Tag Archives: taman

Royal Palace

Ke Phnom Penh Lagi

Pekan lalu saya berkesempatan traveling ke Kamboja kembali. Bukan khusus jalan-jalan sih. Ada suatu keperluan sebenarnya.

Tiga hari saya berada di Phnom Penh, ibukota Kamboja. Sedangkan satu setengah tahun yang lalu saya hanya sempat mampir setengah hari saja di kota ini, dalam rangkaian perjalanan backpacking Indochina dari Kuala Lumpur hingga Ho Chi Minh. Dalam masa setengah hari itu saya hanya sempat mengunjungi kawasan Riverside (tepi sungai Mekong) dan taman depan Royal Palace saja. Karena itu tentu saja puas banget lah kali ini.

Di sela-sela waktu 3 hari itu saya sempat berjalan-jalan ke beberapa tempat di Phnom Penh. Riverside dan Royal Palace tentu saja salah satu di antaranya. Ke Phnom Penh menurut saya tidak lengkap kalau tidak mampir ke tempat ini.

Saya pergi ke kedua tempat itu saat sore hari. Menyenangkan sekali suasana sore di sana. Banyak orang Continue reading

Advertisement
Depan National Museum (photo by Ian)

Backpacking Indochina 9D8N (Bag. 8): Day 7 – Phnom Penh-Ho Chi Minh

Jumat, 30 Mei 2014

Bus Virak Buntham mulai memperlambat jalannya dan beberapa kali berhenti di traffic lights. Kondisi tersebut membuatku terjaga dari tidurku. Banyaknya traffic lights yang kami temui dan rumah-rumah atau toko penduduk di kanan kiri jalan menandakan kami mulai memasuki kawasan kota.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 5 pagi. Aku langsung bertayamum di tempat tidurku. Kemudian melaksanakan sholat shubuh sambil posisi setengah telentang. Kondisinya di situ memang sangat susah untuk bisa melaksanakan sholat sambil duduk.

Sekitar 1 jam kemudian bus tiba di depan kantor agen bus Virak Buntham. Di sanalah pemberhentian terakhir dan satu-satunya bus yang kami tumpangi ini di Phnom Penh. Lokasinya ternyata sangat dekat dari kawasan Riverside yang terkenal di Phnom Penh ini. Kantor agen bus Virak Buntham ini ternyata juga bersebelahan dengan pool bus Giant Ibis, bus eksekutif yang sempat masuk pertimbangan kami dalam memilih moda bus Siem Reap-Phnom Penh.

Di depan kantor agen bus Virak Buntham (photo by Ian)

Di depan kantor agen bus Virak Buntham (photo by Ian)

Kesalahpahaman dengan sopir tuk-tuk

Masih ingat dengan ceritaku di artikel sebelum ini yang bilang bahwa sopir tuk-tuk kami di Angkor Wat menawarkan temannya sesama sopir tuk-tuk di Phnom Penh untuk menjemput kami? Sempat terjadi kesalahpahaman di sini. Sopir tuk-tuk mengira kami ingin menginap dan berkeliling di Phnom Penh setibanya kami di sana. Padahal kami hanya transit sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke Ho Chi Minh.

Sopir tuk-tuk sudah terlanjur mengajak teman-temannya sehingga total ada 6 tuk-tuk yang datang menjemput kami pagi itu. Sayangnya kami tidak bisa mengubah itinerary yang kami susun karena keterbatasan waktu. Sang perwakilan sopir tuk-tuk sempat agak emosi ketika kami mengatakan kami hanya ingin jalan kaki di sekitar kawasan Riverside ini saja sebelum pergi ke Ho Chi Minh.

