Tag Archives: stasiun

KA Ekonomi Pun Kini Banyak Calo

Kereta ekonomi (ilustrasi)

Kereta ekonomi (ilustrasi)

Tulisan ini kubuat karena aku sudah tidak paham lagi dengan sistem penjualan tiket kereta di negeri ini, khususnya kereta ekonomi. Sudah tiga kali aku gagal pulang kampung gara-gara kehabisan tiket KA Kahuripan.

Pertama, pada libur long weekend Nyepi pada akhir Maret lalu. Aku datang ke stasiun untuk membeli tiket pada H-2. Tiket habis. Ok, aku paham.

Kedua, pada libur long weekend Paskah pada awal April lalu. Aku datang ke stasiun pada H-3. Tiket habis. Ok, aku paham. Lain kali aku harus datang lebih awal lagi.

Sampailah pada hari Rabu kemarin tanggal 9 Mei atau H-7 sebelum rencana keberangkatan. Aku datang ke stasiun Kiaracondong pada pukul 7.30 dan berencana untuk membeli tiket KA Kahuripan untuk keberangkatan tanggal 16 Mei. Antrian cukup panjang ketika itu. Aku termasuk berada di antrian tengah-tengah. Mungkin ada sekitar 12-15 orang yang antri di depanku. Nah, ketika sampai pada giliranku — waktu menunjukkan pukul 8.05, aku pun memesan tiket KA Kahuripan. Tak dinyana, petugas mengatakan bahwa tiket KA Kahuripan sudah habis. Beliau menawarkan tiket KA Pasundan yang tentu saja tidak mungkin buatku untuk membelinya karena tidak sesuai dengan tujuan dan jam keberangkatan yang ku bisa.

Serius? Loket baru buka sekitar sejam, tapi tiket sudah habis. Ok, anggaplah  sekali perjalanan kereta membawa 6 gerbong penumpang yang masing-masing kapasitasnya 103 (CMIIW). Dikali 6 berarti ada sejumlah 618 kursi. Ok, mungkin aku mengabaikan fakta bahwa sistem ticketing ini sudah online di mana semua stasiun yang dilalui bisa melayani pemesanan tiket di saat bersamaan. Belum lagi pemesanan Indomaret, kantor pos, dan agen-agen. Tapi satu tiket pun masa tak tersisa di saat pemesanan dilakukan pada 1 jam setelah loket buka?

Yang bikin kesal, di luar stasiun ada saja calo-calo yang menawarkan tiket. Sebelumnya nggak pernah ada istilah kereta ekonomi itu dicaloin karena kapasitasnya yang ‘tak terbatas’. Kalau aku sih, lebih baik nggak pulang daripada harus beli tiket di calo. Toh, transportasi yang lain masih ada, walaupun tidak akan semurah naik kereta ekonomi. Hmm … mungkin lain kali harus menginap di stasiun kali ya biar bisa dapat antrian pertama.

Hari Keempat di KL: Jalan-Jalan Keliling KL

Mungkin agak heran kenapa langsung aku skip ke hari keempat. Tak banyak yang diceritakan tentang kegiatanku di hari ketiga karena hari itu seharian adalah untuk urusan “kerjaan”. Jalan-jalan sih iya, tapi untuk urusan “kerjaan”. Oh ya, di hari ketiga ini aku sempat mampir juga ke kota Dasanrama (bener begitu kan tulisannya?). Tentu saja masih  dalam rangka urusan “kerjaan”. 😛

Nah, di hari Sabtu ini, atau hari keempatku berada di Malaysia, aku dan Jiwo memutuskan untuk memanfaatkan waktu kami untuk jalan-jalan keliling Kuala Lumpur. Tujuan pertama kami adalah Muzium Negara alias National Museum. Dari Taman Jaya — stasiun terdekat kawasan tempat kami menginap — kami menumpang kereta LRT menuju KL Sentral.

