Wow… what can I say? What an amazing running race, amazing views, amazing organizers, amazing volunteers, and amazing locals!
Aku dan 2 orang teman kuliahku, Neo dan Kuncoro, hari Minggu kemarin (1/9) mengikuti event lari Bromo Marathon. Dari namanya sudah ketahuanlah di mana lokasinya. Tidak tepat di Gunung Bromo atau kaldera di sekelilingnya juga sih, tetapi rutenya mengambil jalan di pedesaan sekitar Bromo.
Bromo Marathon kemarin menjadi pengalaman yang tak biasa bagiku. Lari 10K di perbukitan dengan medan yang terdiri atas campuran 20/80 dirt trails vs roads. Jujur aku sempat underestimate rute yang akan kulalui setelah melihat ilustrasi elevasi medan untuk rute 10K yang dipos organiser.

Bromo 10K Course Elevations (BromoMarathon.com)
“Wah, banyak turunannya,” pikirku. Eh, ternyata aku salah. Walaupun turunannya lebih banyak, tapi ternyata tanjakannya berat-berat. Bahkan, di 2 Km terakhir full tanjakan dengan kemiringan yang lumayan. Nafasku sudah kedodoran di 2 Km terakhir. Di 2 Km terakhir itu lebih banyak kuhabiskan untuk berjalan dibandingkan berlari. Luckily, I managed to finish in 12th position in 01:21:11. Lihat hasil lengkap di sini.
Sebenarnya aku berpeluang untuk finish di #5 kategori 10K itu bila aku tidak disalip oleh 7 orang di 3 Km terakhir. Bahkan, sebelumnya aku sempat berada di #3 sampai KM 3. Setelah itu berada di #4 sampai KM 6-7.
Namun, bukan peringkat sebenarnya yang kucari. Tapi berlari di pegunungan, dengan ladang-ladang di sekeliling, penduduk yang antusias menonton di sepanjang desa yang dilalui, dan tak jarang mereka menyapa dan menyemangati pelari yang sedang berlari, benar-benar pengalaman yang tak didapatkan ketika berlari di event-event lari “mainstream”.
Sayang euy nggak ikutan yang kategori half marathon atau full marathon. View yang ditawarkan di rute itu lebih ‘wah’ daripada yang ada di kategori 10K. Pelari akan melalui kawasan Penanjakan I, yang memang sudah terkenal sebagai lokasi terbaik untuk melihat sunrise kaldera Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Mungkin tahun depan jika ada kesempatan, aku akan mencoba mengikuti kategori half marathon. Selain itu, di rute tersebut kabarnya malah lebih banyak dirt trails-nya. Sekitar 70/30 antara trails vs roads.

Salah satu rute trail
Berlari di Bromo Marathon ini, walaupun medan yang dilalui cukup berat, ternyata tak terlalu memeras keringat — literally — bila dibandingkan dengan event-event lari yang pernah kuikuti di Jakarta. Mungkin karena sepanjang rute tersebut, udara dingin selalu berhembus sehingga tubuh tidak merasa kepanasan. Padahal start lari 10K baru dilakukan pukul 8.00, waktu yang sudah sangat siang untuk memulai lomba lari.
Anyway, semua pelari yang berhasil finish sebelum waktu cut-off masing-masing kategori berhak mendapatkan medali. Akhirnya aku punya medali lari juga, haha. Desan medalinya ciamik banget, euy. Bahannya juga bagus. Kelihatan kokoh.

Narsis bersama medali. *foto kanan oleh Kuncoro*

Suasana Menjelang Start 10K
Selain event lari itu sendiri, panitia Bromo Marathon juga menyuguhkan mata acara yang menampilkan pergelaran seni asli Suku Tengger (dan propinsi Jawa Timur secara umum) sehari sebelumnya (31/8) di depan pendopo Desa Wonokitri. Ada kesenian Tari Remo, Drama tentang legenda asal muasal Upacara Kasadha dan terbentuknya Gunung Batok, Kidungan, dan kesenian lainnya. Selain peserta Bromo Marathon, masyarakat sekitar juga antusias menyaksikan acara tersebut.

Drama tentang asal-usul Upacara Kasadha
Overall, untuk ukuran event yang baru diselenggarakan pertama kali, penyelenggaraan Bromo Marathon sudah cukup memuaskan. Shuttle gratis yang mengantarkan peserta dari Wonokitri (pusat kegiatan) ke desa-desa tetangga PP, volunteer yang ramah dan kooperatif, desain single lari dan medali finisher yang ciamik, trek lari dengan pemandangan sekitar yang mengagumkan, sambutan masyarakat lokal yang hangat, dan hal-hal lain yang tak dapat kusebutkan satu persatu. Can’t wait for the next year Bromo Marathon! 🙂
—
More photos of Bromo Marathon on my Flickr:
Like this:
Like Loading...