Kami pun bernegosiasi dengan sopir tuk-tuk untuk mencari win-win solution. Sebenarnya kami kasihan juga dengan mereka yang sudah datang pagi-pagi menyambut “rejeki” yang sudah di depan mata ini. Akhirnya kami meminta mereka untuk mengantarkan kami ke restoran halal di sekitar Riverside ini. Kami akan membayar jasa mereka USD 1 per tuk-tuk. Mereka menyetujui usulan kami. Lumayanlah daripada tidak dapat uang sama sekali kata perwakilan mereka. Selain itu, kami juga menyetujui permintaan mereka untuk membelikan kami tiket bus ke Ho Chi Minh.

Terhadap permintaan mereka yang terakhir ini sebenarnya kami agak ragu. Takut kalau mereka menipu kami. Apalagi tiket bus yang mereka tawarkan lebih murah daripada jika
membeli melalui agen. Mereka menawarkan USD 8, lebih murah daripada di agen yang harganya USD 10.

Aku yakin dengan harga segitu dan memesankan tiket untuk 18 orang pasti mereka akan memperoleh komisi dari pihak bus. Makanya kami sempat khawatir jangan-jangan ini bus abal-abal yang akan kami naiki. Karena itu kami meminta mereka agar kami diperbolehkan untuk membayar DP setengahnya terlebih dahulu, dan baru melunasinya sebelum bus berangkat. Untungya mereka tidak mempermasalahkan.

Oh ya, di Phnom Penh ini kami berpisah lebih awal dengan Pambudi, Listyanto, kak Simon, dan kak Febri. Mereka cabut lebih dahulu ke Ho Chi Minh dengan menumpang bus Khai Nam keberangkatan pukul 8 pagi. Menurut rencana mereka akan pulang dari Ho Chi Minh pagi keesokan harinya. Karena itu mereka cabut lebih dahulu agar memiliki waktu lebih lama di Ho Chi Minh.

Jalan-jalan di kawasan Riverside

Kami diantarkan oleh sopir tuk-tuk ke restoran India muslim di depan kawasan Riverside. Sayangnya pagi itu restoran ini belum sepenuhnya buka. Mereka tampak sibuk menyiapkan bahan masakan dan menata restoran. Akhirnya kami mengalihkan pilihan kami ke restoran lain. Kami diantarkan ke sebuah restoran muslim melayu yang bernama Halal Restaurant.

“Halal Restaurant” Phnom Penh

Numpang ngecharge di restoran (photo by Putri)

Numpang ngecharge di restoran (photo by Putri)

Lebih enak makan di sini menurutku daripada restoran India. Menunya lebih familiar di lidah, hehe. Pagi itu aku memesan nasi goreng ayam dan es teh tarik.

Setelah makan, kami berjalan kaki menuju Riverside. Cuaca Phnom Penh menjelang pukul 9 pagi ini sudah begitu teriknya. Cuacanya 11-12 lah sama Siem Reap. Panas banget.

Riverside ini adalah taman kota Phnom Penh yang lokasinya berada di sisi sungai Mekong. Di sepanjang riverside ini terdapat bangku-bangku taman, area fitness, dan tiang-tiang bendera negara-negara di dunia. Aku cukup salut dengan pemerintah kota Phnom Penh ini. Terutama dengan fasilitas peralatan fitness yang mereka sediakan secara gratis di taman. Mengingatkanku pada taman kota di Reservoir Makau. Walaupun Kamboja termasuk negara berkembang, warganya hebat sekali bisa menjaga peralatan fitness ini agar tetap terawat.

Area fitness (photo by Ian)

Area fitness (photo by Ian)

Masih di kawasan Riverside, tak jauh dari situ terdapat beberapa objek turisme seperti National Museum dan Royal Palace. Kalau kita perhatikan, model bangunan tradisional Kamboja ini mirip sekali dengan Thailand. National Museum dan Royal Palace (istana raja) memiliki model yang mirip dengan Royal Palace atau Wat Pho-nya Thailand. Warna emas pun juga menjadi warna dominasi cat bangunan ini.

