Saya tidak menyangka saya disediakan sebuah kamar oleh mertua senior saya di dalam flat itu. Mereka sendiri tinggal di kamar paling atas. Saya bercakap-cakap sebentar dengan beliau perihal itinerary saya selama di Myanmar ini. Kami juga sempat mengobrol hal yang lain tentang keluarganya dan Myanmar secara umum.
Waktu masih menunjukkan sekitar pukul 11.30 saat itu. Saya dipersilahkan untuk istirahat dan mandi terlebih dahulu sebelum keluar makan siang bersama mereka.
Makan Siang di Restoran Myanmar
Sekitar pukul 12.15 setelah selesai mandi, saya berjumpa dengan kedua mertua senior saya kembali. Kami keluar makan siang bersama. Hujan rintik-rintik tengah turun ketika itu.
Kami makan siang di sebuah restoran masakan Myanmar yang terletak tak jauh dari situ. Sayang euy saya nggak mencatat nama restorannya. Tapi kalau tidak salah restoran tersebut berada di bilangan Bo Aung Kyaw Street. Kata beliau restoran tersebut menyajikan masakan halal. Oh ya, btw mertua senior saya ini seorang muslim juga.
Secara penampilan, masakan Myanmar ini tak jauh beda dengan masakan Indonesia. Lauk-pauk mereka seperti ikan, daging, ayam umumnya dimasak dalam bentuk kare. Cara memesan di restoran ini kita tinggal datang saja ke etalase makanannya, terus nanti tunjuk saja lauk pauk atau sayuran yang diinginkan. Setelah itu tinggal duduk saja, nanti makanannya akan diantarkan.
Saya nggak menyangka mertua senior saya ini memesan makanan cukup banyak :D. Kami juga memesan mutton (daging domba) yang disajikan mirip rendang-nya masakan Padang. Dagingnya enak banget. Empuk. Rasanya yang paling pas di lidah saya dibandingkan lauk yang lain. Lauk yang lain rasanya lumayan asin di lidah saya. Tapi masih enak kok menurut saya. Kata mertua senior saya sih, memang biasanya asin, tapi nggak seasin ini, tapi yang kali ini mereka pesan terlalu asin bagi dia. Btw, sambel yang disajikan pun juga asin rasanya :D. Nggak pedas juga sih.
Selain menu yang kita pesan, secara “default” kita pasti juga dapat semacam semangkok sayur bening gitu. Saya kurang tahu apa nama sayurnya. Tapi waktu saya makan di Bagan (nanti saya ceritakan juga di artikel berikutnya), saya mendapati sayur bening ini lagi disajikan bersama menu yang saya pesan. Rasanya asam saudara-saudara. Asam banget. Tapi alhmadulillah lidah saya cukup fleksibel. Halah. Satu mangkok itu habis. Saya memang orangnya paling nggak bisa menyisakan makanan. Eh, beberapa saat kemudian tanpa diminta tiba-tiba mangkoknya diisi sayur bening itu lagi oleh pelayannya, haha.
Usai makan siang, saya bersama bapak mertua senior saya melaksanakan sholat dhuhur di Masjid yang terletak di seberang restoran. Sementara istri beliau langsung pulang ke flat kembali.
Kata beliau, mayoritas muslim di Myanmar ini adalah pengikut mazhab Hanafi. Masjid-masjid di sana baru melaksanakan sholat berjamaah Dhuhur sekitar satu jam setelah masuk waktu sholat Dhuhur. Sedangkan waktu Asharnya baru masuk ketika panjang bayangan sudah 2 kali dari tinggi benda, yang biasanya terjadi sekitar satu jam setelah masuk Ashar menurut mazhab Syafi’i. Ketika kami masuk ke dalam masjid sekitar pukul 1 siang lewat, jamaah baru saja selesai menunaikan sholat dhuhur berjamaah.
Jalan Kaki Menyusuri Downtown Yangon
Usai menunaikan sholat dhuhur, beliau mengajak saya menyusuri jalanan kota Yangon. Suasana mendung dan gerimis tidak menghalangi kami untuk blusukan ini. Dimulai ke arah timur. Sepanjang perjalanan beliau bercerita tentang bangunan-bangunan yang kami lewati.
Beliau menceritakan bagaimana perkembangan infrastruktur di Yangon ini. Sekarang sudah mulai banyak gedung-gedung tinggi. Dahulu gedung yang paling tinggi rata-rata hanya setinggi gedung ini (beliau menunjuk salah satu gedung dan saya lupa namanya, hehe).
