Wat Arun jelang maghrib (photo by Ian)

Backpacking Indochina 9D8N (Bag. 5): Day 4 – Krabi-Bangkok

Selasa, 27 Mei 2014

Subuh itu kami semua sudah cukup disibukkan dengan aktivitas packing. Yup, pagi itu kami akan check out dari hotel karena akan melanjutkan petualangan kami ke destinasi berikutnya, Bangkok, via jalur udara.

Packing

Packing

Jadwal penerbangan kami ke Bangkok adalah pukul 10.50 dari Krabi International Airport dengan AirAsia. Karena itu kami sudah harus tiba di bandara setidaknya sejam sebelumnya. Sebenarnya kami memesan penerbangan pukul 8.35 dengan niatan agar punya waktu yang lebih banyak di Bangkoknya. Sialnya penerbangan kami kena cancel oleh AirAsia sejak seminggu sebelumnya dan diganti menjadi pukul 10.50. 😦

Jarak dari penginapan kami ke bandara hampir 30 km. Untuk transportasi ke bandara, kami sudah memesan travel via pihak hostel. Ternyata dapatnya lebih murah dibandingkan jika membeli tiket airport shuttle yang banyak dijual oleh agen-agen di sepanjang jalan Ao Nang. Kami dipesankan 2 travel oleh pihak hostel dengan tarif 700 baht per travel. Jatuhnya jauh lebih murah karena 1400 baht itu dibagi kami ber-18. Sementara airport shuttle mengenakan tarif 150 baht per orang.

Bagi mereka yang kebetulan jalan sendiri dan mau ngeteng ke bandara Krabi dari Ao Nang, ada alternatif yang lebih murah. Yakni, naik bus kota ke Krabi. Sayangnya kata pihak hostel yang kami tanyai, bus tersebut ternyata tidak sampai ke bandara, tetapi terakhir berhenti di terminal Krabi saja. Setelah itu dari sana baru ganti naik transportasi lain ke bandara. Jelas, perjalanan seperti itu bakal memakan waktu lebih lama. Untuk biayanya aku kurang tahu.

Sarapan pagi

Menurut rencana kami akan dijemput pukul 9 pagi, sehingga kami masih memiliki waktu yang cukup untuk keluar mencari sarapan pagi itu. Pilihan tempat untuk sarapan pagi itu masih sama dengan sehari sebelumnya. Tapi kali ini aku mencoba menu berbeda.

Menu sarapanku pagi itu cukup simpel: ayam goreng dan nasi putih. Penasaran sama ayam gorengnya. Kata anak-anak ayam gorengnya enak banget, dan besar pula. Mereka bahkan sampai memesan 2 ayam goreng sekaligus.

Ayam Goreng Ao Nang

Ayam Goreng Ao Nang

Benar kata mereka, ayamnya memang enak bangeeett! Apalagi dimakan dengan nasi yang dibumbui serbuk cabai kering. Pedas-pedas enak gimana gitu, haha. Harganya tergantung ukuran ayam yang kita pilih. Nasi putih dan paha ayam yang kupesan dihargai 45 baht.

Ketika kami balik sarapan, kami cukup terkejut karena sudah ada 1 minivan yang parkir di depan hostel. Tanya ke pihak hostel, ternyata memang itu salah satu minivan yang akan mengantar kami ke bandara. Wiih… sudah datang saja, padahal baru jam 8 lewat sedikit.

Ke Bangkok

Kami pun segera berkemas-kemas. Semua tas carrier dikumpulkan dan mulai dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Yup, tak lama kemudian datang 1 minivan yang satu lagi.

Sekitar pukul 9 kurang 10 menit kami semua pun berangkat ke bandara Krabi International Airport. Minivan yang kami tumpangi berjalan cukup ngebut. Maklum, jalanan di Krabi ini memang lebar-lebar, namun cukup sepi dari lalu lalang kendaraan. Cuma memakan waktu 20 menitan waktu itu untuk sampai di bandara.

Bandara Krabi ini terdiri atas 2 terminal. Area check-in maskapai AirAsia ada di terminal 1. Sementara gate untuk ke Bangkok ternyata ada di terminal 2. Karena aku sudah memegang print-out boarding pass, aku bisa langsung ke terminal 2. Antara terminal 1 dan terminal 2 ini dihubungkan oleh koridor yang bangunannya tampak seperti setengah jadi. Atapnya masih berupa semen, ahaha.