Dari KL Sentral sempat bingung juga mau ke arah mana untuk menuju ke Muzium Negara.  Kami benar-benar buta arah. Untung ada GPS. Buka aplikasi Google Maps, dan rute jalan kaki menuju Muzium Negara pun digenerasi oleh aplikasi. Kami mengikuti rute yang telah ditunjukkan. Sebenarnya jarak point to point-nya nggak jauh. Tapi karena akses jalan yang tersedia memaksa kita harus memutar, jadi jarak tempuhnya pun menjadi lebih jauh. Walaupun lumayan juga jalan kaki lebih dari sekilo, nggak apa-apalah, yang penting nggak nyasar, hehehe. 😀

Gerbang Muzium Negara

Gerbang Muzium Negara

Biaya masuk ke dalam museum ini adalah RM 5 atau hampir Rp 15.000 per orang untuk turis asing. Cukup mahal memang. Harga tiket untuk turis lokal dan turis asing memang dibedakan. Kami yang WNI pun tentu saja masuk kategori turis asing.

Ruang D Muzium Negara

Ruang D Muzium Negara

Secara umum, ruangan museum ini dibagi menjadi 4 berdasarkan perjalanan waktu sejarah yang dialami Malaysia. Ruang A untuk zaman prasejarah. Ruang B untuk zaman kesultanan atau saat masuknya Islam ke tanah melayu. Ruang C untuk zaman penjajahan dan Ruang D untuk masa modern.

Dari cara penyajian menurutku kemasannya tidak monoton alias objeknya cukup variatif. Tidak hanya menampilkan miniatur-miniatur orang-orangan yang rasanya sudah umum selalu ada di tiap museum sejarah. Di muzium negara ini ada replika kapal perang, tahta kesultanan, sel tahanan, dll. Selain itu dari segi desain interiornya juga cukup menarik alias tidak monoton.

Dari berbagai objek yang ada di museum mungkin yang paling menarik buatku adalah yang terdapat pada ruang modern, khususnya memorabilia video perjuangan tim bulutangkis Malaysia kala menjuarai Piala Thomas tahun 1992. Mungkin karena aku suka bulutangkis kali ya.

Tapi ngomong-ngomong, ada nggak sih museum yang menampilkan sejarah Indonesia di era modern ini? Khususnya yang menampilkan prestasi-prestasi yang sudah diraih negara kita di kancah internasional di era modern ini. Tak hanya sejarah perpolitikan saja.

Oh iya, dari sisi konten yang ditampilkan, menurutku masih lebih kaya museum di Indonesia, khususnya museum Benteng Vredeburg yang ada di Yogyakarta. Di sana benar-benar komplet menyajikan kronologis sejarah Yogyakarta dari masa prasejarah hingga masa penjajahan.

Pasar Seni

Pasar Seni

Oke, cukup dengan jalan-jalan ke museumnya. Kami pun langsung menuju ke Pasar Seni alias Central Market. Kita hendak cari oleh-oleh di sini. Dari Muzeum Negara kami berjalan kaki. Lumayan capai juga sih, jaraknya ada lah sekitar 1 km lebih. Kami juga sempat menyeberangi stasiun Kuala Lumpur yang rancang bangunannya khas masa kolonial.

Kalau mau mencari oleh-oleh “berbau” Malaysia yang murah, di Pasar Seni lah tempatnya.   Di sana banyak kios-kios yang menjual beraneka ragam souvenir Malaysia seperti gantungan kunci, miniatur Petronas, hiasan kulkas, kaos, dan kerajinan tangan lainnya.

Suasana di dalam Pasar Seni

Suasana di dalam Pasar Seni

Namanya juga pasar, kita bisa melakukan tawar-menawar di sana. Tapi, walaupun namanya pasar, kesan bersih tetap terjaga di lingkungan dalam Pasar Seni ini. Satu nilai positif untuk kita contoh.

Ada kejadian menarik waktu aku hendak membeli souvenir di salah satu toko di sana. Aku mencoba menawar dengan sok-sokan pakai aksen Melayu. Setelah beberapa percakapan, tiba-tiba Continue reading

Mudik Naik KA Kahuripan

Alhamdulillah, sampai juga di Sragen. Perjalanan Padalarang-Sragen dengan KA Kahuripan ini menghabiskan waktu 13 jam. Ya, pada lebaran kali ini aku memang nggak pulang ke Malang dahulu, tapi langsung mudik ke Sragen, tempat kediaman mbah.