Lalu beliau juga menceritakan banyak sekali bangunan-bangunan bercorak British di Yangon ini. Seperti gedung tua berwarna merah yang berada tak jauh dari tempat kami makan siang. Gedung itu dulunya sempat digunakan untuk pemerintahan sebelum ibukota pindah ke Nay Pyi Taw.
Kami melewati sebuah rumah sakit Islam yang kata beliau di sana biaya pengobatannya gratis. Tak hanya bagi muslim saja, tapi masyarakat Yangon yang lain pun juga gratis. Di Yangon ini persentase muslim relatif besar. Bahkan dahulu kata beliau, pernah ada suatu masa di mana muslim di Yangon, khususnya daerah downtown, pernah menjadi mayoritas di sana.
Yup, banyak sekali masjid di sekitaran downtown Yangon ini. Jaraknya pun lumayan berdekatan. Masing-masing masjid itu memiliki sejarah masing-masing. Beliau sempat menunjukkan sebuah masjid yang didirikan oleh pendatang yang berasal dari Mogul Empire (kesultanan di India yang mendirikan Taj Mahal).
Umumnya masjid-masjid di Yangon ini memang bermahzab Hanafi. Beliau sempat menunjukkan satu masjid bermahzab Syafi’i di sana. Satu-satunya di Yangon ini.
Saat berjalan kaki ini, kami sempat melewati KFC yang baru saja dibuka sekitar 1-2 bulan yang lalu. Itu adalah franchise pertama dari Barat yang memasuki Myanmar. Kalau franchise asing, sudah lama ada di Myanmar. Salah satunya franchise dari Malaysia, Marrybrown.
Mampir ke Bogyoke Aung San Market
Dalam jalan-jalan ini kami mampir ke Bogyoke Aung San Market yang terkenal itu. Aktivitas pasar Bogyoke di hari Minggu itu lumayan ramai. Tampak beberapa traveler bule juga di dalamnya. Sempat bertemu sesama traveler Indonesia juga di sini. Kami sempat bertemu saat tiba di bandara pagi itu. Oh ya, setiap hari Senin pasar ini selalu tutup.
Umumnya komoditas yang dijual di Bogyoke Aung San Market ini adalah perhiasan. Maklum, Myanmar memang dikenal sebagai salah satu penghasil ruby, sapphire, dan permata terbesar di dunia. Di pinggiran pasar Bogyoke ini pun kita bisa melihat pemandangan tak jauh berbeda dengan di Indonesia. Beberapa orang menggelar lapak dagangannya dan pengunjung-pengunjung duduk jongkok sambil mengamati cincin-cincin batu akik yang dijajakan. 😀
Saya sendiri di Pasar Bogyoke ini membeli 2 buah kaos bertuliskan bertuliskan tentang Myanmar. Tidak banyak toko yang menjual kaos ini di Bogyoke. Kalau tidak salah, ada dua toko saja setahu saya. Keduanya nyempil di posisi paling belakang dari Bogyoke Market. Mungkin ada toko yang menjual komoditas yang lain, tapi sejauh mata memandang, semuanya toko perhiasan.
Harga kaosnya per buah Ks5.500. Mbak-mbaknya nggak mau ditawar. Ketika saya berencana untuk membeli 3 buah, mbaknya cuma mau menurunkan Ks500 saja. Ada kaos yang harganya lebih murah, cuma Ks3.000. Tapi bahannya menurut saya jelek sih. Tipis juga kainnya.
Lanjut ke Maha Bandoola Garden
Dari Bogyoke Aung San Market kami berjalan kaki lagi ke arah selatan. Kami sempat mampir juga minum teh tarik yang dijual di pinggir jalan di depan sebuah masjid. Hmm… enaknya menikmati teh tarik hangat di suasana hujan rintik-rintik ini. 😀
Setelah itu kami berjalan kaki kembali ke arah timur dan sampailah di Maha Bandoola Garden. Walaupun suasana mendung, banyak juga masyarakat Myanmar yang berkunjung ke taman ini. Kalau hari cerah tentu bakal lebih banyak lagi. Apalagi ini hari Minggu.
