Monthly Archives: October 2013

Wisuda Terakhir

Bandung, 19 Oktober 2013. Hari itu adalah hari wisuda pertama sarjana ITB tahun 2013/2014. Bagi angkatan 2007, wisuda hari itu adalah ‘kesempatan’ wisuda terakhir yang diberikan oleh ITB. Artinya, setelah ini tak ada lagi momen bagi kami untuk kembali ke kampus mengarak teman-teman angkatan yang diwisuda.

Momen wisuda selalu menjadi momen yang tempat bagi kami yang sudah berpencar di kota tempat bekerja masing-masing untuk bertemu, bercengkerama, saling bertukar cerita mengenai kesibukan masing-masing, dan ditutup dengan pergi kuliner bareng, futsal bersama, atau acara hiburan lainnya.

Momen wisuda kali ini benar-benar menjadi lonceng pertanda bahwa sudah 6 tahun berlalu sejak kami memasuki gerbang Ganesha untuk pertama kali. Oh, sungguh waktu terasa begitu cepat. Mungkin baru 4 tahun, 14 tahun yang akan datang atau lebih, kami baru berkumpul bersama lagi satu angkatan dalam sebuah tajuk “Temu Alumni”. Yah, semoga tidak selama itu. Semoga masih ada event dan kesempatan yang bisa mempertemukan kami beramai-ramai.

Well, selamat wisuda untuk teman-teman angkatan 2007. Semoga sukses di kehidupan berikutnya. 🙂

Bersama yang diwisuda

Bersama yang diwisuda

photo by Hafid (Image source: Facebook)

IF'07 Bersama ibu Kaprodi

IF’07 bersama ibu Kaprodi

photo by Edria (Image source: Facebook)

Advertisement

Open Trip ke Bromo

Menjelang pulang kampung Idul Adha minggu lalu, salah seorang kawan tiba-tiba mengajakku untuk ikut open trip (terjemahannya: perjalanan terbuka?) yang diadakan sebuah EO — kalau nggak salah namanya @trip_with_us. Objek wisata yang akan dikunjungi adalah Bromo. Sempat bimbang juga sih antara ikutan atau nggak. Sudah dua kali aku ke Bromo. Tapi pemandangan spektakuler di Bromo selalu menggoda untuk kembali ke sana. akhirnya, karena penasaran sama bagaimana rasanya ikut open trip dan mumpung ada teman juga, aku pun mengiyakan ajakan kawanku itu.

Jadwal pulang ke Malang pun tak berubah sesuai dengan tiket kereta api yang sudah jauh lebih dulu kupesan, yakni hari Jumat, 11 Oktober. Tiba di Malang pagi keesokan harinya. Sementara itu, kawanku ini sudah terlanjur membeli tiket kereta api ke Surabaya dengan jadwal yang sama.

Sabtu, 12 Oktober

Pihak EO sudah menyediakan 2 mobil yang akan menjemput peserta trip yang datang baik dari Malang maupun Surabaya. Jadi ceritanya ada 4 kelompok yang bergabung dalam open trip ini. Tiga kelompok — masing-masing terdiri atas 2 orang dari Tangerang dan 4 orang dari Jakarta serta aku sendiri — berangkat dari Malang. Sementara kelompok satunya terdiri atas 4 orang yang berangkat dari Surabaya. Kelompok terakhir yang dimaksud adalah kawanku yang pergi bersama 2 rekan kantor dan 1 orang teman SMA-nya.

Karena jadwal kedatangan kami berbeda-beda, kejadian saling menunggu tak terelakkan. Singkat cerita, siang menjelang sore kami baru bisa berkumpul di Bandara Abdul Rahman Malang, kemudian mobil bergerak ke Probolinggo. Di sana kami mampir makan siang di restoran Rawon Nguling. Pulang ke Jawa Timur memang kurang lengkap kalau nggak makan rawon:D. Kata sopirnya sih ini rawon yang populer di sana. Ketika sampai di sana, eh beneran lah, ada foto Pak SBY pas lagi di sana, haha. Fotonya gede, dipasang di dinding dalam restoran.

Perut pun sudah terisi. Perjalanan dilanjutkan kembali ke desa Sukapura, Probolinggo. Perjalanan menempuh waktu 1 jam lebih. Di sana kami sudah disediakan villa untuk menginap. Nggak ada acara khusus malamnya. Kebetulan lagi ada pertandingan kualifikasi Piala Asia U-19 Indonesia vs Korsel. Jadi kami isi malam itu dengan acara nontong bareng timnas.