Seperti yang sudah kuceritakan di postingan sebelumnya, aku baru mendapatkan tiket balik untuk tanggal 28/8. Dalam perjalanan mudik ini aku pergi sendirian. Kawan-kawan yang biasa bareng denganku naik Kahuripan sudah pada mudik duluan.

Karena sendirian itu, aku nggak bernafsu untuk dapat tempat duduk walaupun sebenarnya mudah. Tinggal berangkat lebih awal ke stasiun (sore hari misalnya) dan langsung mencari kursi yang masih kosong. Tapi duduk sendiri menunggu di dalam kereta tentu membosankan. Oleh karena itu, aku baru berangkat ke stasiun Padalarang saat menjelang Maghrib dengan menumpang KA Baraya Geulis (Rp5.000) dari stasiun Bandung. Perjalanan Bandung-Padalarang kurang lebih sekitar 20 menit.

Suasana stasiun Padalarang saat Maghrib

Suasana stasiun Padalarang saat Maghrib

KA Kahuripan baru berangkat pukul 20.00 dari stasiun Padalarang. Ketika aku sampai di sana sekitar pukul 6 sore lebih, kondisi kereta sudah penuh penumpang. Rasanya nggak ada kursi kosong yang tersisa. Aku pun memutuskan untuk menunggu keberangkatan kereta di peron stasiun sambil menikmati hidangan buka puasa yang kubeli di stasiun.

Sekitar 15 menit menjelang keberangkatan aku baru naik ke dalam kereta. Sebelum masuk pintu kereta, ada petugas polsuska yang memeriksa tiketku. Setelah itu, baru aku boleh naik.

Kondisi di dalam kereta ternyata sudah penuh sesak, terutama di bagian bordes kereta. Entah kenapa orang-orang sangat suka duduk di bordes kereta padahal dekat dengan toilet yang pesing dan menghalangi pintu masuk kereta. Aku sendiri akhirnya memilih berdiri di dekat pintu masuk (tengah) gerbong.

Salah satu tipsku ketika bepergian sendirian naik kereta ekonomi padat penumpang adalah mencari seorang teman yang kira-kira friendly untuk diajak mengobrol, lebih bagus kalau dia sama-sama bepergian seorang sendiri seperti kita atau sepantaran (sebaya). Perjalanan jauh yang memakan waktu seperti ini bisa boring juga kalau nggak ada orang yang diajak bicara. Teman baru kita itu terkadang juga akan membantu kita dalam menjaga barang atau memberikan tempat yang lebih lapang buat kita. Akan tetapi, kewaspadaan harus tetap ada.

By the way, setelah melalui perjalanan mudik kemarin aku jadi sangsi terhadap peraturan “maksimum penumpang sebesar 150% dari kapasitas normal” dapat mencapai tujuan peraturan itu–memanusiawikan penumpang kereta ekonomi. Kenyataan di lapangan, walaupun jumlah penumpang kereta sudah dibatasi, kereta tetap penuh sesak, bahkan lebih sesak dari biasanya–saat bukan lebaran. Bukan berarti aku tidak mendukung peraturan baru itu. Sangat mendukung malah. Kalau tidak dibatasi, bisa-bisa ada penumpang yang berada di dalam toilet, lokomotif, bahkan atap kereta seperti dulu.

Angka 150% itu sepertinya belum mempertimbangkan banyaknya barang yang dibawa oleh penumpang. Saat-saat arus mudik seperti ini dapat dipastikan barang-barang yang dibawa penumpang akan sangat banyak. Selain membawa tas yang berisi pakaian, biasanya mereka juga membawa kardus-kardus yang berisi oleh-oleh untuk keluarga di kampung halaman. Tempat menaruh barang yang tersedia tidak mencukupi. Akhirnya barang-barang ditumpuk di bawah yang ujung-ujungnya memakan tempat penumpang yang tidak kebagian tempat duduk.

