Monthly Archives: April 2021

Memaknai Usia

Minggu lalu (20/4) seperti biasa sekitar jam 9 malam sebelum tidur saya ngoprek-ngoprek sesuatu sembari memutar siaran radio MQFM (102.7 FM). Malam itu kebetulan sang penyiar sedang membicarakan topik kontemplasi yang membuat saya cukup teralihkan dari kegiatan saya karena saya pun menjadi ikutan berkontemplasi.

Kurang lebih sang penyiar bertanya seperti ini, “Bagaimana Anda memaknai bertambahnya umur? Apakah Anda memandangnya sebagai sebuah peluang atau memanndangnya dengan kekhawatiran?”

“Jika memaknainya sebagai peluang, peluang apa sih yang bisa ditemukan ketika usia bertambah? Jika memandangnya dengan kekhawatiran, apa sih yang dikhawatirkan?”

Dari segi fisik, bertambahnya usia sering diidentikkan dengan semakin besarnya potensi penyakit yang siap menghampiri kita. Ibarat kendaraan yang sudah dipakai bertahun-tahun lamanya, munculnya keluhan di sana-sini menjadi hal yang lumrah ditemui.

Namun hal tersebut sebenarnya bisa dicegah atau diminimalisisasi dengan mulai memperhatikan dan menerapkan kebiasaan-kebiasaan yang baik seperti menjaga hidup bersih, pola makan yang sehat, dan berolahraga. Kita pasti semua tidak ingin ketika tua kelak menjadi susah untuk beraktivitas atau merepotkan orang lain karena kondisi fisik kita. Na’udzubillahi min dzalik.

Di sisi lain, bertambahnya usia semestinya membuat kita juga bisa lebih bijak. Belakangan saya mencoba mencari-cari apakah ada konsep atau model mengenai kebijaksanaan (wisdom). Rupanya sudah ada. Model tersebut diajukan oleh Monika Ardelt, di mana model wisdom tersebut terdiri atas 3 dimensi, yakni reflective, cognitive, dan affective.

Setiap dimensi memiliki karakteristik kepribadian masing-masing yang dapat kita identifikasi (baca di sini). Di antaranya adalah berusaha memahami suatu peristiwa dengan lebih dalam terutama dalam kaitannya dengan interpersonal. Selain itu juga berusaha melihat suatu peristiwa dari berbagai perspektif sebelum mengambil kesimpulan. Lebih pandai mengatur emosi dan menahan ego untuk merasa selalu benar. Serta lebih menaruh simpati kepada orang lain.

Bertambahnya usia juga membuat kita sadar bahwa tidak pernah ada istilah “waktu yang tepat”. There is never a right time. Kita menjadi lebih menghargai dan fokus pada waktu sekarang, seolah-olah memang waktu yang kita miliki memang tinggal saat ini saja. Besok belum tentu. Yang sudah berlalu biarlah berlalu.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah pernah mengisyaratkan seandainya kita memiliki sebiji kurma dan kiamat akan terjadi esok, maka hendaknya kita tetap menanamnya selagi mampu.

Ya, kita tidak akan pernah tahu dengan pasti apa yang akan terjadi esok. Apa yang bisa kita perbuat sekarang, kita kerjakan. Terus mengerjakan kerbaikan walaupun manfaatnya tidak langsung kita rasakan pada hari itu. Bisa jadi kebaikan atau hal positif yang kita lakukan hari ini akan bermanfaat bagi kita setelah sekian lama di kemudian hari atau bahkan baru terasa manfaatnya bagi generasi setelah kita.

Insya Allah tidak ada yang sia-sia. Seandainya bukan kita yang merasakan, insya Allah perbuatan baik tersebut bisa menjadi pahala yang mengalir bagi diri kita kelak.

Kita hari ini sejatinya adalah hasil kumpulan kebiasaan-kebiasaan dan keputusan-keputusan yang kita ambil di masa lalu. Oleh karena itu, jika kita mengharapkan masa depan yang lebih baik, baik dunia maupun akhirat, kita perlu berinvestasi untuk diri kita dengan terus melakukan kebiasaan-kebiasaan positif dan perencanaan yang baik di masa sekarang.

Advertisement

Gowes Lagi

Nggak terasa sudah lama juga saya nggak sepedaan. Terakhir kali saya gowes kalau tidak salah bareng dua orang temen kantor ke Kiara Artha Park 1,5 tahun yang lalu. Sepedaan di dalam Kota Bandung aja sih dan muter-muter di Kiara Artha Park. Hehehe.