Naik Kapal Menyeberangi Yangon River
Beranjak dari Maha Bandoola Garden, kami berjalan kaki ke arah selatan. Mungkin hanya berjalan sekitar 1 km, kami sudah sampai di pelabuhan Yangon. Di seberang tampak sungai Yangon yang sangat lebar. Di seberang sungai ini masih termasuk wilayah administratif Yangon.
Kami membeli tiket untuk menaiki kapal. Harganya cuma Ks100. Ada dua kapal yang melayani penyeberangan ini. Kapal ini beroperasi bolak-balik.
Beberapa bule terlihat ikut naik kapal ini. Sepertinya mereka turis juga seperti halnya saya. Mereka naik bersama keluarga mereka.
Setelah sampai di daerah seberang, kami langsung membeli tiket lagi untuk naik kapal baliknya. Oh ya, di atas kapal ini kita bakal dikenakan biaya jika duduk di kursi yang “bukan semestinya”. Jadi normalnya penumpang duduk di bangku kayu permanen di dalam kapal. Tapi ada kursi-kursi yang disedikaan di pinggir-pinggir kapal supaya bisa melihat pemandangan ke samping. Nah, yang duduk di kursi itu dipugut biaya lagi. Saya lupa berapa tepatnya. Yang bayari mertua senior saya soalnya, hehe. Kalau nggak salah sih antara Ks200-400 gitu.
Btw, jangan salah pelabuhan Yangon ini yang terbesar di Myanmar lho. Aktivitas ekspor-impor di Myanmar kabarnya 90% dilakukan di pelabuhan ini. Beberapa kapal besar terlihat singgah di pelabuhan saat itu. Namun, kata mertua senior saya, kapal yang terlihat kala itu tidaklah sebanyak biasanya.
Ke Terminal Bus Aung Mingalar
Pelabuhan Yangon ini menjadi persinggahan terakhir blusukan kami sore hari itu. Kami berjalan kaki kembali ke flat. Dalam hati diam-diam saya salut sama mertua senior saya ini. Beliau walaupun usianya sudah tua, sekitar 50 tahunan sepertinya, namun beliau masih kuat berjalan kaki sejauh ini. Total 5 km lebih lah itu harusnya.
Di flat saya mengemasi barang-barang saya kembali ke dalam ransel. Setelah itu sholat Ashar dan bersiap-siap untuk berangkat ke kantor agen bus tempat saya membeli tiket bus ke Bagan. Saya masih memiliki waktu untuk istirahat sebentar di flat.
Pukul setengah 6 sore saya dan mertua senior saya keluar. Saya diajak makan nasi briyani di sebuah restoran India yang terletak dekat dari flat. Lagi-lagi saya ditraktir. Alhamdulillah. 🙂
Setelah itu saya beliau menemani saya berjalan kaki ke kantor agen bus yang terletak di seberang Yangon Central Railway Station. Sebenarnya saya menolak untuk ditemani, karena jaraknya lumayan jauh dari situ. Lagipula saya sudah hafal jalan menuju ke sana.
Di kantor agen bus saya masih menunggu hingga pukul 18.30 sebelum pick-up shuttle datang menjemput dan mengantarkan saya ke terminal bus Aung Mingalar. Aung Mingalar ini letaknya sangat jauh di utara Yangon. Lebih dekat ke Yangon International Airport posisinya.
Dari Yangon Central Railway Station ini terdapat pick-up shuttle yang sepertinya disediakan oleh kerjasama perusahaan-perusahaan bus di Aung Mingalar untuk calon penumpang. Kita cukup membayar Ks1.000 saja. Normalnya kalau naik taksi sekitar Ks6.000-7.000.
Pukul 18.30 pick-up shuttle sudah datang menjemput saya. Saya pun berpamitan kepada mertua senior saya itu. Saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada beliau atas kebaikan beliau.
Shuttle masih harus berkeliling mengitari kantor-kantor agen bus di kawasan tersebut untuk menjemput penumpang. Setelah semuanya lengkap, shuttle pun langsung berangkat menuju ke terminal. Sebelum berangkat, sang sopir sempat memeriksa masing-masing tiket kami, melihat bus apakah yang akan kita tumpangi. Sebab masing-masing bus tersebut memiliki kantor bus yang berbeda di Aung Mingalar ini. Jaraknya pun satu sama lain bisa lumayan jauh.
Perjalanan dari downtown Yangon ke Aung Mingalar ini memakan waktu hampir 1,5 jam. Di beberapa ruas jalan sempat mengalami kemacetan. Saya pun bisa tertidur di dalam bus. Saya turun di kantor bus E-lite Express.
