Tag Archives: bromo

Catatan Perjalanan ke Ranu Kumbolo & Bromo (Bagian 3): Ranu Kumbolo

Tracking dengan menggunakan ponco ternyata tidak begitu nyaman. Tangan menjadi tidak  cukup leluasa bergerak. Untung hujan mulai berangsur-angsur reda. Ketika hujan tinggal menyisakan gerimis, aku dan teman-teman yang lain pun melepas ponco.

Menurut papan petunjuk jalan yang ada, jarak dari Ranu Pani ke Ranu Kumbolo ini adalah 10,5 km. Ada 4 pos yang berada di trek antara Ranu Pani dan Ranu Kumbolo ini. Jarak dari titik start ke pos 1 sepertinya adalah yang paling panjang. Rasanya ada sejam lebih kami menempuhnya. Namun, trek yang dilalui ini masih sangat nyaman. Trek sudah terpasang paving stone dan medan cenderung landai.

Di Pos 1

Di Pos 1

Dari pos 1 ke pos 2 jaraknya lebih ‘dekat’. Kurang dari sejam kami menyusurinya. Di antara pos 2 dan pos 3 ada ‘pos bayangan’ yang bernama Watu Rejeng. Kurang tahu juga kenapa dinamai seperti itu, padahal tak terlihat ada ‘batu rejeng’ di sana. Dari papan yang ada di sana kami mendapatkan informasi bahwa jarak dari Ranu Pani ke Watu Rejeng ini adalah 4,5 km. Wah, berarti masih ada sekitar 6 km lagi yang harus kami tempuh.

Memandang ke puncak Semeru

Memandang ke puncak Semeru

Tak terasa maghrib sudah tiba. Langit mulai gelap. Kami pun mengeluarkan senter untuk pencahayaan. Trekking pun menjadi mulai melambat karena harus lebih berhati-hati. Apalagi, trek cukup becek akibat hujan. Bila tak hati-hati bisa terpeleset ke jurang.

Singkat cerita, kami pun akhirnya sampai di pos 3. Aku masih ingat betul, ketika itu waktu menunjukkan pukul 18.30. Dari pos 3 ke pos 4 ini jaraknya tidak begitu jauh. Namun, banyak tanjakan yang harus dilalui. Cukup menguras tenaga juga.

Nah, dari pos 4 ke Ranu Kumbolo ini sangat dekat. Bahkan, Dari atas pos 4 ini kita sudah bisa melihat Ranu Kumbolo dengan bukit Tanjakan Cinta-nya. Dan malam itu dari pos 4 ini kami melihat Ranu Kumbolo bagaikan pasar malam. Bahkan mungkin lebih tepat disebut perkampungan. Gemerlap cahaya lampu dari tenda-tenda pendaki memenuhi ruang di tepi danau. Luar biasa. Aku tak bisa mengira berapa jumlah manusia yang berkumpul di sana. Ada ribuan mungkin.

Kami akhirnya sampai juga di Ranu Kumbolo. Tepatnya di sisi utara. Kami langsung mencari tanah kosong untuk mendirikan dua tenda. Satu tenda kapasitas 4 orang dan satu lagi tenda berkapasitas 2 orang. Tanpa banyak membuang waktu, begitu menemukan tanah lapang, kami pun segera mendirikan tenda.

Setelah tenda selesai didirikan, kami kemudian segera mempersiapkan peralatan memasak dan makan. Menu kami malam itu adalah mie instan pakai nasi dan sarden. Kami sengaja membawa yang simpel-simpel saja karena memang cuma berencana menetap di sana satu malam saja.

Pukul sepuluh malam setelah beres santap malam kami masuk ke tenda masing-masing yang sudah ditentukan untuk beranjak tidur. Sebelum itu, aku menunaikan sholat maghrib dan isya’ terlebih dahulu (jama’ takhir).

Hari 3: Sabtu, 17 November 2012

Pukul 04.20 aku terbangun dari tidur karena mendengar riuh suara kicauan burung plus percakapan orang-orang dari luar tenda. Langit sudah cukup terang ternyata. Aku pun langsung mengambil air wudlu dan menunaikan sholat shubuh. Setelah itu membangunkan teman-teman yang lain.