Itu sih yang kuhadapi kemarin. Mau duduk saja susah, apalagi mau selonjor. Kaki pun terpaksa membengkak karena kurang aliran darah, hihi. Tiap kali duduk, harus berdiri lagi untuk memberikan jalan bagi pedagang asongan atau penumpang yang mau lewat. Beberapa kali aku mencoba tetap duduk saat ada orang mau lewat dengan harapan dia mengambil langkah tinggi untuk melangkahi kakiku. Tapi yang ada beberapa kali jari kaki ini kena injak, hiks hiks…

Ada yang Baru dengan Sistem Pengangkutan KA Ekonomi

Ada yang berbeda pada sistem pengangkutan penumpang kereta api (KA) ekonomi pada lebaran kali ini, dan mungkin juga berlaku untuk seterusnya. Yakni, adanya kebijakan batasan jumlah penumpang yang boleh diangkut untuk setiap gerbong sebesar 150% dari kapasitas normal.

Lebih jelasnya, ini dia sumber pengumuman peraturan baru tersebut. Poster yang ditempel di stasiun. Maaf fotonya blurry (kurang jelas).

Pengumuman PT KAI

Pengumuman PT KAI

Tampaknya banyak yang belum tahu kebijakan baru PT KAI ini. Banyak penumpang yang kecele dengan datang ke stasiun saat mendekati jam keberangkatan dan ternyata tiket yang dijual sudah habis. Wajar saja, selain karena kuota yang dibatasi, pemesanan tiket juga sudah bisa dilakukan sejak H-7 keberangkatan sehingga sangat kecil kemungkinannya calon penumpang bisa mendapat tiket beberapa saat menjelang keberangkatan. Mereka yang tidak mendapatkan tiket akhirnya terpaksa gagal mudik pada hari itu dan terpaksa kembali ke rumah.

Saya pun juga termasuk yang menjadi korban “gagal mudik” itu. Hari ini (Jumat, 28/8) sebenarnya saya berencana untuk mudik dengan KA Kahuripan jurusan Padalarang-Kediri. Saya sebenarnya tahu akan kebijakan baru tersebut, bahkan sebelumnya juga sudah memesan untuk keberangkatan hari Rabu tanggal 26/8. Tapi karena ada suatu urusan, saya terpaksa membatalkan perjalanan hari itu. Hari ini saya kelewat optimis bisa memperoleh tiket untuk mudik walaupun mepet dengan jam keberangkatan. Ternyata dugaan saya salah. Saya pun terpaksa untuk balik tanggal 28/8 (Minggu) karena tiket yang tersedia baru ada lagi mulai tanggal segitu.

Aturan lain yang juga baru diterapkan lebaran ini — sepanjang pengamatan saya di stasiun Padalarang tadi — adalah adanya pemeriksaan tiket sebelum keberangkatan di dalam kereta. Sejak awal sebelum kereta berangkat, kondektur bersama Polsuska melakukan pemeriksaan tiket penumpang di dalam kereta. Penumpang yang tak bertiket akan diturunkan dari dalam kereta. Begitu pula, calon penumpang yang baru akan naik juga sudah diperiksa oleh petugas di luar kereta. Ternyata cukup banyak juga penumpang tak bertiket yang terjaring dalam proses pemeriksaan itu. Di antaranya adalah seorang ibu-ibu. Beliau menarik perhatian para pengunjung stasiun karena menangis setelah diturunkan petugas dari kereta. Beliau sepertinya menangis gara-gara nggak bisa mudik hari itu karena kehabisan tiket, tapi tetap memaksa naik hingga akhirnya dipaksa turun petugas.

Heboh ibu menangis di stasiun Padalarang

Heboh ibu menangis di stasiun Padalarang

Sepertinya petugas KA memang benar-benar lebih ketat dalam menjalankan aturan daripada biasanya. Pemandangan penumpang yang tak bertiket hanya menyodorkan duit selembar 10 ribuan kepada petugas agar tidak diturunkan pernah secara langsung saya saksikan di atas KA Kahuripan ini. Mudah-mudahan upaya PT KAI untuk meningkatkan pelayanan KA Ekonomi dengan membuat beberapa perubahan sistem pengangkutan ini bisa secara konsisten dilakukan dan petugasnya memang berkomitmen untuk itu.