Koridor menuju terminal 2

Koridor menuju terminal 2

AirAsia ke Bangkok

AirAsia ke Bangkok

Syukurlah, walaupun pesawat kena reschedule, jadwal keberangkatan di penerbangan yang baru ini nggak ditambah dengan delay. In fact kami malah berangkat beberapa menit lebih awal. Penerbangan Krabi-Bangkok ini memakan waktu sekitar 1 jam 15 menit. Kami mendarat di Don Mueang International Airport, Bangkok.

Di bandara Don Mueang ini kami sempat berfoto bersama dulu. Aku juga sempat menukarkan sebagian USD-ku di salah satu counter money changer di bandara. Rate-nya menurutku lumayan bagus. Samalah dengan yang di Ao Nang, 31,8 baht untuk 1 USD.

Foto bareng di terminal kedatangan (photo by Ian)

Foto bareng di terminal kedatangan (photo by Ian)

Di bandara ini kami berpisah dengan rombongan Khairul dkk. (4 orang) yang menginap di Thrive The Hostel di kawasan Si Phraya. Mereka naik MRT dari bandara. Sementara kami ber-18 sisanya naik bus A1 dari bandara. Tarif bus ini adalah 30 baht per orang.

Ke Mo Chit Bus Station

Walaupun sama-sama naik bus A1, tujuanku adalah ke Mo Chit Bus Station. Sementara yang lain turun di tengah-tengah (aku kurang tahu nama daerah haltenya) untuk oper bus no. 59 ke Khao San Road. Aku bersama Pambudi dan Listyanto ke Mo Chit Bus Station ini.

Di dalam bus A1 (photo by Ian)

Di dalam bus A1 (photo by Ian)

Btw, walaupun tengah dalam situasi darurat militer, denyut kehidupan Bangkok ternyata tetap terasa normal. Sepanjang jalan yang kami lalui tak tampak kendaraan-kendaraan militer sebagaimana yang kami baca di media massa beberapa hari sebelumnya. Kami bersyukur situasi Bangkok ternyata aman-aman saja. Yah mungkin saat kami ke sana situasi darurat militernya memang sudah agak mereda.

Di Mo Chit Bus Station ini kami memesan tiket bus untuk pergi ke Siem Reap keesokan harinya. Petugas di sana sempat agak terkejut ketika kami bilang hendak memesan tiket sebanyak 22 buah, haha. Dikiranya kami calo kali ya, hihi. Syukurlah masih ada sisa tempat duduk untuk kami ber-22. Sebenarnya tiket bus ini bisa dipesan secara online juga.

Tiket direct bus Bangkok-Siem Reap ini harganya adalah 750 baht per orang. Ada dua keberangkatan dari Bangkok, yakni pukul 8 dan 9 pagi. Kami membeli tiket untuk bus keberangkatan pukul 9 pagi dengan pertimbangan agar bisa agak santai berangkat dari hostelnya.

Mo Chit Bus Station

Mo Chit Bus Station

Oh ya, nama lain terminal bus ini selain Mo Chit Bus Station adalah Bangkok Bus Terminal atau Chatuchak Bus Terminal. Ya, in case kalau tanya orang Mo Chit Bus Station, orangnya ternyata nggak tahu. Chatuchak ini nama sebuah kawasan sih sebenarnya.

Mo Chit Bus Station ini sungguh megah. Penampakannya agak mirip-mirip bandara. Terus ada sistem gate-gate — lagi-lagi mirip bandara — yang diperuntukkan bus-bus sesuai jurusannya. Jadi penumpang yang baru pertama kali ke sini akan diuntungkan karena tidak perlu bertanya ke orang-orang di mana letak bus yang akan ditumpangi. Di tiket yang kami terima sudah tertera nomor gate untuk keberangkatan besok.

