Pagi itu jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Seharusnya pukul segitu matahari sudah membagikan kehangatannya kepada penduduk kota Yangon. Namun ternyata awan mendung masih setia menutupi langit sedari subuh.
Saya dan bapak mertua senior saya keluar rumah memakai payung. Kami pergi ke restoran di dekat flat untuk menikmati sarapan. Saya memesan menu nasi goreng dengan telor mata sapi. Enak juga ternyata nasi gorengnya. Saya suka bagaimana telor mata sapi itu disajikan. Dia tidak ditaruh di atas nasi goreng langsung, tetapi ditempatkan pada piring terpisah dan disiram kuah kari. Tidak saya sangka kuning telornya yang masih setengah matang bercampur dengan kuah kari ternyata memberikan rasa yang enak yang belum pernah saya rasakan sebelumnya.
Ke National Races Village
Seusai sarapan, saya pamitan kepada mertua senior saya untuk pergi ke National Races Village. Saya bertanya bus no berapa yang menuju ke sana dari downtown ini. Tanpa saya duga beliau malah langsung membantu saya menyegatkan bus. Saya pun jadinya tidak tahu sebenarnya bus no berapa yang saya tumpangi, haha. Tulisannya keriting semua.
Bus kota di Yangon ini besar-besar. Jumlahnya juga banyak. Penumpangnya pun juga hampir selalu penuh. Mungkin karena di Yangon ini bebas sepeda motor, jadi bus kota masih menjadi pilihan favorit bagi warga Yangon. Ongkosnya pun sangat murah. Jauh dekat Ks200 atau setara Rp2.200 saja.
Pagi itu bus penuh dengan para pekerja dan pelajar yang hendak menuju ke tempat aktivitas masing-masing. Bapak-bapak berkemeja dengan bawahan sarung, begitu pula pelajar-pelajar pakai kemeja putih dengan bawahan sarung adalah pemandangan yang biasa di dalam bus pagi itu. Tak sedikit pula pemandangan anak-anak kecil dan ibu-ibu menggunakan bedak thanaka di pipi mereka. Tak berbeda jauh dengan kernet-kernet bus di Jakarta, kernet-kernet bus di Yangon ini juga tanpa lelah selalu berteriak menyebut nama jurusannya mencari calon penumpang di pinggir jalan.
Hanya 20 menitan saja perjalanan dari downtown menuju National Races Village ini. Waktu masih menunjukkan pukul 8.30. Saya sempat khawatir jangan-jangan saya kepagian ke sini. Saya berjalan menuju pintu gerbang. Ternyata ticket box-nya sudah buka. Langsung saja saya membayar Ks3.000, harga tiket masuk untuk wisatawan asing. Saya mendapatkan karcis dan satu buah brosur yang berisi denah lokasi wisata dan beberapa keterangan mengenai suku-suku di Myanmar.
Yup, National Races Village ini sesuai namanya memang merupakan tempat bagi kita untuk mengenal suku-suku atau etnis yang mendiami negara Myanmar ini. Bisa dibilang ini Taman Nasional Indonesia Indah atau TMII-nya Myanmar lah. Tapi jauh sekali di bawah TMII fasilitasnya. Menurut saya National Races Village ini terkesan tidak digarap dengan serius. Terlalu sederhana, minimalis, bahkan hampa.
Saya menyewa sepeda onthel untuk berkeliling kawasan wisata ini. Asyik juga bersepeda di dalam National Races Village ini. Banyak pepohonan di dalam sana. Suasana asri pun dapat kita rasakan.
Saya mengunjungi beberapa rumah adat beberapa suku yang ada di sana. Jadi rumah-rumah adat itu dibagi berdasarkan state-state yang ada di Myanmar. Nah, tiap state itu memiliki beberapa suku yang mendiaminya.
Di rumah adat itu kita bisa asal masuk saja. Entah karena masih pagi atau memang begitu adanya, tak ada orang yang secara khusus menyambut wisatawan yang datan. Di dalam rumah adat itu kita ya cuma melihat-lihat saja informasi mengenai kebudayaan dan kekhasan suku-suku yang ada di sana. Ada penjelasan mengenai ciri khas rumah adat di sana, peralatan memasak, berburu, bercocok tanam, dan sebagainya dari setiap suku-suku, dan lain sebagainya. Itu semua perlu dibaca sendiri, tidak ada orang dalam yang bisa saya tanyai untuk penjelasan lebih lanjut. Saya jadi berpikir jangan-jangan saya memang kepagian nih.