Ketika booming gowes awal-awal pandemi dulu, saya belum tertarik untuk mengayuh lagi. Mungkin karena saya masih merasa lari sudah cukup buat saya sebagai pilihan untuk berolahraga. Selain itu juga sepeda saya kondisinya agak kurang terawat ketika itu dan saya agak malas untuk maintenance. 😆

Nah momen puasa ini saya mulai melirik sepeda saya lagi karena ingin mencoba alternatif kegiatan pagi selain lari yang lebih ringan. Untuk lari pagi saya belum confident saat puasa begini. Takut kebablasan. 😂

Tapi suatu saat ingin mencoba lari juga dengan cara mengatur tempo. Saya melihat di Strava ternyata banyak juga teman-teman di grup runners ikatan alumni yang masih lari pagi juga walaupun berpuasa. Jadi saya termotivasi juga ingin mencoba.

Kembali lagi ke gowes. Jadi setelah dipoles sedikit, alhamdulillah akhirnya sepeda saya terpakai lagi. Sepeda Pacific Exotic 200 yang saya pakai sekarang ini dulu saya beli tahun 2013. Merupakan sepeda ketiga yang saya beli di Bandung. Dua sepeda sebelumnya dulu hilang di kampus 😓.

Sepeda yang sekarang alhamdulillah awet hingga saat ini. Dulu awal-awal baru beli sepeda ini, saya sering memakainya untuk commute ke mana-mana. Mungkin kebiasaan tersebut masih bertahan hingga 3 tahun kemudian. Setelah itu ya kadang-kadang saja pakainya.

Sepeda Pacific Exotic 200

Nah alhamdulillah, selama jalan 12 hari puasa Ramadan ini beberapa kali sepeda ini sudah saya pakai untuk gowes lagi. Beberapa kali saya pakai juga untuk bike to work walaupun sebenarnya kantor sedang menerapkan WFH.

Saya biasanya berangkat bersepeda pagi sekitar jam 6 kurang. Memilih berangkat jam segitu karena jalan masih sepi, udara masih segar, dan tentu saja karena belum panas.

Dan ternyata sepedaan pagi itu efektif untuk mencegah kantuk yang biasanya muncul setelah subuh saat puasa begini. Alhamdulillah habis sepedaan sekitar 5 km ke kantor, badan jadi terasa fresh. Lumayan berkeringat juga karena jalan menanjak ke daerah kantor saya.

Dengan jarak yang sama, capeknya pun tidak secapek lari. Kalau melihat statistik dari aplikasi Strava saya, kalori yang terbakar dari aktivitas lari bisa 3x lebih banyak daripada aktivitas bersepeda (untuk jarak yang sama).

Namun tetap saja sih, siangnya saya harus ambil power nap (bahasa kerennya tidur siang ini wkwkwk) karena mendekati dhuhur biasanya kantuk mulai menyerang lagi. Kalau tidak begitu, biasanya saya minum kopi. Tapi kan jelas tidak mungkin saat puasa. Hahaha.

Setelah kurang lebih seminggu lebih sepedaan, saya juga merasakan manfaatnya ketika saya mencoba lari sore beberapa waktu lalu. Kaki jadi lebih kuat. Biasanya setelah beberapa km berlari, saya mulai merasakan fatigue. Nah kali ini fatigue tersebut baru terasa setelah saya berlari lebih jauh lagi.

Ternyata cross-training semacam ini bisa sangat bermanfaat. Bersepeda membantu meningkatkan strength dan endurance. Selain itu ternyata juga bisa membantu recovery juga (sumber dari sini).

Menikmati Es Cincau di Bumi Herbal Dago

Masih nyambung dengan tulisan sebelumnya, Trekking ke Curug Omas Maribaya. Sepulangnya dari Tahura, saya mengajak teman saya untuk mampir ke kedai Bumi Herbal Dago. Saya penasaran dengan Bumi Herbal Dago ini karena sering melihat postingan teman atau orang lain di media sosial lagi minum es cincau di sana sehabis lari atau gowes ke Tebing Keraton/Warung Bandrek, namun saya belum pernah ke sana sama sekali. Akhirnya kali ini kesampaian. Wkwkwkwk #KorbanIklan.

Lokasi Bumi Herbal Dago ini cukup mudah ditemukan. Tempatnya ada di pertigaan Warung Bandrek sebelum Tebing Keraton. Dari Tahura kita cukup menyusuri jalan utama ke Bukit Pakar. Di pertigaan Bubur Gowes (hanya beberapa meter dari Tahura) ambil kanan kemudian lurus terus hingga pertigaan Warung Bandrek.