Karena keterbatasan waktu, tak satupun di antara dua tempat tersebut yang kami masuki. Untuk masuk ke tempat tersebut, ada entrance fee yang harus dibayar. Aku lupa berapa tepatnya. Kami hanya berfoto-foto di area luarnya saja dengan menjadikan kedua tempat sebagai latar belakang foto kami.

Depan National Museum (photo by Ian)

Depan National Museum (photo by Ian)

Tiang-tiang bendera di tepi sungai Mekong

Tiang-tiang bendera di tepi sungai Mekong

Yang paling indah dan worthy of visit tentu taman depan Royal Palace. Tamannya sangat rapi dan bersih. Dan yang paling menyenangkan adalah banyak burung dara yang berjalan-jalan dan beterbangan di taman. Suasananya seperti di taman-taman kota Eropa seperti yang pernah kulihat di TV atau internet.

Sayangnya tak semua dari kami sempat ke sana. Hanya aku, Pras, dan Khairul saja yang ke sana. Yang lain masih asyik foto-foto di area fitness dan depan National Museum. Faktor cuaca yang sangat terik ditambah bawaan ransel yang besar di punggung membuat kami agak berat berjalan jauh saat itu.

Di taman depan Royal Palace ini ada orang yang menjual biji-biji jagung untuk dikasih ke burung-burung dara tersebut. Kami membeli 3 bungkus biji jagung tersebut dengan harga USD 1. Seru lho ngasih makan burung-burung tersebut. Begitu kita lempar biji-biji tersebut, tiba-tiba Continue reading

Relaksasi di Singapore Botanic Gardens

Kalau Anda adalah sesosok penikmat alam dan sedang berada di Singapura, sempatkan untuk berkunjung ke Singapore Botanic Gardens. Kalau Anda pecinta lari, datanglah ke sana dengan mengenakan perlengkapan lari Anda. Sempatkan juga untuk berlari di sana mengikuti “track” yang sudah dibuat menjelajahi taman-taman, kebun-kebun, dan hutan-hutan di sana.

Yup, pada momen jalan-jalanku ke Singapura untuk menonton Singapore Open 2014 yang lalu (baca di sini dan di sini), aku menyempatkan diri untuk berkunjung ke Botanic Gardens ini. Aku datang ke sana pada hari Minggu pagi (13/4). Dari stasiun Bugis aku menaiki MRT East West Line (hijau) ke arah Joo Koon, turun di stasiun Buona Vista, lalu naik MRT Circle Line (kuning) ke arah Marina Bay atau Dhoby Ghaut, dan turun di stasiun Botanic Gardens. Perjalanan lumayan jauh, memakan waktu kira-kira 30 menit.

Aku tiba di sana pukul 9 pagi waktu setempat. Walaupun terbilang masih pagi, tapi cuaca di sana cukup panas menyengat ternyata. Jarak dari pintu keluar stasiun MRT ke Botanic Gardens ini sangat dekat. Cuma belasan meter saja. Masuk ke dalam Singapore Botanic Gardens ini tidak dipungut biaya.

Gerbang masuk Botanic Gardens dari sisi stasiun MRT ini berada di sisi barat laut. Sementara Botanic Gardens ini memanjang dari utara ke selatan. Areanya sangat luas. Total luasnya adalah 74 hektar. Kalau kita ingin menjelajahi seluruh sudut di Botanic Gardens ini, kita memang harus meluangkan banyak waktu di sana.

Botanic Gardens ini selain berupa taman-taman yang ditumbuhi berbagai macam pohon, juga terdapat beberapa kebun tematik, antara lain National Orchid Garden, Evolution Garden, Healing Garden, Rain forest, dan Jacob Ballas Children’s Garden. Namun, dalam kesempatan saat itu aku cuma sempat menjelajahi Evolution Garden dan Healing Garden saja. Itu pun ada beberapa area tanaman yang kulewati di Healing Garden.