Tidak terasa hampir 3 jam saya habiskan di sana. Saya menjelajahi seluruh kompleks National Races Village ini dengan bersepeda santai. Mencoba masuk ke beberapa rumah adat di sana. Kebanyakan sih pengunjungnya pemuda-pemudi Yangon yang lagi pacaran sih. Bahkan di puncak bangunan miniatur Nan Myint Tower, bangunan tertinggi di kompleks itu, berkumpul orang pacaran di sana. Ckckck. Saya pun sebentar saja sampai di atas sana, kemudian turun karena merasa awkward sekali.
Naik bus kota dari National Races Village
Setelah mengembalikan sepeda, saya berjalan kaki keluar kompleks National Races Village menuju jalan raya. Sampai di sana saya bingung hendak mencegat bus yang mana untuk menuju Shwedagon Pagoda, tujuan saya berikutnya. Saya bertanya kepada ibu-ibu yang berjualan di pinggir jalan. Sayangnya ibu tersebut tidak mengerti bahasa Inggris.
Namun ibu itu sempat menangkap kalimat saya yang menyebutkan pagoda. Dia dengan bahasa isyarat memberitahu saya untuk menunggu saja di tempat saya berdiri saat itu. Begitu ada bus datang, ibu tersebut memberi isyarat kembali untuk naik. Saya pun mengucapkan terima kasih kepada ibu sambil berlari menuju bus.
Siang itu bus yang saya tumpangi masih saja ramai dengan penumpang. Banyak penumpang yang turun di Maha Bandoola Garden. Setelah itu bus mulai sepi penumpang. Baru beberapa KM dari sana, bus berhenti. Beberapa penumpang turun. Saya menjadi satu-satunya penumpang yang tersisa di dalam bus.
Saya kemudian bertanya dalam bahasa Inggris kepada kondektur bus apakah bus ini pergi ke Shwedagon Pagoda. Sang kondektur tampak clueless. Dia tidak mengerti perkataan saya. Dia mengisyaratkan ini adalah perhentian terakhir. Dia mencoba memahami pertanyaan saya. Dia hanya menangkap kata-kata pagoda.
Kemudian dia berkata “Sule Pagoda” sambil menunjuk arah berlawanan. Iya, saya paham Sule Pagoda sudah terlewat. Saya kemudian sadar, berarti dari awal kata “Shwedagon” yang saya ucapkan itu gagal dipahami mereka, termasuk ibu-ibu yang saya tanya sebelumnya. Mereka mengira yang saya maksud itu adalah Sule Pagoda. Sepertinya saya salah mengeja kata “Shwedagon”. Entahlah.
Saya pun mengatakan terima kasih kepada kondektur tersebut kemudian turun dari bus. Saya membuka peta Google Maps di HP saya. Jarak dari posisi saya ke Shwedagon Pagoda ada sekitar 3,5 km. Saya babat sajalah dengan jalan kaki ke sana.
Mengunjungi National Museum
Tanpa sengaja dalam perjalanan saya berjalan kaki menuju Shwedagon Pagoda saya melewati National Museum yang berada di Pyay Road. Saya memutuskan untuk masuk ke dalam museum. Tiketnya mahal juga ternyata. 5000 Kyat. Tas dan handphone tidak boleh dibawa masuk ke dalam. Harus dititipkan di loker yang berada di depan pintu masuk museum.
Well, setelah masuk ke dalam museum ini saya merasa sangat kecewa. Benar-benar not worth the money! Museum nasional milik Myanmar ini ternyata benar-benar old fashioned. Sederhana sekali. Hanya berisi pajangan-pajangan saja. Kalah dengan museum-museum yang pernah saya kunjungi di Indonesia. Museum Benteng Vredeburg atau Monumen Jogja Kembali di Jogjakarta misalnya. Di sana selain pajangan foto-foto atau koleksi benda bersejarah, banyak juga terdapat diorama-diorama dengan audio visual yang menarik.