Lokasi Bumi Herbal Dago tepat di sudut bagian tengah pertigaan yang berbentuk Y tersebut. Ketika datang dari arah Tahura, kita bisa melihat area parkir mobil tepat di depan kita dan tangga berundak ke atas. Di situlah Bumi Herbal Dago.

Bumi Herbal Dago tampak dari pertigaan Warung Bandrek

Bumi Herbal Dago ini menempati lahan yang cukup luas namun berundak. Tempat makannya terdiri atas tenda-tenda. Di undakan pertama terdapat batang bambu yang dipasang melintang sebagai tempat untuk parkir sepeda. Dapurnya berada di tanah undakan paling atas. Di sanalah tempat kita memesan makanan dan minuman. Di samping dapur ini juga terdapat area bermain bagi anak-anak.

Di sana juga ada kedai kopinya juga lho. Tempatnya terpisah dari dapur untuk pemesanan makanan tersebut.

Tenda-tenda untuk tempat makan
Parkir sepeda
Area bermain anak-anak

Sebenarnya niat saya ke sana ingin mencoba es cincaunya. Namun rupanya di sana juga menyediakan berbagai aneka makanan berat juga, seperti lotek herbal, kupat tahu, nasi goreng, dan nasi timbel. Ada aneka camilan juga seperti gorengan dan pisang bakar.

Kebetulan sekali kami lapar sekali waktu itu. Maklum habis trekking di Tahura, belum sarapan, dan sudah mendekati duhur pula. Jadilah sekalian kami brunch di sana hehehe. Saya memesan Nasi Goreng Cikur (Rp15 ribu). Teman saya memesan Lotek (Rp15 ribu). Untuk minumannya kami memesan Es Cincau Rosella (Rp10 ribu).

Setelah memesan, kami mencari tempat duduk yang masih kosong. Beberapa saat kemudian makanan dan minuman kami diantarkan oleh seorang teteh yang memang berkeliling mengantarkan makanan dan minuman pesanan ke pengunjung. Beginilah penampakannya.

Es Cincau Rosella
Nasi Goreng Cikur

Soal rasa, raos pisan! Saya sangat menikmati sekali nasi goreng cikurnya. Alhamdulillah. Entah karena memang lapar belum sarapan dan habis trekking lumayan jauh, jadi saya lahap sekali makannya. Cikurnya berasa. Ada topping dua potong dadu ikan asin kecil plus telur ceplok. Nikmat sekali rasanya. Ini memang tipikal nasi goreng kesukaan saya sih yang nggak pakai saos atau kecap begitu hehe.

Sementara itu es cincaunya juga cukup menyegarkan. Ya namanya juga pakai es, hehehe. Nikmat sekali minum es cincau di cuaca terik seperti kemarin. Namun, saya baru kali ini mencoba rosella. Ternyata rasanya agak asam kecut begitu. Tapi di campuran es cincaunya sepertinya juga dikasih gula atau sirup juga karena ada rasa manis-manisnya. Overall, rasanya enak kok.

Jika ada kesempatan lagi, insya Allah saya ingin mencoba datang lagi ke sana, mencoba menu yang lainnya juga. Suasananya juga asyik dan tenang. Kebetulan saya juga suka dengan konsep tempat makan yang menyatu dengan alam seperti ini.

Trekking di Tahura

Trekking ke Curug Omas Maribaya

Minggu lalu 2 hari sebelum puasa Ramadan, saya main ke Tahura (Taman Hutan Rakyat) Ir. H. Djuanda Bandung bersama teman saya. Setelah beberapa kali ke sana baru kali ini saya trekking sampai ke Curug Omas Maribaya 😬. Dari gerbang depan Tahura Dago Pakar, Curug Omas ini jaraknya sekitar 5,5 km.

Sebelumnya paling pol saya cuma pernah trekking sampai jembatan yang terletak di samping jalan tikus menuju perkampungan warga. Padahal dari jembatan tersebut rupanya tinggal 500 meteran lagi ke Curug Omas.

Kalau menurut catatan aplikasi Strava saya, total jarak tempuh ada 11,7 km pulang-pergi (PP). Semestinya bisa lebih pendek lagi kalau dari pintu masuk utama Anda langsung berjalan straight ke arah timur laut (menuju Goa Belanda). Nah kemarin kami muter dulu lewat arah barat daya (menuju Kolam Pakar kemudian putar balik menyusuri jalur paving menuju Goa Jepang). Nah, jika langsung ke Goa Belanda, mungkin bisa menghemat 500 meteran.