Lompat dari Kereta Api

Sore itu (Jumat, 11 September 2009) sekitar pukul 15.30 saya sedang melakukan presentasi mengenai materi praktikum PTI-C di hadapan para asisten di Comlabs. Saya agak terburu-buru waktu itu. Bagaimana tidak, waktu itu rencananya saya bersama teman-teman saya (maru, aden, dkk.) akan pulang kampung ke Malang dari stasiun Padalarang. Untuk ke stasiun Padalarang, kami akan naik KRD dari Stasiun Hall Bandung sekitar pukul 16.00. Namun, karena sudah tidak memungkinkan untuk mengejar pukul 16.00 tersebut, saya meminta agar mereka berangkat terlebih dahulu saja dan saya akan menyusul pada keberangkatan KRD berikutnya. Waktu itu saya mendapatkan kabar dari Maru bahwa kereta berikutnya adalah KRD Patas pukul 17.30 dan KRD ekonomi pukul 18.30. Waktu itu saya manut saja. Akhirnya, setelah saya menyelesaikan presentasi sekitar pukul 15.45, saya pun langsung kembali ke kontrakan dan kemudian berangkat ke stasiun Hall.

Sampai di stasiun Hall saya bertanya kepada bapak penjual karcis KRD, kereta apa yang ke Padalarang dan jam berapa berangkatnya. Bapaknya bilang kalau KRD Patas yang ke Padalarang datang sebentar lagi. Saya pun buru-buru membeli karcis tersebut. Kemudian melalui pintu pemeriksaan karcis. Di sana saya bertanya ke pak satpam keretanya datang di jalur berapa. Kata bapaknya di jalur 3. Eh, waktu saya masuk, tiba-tiba datang KRD dari arah timur menuju barat. Saya pun otomatis berpikir bahwa kereta tersebut akan melanjutkan perjalanan ke arah barat (Padalarang). Saya pun segera menaikinya. Singkat cerita

Bermalam di Stasiun Kereta

Pengalaman ini terjadi pada tanggal 26 September 2008 yang lalu. Hari itu merupakan hari terakhir kuliah sebelum libur lebaran. Aku udah berencana pulang kampung ke Malang malam itu juga bersama Aden (anak IF alumni SMA 1 Malang) dan Irul (anak Banyuwangi yg juga mau ikut ke Malang) naik KA ekonomi Kahuripan jurusan Bandung-Kediri. Alasan kenapa aku memilih naik KA ekonomi sih simpel aja, pingin naik yang murah. Cukup dengan Rp 38 ribu bisa nyampe Kediri plus Rp 14 ribu naik bis Kediri-Malang itu murah banget. Bandingin dengan kereta bisnis Bandung-Surabaya yang harga tiketnya Rp 210 ribu, belum tiket buat ke Malangnya!!

Jam 7 malam kami bertiga berangkat dari kampung Cisitu menuju Stasiun Kiaracondong. Nyampai di sana kami sholat Isya’ dulu di masjid permukiman deket situ. Setelah sholat, kami beli makan di warung deket stasiun. Selesai makan kami langsung ke stasiun. Waktu telah menunjukkan sekitar pukul 20.00 atau kurang 25 menit-an lagi kereta datang. Kami menunggu di deket jalur 6 karena keretanya biasa berhenti di situ. Kami juga udah menanyakannya ke seorang petugas.

“Ting..tung…teng..tong..kereta ekspres malam kahuripan akan segera masuk jalur 3. Para penumpang harap menyiapkan diri.” kata petugas stasiun melalui pengeras suara. Dierr!! Jalur 3? wah berarti harus nyebrang rel dong…! Akhirnya kami bertiga dan tentu saja penumpang yang lainnya berlarian pindah ke tepi jalur 3. Rangkaian kereta di jalur 5 yang menghalangi jalan kami pun gak kami hiraukan. Kami terpaksa mbrowot (baca: menerobos lewat bawah) bawah kereta tersebut untuk mencapai jalur 6. Tau ndiri kan gimana kotor dan baunya rel kereta api…

Akhirnya KA Kahuripan datang juga… Tetapi perasaan mulai gak enak. Kereta udah penuh sesak penumpang. Sementara yang mau naik ada ratusan orang lagi. Wah, jangan2 aku gak bisa keangkut nih… Ternyata benar! Kereta udah gak bisa dimasukkin lagi. Pintu-pintu udah ditutup. Lokomotif jg penuh dengan orang-orang yang bergelantungan. “Nyerah aja deh…” kataku dalam hati. Apalagi petugas stasiun juga bilang, “Penumpang yang tidak dapat memasuki kereta jangan memaksa. Anda kami persilahkan naik kereta berikutnya KA Pasundan jam 6 pagi atau yang jam 9 pagi besoknya. Tiket tidak perlu beli lagi.”