Villa

Suasana di dalam Villa

Minggu, 12 Oktober

Pukul 2.15 dini hari kami sudah bangun dari tidur masing-masing. Kami bersiap-siap untuk berangkat ke Penanjakan I untuk menyaksikan sunrise. Perjalanan dengan jeep memakan waktu kurang lebih 1,5 jam. Sempat macet juga sih. Macet di antrian gerbang masuk Taman Nasional di Cemoro Lawang. Perjalanan dari Sukapura ini melalui rute Cemoro Lawang, kemudian turun ke lautan pasir dan mendaki lagi di bukit Penanjakan hingga puncaknya.

Sampai di Penanjakan jam 4 kurang sedikit. Beberapa saat kemudian sayup-sayup terdengar suara adzan Shubuh berkumandang. Aku menyempatkan sholat dulu di mushola yang tersedia di dekat gardu pandang tempat menyaksikan sunrise. Btw, air wudlu di sana bayar 2000. Tapi walaupun bayar, sebaiknya tetap dihemat airnya ketika berwudlu agar yang lain tetap kebagian. Maklum, di sana airnya sepertinya dibawa secara manual dari desa.

Suasana di Penanjakan I saat itu ramai sekali. Rata-rata pengunjungnya didominasi oleh rombongan muda-mudi yang touring sepeda motor dari kota-kota lain di Jawa Timur. Baru sebagian lainnya merupakan rombongan keluarga. Bule-bule pun juga ada, tapi jumlahnya tak terlalu banyak.

Oh ya, walaupun ini kali ketiga aku main ke Bromo, ini pertama kalinya aku melihat sunrise di Penanjakan I. Kunjungan pertama tanpa pakai acara lihat sunrise. Kunjungan kedua lihat sunrise dari Penanjakan II.

Beuhh… pemandangannya lebih mantap ternyata dari Penanjakan I ini. Kalau pernah lihat foto view sunrise Bromo yang populer di National Geographic, di sinilah tempatnya. Tapi ramainya sungguh terlalu ketika itu. Kurang enjoy jadinya. Terpaksa mencari tempat di pinggir-pinggir. Sempat nekat manjat pagar juga untuk turun ke tebing-tebing. Tapi tak lama kemudian aku balik lagi karena ditegur orang yang sepertinya salah satu petugas di sana.

View Bromo-Batok-Semeru

View Bromo-Batok-Semeru

Pukul 5.30 kami cabut dari gardu pandang. Turun mampir ke warung untuk sarapan (bakso). Kami juga nyobain sate kentang yang banyak dijajakan di jalan sepanjang pintu masuk gardu pandang. Konon kata temen kentang rebus di sana sangat enak. Setelah aku cobain, kok rasanya nggak se-wah yang diceritain temenku itu ya, haha. Tapi worth untuk dicoba. Oleh penjualnya dipatok harga 10 ribu tiga tusuk. Agak mahal sih, temen ada yang bisa nawar satu tusuknya 2 ribu.

Setelah perut terisi, kami kembali menuju mobil jeep. Agenda berikutnya adalah Continue reading

Fun Trip Ke Garut Bersama IF’07

Akhir pekan yang lalu (5-6 Oktober) aku bersama teman-teman satu angkatan Informatika (IF) 2007 jalan-jalan bareng ke Garut, tepatnya ke Gunung Papandayan dan Puncak Darajat. Tidak semuanya memang. Hanya 29 orang saja, atau hampir 25% dari angkatan.

Acara jalan-jalan bareng angkatan ini terselenggara dengan bantuan EO (Event Organizer) Teras Nusantara. Kebetulan salah satu owner-nya adalah anak IF’07 juga. Semua urusan yang berkaitan dengan itinerary selama di sana, teknis keberangkatan, transportasi, makanan, hingga akomodasi sudah dipercayakan kepada mereka.

Jumat, 4 Oktober

Rombongan yang tergabung dalam acara ini terbagi ke dalam dua kota asal keberangkatan: Jakarta dan Bandung. Teman-teman regional Jakarta dan sekitarnya berkumpul di Sarinah Jl. Sudirman pukul 9 malam. Dari sana mereka menumpang Elf yang membawa mereka ke Bandung. Sementara itu teman-teman Regional Bandung, termasuk aku, berkumpul di Little Wings Cafe & Library Bandung, yang sebenarnya juga merupakan kantor dari Teras Nusantara. Di sanalah meeting point antara rombongan Jakarta dan Bandung.

