Tag Archives: sragen

Mudik Naik KA Kahuripan

Alhamdulillah, sampai juga di Sragen. Perjalanan Padalarang-Sragen dengan KA Kahuripan ini menghabiskan waktu 13 jam. Ya, pada lebaran kali ini aku memang nggak pulang ke Malang dahulu, tapi langsung mudik ke Sragen, tempat kediaman mbah.

Seperti yang sudah kuceritakan di postingan sebelumnya, aku baru mendapatkan tiket balik untuk tanggal 28/8. Dalam perjalanan mudik ini aku pergi sendirian. Kawan-kawan yang biasa bareng denganku naik Kahuripan sudah pada mudik duluan.

Karena sendirian itu, aku nggak bernafsu untuk dapat tempat duduk walaupun sebenarnya mudah. Tinggal berangkat lebih awal ke stasiun (sore hari misalnya) dan langsung mencari kursi yang masih kosong. Tapi duduk sendiri menunggu di dalam kereta tentu membosankan. Oleh karena itu, aku baru berangkat ke stasiun Padalarang saat menjelang Maghrib dengan menumpang KA Baraya Geulis (Rp5.000) dari stasiun Bandung. Perjalanan Bandung-Padalarang kurang lebih sekitar 20 menit.

Suasana stasiun Padalarang saat Maghrib

Suasana stasiun Padalarang saat Maghrib

KA Kahuripan baru berangkat pukul 20.00 dari stasiun Padalarang. Ketika aku sampai di sana sekitar pukul 6 sore lebih, kondisi kereta sudah penuh penumpang. Rasanya nggak ada kursi kosong yang tersisa. Aku pun memutuskan untuk menunggu keberangkatan kereta di peron stasiun sambil menikmati hidangan buka puasa yang kubeli di stasiun.

Sekitar 15 menit menjelang keberangkatan aku baru naik ke dalam kereta. Sebelum masuk pintu kereta, ada petugas polsuska yang memeriksa tiketku. Setelah itu, baru aku boleh naik.

Kondisi di dalam kereta ternyata sudah penuh sesak, terutama di bagian bordes kereta. Entah kenapa orang-orang sangat suka duduk di bordes kereta padahal dekat dengan toilet yang pesing dan menghalangi pintu masuk kereta. Aku sendiri akhirnya memilih berdiri di dekat pintu masuk (tengah) gerbong.

Salah satu tipsku ketika bepergian sendirian naik kereta ekonomi padat penumpang adalah mencari seorang teman yang kira-kira friendly untuk diajak mengobrol, lebih bagus kalau dia sama-sama bepergian seorang sendiri seperti kita atau sepantaran (sebaya). Perjalanan jauh yang memakan waktu seperti ini bisa boring juga kalau nggak ada orang yang diajak bicara. Teman baru kita itu terkadang juga akan membantu kita dalam menjaga barang atau memberikan tempat yang lebih lapang buat kita. Akan tetapi, kewaspadaan harus tetap ada.

By the way, setelah melalui perjalanan mudik kemarin aku jadi sangsi terhadap peraturan “maksimum penumpang sebesar 150% dari kapasitas normal” dapat mencapai tujuan peraturan itu–memanusiawikan penumpang kereta ekonomi. Kenyataan di lapangan, walaupun jumlah penumpang kereta sudah dibatasi, kereta tetap penuh sesak, bahkan lebih sesak dari biasanya–saat bukan lebaran. Bukan berarti aku tidak mendukung peraturan baru itu. Sangat mendukung malah. Kalau tidak dibatasi, bisa-bisa ada penumpang yang berada di dalam toilet, lokomotif, bahkan atap kereta seperti dulu.

Angka 150% itu sepertinya belum mempertimbangkan banyaknya barang yang dibawa oleh penumpang. Saat-saat arus mudik seperti ini dapat dipastikan barang-barang yang dibawa penumpang akan sangat banyak. Selain membawa tas yang berisi pakaian, biasanya mereka juga membawa kardus-kardus yang berisi oleh-oleh untuk keluarga di kampung halaman. Tempat menaruh barang yang tersedia tidak mencukupi. Akhirnya barang-barang ditumpuk di bawah yang ujung-ujungnya memakan tempat penumpang yang tidak kebagian tempat duduk.

Itu sih yang kuhadapi kemarin. Mau duduk saja susah, apalagi mau selonjor. Kaki pun terpaksa membengkak karena kurang aliran darah, hihi. Tiap kali duduk, harus berdiri lagi untuk memberikan jalan bagi pedagang asongan atau penumpang yang mau lewat. Beberapa kali aku mencoba tetap duduk saat ada orang mau lewat dengan harapan dia mengambil langkah tinggi untuk melangkahi kakiku. Tapi yang ada beberapa kali jari kaki ini kena injak, hiks hiks…

Advertisement