Evolution Garden

Evolution Garden

Healing Garden

Healing Garden

Di dalam Evolution Garden kita akan dibawa menyusuri timeline waktu perkembangan evolusi tumbuhan dari zaman ke zaman. Jadi disebutkan bahwasannya tumbuhan sudah ada di muka bumi ini sejak kurang lebih 3,5 juta tahun yang lalu. Sementara manusia “baru” ada 100 ribu tahun yang lalu.

Ya, tentunya tumbuhan yang tinggal di Evolution Garden ini tidak benar-benar hidup 3,5 juta tahun yang lalu. Zaman-zaman yang sangat lampau itu hanya diceritakan saja apa yang sedang terjadi dan pengaruhnya terhadap evolusi tumbuhan. Ini jadi kayak belajar pelajaran Biologi di sekolah lagi, haha.

Sementara itu, di Healing Garden, sesuai namanya, kita akan diajak melihat-lihat berbagai tanaman obat-obatan atau yang telah diteliti (dan dipercaya) memiliki khasiat tertentu. Misalnya nih, tumbuhan Sambung Nyawa (Gynura procumbens) yang bermanfaat untuk menurunkan demam dan penyakit disentri. Lalu, ada juga tumbuhan Jarak Minyak (Ricinus communis) yang bermanfaat untuk menyembuhkan batuk, bronkitis, demam, dan penyakit kulit. Dan masih banyak tanaman obat lainnya.

Tenang saja, tanaman-tanaman di Healing Garden ini tidak ditanam secara random (acak) kok. Tanaman-tanaman itu dikelompokkan berdasarkan khasiatnya terhadap tubuh manusia, yakni: (1) Head, neck, ear, nose & throat, (2) Respiratory & circulation system, (3) Digestive & related system, (4) Reproductive system, (5) Muscles, skeleton, skin, & nervous system, and (5) Toxic plants.

Namun, perlu diperhatikan walaupun semua tanaman di sana memiliki khasiat untuk kesehatan manusia, bukan berarti kita diperbolehkan untuk memetik tanaman di sana. Jika tertarik untuk mempelajari semua tumbuhan yang ada di sana, tidak perlu capai-capai mencatat satu-satu tumbuhan di sana. Untuk pengguna Android, mereka bisa menginstal aplikasi Healing Garden dari Google Play Store di sini.

Selain kebun-kebun tematik, di Singapore Botanic Gardens ini juga banyak taman-taman terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh pengunjung untuk berpiknik. Kita bisa membawa tikar sendiri kemudian menggelarnya di sana. Membawa bekal makanan dari rumah lalu dimakan bersama di sana bersama orang-orang terdekat. Atau membaca buku sambil menikmati semilir angin berhembus di antara pepohonan. Atau bermain lempar-lemparan bola bersama anak-anak. Atau bisa juga hanya mengamati angsa-angsa yang sedang berenang di kolam dekat taman. Bikin relaksasi banget nggak sih, haha.

Gelar tikar di taman

Gelar tikar di taman

Oh ya tips paling penting untuk jalan-jalan ke sini: jangan lupa membawa botol minuman! Berjalan-jalan menjelajahi area Botanic Gardens yang sangat luas tentu akan membuat kita haus. Apalagi cuaca di Singapore ini cukup terik, seperti yang kualami kemarin padahal hari masih pagi.

Aku tidak melihat ada orang berjualan makanan/minuman di Botanic Gardens ini. Well, setidaknya aku bisa memastikan di sepanjang jalan yang kulalui saja. Botol minuman yang kita bawa bisa diisi ulang di beberapa water tap (kran air minum) yang tersedia di beberapa titik. Jangan khawatir, Insya Allah airnya sudah terjamin bersih kok.

Water tap di Evolution Garden

Water tap di Evolution Garden

Total aku berkeliling di dalam Singapore Botanic Gardens ini adalah selama 2 jam-an saja. Aku merasa 2 jam di sana sudah cukup, walaupun belum bisa semua tempat keeksplor. Alasan lainnya sebenarnya karena sudah kelaparan sih, haha. Pagi itu aku hanya sempat sarapan 1 potong roti tawar.