Oh ya, Little Wings ini terbuka buat umum lho. Maksudnya, tempat ini bukan dikhususkan untuk peserta event-eventnya Teras Nusantara saja. Di sana kita bisa memesan beberapa makanan dan minuman. Sesuai namanya, di sini juga terdapat rak-rak yang dipenuhi dengan berbagai macam buku dari berbagai genre. Cocok buat mereka yang hobi baca. Halaman tempatnya juga asri. Haha, kok jadi promosi. Mending cek saja langsung di halaman Facebooknya.

Sabtu, 5 Oktober

01.00. Teman-teman dari Jakarta tiba di Little Wings. Sesuai itinerary kami baru akan memulai perjalanan ke Garut sekitar pukul 3 dini hari. Artinya masih ada waktu sekitar 2 jam bagi teman-teman untuk beristirahat. Dari pihak Teras Nusantara, mereka sudah menyediakan ruang luas di lantai 3 untuk teman-teman beristirahat. Ada sejumlah kasur dan bantal yang bisa digunakan untuk tidur.

03.00. Semuanya bersiap di lobi Little Wings. Tiga buah mobil KIA Pregio juga sudah bersiap di halaman Teras Nusantara. Peserta trip mulai memasukkan tas-tasnya ke dalam mobil. Sekitar pukul 3.30 kami pun berangkat menuju Garut. Di tengah jalan kami mampir ke SPBU untuk melaksanakan sholat Subuh.

06.00. Kami tiba di Desa Cisurupan yang berada di kaki Gunung Papandayan. Inilah desa terakhir yang dapat dicapai dengan angkutan umum bagi mereka yang hendak ke Gunung Papandayan. Untuk melanjutkan perjalanan ke pos pendakian, biasanya mereka mencarter mobil pick-up yang cukup banyak terlihat di sana. Di desa ini kami mampir membeli perbekalan di sebuah minimarket.

Perjalanan dari Desa Cisurupan menuju Pos pintu masuk Gunung Papandayan ini harus melalui jalanan yang sangat buruk. Banyak ruas jalan yang aspalnya berlubang. Jalannya juga memiliki banyak tanjakan. Salah satu mobil sempat terpaksa harus didorong ramai-ramai karena terjebak di salah satu lubang jalan. Kurang lebih 45 menit waktu dibutuhkan untuk mencapai pos pintu masuk dari Desa Cisurupan.

07.00. Selama satu jam kami bersantai-santai dahulu di gerbang masuk Gunung Papandayan. Di sana terdapat parkiran mobil yang sangat luas. Di sisi barat dan selatannya berjejer-jejer warung makan. Kami mampir sarapan pagi di salah satu warung tersebut. Aku memesan nasi goreng yang harga satu porsinya Rp8.000 sudah termasuk telor mata sapi.

Setelah perut terisi dan persiapan sudah dilakukan, kami berkumpul kembali untuk mendapatkan briefing dari Yasir, selaku koordinator perjalanan kami kali ini. Kami juga sempat untuk berfoto bersama sebelum memulai trekking.

IF'07 di Papandayan (photo by Teras Nusantara)

IF’07 di Papandayan (photo by Teras Nusantara)

08.00. Trekking pun dimulai. Medan pertama yang kami lalui adalah berupa batu-batuan. Kurang lebih hanya 20 menit dari pintu masuk pendakian, kami sudah sampai di area perkawahan Papandayan. Yep, kawah! Inilah uniknya Papandayan. Kawahnya akan kita temui di awal pendakian. Asap belerang menyembul dari lubang di sela-sela bebatuan. Tidak hanya satu, dua, atau tiga. Tapi banyak sekali lubang-lubang yang menyembulkan asap belerang di kawah tersebut.

Setelah medan bebatuan, kami mulai melalui medan berupa tanah berkerikil. Cuaca saat itu terik matahari begitu menyengat walaupun angin yang berhembus cukup menyejukkan. Agak menyesal aku tak memakai sunblock ketika melakukan pendakian. Karena begitu pulang dari sana, beberapa teman bilang bahwa aku menjadi lebih hitaman. Kulit tangan juga terlihat jadi belang.

Di percabangan ke arah Pondok Salada dan Tegal Panjang kami beristirahat sebentar beberapa menit. Selain melalui pintu masuk pos pendakian Papandayan di Cisurupan, pendakian Gunung Papandayan ini juga dapat dilakukan melalui Pangalengan, Kabupaten Bandung, melewati Tegal Panjang. Kapan-kapan kayaknya harus nyobain ke Papandayan lewat Tegal Panjang ini. Lihat dari foto-fotonya … wah, cakep banget pemandangannya. Hidden paradise kalau kata temen mah.