Suasana dalam Mo Chit Bus Station

Suasana dalam Mo Chit Bus Station

Ke penginapan

Dari Mo Chit Bus Station kami sempat bingung mencari lokasi terminal bus kota yang menuju ke Khao San Road. Nanya-nanya ke orang, eh, ternyata terminal bus kota itu berada di terminal yang berbeda dengan Mo Chit Bus Station ini. Nama terminalnya adalah Mo Chit 2 Bus Station atau dikenal juga dengan nama Northeastern Bus Terminal. Terminal ini berada tidak jauh dari Mo Chit Bus Station, hanya dipisahkan beberapa toko saja.

Mo Chit 2 Bus Station

Mo Chit 2 Bus Station

Menurut referensi yang kami baca, untuk mencapai Khao San Road dari Mo Chit ini kami harus menaiki bus warna merah no. 3. Agak kaget sih dengan penampakan bus ini. Kesannya agak jadul. Alas lantai bus ini hanya berupa kayu saja.

Kami ditariki karcis oleh kondekturnya dengan tarif 6,5 baht per orang. Perjalanan Mo Chit-Khao San Road itu total menempuh waktu sekitar 1 jam. Kondisi lalu lintas yang kami lalui cukup padat. Sebelas dua belas lah kayak di Jakarta kondisinya. Tapi bedanya di Bangkok ini macetnya nggak pernah sampai stuck. Macet cuma terjadi ketika lampu merah saja.

Bus No. 3 Mo Chit - Khao San Road

Bus No. 3 Mo Chit – Khao San Road

Interior bus no. 3

Interior bus no. 3

Begitu tiba di Khao San Road, berbekal ingatan dan feeling kami berbelok menuju gang Soi Rambuttri. Denyut kehidupan backpacker benar-benar terasa di Khao San Road dan Soi Rambuttri ini. Di mana-mana lalu lalang bule-bule dan backpacker dari belahan dunia lainnya. Toko, cafe, tempat massage, dll dipenuhi oleh turis-turis dengan low budget ini.

Agak susah menemukan Hiig Hostel ini. Kami bisa saja kesasar jika tidak ada Rizky yang tiba-tiba memanggil kami entah dari mana suaranya. Ternyata kami telah melewati hostel kami. Pantes saja kami cari-cari hostel dengan tulisan “Hiig” tidak ketemu-ketemu. Ternyata nama resmi hostelnya adalah “Hongik Ingaan Hostel“, ahaha.

Hiig Hostel

Hiig Hostel

Di Bangkok ini sebenarnya hostel kami berpencar-pencar. Selain Thrive The Hostel dan Hiig Hostel, sebagian ada yang menginap di Suneta Hostel dan Four Sons Village Hostel. Hiig Hostel dan Four Sons Village Hostel lokasinya bersebelahan, sementara yang lain jaraknya lumayan jauh, walaupun dari sisi jarak masih bisa ditempuh jalan kaki lah.

Baik banget ibu berusia separuh baya yang mengurus hostel ini. Beliau menyambut kami dengan memberikan welcome drink masing-masing satu botol soft drink secara gratis. Beliau juga cukup fasih berbahasa Inggris. Beliau sangat informatif sekali ketika ditanya-tanya mengenai tentang seputar Bangkok dan tujuan turisme di situ.

Suasana kamar

Suasana kamar

Ke Grand Palace

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore. Kami pun keluar penginapan berjalan kaki menuju Grand Palace yang lokasinya tak jauh dari penginapan kami. Hanya dibutuhkan 10 menit saja jalan kaki ke sana.

Sayangnya ketika kami sampai di sana Grand Palace sudah tutup. Kami baru tahu bahwa Grand Palace ini ternyata tutup pukul 15.30. Sedangkan saat itu jam sudah menunjukkan pukul 4 kurang seperempat sore.

Hanya bisa mengintip Grand Palace

Hanya bisa mengintip Grand Palace

Dari luar melalui pintu gerbang kami dapat melihat sekilas penampakan bangunan-bangunan di dalam lingkungan istana. Ada banyak turis yang sedang berkeliling di dalam sana. Pukul 15.30 itu adalah batas penjualan tiket terakhir. Untuk batas waktu berkeliling di sana aku kurang begitu tahu.

Kena Scam

Setelah gagal masuk ke dalam Grand Palace, kami sempat bimbang menentukan tujuan kami berikutnya. Wat Pho dan Wat Arun menarik untuk jadi tujuan berikutnya karena secara lokasi di peta tampak sangat dekat dari Grand Palace ini.