Singkat cerita, aku, aden, dan irul pun akhirnya menunggu kedatangan KA Pasundan yang keberangkatannya jam 6 pagi. Kami mengisi waktu sambil tiduran di lantai stasiun. Wuihh,,, dingin sekali malem itu. Tapi si aden bisa tidur nyenyak. Aku sendiri nggak bisa tidur pulas karena harus tetep waspada njaga barang2.

Kereta yang dinanti pun telah tiba di stasiun kiaracondong tepat jam 2 pagi. Tidak hanya kami rupanya. Ternyata udah ratusan orang yang menunggunya. Padahal keberangkatan masih 4 jam lagi. Kira-kira pukul 3 pagi kereta udah benar-benar tidak menyisakan tempat duduk kosong lagi mungkin. Kami pun gak beranjak dari kursi karena takut direbut orang. Kami pun sahur dan sholat shubuh di kereta.

Tepat pukul 6.15 kereta berangkat dari stasiun kiaracondong. Keadaan kereta udah bener-bener penuh sesak. Susah sekali untuk berjalan di dalam kereta. Aku membayangkan bakal kayak gimana perjalanan sampe ke surabaya kalau keadaannya kayak gitu terus. Udah penuh sesak, panas, puasa-puasa lagi. Belum selama perjalanan nambah penumpang terus. Makanya untuk menghilangkan bayangan tersebut, aku tidur aja. Biar gak kerasa perjalanannya. Selain itu juga untuk menghindari godaan orang-orang yang jualan makanan atau minuman. Tapi yang namanya tidur di perjalanan pasti ada keadaan di mana kita terjaga untuk beberapa saat kemudian tertidur lagi, begitu berulang-ulang.

Nggak terasa pukul 16.00 kereta udah berhenti di Jogja. Suasananya lebih longgar lah… Kami mulai bisa menikmati perjalanan. Sampai di Solo tepat adzan Maghrib. Kami pun buka di sana. Beli nasi gudheg yang lewat. Nggak taunya udah mau basi. Tapi apa daya, perut laper, nggak peduli ah…

Selepas dari Solo semakin longgar saja nih kereta. Kami bisa pindah-pindah tempat. Hari pun semakin gelap. Ternyata ada masalah sama lampu di gerbong kami. Sering nyala hidup sendiri. Ah, lebih baek tidur aja….

Pukul 12 malam akhirnya kereta merapat di stasiun Surabaya Gubeng. Akhirnya kami sampai juga… Kemudian kami langsung sholat maghrib & isya’ dijama’. Habis tu tidur di kursi stasiun nunggu jam 3 pagi. Jam 3 pagi kami keluar stasiun nyari makanan buat sahur. Akhirnya makan masakan Jawa Timuran lagi. Lidah ini dah kangen rasanya. Setelah sahur kami nunggu shubuh di masjid deket stasiun gubeng sama sekalian sholat.

Setelah sholat shubuh, kami langsung kembali ke stasiun lagi. Beli tiket KA penataran ke Malang yg pukul 4.45. Gilaaa,,, ternyata udah banyak orang yang mau naek… Untungnya kami pun bisa terangkut. Sempet terjadi perang mulut sih sama petugas stasiunnya yang maksa kami untuk terus masuk ke tengah gerbong. Tapi aku duah mentok sampai di kursi urutan ketiga dari pintu gerbong. Habis tu gak bisa maju lagi. Untungnya orangnya lama-lama juga paham. Kereta pun berangkat. Dalam perjalanan anggota badan ini udah nggak ada ruang gerak lagi. Akhirnya aku sampai di Stasiun Belimbing, Malang jam 8 pagi.