Langit Ranu Kumbolo Pukul 4.30

Langit Ranu Kumbolo Pukul 4.30

Kami tak ingin melewatkan sunrise dari Ranu Kumbolo ini. Sayang euy, karena kekurangtahuan, kami tak sempat menikmati sunrise di Ranu Kumbolo dari spot terbaik di sana. Pagi itu Ranu Kumbolo sangat ramai dengan para pendaki yang ingin menikmati sunrise juga. Spot terbaik sih katanya di Continue reading

Catatan Perjalanan ke Ranu Kumbolo & Bromo (Bagian 1): Persiapan

Pada long weekend kemarin aku bersama teman-teman kelompok backpacker semasa kuliah jalan-jalan ke Ranu Kumbolo (Gunung Semeru) dan kawasan Gunung Bromo. Sempat waswas juga sih ketika mendengar info bahwa pendakian di Semeru sempat ditutup karena ada event jambore “Avtech” yang kabarnya jumlah pesertanya hampir mencapai 2000 orang. Padahal tiket kereta sudah dibeli jauh-jauh hari dan mahal pula.

Namun sehari menjelang keberangkatan dapat kabar dari media sosial (akun @infogunung) bahwa pendakian telah dibuka kembali untuk umum. Fiuhh … senangnya hati ini. 😀

Ok, karena panjangnya cerita yang ingin kutulis, catatan perjalanan ini akan kubagi beberapa bagian (baca: artikel).

Hari 1: Kamis, 15 November 2012

Malam sebelumnya terpaksa menginap di kantor untuk menyelesaikan beberapa kodingan yang belum beres karena Senin-nya akan didemokan ke klien. Maklum saat jalan-jalan nanti sudah nggak mungkin bisa menyentuh laptop lagi.

Paginya dari kantor dalam perjalanan pulang ke kosan aku mampir terlebih dahulu di persewaan perlengkapan outdoor Almen di jalan burung puyuh. Di sana aku menyewa ransel 60L (Rp3.000/hari), matras (Rp2.500/hari), lampu badai (Rp2.500/hari), dan kompor gas portable (Rp10.000/hari), dan membeli tabung gas 230g (Rp11.000). Sayangnya, untuk ransel tidak tersedia rain coat di dalamnya. Padahal musim hujan begini. Tapi apa boleh buat karena aku punyanya cuma ransel 35L yang nggak mungkin cukup untuk barang-barang yang akan kubawa.

Selain menyewa peralatan di Almen, aku juga membeli beberapa kebutuhan di pasar simpang seperti trash bag (untuk tempat sampah dan sebagai cover untuk hujan) dan panci kecil, serta memberi beberapa perbekalan.

Ransel pun sudah siap

Ransel pun sudah siap

Karena keterbatasan ukuran tas (cuma 60L), sementara aku kebagian jatah untuk membawa kompor gas, lampu badai, dan panci yang cukup memakan tempat — belum barang-barang pribadi yang lain seperti sleeping bag, matras, pakaian ganti, ponco, dsb — akhirnya terpaksa harus ada yang dikorbankan (baca: ditinggal). Perlu pintar-pintar juga menata posisi barang di dalam ransel agar ruang yang ada bisa terpakai secara optimal.

Ba’da dhuhur akhirnya beres juga packing-nya. Setelah itu aku mandi, lalu berangkat menuju stasiun Bandung. Di stasiun Bandung ternyata ramai juga orang-orang ber-carrier. Kereta yang mereka tumpangi juga sama, yakni KA Malabar. Sepertinya tujuan mereka sama sepertiku, ke Malang.

Dalam perjalanan ke Malang ini seharusnya aku pergi bersama Kamal (teman kuliah dulu dan pernah satu kontrakan-red). Tapi seminggu sekitar seminggu sebelum hari H, ia tidak jadi ikut karena ada suatu urusan.