Namun, tiba-tiba ada seorang bapak yang kira-kira usianya hampir separuh baya mendatangi kami dan menawari tuk-tuk untuk mengantarkan kami menuju lokasi penyeberangan ke Wat Arun. Yup, lokasi Wat Arun ini memang dipisahkan oleh sungai Chao Phraya, dan untuk mencapai ke sana kami bisa menaiki perahu.

Anak-anak berdiskusi apakah mengambil tawaran itu. Tarif yang mereka tawarkan “hanya” 10 baht per orang. Terkesan murah kan. Tapi entah kenapa feeling-ku mengatakan ini pasti ada unsur scam. Aku sempat bilang kepada mereka untuk jalan kaki saja ke sana.

Akan tetapi pada akhirnya keputusan bersama adalah kami naik tuk-tuk. Kami memberi syarat kepada bapak itu untuk mengantarkan kami straight ke pier tempat penyeberangan, tidak pakai mampir-mampir.

Setelah itu kami pun berangkat dengan menaiki tuk-tuk. Perasaanku tiba-tiba nggak enak karena tuk-tuk yang kami tumpangi kok bergerak berlawanan dari arah seharusnya yang kami lihat di peta. Belakangan kami baru sadar kami dibawa melalui jalan yang muter-muter, namun ujung-ujungnya kami diturunkan di pier yang tidak seharusnya.

Naik tuk-tuk melintasi Grand Palace (photo by Putri)

Naik tuk-tuk melintasi Grand Palace (photo by Putri)

Pier tempat kami diturunkan ini lokasinya ada di dalam jalan buntu yang berada di antara gedung tinggi. Tidak terlihat seperti area umum. Setelah membayar masing-masing 10 baht ke tukang tuk-tuk, tiba-tiba kami disambut oleh orang lokal yang fasih berbahasa Inggris dan menawari kami paket “Chao Phraya cruise seharga 600 baht per orang. Dia bilang harga tersebut sudah dipotong 50% dari sebelumnya 1200 baht, sambil menunjukkan suatu kertas yang memuat harga “resmi” tersebut.

Well, jelas saja kami menolak tawaran tersebut. Kami bilang kami kami hanya ingin menyeberang ke Wat Arun. Melihat kengototan kami, dia akhirnya menawarkan, “Ya sudah menyeberang ke Wat Arun 100 baht per orang”. Ckckck… orang ini benar-benar penipu, dalam hati aku berkata. Dikiranya kami nggak tahu apa. Dari hasil googling kami sebelumnya, perahu penyeberangan ke Wat Arun itu seharusnya tidak lebih dari 5 baht. Ini dia pier-nya juga sudah nggak jelas, eh pasang harga mahal sekali.

Akhirnya kami nyelonong pergi begitu saja. Ketika kami berlalu, dia masih sempat ngomong dari kejauhan, “Ya sudah berapa harga yang kalian mau.” Namun, omongan itu kami abaikan.

Mampir ke Wat Pho

Kami mencari jalan ke arah pier yang seharusnya sambil bertanya-tanya ke orang-orang di jalan. Tanpa disengaja kami lewat depan Wat Pho. Dan syukurnya Wat Pho ternyata masih buka sore itu. Kami pun masuk ke dalam.

Harga tiket masuk Wat Pho ini adalah 100 baht per orang. Wat Pho buka mulai dari pukul 8 pagi hingga setengah 7 petang. Setiap pengunjung mendapatkan fasiltas welcome drink berupa satu botol kecil air mineral yang ditukarkan dengan tiket. Di dalam ada fasilitas wifi gratis juga.

Wat Pho dari luar gerbang

Wat Pho dari luar gerbang

Opening Hours Wat Pho

Opening Hours Wat Pho

Lalu, ada apa di Wat Pho? Wat Pho terkenal karena keberadaan patung Buddha tidur (reclining Buddha) raksasanya. Wat Pho ini sendiri adalah kuil Buddha. Ketika kami ke sana ada beberapa biksu yang tengah beribadah di salah satu bangunannya. Bangunan-bangunan di Wat Pho ini terlihat mirip dengan bangunan-bangunan di dalam Grand Palace yang kami lihat secara sekilas dari luar.

