Tag Archives: masa kuliah

Akhirnya, ‘Sesuatu yang Tertunda’ itu …

Setelah sempat ‘tertunda’ selama hampir 10 bulan, ‘sesuatu’ itu akhirnya terjadi juga hari ini, Sabtu , 14 Juli 2012. Iya, alhamdulillah … akhirnya aku diwisuda juga!! 😀

Sungguh sebuah penantian panjang yang kualami. Ya bagaimana tidak, setahun lalu aku melaksanakan sidang dan euforia akan menjadi sarjana sudah kurasakan. Namun semua berubah ketika negara api menyerang, eh, berubah ketika aku tersangkut satu mata kuliah yang nilainya berubah dari T menjadi E. Itu terjadi karena miskomunikasi antara diriku dengan sang dosen. Akibatnya jumlah SKS-ku tak mencukupi untuk lulus S1. Aku pun terpaksa mengambil kuliah lagi di semester 2 tahun ajaran 2011/2012. Kenapa tidak semester 1-nya? Sebabnya, aku sudah terlanjur mengambil 0 SKS.

Mungkin wisuda ini hanya formalitas bagiku. Namun, walaupun euforia kelulusan ini tak kurasakan, tapi aku sungguh bersyukur akan berakhirnya penantian panjang ini. Sedih juga sih melepas status mahasiswa itu. Oh man … kalau dipikir-pikir banyak juga resolusiku — yang kucanangkan ketika mengawali status mahasiswa — yang belum/tidak tercapai hingga akhir status mahasiswaku ini.

Tapi setidaknya aku tak gamang lagi menjawab pertanyaan “Lagi sibuk apa sekarang?”. Dulu mau menjawab sudah kerja, tapi masih kuliah. Mau menjawab masih kuliah, tapi sudah sidang dan juga sedang bekerja. Ah, jadi harus menjelaskan lagi ke si penanya.

Kalau banyak bilang masa paling indah adalah masa SMA, mungkin itu tepat. Tapi masa menjadi mahasiswa (S1) adalah masa yang tak tergantikan. Memang sukses tidaknya perjalanan hidup ini tidak ditentukan oleh seberapa suksesnya diri ini di S1, tapi di sinilah kita benar-benar ditempa, merasakan manis-pahitnya hidup.

Ya, gelar sarjanaku ini kupersembahkan untuk kedua orang tuaku yang sudah banyak berkorban bagi anaknya, tiada henti mendoakan yang terbaik bagi anaknya siang dan malam, dan yang dengan sabar menantikan kelulusan anaknya ini.

Bersama orang tua tercinta

Bersama orang tua tercinta

Ya Allah … terima kasih atas karunia-Mu ini. Semoga gelar sarjana ini tak menjadi sia-sia. Semoga hamba-Mu ini bisa mengamalkan ilmu yang telah diperoleh. Amin. Bismillah!

Advertisement

Menulis Diary

Hari ini ketika aku pulang ke rumah orang tua di Malang, iseng-iseng aku merapikan buku-buku di kamarku. Buku-buku yang kugunakan sewaktu ku sekolah dulu. Ya, sampai sekarang aku memang masih menyimpan buku-buku sekolahku. Bisa dibilang aku ini termasuk tipe orang yang sangat menghargai memori. Setiap benda yang berbau kenangan, hampir dipastikan masih kusimpan dengan rapi. Tak terkecuali buku diary.

Semenjak kelas 2 SMP hingga SMA, aku memang memiliki hobi menulis diary. Faktor utama pendorongku adalah karena ikut-ikutan kakak sepupuku — yang kebetulan saat itu kuliah di Malang dan tinggal sekamar denganku — yang juga biasa menulis diary. Saat itu aku melihat menulis diary adalah solusi untuk menuangkan ide-ide atau curahan hati yang ada di pikiranku saat itu.

Namun, sebenarnya saat SD kelas 6 pun aku di sekolah dalam pelajaran bahasa Indonesia juga sudah mendapatkan pengajaran tentang menulis diary. Aku masih ingat betul ketika guruku mengatakan bahwa kita mungkin bisa berbohong kepada orang lain tapi tidak kepada buku diary. Beliau mencontohkan sebuah kasus dugaan pidana korupsi yang menimpa salah satu direktur — saya lupa direktur apa — di Malang. Pengadilan kesulitan menemukan bukti yang menyatakan dia bersalah. Tapi pihak yang berwenang menemukan sebuah tulisan direktur itu dalam sebuah buku — yang ternyata merupakan buku diary-nya — yang berisi curhatan dia setelah melakukan korupsi. Sayangnya, buku diary tidak bisa dijadikan barang bukti karena tidak bisa dipertanggungjawabkan. Padahal, seperti kata guru saya tadi, seseorang hampir dipastikan tidak akan pernah berbohong dalam menulis diary.

Apa yang dikatakan oleh guruku itu ternyata memang kurasakan ketika menulis diary. Kecuali dalam kasus di mana kita menulis diary untuk konsumsi ‘publik’. Dalam arti, kita tidak menutup kemungkinan untuk mempersilahkan orang lain untuk membaca buku diary kita. Kalau memang seperti itu, besar kemungkinan kita akan menutup-nutupi beberapa fakta yang kita tidak ingin orang lain tahu.

Ketika membaca-baca buku diary-ku itu, aku cuma bisa tersenyum-senyum. Yap, kebanyakan yang aku tulis dulu memang tentang cinta monyet khas anak sekolah, eaaa … pengalaman jatuh cinta kepada seorang perempuan di sekolah, hehehe. Namun, tidak hanya itu, dalam buku diary itu aku juga banyak bercerita tentang kegiatan yang kujalani hari itu, interaksi dengan teman-teman, serta perjuangan menembus SMA favorit hingga PTN favorit. Kalau membaca tulisan-tulisan itu, jadi bisa merasakan lagi suasana sekolah dulu. Masa sekolah memang masa-masa yang indah.

Masa kuliah sebenarnya juga lebih indah walaupun tekanan yang dirasakan lebih berat. Karena pada masa kuliah itu, kesempatan untuk mengaktualisasi diri dan berkarya terbentang luas. Sayang, setelah lulus SMA, aku berhenti untuk menulis diary. Ya, mungkin karena sudah ada blog ini walaupun sebenarnya tak bisa disamakan antara diary dan blog, hahaha. Menulis blog kan bersifat publik, sementara menulis diary bersifat privat.