Oh ya, ini jadi salah satu tips juga. Jangan lupa makan sebelum berkeliling di Botanic Gardens ini supaya pengalamannya lebih maksimal. Jalan bersama orang-orang terdekat tentu lebih asyik dan bisa berlama-lama di sana daripada jalan sendirian.

Asyiklah jalan-jalan di Singapore Botanic Gardens ini. Segar lihat yang hijau-hijau. Relaksasi yang menyejukkan dan menenangkan (dan bikin keringatan juga sih karena kecapekan, hehe). 🙂

 

Gowes Menikmati Kota Bandung

Ada salah satu cara untuk menikmati Kota Bandung yang perlu dicoba, yakni dengan bersepeda a.k.a gowes. Apalagi jika dilakukan beramai-ramai, semakin menambah keseruan dan keasyikan. Itulah yang aku dan teman-teman lakukan weekend kemarin (Sabtu, 28/12).

Sejak diresmikan pada tanggal 10 Juni 2012, baru kali ini aku nyobain nyewa sepeda di shelter Bike.Bdg ini. Sementara ini baru ada beberapa shelter di kawasan Dago dan Buah Batu saja. Yang ku tahu shelter-shelter di kawasan Dago antara lain di depan kampus ITB (Jl. Ganeca), depan gedung BCA Dago (persimpangan dengan Jl. Dipati Ukur), belakang gedung Anex ITB (di bawah jembatan layang Pasupati), dan di depan Unikom Jl. Dipati Ukur (yang satu ini aku kurang begitu mengamati apakah masih ada atau tidak).

Jadi ceritanya Sabtu itu salah seorang teman ane dari Jakarta lagi main ke Bandung dan mencetuskan ide untuk nggowes itu. Maklum, dia lagi hobi nggowes beberapa bulan belakangan ini. Bersama tiga orang yang lain yang juga lagi di Bandung, jadilah kita menyewa sepeda di shelter Bike.Bdg. Sebenarnya aku ada sepeda sendiri, tapi pingin juga nyobain nyewa sepeda yang di shelter-shelter itu.

Pertama kita datang ke shelter belakang gedung Anex. Sayang sekali, saat itu shelternya lagi nggak ada yang jaga, saudara-saudara. Akhirnya jalanlah kita ke shelter depan BCA Dago. Alhamdulillah shelternya buka. Shelter BCA Dago ini tampaknya yang memang paling hampir dipastikan selalu buka. Mungkin karena lokasinya yang strategis, sehingga kemungkinannya lebih besar orang-orang untuk menyewa ke sini.

Biaya sewa adalah 3000/jam, KTP/SIM/KTM atau kartu identitas yang lain ditinggal di shelter. Kalau sudah punya kartu anggota, tidak perlu meninggalkan kartu identitas (kalau nggak salah begitu). Sebenarnya biaya itu cukup murah sih menurutku dengan mempertimbangkan ada pemasukan juga yang diperlukan pengelola untuk pemeliharaan sepeda-sepeda itu.

Waktu ke sana, kondisi sepedanya kebanyakan masih bagus sih, artinya pedal masih nyaman dikayuh, rem benar-benar pakem, shifter masih bisa digunakan, rear deraillur masih oke. Memang sih beberapa sepedanya sudah mulai kelihatan berkarat. Tapi masih aman untuk digunakan lah. Jenis sepedanya adalah city bike.

Nyewa sepeda di shelter Dago

Nyewa sepeda di shelter Dago

Setelah selesai urusan administrasi — cuma nyatet nama di buku dan ninggalin kartu identitas aja sih — kami langsung mulai mengayuh sepeda kami. Tapi bingung juga tujuannya ke mana, haha. Akhirnya diputuskan untuk keliling-keliling dulu di kawasan perumahan elite dan kafe antara Dipati Ukur dan Dago ini. Di sana jalanan cukup teduh karena banyak pepohonan besar, tinggi nan menjulang, dan rindang.