Sebentar saja kami di Wat Pho. Mungkin hanya 1 jam. Itu sudah cukup puas mengelilingi Wat Pho ini. Pukul setengah 6 kami keluar meninggalkan Wat Pho.

Penampakan pelataran dalam Wat Pho

Penampakan pelataran dalam Wat Pho

Reclining Buddha

Reclining Buddha

Menyeberang ke Wat Arun

Kami berjalan kaki menuju taman yang berada di dekat Wat Pho. Ketika sampai sana, tanpa sengaja kami melihat ada pier di dekat situ. Lokasi masuknya agak nylempit. Masuk ke sebuah gang kecil yang di kanan kirinya terdapat toko-toko souvenir bertebaran.

Gang menuju Pier no. 8

Gang menuju Pier no. 8

Pier yang berada dekat Wat Pho ini memiliki kode nomor 8. Oh ya, daftar pier di sepanjang sungai Chao Phraya ini dapat dilihat di link ini.

Dari pier ini terdapat satu perahu yang selalu bolak-balik menyeberang ke Wat Pho-Wat Arun. Tarifnya 3 baht saja. Murah banget kan? 😀

Sayangnya ketika kami sampai di Wat Arun, Wat Arunnya sudah tutup. Wat Arun buka setiap hari mulai pukul 8 pagi hingga 6 sore. Tiket masuknya 50 baht. Jadilah kami hanya berfoto-foto di luarnya saja.

Opening hours Wat Arun

Opening hours Wat Arun

Wat Arun

Wat Arun

Tanpa direncanakan kami bertemu rombongannya cewek-cewek di sana. Jadi memang saat jalan-jalan sore menjelang petang ini kami terpisah menjadi 2 rombongan besar. Nah, kami bertemu di sana.

Kami akhirnya duduk-duduk di taman luar Wat Arun mengobrol-ngobrol sambil ditemani matahari yang hampir terbenam. Kami bertemu dengan seorang bapak yang usianya mungkin sudah 60-an tahun yang fasih berbahasa Melayu. Ternyata beliau ada darah keturunan Indonesia. Anak-anak ngobrol dengan beliau. Sementara aku dan beberapa anak lainnya asyik menonton beberapa pemuda lokal yang sedang asyik latihan robotic dance di tepi sungai Chao Phraya ini.

Balik ke Khao San Road

Aku baru tahu kalau ternyata kita bisa naik perahu dari Wat Pho/Wat Arun ini ke kawasan Khao San Road. Lumayanlah baliknya nggak perlu jalan kaki, hehe. Dari Wat Arun ini kami perlu menyeberang dulu ke pier nomor 8 tempat kami berangkat sebelumnya. Lalu dari sana naik perahu besar ke pier nomor 13.

Wat Arun jelang maghrib (photo by Ian)

Wat Arun jelang maghrib (photo by Ian)

Di atas perahu

Di atas perahu

Untuk perahu yang satu ini tarifnya 15 baht. Berbeda dengan perahu sebelumnya yang kami tumpangi untuk menyeberang Wat Pho-Wat Arun, uang penumpang ditarik ketika sudah di atas perahu.

Penumpangnya ramai banget. Kami terpaksa berdiri saat itu. Perahu ini berhenti di setiap pier yang dilewati.

Pier nomor 13 tempat kami turun ini ternyata penampakannya kurang lebih mirip dengan pier nomor 8 tempat kami berangkat tadi. Jalan keluar masuk dari atau menuju pier ini berupa gang kecil yang di tepi jalannya berjajar toko-toko souvenir. Anak-anak sempat mampir beli souvenir di salah satu toko di sana.

Dari pier ini kami berjalan kaki menuju Soi Rambuttri lalu ke Khao San Road. Sebenarnya bisa saja sih langsung memotong jalan ke Khao San Road. Cuma waktu itu niatnya kami memang hendak cari makan malam. Jadi jalan kaki sambil melihat kanan kiri siapa tahu ada rumah makan halal. Ternyata susah euy menemukannya. Ada satu teman yang bilang dia sempat baca brosur ada restoran India halal di Khao San Road. Kami pun langsung jalan ke Khao San Road mencari restoran yang dimaksud.