Pintu masuk Goa Belanda

Jalur trekking menuju Curug Omas Maribaya ini cukup straightforward. Kita tinggal mengikuti jalur paving saja hingga mentok. Insya Allah tidak akan tersasar. Memang ada beberapa percabangan sepanjang jalur tersebut, seperti ke jembatan gantung/penangkaran rusa, Batu Batik, dan Curug Lalay. Tapi jalur utama menuju Curug Omas Maribaya tetap terlihat paling jelas. Kalaupun kita belok ke Penangkaran Rusa, kita masih bisa meneruskan trekking lagi melewati jembatan PDAM untuk kembali lagi ke jalur utama tadi.

Continue reading

Tarawih Pertama Ramadan 1442 H

Tak terasa malam ini kita bertemu kembali dengan bulan Ramadan yang mulia. Bulan Ramadan kali ini memang masih dalam suasana pandemi sebagaimana bulan Ramadan tahun lalu. Namun pada Ramadan kali ini alhamdulillah masjid-masjid sudah mengadakan sholat tarawih berjamaah kembali.

Pada tahun lalu, hampir semua masjid, khususnya masjid-masjid besar, meniadakan kegiatan sholat tarawih untuk umum. Saya sendiri tahun lalu sebulan full cuma bisa tarawih di rumah saja.

Masjid Salman ITB menjadi pilihan saya untuk melaksanakan sholat tarawih pada malam pertama Ramadan ini. Pada tahun lalu Masjid Salman ITB juga termasuk salah satu masjid yang meniadakan kegiatan ibadah full selama bulan Ramadan untuk umum.

Yang menjadi imam tarawih pada malam ini adalah Muzammil Hasballah. Tentunya beliau sudah tidak asing lagi bagi kita semua, seorang qari Al-Quran yang namanya sudah menasional dan juga alumni Arsitektur ITB. Masjid Salman adalah masjid favorit saya untuk tarawih karena bacaan Al-Quran imam-imamnya yang merdu.

Kegiatan sholat tarawih di Masjid Salman ITB ini dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan yang sudah tidak asing lagi di era sekarang. Shaf diatur dengan menerapkan physical distancing dengan jarak 1 meter dengan kanan kiri dan selang-seling antar barisnya. Jamaah juga diwajibkan untuk mengenakan masker dan membawa peralatan sholat sendiri.

Jamaah yang mengikuti kegiatan sholat tarawih malam ini didominasi oleh mahasiswa. Saya tidak menyangka ternyata banyak juga mahasiswa yang datang sholat di Masjid Salman ini walaupun selama ini kegiatan perkuliahan masih dilakukan secara virtual.

Ruangan utama Masjid Salman tadi sepengamatan saya terlihat penuh. Untuk tempat sholatnya sendiri panitia Ramadan (P3R) Masjid Salman sudah menyiapkan hingga depan kantin Salman. Koridor depan kantin Salman yang biasanya menjadi tempat lalu lalang orang-orang, kini dijadikan sebagai tempat suci untuk melaksanakan sholat juga.

Jumlah rakat tarawih masih sama seperti kebiasaan yang ada di Masjid Salman, yakni 4 rakaat salam, 4 rakaat salam, dan ditutup dengan Witir 3 rakaat (4-4-3). Bedanya, pada Ramadan kali ini tidak ada ceramah yang biasa dilakukan setelah sholat Isya dan sebelum sholat Tarawih. Namun ceramah tetap ada dengan dilakukan secara online pada pukul 20.30.

Usai sholat Witir, jamaah juga banyak yang langsung pulang. Pada tahun-tahun sebelumnya biasanya masih cukup banyak yang tadarus hingga jam 9 malam. Namun tadi tak lama setelah Witir, pintu-pintu koridor masjid mulai ditutup dan lampu depan mimbar mulai dipadamkan.

Implementasi Proses Bisnis dengan Camunda (Bag. 1)

Dalam pengembangan suatu sistem informasi biasanya diawali dengan aktivitas requirement gathering. Di dalam aktivitas tersebut biasanya seorang analis, selain mengumpulkan informasi dari klien terkait kebutuhan sistem informasi, ia juga akan menggambar diagram alir (flowchart) proses bisnis yang akan diimplementasi nantinya.

Adanya flowchart ini dapat membantu menyamakan pemahaman antara pihak analis dan subject matter expert (SME) terkait. SME bisa memeriksa dan memastikan bahwa proses bisnis yang tergambar pada flowchart tersebut sudah sesuai.