Tapi ternyata butuh waktu sebentar saja kami muter-muter di sana. Kami pun memutuskan untuk melanjutkan gowes hingga ke Braga. Rutenya melewati Jl. Ir. Haji Juanda-BIP-Jl. Aceh-Jl. Kalimantan-Jl. Jawa-Jl. Merdeka-Jl. Lembong-Jl. Braga. Sepanjang jalan Juanda sampai Jawa masih enak karena banyak pepohonan rindang. Bahkan di Jalan Aceh terdapat lane khusus sepeda. Jadi merasa lebih aman bersepeda di sana.

Dari Braga kami melanjutkan perjalanan lagi ke Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika. Di sana kami cuma duduk-duduk saja sih. Foto-foto, menikmati es duren dan cimol yang dijual pedagang kaki lima yang kebetulan jualan di dekat situ.

Di Gedung Merdeka

Di Gedung Merdeka

Dari Gedung Merdeka kami gowes lagi melalui Jl. Braga-Jl. Suniaraja-Jl. Stasiun Timur kemudian mampir ke Paskal Hyper Square. Beberapa dari kami baru pertama kali ke situ. Penasaran di dalamnya ada apaan sih. Akhirnya sepedaan muter-muter di kompleks tersebut. Kami juga sempat beristirahat beberapa menit di sana.

Setelah itu, lanjut gowes lagi. Tujuan kami selanjutnya mau ke OZ Radio. Lho kok? Iya, beberapa di antara kami kan besoknya mau ikut event lari OZ Color Me Bandung itu. Di sana tempat pengambilan race pack-nya. Jadilah sekalian kami gowes sampai sana. Jadi rute sepedanya dari Paskal Hyper Square lewat Jl. Pasir Kaliki-Jl. Sukajadi-Jl. Bungur-Jl. Prof. Dr. Sutami-Jl. Setrasari-OZ Radio. Sewaktu di Jl. Bungur, jalannya menanjak banget, baru terasa beratnya. Tapi enaknya di sana adem, banyak pepohonan. Kalau Pasir Kaliki dan Sukajadi, sudah jarang pepohonan, macet pula.

Di depan OZ Radio

Di depan OZ Radio

Sebelum ke OZ Radio, kami sempat mampir makan mie ayam di Jl. Dr. Sutami yang kata teman cukup populer di situ. Setelah mengambil race pack, kami balik ke Dago melalui Jl. Bungur-Jl. Cemara-Jl. Cipaganti-Jl. Setiabudi-Jl. Cihampelas-Jl. Siliwangi-Jl. Dipati Ukur. Di tengah rute itu sempat mampir istirahat di sebuah taman di pertigaan Setiabudi-Cipaganti. Dari Dipati Ukur kami muter-muter lagi di kawasan perumahan elit dan kafe di sana sebelum mengembalikan sepeda.

Total waktu sewa kami adalah 4 jam lebih 5-10 menit. Lama juga ya. Tapi serius, nggak terasa lho karena memang menyenangkan gowes ramai-ramai. Jadi total biaya sewanya 15.000 rupiah per sepeda. Padahal tadi niatnya mau dipasin 4 jam, biar nggak rugi-rugi amat, hehe.

Btw, kalau taman-taman kota yang direncanakan oleh Pak walikota sudah jadi (2014, Ridwan Kamil ingin ada 6 taman baru di Bandung), bakal makin seru nih sepedaan dalam kota Bandung. Taman-taman tersebut bisa menjadi alternatif untuk tujuan rute bersepeda. Kolaborasi tersebut — taman dan bersepeda — bakal menjadi alternatif yang menarik untuk menikmati Bandung. Masa ke Bandung jalan-jalannya cuma ke mall atau factory outlet melulu. 😀