Suasana gang Soi Rambuttri (photo by Rizky)

Suasana gang Soi Rambuttri (photo by Rizky)

Nama restoran tersebut adalah Taj Mahal Restaurant. Enaknya di sana ada free wifi. Malam itu aku memesan nasi briyani dan jus jambu. Sayangnya aku sudah lupa berapa harganya, haha. Yang jelas lumayan mahal makan di sana. Maklum, kelasnya memang selevel restoran mewah atau kafe. Hmm… 180 baht ada lah kayaknya aku keluar uang makan malam itu.

Makan malam di Taj Mahal Restaurant (photo by Rizky)

Makan malam di Taj Mahal Restaurant (photo by Rizky)

Setelah makan malam, sebagian dari kami berpencar. Ada yang shopping berburu souvenir, ada juga yang nyobain Thai massage. Yup, di kawasan backpacker Soi Rambuttri yang berada di seberang Khao San Road banyak bertebaran jasa pijat. Umumnya tempat pijatnya berada di luar, mereka menggelar kursi tidur di tepi jalan. Tarifnya yang paling murah rata-rata 120 baht untuk setengah jam.

Oh ya, sebagai bagian dari situasi darurat militer di Bangkok saat itu, ada jam malam yang ditetapkan oleh militer yang tengah “berkuasa” saat itu, yakni mulai pukul 22.00 hingga pukul 05.00. Denger cerita dari bule yang ditemui Khairul dkk. waktu lagi naik MRT siang sebelumnya, katanya dia kena sundut oleh tentara yang patroli karena masih keluyuran di kota lewat dari jam malam. Nah, karena itulah kami memutuskan untuk balik ke penginapan sebelum jam 10 malam.

Sebenarnya aku kurang tahu juga sih apakah aturan tersebut ada pengecualian untuk kawasan backpacker di Khao San Road dan Soi Rambuttri ini. Namun, kenyataannya sih memang menjelang pukul 10 malam banyak cafe maupun toko di sekitar penginapan kami yang mulai tutup.

Apes kami malam itu. Hostel tempat kami menginap AC-nya tiba-tiba mati. Kata ibu pengurus hostel, penyebabnya adalah gasnya habis. Besok baru bisa manggil tukang. Jadilah malam itu kami tidur bagai cacing kepanasan. Beberapa orang tidur sambil buka baju semua haha. Jendela kamar pun terpaksa dibuka malam itu. Tapi tetap kurang signifikan. Bangkok memang cuacanya lumayan panas saat itu. Tapi alhamdulillah lah dipaksa-paksain merem toh bisa juga, haha. (bersambung)

———————————————————————————-

Pengeluaran Day 4

  • Sarapan ayam goreng Ao Nang : THB 45
  • Transportasi Ao Nang-Krabi Airport : THB 1400 (share ber-18)
  • Pesawat AirAsia Krabi-Bangkok : IDR 329.519
  • Bus A1 Don Mueang Airport-Mo Chit Bus Station : THB 30
  • Tiket Bus Bangkok-Siem Reap : THB 750
  • Bus no. 3 Mo Chit-Khao San Road : THB 6,5
  • Penginapan Hiig Hostel 1 malam (pesan via Agoda) : IDR 91.000
  • Tuk-tuk dari Grand Palace : THB 10
  • Tiket masuk Wat Pho : THB 100
  • Nyebrang Wat Pho-Wat Arun PP : THB 6
  • Perahu balik ke Khao San Road : THB 15
  • Makan malam : THB 180

Total = ~ IDR 859.819 (per orang)

*Kurs THB 1 = IDR 360

————————————————————-

Thanks buat foto-fotonya yang dipakai di artikel ini 🙂 :
1. Putri 
2. Ian
3. Rizky

————————————————————————————-

Indeks link seri artikel Backpacking Indochina 9D8N:

Advertisement

1 thought on “Backpacking Indochina 9D8N (Bag. 5): Day 4 – Krabi-Bangkok

  1. wan

    asik tuhhhh kayaknya hehehe kapan2 ajak ya min hehhee aku udh pernah ke thailand malaysia singapore lewat darat, d thailandnya dr chiang mai, coba deh min, keren bgt tu chiang mai hehhe 🙂

    Like

    Reply

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s