Setelah diagram proses bisnis tersebut disetujui (sign-off) oleh pihak SME, biasanya developer bisa memulai membangun aplikasi — entah itu web, desktop, atau mobile based — dengan mengacu pada diagram tersebut.

Katakanlah aplikasi telah selesai dibuat. Pertanyaan berikutnya biasanya muncul. Bagaimanakah para stakeholder tahu bahwa aplikasi yang dibuat memang konsisten dengan proses bisnis yang sudah dirancang?

Dalam pemrograman biasa, kita biasanya akan membuat field status untuk menyatakan suatu proses bisnis sedang berada di task mana. Field status tersebut akan diperbaharui setiap kali suatu aksi — misalkan input data atau approval — dilakukan.

Dengan kata lain, status tersebut berperan dalam merepresentasikan suatu proses bisnis sedang berada di task mana. Pergantian status itu juga bisa kita gunakan dalam pengujian untuk memastikan ia telah sesuai dengan alur proses bisnis yang didefinisikan.

Pada kasus yang sederhana, field status tersebut cukup. Pada kasus yang sedikit lebih kompleks, misalkan ada beberapa parallel task yang harus dikerjakan sebelum aktor bisa melangkah ke task berikutnya, field status itu mungkin cukup tapi agak tricky untuk men-tracking status tiap parallel task tersebut. Kita perlu membuat field yang lain untuk menyimpan parallel task mana yang sudah dikerjakan.

Belum lagi kita perlu menyiapkan field untuk menyimpan waktu kapan tiap aksi dilakukan. Dengan kondisi yang demikian, tentunya akan terdapat banyak boilerplate code yang kita perlu implementasi.

Untungnya hal-hal tersebut dapat direduksi dengan memanfaatkan workflow engine yang sudah banyak bertebaran di sana. Untuk dapat menggunakannya kita perlu menggambarkan proses bisnis yang ingin kita implementasi dengan mengikuti standar BPMN (Business Process Model and Notation).

BPMN ini sepintas agak mirip dengan flowchart. BPMN memiliki lebih banyak notasi yang lebih detail dari segi kegunaannya. Untuk simbol gateway misalnya. Ada beberapa macam gateway di BPMN yang bisa digunakan seperti parallel gateway, inclusive gateway, dan exclusive gateway. Lalu ada simbol timer untuk menyatakan kapan suatu event akan dimulai atau selesai.

Contoh BPMN dengan melibatkan 3 aktor

Dari sisi programming, penggunaan workflow engine tentunya akan memudahkan, terutama untuk implementasi suatu proses bisnis yang kompleks dan panjang. Programmer bisa lebih fokus pada aliran data dalam proses bisni. Proses bisnis juga menjadi lebih auditable. Pihak analis dan SME juga dapat melihat sistem informasi yang diimplementasi memang konsisten dengan proses bisnis yang sudah dirancang dan disepakati di awal.

Ada banyak workflow engine yang bertebaran di luar sana. Salah satunya adalah Camunda, sesuai dengan judul tulisan ini. Camunda adalah Java-based workflow engine. Kita bisa menjalankan Camunda ini sebagai service yang terpisah atau embedded di dalam aplikasi Java kita. Namun sebetulnya sistem informasi yang kita bangun tidak harus menggunakan bahasa Java untuk dapat menggunakan Camunda ini karena Camunda menyediakan opsi REST API untuk integrasi.

Kenapa Camunda? Keputusan menggunakan Camunda ini sendiri sebetulnya karena rekomendasi dari partner kami. Kebetulan saya pribadi lebih banyak spend waktu sebagai Java developer jadi learning curve-nya tidak begitu curam untuk mempelajari bagaimana implementasi dengan menggunakan Camunda ini. Apalagi dibantu juga dengan dokumentasinya yang lengkap.

Selain itu Camunda juga memiliki fitur lain seperti menyediakan modeler untuk merancang proses BPMN. Lalu juga memiliki dashboard (cockpit) untuk visualisasi status process instanceprocess instance yang berjalan di dalam BPMN.

Saya sendiri sejujurnya agak telat mengetahui pasal BPMN ini. Mungkin baru sekitar 3 tahun yang lalu. Namun baru benar-benar memanfaatkannya untuk sebuah projek baru-baru ini.

Dahulu ketika kuliah Sistem Informasi sepertinya belum pernah disinggung pasal ini. Mungkin karena ketika itu belum terlalu populer. BPMN 2.0 sendiri baru diluncurkan pada Desember 2013.

Dalam tulisan berikutnya, saya akan mencoba membuat contoh sederhana bagaimana Camunda dapat diimplementasikan.