Dengan gedung sebesar itu, National Museum ini terlihat sangat lengang. Mungkin karena sebagian koleksinya sudah dipindahkan ke National Museum yang baru di ibukota Myanmar, Nay Pyi Taw. Koleksi-koleksi di National Museum ini bervariasi mulai dari zaman prasejarah sampai pembangunan Myanmar yang terbaru. Sayangnya porsi pembangunan Myanmar yang baru itu sangat sedikit sekali.
Tidak semua ruangannya terdapat AC. Jadi saya sempat merasa agak gerah juga di dalam.
Ke People’s Park and People’s Square
Dari National Museum saya lanjut berjalan kaki lagi menuju People’s Park and People’s Square yang berada di seberang Swhedagon Pagoda. Tidak jauh jaraknya dari National Museum ini.
Wisatawan asing dikenakan tiket masuk sebesar 300 Kyat. Ramai sekali taman rakyat ini pada siang hari itu. Kebanyakan sih pemuda-pemudi Myanmar yang lagi pacaran.
Saya cuma sebentar saja berada di taman ini. Cuma memenuhi rasa penasaran saya seperti apa taman ini dan bagaimana penampakan Shwedagon Pagoda yang juga menjadi ikon kota Yangon itu.
Sebelumnya sih saya sudah melihat Shwedagon Pagoda ini saat naik shuttle bus dari downtown ke terminal bus Aung Mingalar pada hari pertama. Saat itu stupa Shwedagon Pagoda yang berwarna emas terlihat menyala terang di malam hari. Padahal waktu itu saya melihatnya dari jarak sekitar 3 km.
Dari People’s Park and People’s Square saya kembali berjalan kaki kembali. Kali ini saya langsung pulang ke flat mertua senior saya. Saya tiba di flat pukul 4 kurang seperempat. Saya langsung naik ke atas dan bertemu mertua senior saya. Saya dititipi sejumlah makanan dan barang yang diperuntukkan keluarga senior saya itu, termasuk cucu-cucu beliau.
Menuju bandara
Setelah itu saya kembali ke kamar untuk mengemasi barang-barang saya, juga titipan beliau tadi. Kemudian saya mandi dan sholat. Lalu berpamitan kepada kedua mertua senior saya itu. Ternyata saya diajak makan dahulu oleh beliau di restoran India Muslim dekat flat.
Usai makan kami bersama-sama mencari taksi. Banyak taksi yang lewat di daerah downtown ini. Tapi susah juga menemukan yang mau mengantarkan saya ke bandara dengan ongkos normal 6.000 Kyat. Mertua senior saya yang membantu menyegatkan taksi dan bernegosiasi dengan sang sopir.
Akhirnya kami deal juga di taksi keempat yang kami cegat. Saya pun berpamitan kepada mertua senior saya itu dan mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan beliau. Setelah itu saya langsung naik taksi menuju bandara. Jalanan cukup macet sore itu. Maklum jam segitu memang jamnya orang-orang pulang kerja.
Oh iya, saya sempat dikira orang Myanmar oleh sang sopir taksi. Saya sudah bilang saya bukan orang Myanmar dalam bahasa Inggris. Tapi dalam beberapa kali kesempatan saya kembali diajak ngomong lagi pakai bahasa Myanmar. Sepertinya sang sopir tak mengerti bahasa Inggris. Jadinya saya merasa awkward di dalam taksi. Sang sopir tampak sedikit kesal dari raut mukanya. Entah apa yang dipikirkannya. Saya tiba di bandara setelah menempuh perjalanan selama 1 jam.
Sesampainya di bandara internasional Yangon saya berjalan kaki menuju salah satu konter money changer. Saya menukar semua uang Myanmar Kyat saya kembali ke US Dollar. Rate yang saya dapat saat itu adalah 1 USD untuk 1.285 Kyat. Selisih 20 Kyat per Dollarnya dibandingkan saat saya menjual USD pada hari pertama kedatangan saya.