09.45. Kami mencapai Pondok Salada. Pondok Salada adalah suatu padang rumput luas yang biasa dijadikan area perkemahan bagi para pendaki Gunung Papandayan. Pondok Salada biasa menjadi tempat pilihan berkemah karena tak jauh dari situ terdapat ‘kran’ pipa air bersih yang mengalir. Sehingga keperluan masak-memasak dan air minum dapat terpenuhi di sana.

Di Pondok Salada kami cuma beristirahat sebentar saja. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini destinasi kami adalah Tegal Alun. Jalur yang dilalui untuk mencapai ke sana cukup Continue reading

[Kuliner] Lawang Wangi Café & Art Space

Review kulineran kali ini masih di kawasan utara Bandung, tepatnya Dago Giri. Nama restonya, Lawang Wangi Cafe & Art Space. Lokasi tepatnya bisa dicek di halaman Foursquare ini. Dari terminal Dago lurus terus, tak jauh dari situ ada percabangan jalan, ambil jalan ke bawah (sebelah kiri). Sekitar 2 km menyusuri jalan utama, akan mendapati Lawang Wangi cafe di sebelah kanan jalan.

Posisi Lawang Wangi ini berada di daerah perbukitan, jadi tak heran malam itu hawanya lebih dingin dibandingkan daerah Bandung pada umumnya. Dari balkon lantai 2 Lawang Wangi ini kita bisa melihat view Kota Bandung. Malam itu view yang tampak adalah hanya gemerlap cahaya lampu dari Kota Bandung. Kalau siang, tentu akan lebih tampak jelas wajah Kota Bandung.

Balkon lantai 2

Balkon lantai 2

Sesuai namanya, Lawang Wangi ini bukan sekedar cafe biasa. Di sana juga terdapat galeri seni yang memasang karya-karya seni seperti foto-foto, lukisan, alat musik tradisional, dan produk-produk handcraft lainnya. Galeri seni itu menempati ruang yang sangat lapang di lantai 1. Sementara cafenya berada di lantai 2. Ada meja yang berada di dalam ruangan, dan ada juga meja yang berada di balkon.

Malam itu kami cukup beruntung. Ketika kami datang, masih ada satu meja berkapasitas 5 orang yang tersisa. Setelahnya, beberapa rombongan orang yang datang terpaksa harus masuk waiting list. Namun, rasanya masuk waiting list pun tak terlalu masygul karena bisa menunggu sambil berkeliling melihat galeri seni di sana.

Sekarang tibalah saatnya kita melihat daftar menu yang ada di sana. Pertama yang kulihat adalah range harganya. Kisaran harga makanan dan minuman yang disediakan di Lawang Wangi ini tidak jauh berbeda dari Congo Cafe & Gallery yang pernah kukunjungi awal Juli lalu. Range harga makananannya berkisar antara 45-75 ribuan. Sementara minumannya, berkisar antara 15-30 ribuan. Jangan lupa, harga tersebut belum termasuk pajak 10% dan service charge 5%.

Karena penasaran dengan menu yang ada kata-kata “Lawangwangi”-nya, aku memesan Chicken Lawangwangi (52k). Selain Chicken Lawangwangi, ada juga Ayam Penyet Lawangwangi (aku lupa harganya). Untuk minumannya, aku memesan Moonlight (30k). Soal rasa, menurutku keduanya (Chicken Lawangwangi dan Moonlight) enak kok.

 

Chicken Lawangwangi ini disajikan dengan potato wedges dan beberapa iris wortel dan brokoli, serta blackpepper sauce. Sauce-nya bisa dipilih sebenarnya. Ada blackpepper, mushroom, dan barbeque. Ayamnya sendiri digoreng pakai tepung. Tekstur dagingnya lembut. Di dalamnya sepertinya ada campuran keju kalau aku tidak salah. Sementara Moonlight, disajikan dengan air sprite dan nata de coco.

Terakhir, kalau butuh tempat untuk menghabiskan waktu mengobrol dengan teman, atau mengerjakan tugas bareng, Lawangwangi bisa jadi salah satu opsi. Tempatnya nyaman, view-nya di sana juga ok, udaranya sejuk apalagi kalau malam lumayan dingin, dan ada wifi-nya. Waktu kami ke sana, teman ada yang nyoba torrent bisa sampai 92 kbps, hihi. Tapi tidak disarankan untuk ke sini sering-sering, karena bisa bikin kantong kering, hehe. 😀