Wah… bagus juga ternyata E-lite Express ini. Di depan pintu masuk ruang tunggu penumpang ada dua wanita berpakaian seragam E-lite Express dengan bawahan jarik (semacam sarung buat wanita dalam bahasa Jawa) khas Myanmar yang menyambut saya.
Ketika itu TV di ruang tunggu tengah menayangkan siaran langsung pertandingan Liga Inggris antara Crystal Palace vs Arsenal. Lumayanlah ada tontonan sambil menunggu jam keberangkatan bus saya.
Sekitar 15 menit mendekati pukul 21.30 saya bertanya kepada mbak-mbak resepsionis apakah bus saya sudah siap sambil menunjukkan tiket saya. Soalnya dari tadi pengumuman yang diberikan dalam bahasa Myanmar melulu, dan saya belum mendengar kata-kata “Bagan”.
Ternyata bus saya sudah siap di depan kantor. Saya pun segera naik ke dalam bus. Sepertinya malam itu hanya saya orang asing yang naik E-lite Express ini. Dan mungkin juga satu-satunya turis.
Begitu saya naik ke dalam bus, saya cukup terkejut ternyata bus ini di luar ekspektasi saya. Bagus banget busnya. Busnya bikinan Scania. Di depan tiap kursi terpasang monitor untuk entertainment, mirip yang ada di pesawat-pesawat.
Selain itu, kursinya ada terusannya yang bisa dipakai buat selonjoran. Jarak antar kursi pun lumayan lebar. Ngepas banget buat saya selonjoran. AC-nya juga dingin banget. Untung saya membawa jaket. Tapi di tiap kursi sudah disediakan selimut juga kok.
Di dalam E-lite Express ini ternyata ada pramugrarinya juga. Mbak pramugari ini yang mengecek apakah penumpang sudah lengkap. Tepat pukul 21.30 bus pun berangkat. Dalam perjalanan berangkat ini mbak pramugari memberikan pengumuman dalam bahasa Myanmar yang tentu saja tidak saya mengerti. Lumayan panjang lah pengumumannya. Saya sendiri tak lama kemudian tertidur di dalam bus karena memang sudah merasa capek banget setelah banyak berjalan kaki seharian. 😀
————————————————————————————————————————
Pengeluaran Day 1 – Yangon
- Taksi Yangon International Airport-Yangon Central Railway Station : MMK 6.000
- Air mineral 1L : MMK 180
- Tiket Bus E-lite Express Yangon-Bagan : MMK 14.200
- SIM Card Ooeredoo : MMK 2.000
- Kaos 2 buah di Bogyoke Aung San Market : MMK 11.000
- Pick-up shuttle Yangon Central Railway Station-Aung Mingalar Bus Station : MMK 1.000
Total = MMK 34.380 ~ IDR 368.532
* Kurs USD 1 = IDR 13.560 = MMK 1.265
* MMK = Myanmar Kyat
————————————————————————————————————————
Wah, tripnya sounds fun, bro! Gue juga pengen ke Myanmar, mudah-mudahan tahun depan. Terus soal makanan berkuah asam itu, kenapa nggak tanya sama mertua senior kamu aja? 😀
Oh iya, kalau ada informasi yg lupa tapi nggak terlalu penting, seperti nama gedung tinggi pertama itu, mending nggak usah ditulis menurut gue. Biar tetep kelihatan oke di mata pembaca, hehe. Buat informasi penting tapi kelupaan, bisa dibantu mengingat-ingat dengan browsing dulu. Will read the next chapter 🙂
LikeLike
Amin bro, mudah-mudahan terwujud keinginan lo ke Myanmar tahun depan. 🙂
Oh yg sayur rasanya asam itu ya? Gue kebetulan memang suka sayur dan sebenarnya nggak masalah sama rasa asamnya. Cuma kalau terlalu banyak, kayaknya nggak kuat juga, hehe.
Thanks bro buat masukannya. Sangat berharga sekali buat gue. Sebenernya udah browsing nggak nemu juga sih. 😀
LikeLiked by 1 person
Pingback: Catatan Perjalanan 6D5N Myanmar Day 2-Yangoon (Bag 2) |
tulisannya menarik, cukup detail, seakan saya yang sudah 5 bulan di myanmar gak tahu apa-apa
keren ini
LikeLike