Selasa, 18 Agustus 2015
Saya mendadak terbangun karena mendengar kru bus memberikan pengumuman, “Kalaw.. Kalaw..” Saya mengecek jam. Wew, masih pukul 1.30 dan bus sudah sampai di Kalaw.
Kalaw adalah sebuah township sebelum Inle. Seperti halnya Inle, Kalaw juga berada di daerah pegunungan. Kalaw juga merupakan salah satu tujuan populer backpacker di Myanmar ini, terutama bagi mereka pecinta petualangan trekking. Di Kalaw ini para turis bisa melakukan trekking menyusuri perbukitan, melintasi areal persawahan, perkebunan dan pedesaan di kawasan pedalaman. Tak sedikit juga yang menjadikan Inle Lake sebagai garis finish dari trekking tersebut.
Beberapa backpacker bule tampak turun di Kalaw ini. Saya pun lanjut tidur kembali, memaksimalkan kesempatan istirahat sebelum menginjakkan kaki di Inle.
Ternyata hanya sebentar saja saya bisa tertidur lagi. Tak sampai 2 jam kemudian kru bus berteriak-teriak kembali, ” Inle.. Inle.. Inle.. Last stop.”
Bus sedikit lagi akan tiba di Inle. Bus berhenti beberapa saat. Seorang pemuda naik ke dalam bus dan menariki uang tiket masuk Inle sebesar 10 USD atau Euro. Bule di seberang kursi saya tampak menyerahkan langsung 2 lembar uang 10 USD.
Awalnya saya sempat diabaikan oleh pemuda tersebut. Mungkin dikira orang lokal. Orang lokal sepertinya memang tidak dipungut biaya masuk wilayah Inle ini. Dia terlihat agak terkejut ketika saya bertanya, “How much is the entrance fee?”
Saya membayar dalam Kyat. 1 USD dihargai 1.300 Kyat. Pemuda tersebut menyerahkan tiket masuk Zona Inle kepada saya. Tiket tersebut ternyata berlaku untuk 1 minggu, 2 hari lebih banyak dari masa berlaku tiket masuk Bagan yang berharga USD 20.
Setelah semua penumpang membayar tiket masuk, bus berjalan kembali. Mungkin sekitar 100 meter saja. Sesudah itu bus benar-benar berhenti.
Semua penumpang turun. Saya melihat Google Maps. Bus berhenti di Nyaung Shwe, sebuah township yang memang merupakan tourist hub bagi mereka yang ingin mengunjungi Inle Lake. Penginapan-penginapan terpusat di kawasan ini.
Saya tak mengira jika ternyata bakal tiba di Nyaung Shwe pagi buta begini. Mana cuaca saat itu tengah hujan pula. Saya pun tak tahu harus ke mana setelah itu.
Di luar bus terdapat beberapa sopir sopir angkutan yang menawarkan jasanya untuk mengantar kami para pelancong yang baru turun ini ke penginapan masing-masing. Turis-turis bule yang satu bus dengan saya, semuanya tampak sudah memegang nama dan alamat hotel masing-masing. Cuma saya saja yang belum punya tujuan mau ke mana.
Akhirnya saya pun berkata pada salah seorang sopir angkot tersebut untuk mencarikan saya penginapan yang murah. Dia tanya murahnya seberapa. Saya bilang budget saya maksimal 15.000 kyat. Sopir angkot itu pun berkata, “Don’t worry, I have a friend who works at a hotel here. I can show you.”
Saya satu-satunya backpacker Asia di dalam angkutan yang saya tumpangi. Yang lain semuanya berasal dari Eropa.
Saya sempat berbincang-bincang dengan 2 orang backpacker cowok yang berasal dari Italia. Usianya mungkin sekitar 30-40 tahunan. Ternyata mereka berasal dari Milan. “Interisti or Milanisti?” tanya saya pada mereka. Saya yakin mereka pasti penggemar sepak bola juga. Saya belum pernah ke Italia sih, tapi sebagai negara sepakbola, pasti tiap orang punya klub lokal yang didukung lah, walau nggak fanatik amat.
Ternyata mereka Interisti juga seperti halnya saya. Haha. Mereka antusias ketika mengetahui saya dari Indonesia. Mereka pernah traveling ke Bali dan Lombok 2 tahun yang lalu. Mereka juga cukup respek kepada Indonesia karena mereka tahu Erick Thohir, pemilik Inter Milan, notabene juga orang Indonesia.
Saya menjadi penumpang terakhir yang berada di dalam angkot. Oleh sang sopir, saya diantarkan ke sebuah hotel bernama Lady Princess Hotel. Sang sopir menelepon temannya yang bekerja di hotel tersebut. Selang beberapa menit kemudian ada mbak-mbak yang keluar dengan wajah yang tampak seperti baru bangun tidur — well, memang jam segitu memang harusnya masih tidur sih, haha — membukakan pintu untuk kami.
Kemudian saya diantarkan oleh 2 orang mbak-mbak tersebut ke kamar yang masih kosong. Tak lupa saya membayar ongkos angkot kepada sang sopir sambil tentu saja mengucapkan terima kasih karena sudah membantu saya mendapatkan penginapan. Ongkosnya sendiri adalah sebesar Ks2.000.
Well, saya tak menyangka kamar yang saya dapatkan akan sebagus ini. Ekspektasi saya awalnya adalah saya bakal mendapatkan kamar dengan tipe dormitory. Ternyata saya mendapatkan sebuah kamar dengan 3 single bed. Ada kamar mandi dalamnya. Ada AC, kulkas, dan televisi juga di dalam. Free wifi dan breakfast pula. Saya membayar 15.000 kyat untuk kamar tersebut. Cukup surprising. Bukan tipe hotel untuk backpacker kere seperti saya sebenarnya, haha.
Oh ya, mbak-mbak tersebut sempat mengira saya orang Myanmar. Saya diajak ngomong bahasa Myanmar dan tentu saja saya nggak ngerti. Dia terkejut saya bilang bukan orang Myanmar. Terus mbaknya ketawa-ketawa sambil minta maaf. Dia bertanya saya berasal dari mana. Soalnya kata dia muka saya mirip orang lokal. Tenang mbak… Kalian bukan orang pertama kok yang salah kira saya orang Myanmar. Haha.
Sebenarnya rugi sih saya pesan penginapan yang hanya saya nikmati untuk beberapa jam saja. Tapi lumayanlah saya bisa meluruskan punggung setelah 3 hari selalu tidur di perjalanan. Keputusan yang tidak saya sesali pula karena hujan ternyata masih berlanjut hingga jam 8 pagi. (bersambung)
————————————————————————————————————————
Hahaha. Kalau gue jadi elu, gue bakal biarin aja kalau si kondektur nggak mintain tiket masuk. *backpacker garis keras*
LikeLike