KA Malabar beranjak meninggalkan Bandung tepat pukul 15.30. And … the trip has begun! (bersambung)

Jalan-Jalan ke Bromo

Belakangan ini di media massa banyak diberitakan mengenai peningkatan aktivitas vulkanik yang terjadi pada Gunung Bromo. Berbicara Gunung Bromo, aku jadi teringat kenangan masa SMA dulu. Saat itu aku dan teman-teman sekelas ngadain acara jalan-jalan ke Gunung Bromo untuk mengisi liburan kenaikan kelas (dari kelas XI ke kelas XII).

Jadi, pada hari itu, Rabu 5 Juli 2006, sehabis nonton semifinal Piala Dunia 2006 Jerman vs Italia yang dimenangkan Italia 2-0, aku sholat Subuh lalu langsung berangkat ke sekolah (SMAN 3 Malang). Ya, kami memang sudah janjian akan berangkat bareng-bareng sekelas dari sekolah. Aku dan teman-teman sekelas kala itu (Telocor XI IA-5) pergi jalan-jalan didampingi beberapa guru seperti Pak Basuki (beliau ini petualang sejati, di usianya yang sudah kepala 5 masih sanggup memimpin penjelajahan alam), Pak Ye (guru kesenian), mas Bison, dan mas Aswin (keduanya guru komputer). Tahu sendirilah, acara liburan kayak gitu tu nggak akan disetujui oleh pihak sekolah kalo tidak ada guru yang mendampingi.

Kumpul di sekolah

Kumpul di sekolah

Waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi ketika kami berangkat dari sekolahan. Kami naik angkot bareng yang terbagi menjadi beberapa kloter ke Terminal Arjosari Malang kemudian dilanjutkan lagi perjalanan ke “rest house”, atau tempat singgah, milik keluarga ketua OSIS kami saat itu, Rani, di Tumpang. Di sana kami menunggu semua kloter berkumpul agar bisa berangkat bareng-bareng ke Bromo.

Istirahat di Rest House

Istirahat di Rest House

Dari sana kami melanjutkan perjalanan lagi dengan mencarter truk dan berhenti di kawasan pegunungan tempat perbatasan Kabupaten Lumajang dengan Kabupaten Malang, nama daerahnya adalah Bantengan. Ketika itu waktu kira-kira sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Yang bikin aku dan teman-teman kagum, begitu turun dari truk, kami langsung disuguhi paronama yang sungguh menakjubkan. Subhanallah…! Tampak di kejauhan bawah sana hamparan rerumputan hijau yang sangat indah dengan barisan bukit-bukit di kanan kirinya. Tampak juga ada sebuah garis yang berkelak-kelok di bawah sana yang awalnya aku kira adalah sebuah sungai, yang nyatanya adalah sebuah jalan berpasir biasa. Subhanallah…! Bagaikan mimpi saja.

Panroma kaldera Bromo dari atas

Panroma kaldera Bromo dari atas

Di Bantengan itu kami beristirahat dulu sebelum melanjutkan perjalanan kembali. Di tempat tersebut kami mengisi energi dulu. Ada yang bikin mie instan, makan sarapan bawaan masing-masing, sekedar minum kopi, sampai foto-foto. Kebetulan di tempat pemberhentian tadi itu ada sebuah gubug atau pos untuk beristirahat.

Istirahat di gubug

Istirahat di gubug

Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 11 pagi. Saatnya perjalanan dilanjutkan. Kali ini kami menyusuri hamparan ilalang menuruni bukit menuju kaldera Bromo purba yang tampak indah itu. Menariknya, meskipun saat itu matahari sudah hampir tepat di atas kepala, temperatur udara di kawasan itu cukup sejuk (kalo nggak mau disebut dingin). Mungkin sekitar 17 derajat. Makanya sangat disarankan untuk Anda yang pergi ke sana agar memakai jaket.

Angin semilir yang cukup sejuk benar-benar dan suasana yang benar-benar hening, sangat berbeda dengan di kota, membuat mata dan pikiran ini jadi segar. Benar-benar bikin rileks. Apalagi sepanjang perjalanan kita terus disuguhi panorama menakjubkan. Serulah pokoknya! 😀

Menuruni bukit

Menuruni bukit

Sampai di bawah kami behenti lagi di sebuah pos. Dari pos itu jarak menuju Bromo masih sekitar 6 km lagi. Continue reading