Setelah itu saya berjalan menuju konter AirAsia untuk melakukan check-in. Saya mengamati banyak orang Myanmar yang hendak bepergian satu pesawat dengan saya ke Kuala Lumpur malam itu. Umumnya pemuda-pemuda.
Sepertinya mereka hendak bekerja di Malaysia. Terbukti ketika kami tiba di Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA2), pemuda-pemuda berpaspor Myanmar itu diarahkan ke keimigrasian yang berbeda oleh petugas. Sepertinya petugas imigrasi perlu memeriksa mereka secara khusus untuk memastikan bahwa mereka bukan tenaga kerja ilegal.
Pesawat AirAsia yang saya tumpangi malam itu lepas landas meninggalkan kota Yangon pukul 8 malam, telat 30 menit dari jadwal seharusnya. Pesawat tiba 15 menit lewat tengah malam waktu Kuala Lumpur. (Tamat)
————————————————————————————————————————
Pengeluaran Day 4 – Yangon
- Taksi dari Terminal Bus Aung Mingalar ke downtown : MMK 7.000
- Bus kota ke National Races Village : MMK 200
- Tiket masuk National Races Village : MMK 3.000
- Sewa sepeda 3 jam di National Races Village : MMK 1.000
- Bus kota dari National Races Village : MMK 200
- Tiket masuk National Museum : MMK 5.000
- Tiket masuk People’s Park and People’s Square : MMK 300
- Taksi dari downtown ke Yangon International Airport : MMK 6.000
Total = MMK 22.700 ~ IDR 243.330
* Kurs USD 1 = IDR 13.560 = MMK 1.265
* MMK = Myanmar Kyat
————————————————————————————————————————
Hallo, salam kenal.
Saya membaca jurnalnya dari awal lho. Seru banget perjalanannya. Btw, mertua seniornya bisa Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris saat ngobrol? Obrolan dengan supir taksi yang bisa ngomong Melayu ‘very impressive’ ya. Saya belum pernah backpacking ke luar negeri. Setelah membaca artikel ini, jadi ingin backpacking seperti Anda. Sukses selalu untuk tripnya ^_^
LikeLike
Salam kenal juga mas Sugih… 🙂
Mertua senior saya cuma bisa ngomong bahasa Inggris saja (selain bahasa Myanmar tentunya :D). Itu pun hanya bapak mertua saja. Yg ibu mertuanya, ngerti bahasa Inggris, tapi biasanya ngomong ke suaminya dulu utk diterjemahkan kepada saya.
Iya mas, menarik lho backpacking ke luar negeri. Mengenal kultur bangsa lain. Banyak yg bisa kita pelajari. 🙂
LikeLiked by 1 person
Sayangnya saya tinggal di pelosok Kalimantan. Sehingga saya sangat kesulitan untuk membuat visa dan passport. Semoga saya bisa mengikuti jejak Mas Otidh agar blog saya penuh dengan catatan-catatan perjalanan saya. Hehe…
Selanjutnya ada rencana backpacking ke mana lagi Mas?
LikeLike
Belum ada rencana backpacking lagi mas. Lagi ngirit, hehehe…
LikeLike
Hai..
salam kenal ya
saya baca dari awal sampai cerita akhir.
saya ada rencana juga ingin solo backpacker ke Myanmar.
Namun masih mencari referensi.
Tidak ada saudara yang dikenal juga jadi masih hunting2 kenalan utk singgah.hehheeh
kapan kemana lagi nih?
LikeLike
Wah keren Mas, bulan Juni saya dan istri mau backpacker an ke Myanmar. Rencananya Yangon – Bagan – Yangon. Blog ini saya save biar bisa dibuka sewaktu2 pas lagi disana haha.
Maturnuwun, salam dari Jogja
LikeLike
Wah seru mas backpackeran sama istri. Semoga lancar mas backpackerannya… 🙂
LikeLike
awalnya saya mencari artikel ttg myanmar terkait rohingya rakhine..eh nemu artiktel ini…ternyata berita2 itu cenderung mengeneralisir dan tdk menggambarkan keadaan myanmar scr umum. thanks buat pencerahannya..
LikeLiked by 1 person
Pingback: Rumah Adat China - Rumah Unieq