dikhawatirkan?”
Dari segi fisik, bertambahnya usia sering diidentikkan dengan semakin besarnya potensi penyakit yang siap menghampiri kita. Ibarat kendaraan yang sudah dipakai bertahun-tahun lamanya, munculnya keluhan di sana-sini menjadi hal yang lumrah ditemui.
Namun hal tersebut sebenarnya bisa dicegah atau diminimalisisasi dengan mulai memperhatikan dan menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang baik seperti menjaga hidup bersih, pola makan yang sehat, dan berolahraga. Kita pasti semua tidak ingin ketika tua kelak menjadi susah untuk beraktivitas atau merepotkan orang lain karena kondisi fisik kita. Na’udzubillahi min dzalik.
Di sisi lain, bertambahnya usia semestinya membuat kita juga bisa lebih bijak. Belakangan saya mencoba mencari-cari apakah ada konsep atau model mengenai kebijaksanaan (wisdom). Rupanya sudah ada. Model tersebut diajukan oleh Monika Ardelt, di mana model wisdom tersebut terdiri atas 3 dimensi, yakni reflective, cognitive, dan affective.
Setiap dimensi memiliki karakteristik kepribadian masing-masing yang dapat kita identifikasi (baca di sini). Di antaranya adalah berusaha memahami suatu peristiwa dengan lebih dalam terutama dalam kaitannya dengan interpersonal. Selain itu juga berusaha melihat suatu peristiwa dari berbagai perspektif sebelum mengambil kesimpulan. Lebih pandai mengatur emosi dan menahan ego untuk merasa selalu benar. Serta lebih menaruh simpati kepada orang lain.
Bertambahnya usia juga membuat kita sadar bahwa tidak pernah ada istilah “waktu yang tepat”. There is never a right time. Kita menjadi lebih menghargai dan fokus pada waktu sekarang, seolah-olah memang waktu yang kita miliki memang tinggal saat ini saja. Besok belum tentu. Yang sudah berlalu biarlah berlalu.
Dalam sebuah riwayat Rasulullah pernah mengisyaratkan seandainya kita memiliki sebiji kurma dan kiamat akan terjadi esok, maka hendaknya kita tetap menanamnya selagi mampu.
Ya, kita tidak akan pernah tahu dengan pasti apa yang akan terjadi esok. Apa yang bisa kita perbuat sekarang, kita kerjakan. Terus mengerjakan kerbaikan walaupun manfaatnya tidak langsung kita rasakan pada hari itu. Bisa jadi kebaikan atau hal positif yang kita lakukan hari ini akan bermanfaat bagi kita setelah sekian lama di kemudian hari atau bahkan baru terasa manfaatnya bagi generasi setelah kita.
Insya Allah tidak ada yang sia-sia. Seandainya bukan kita yang merasakan, insya Allah perbuatan baik tersebut bisa menjadi pahala yang mengalir bagi diri kita kelak.
Kita hari ini sejatinya adalah hasil kumpulan kebiasaan-kebiasaan dan keputusan-keputusan yang kita ambil di masa lalu. Oleh karena itu, jika kita mengharapkan masa depan yang lebih baik, baik dunia maupun akhirat, kita perlu berinvestasi untuk diri kita dengan terus melakukan kebiasaan-kebiasaan positif dan perencanaan yang baik di masa sekarang.