Catatan Perjalanan Semarang-Dieng-Yogya (Bagian 3): Dari Dieng ke Kraton

Hari 3: Senin, 24 Desember 2012

Aku tiba-tiba terbangun dari tidur karena mendengar kaset lantunan ayat suci Al-Qur’an dari masjid yang memang berada persis di depan penginapan kami. Jam menunjukkan pukul 3.45. Aku langsung membangunkan anak-anak yang lain. Ya, rencananya kami memang ingin melihat sunrise pagi itu. Bukan di sikunir, tapi di sebuah bukit — aku lupa namanya — yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap.

Rencananya kami akan dipandu oleh guide dari penginapan ini. Tapi penginapan tampak sepi. Sepertinya orang-orang masih terlelap, termasuk mas yang akan menjadi pemandu kami.

Akhirnya, seusai melaksanakan sholat Subuh, kami putuskan untuk berjalan saja sendiri tanpa ada pemandu dengan berbekal GPS. Setelah kurang lebih satu jam berjalan kaki, kami akhirnya sampai ke suatu lembah di mana tak ada terusan jalan lagi.

Akhirnya kelihatan matahari

Akhirnya kelihatan matahari

Kami pun sadar bahwa kami telah salah jalan. Mau balik, lagi tidak mungkin. Kami pun menikmati alam yang ada saja di hadapan kami. Dari tempat kami ini, matahari tidak dapat terlihat karena terhalang oleh bukit di hadapan kami. Harus menunggu matahari berada di posisi yang agak tinggi baru bisa terlihat.

Ya sudah, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke penginapan. Namun, lagi-lagi seperti kemarin, karena kurang kerjaan, aku ‘menuntun’ jalan anak-anak dengan melalui ladang kentang penduduk. Sempat khawatir ditegur warga sih seperti pengalaman di Desa Cemoro Lawang, Bromo, kemarin, hehehe.

Melewati ladang kentang

Melewati ladang kentang

Niatnya sih, kami bisa berjalan melewati ladang-ladang itu untuk sampai di Telaga Warna. Sial, ternyata ada pagar kayu yang membatasi akses ke sana dari ladang. Terpaksa kita mencari jalan lagi ke jalan utama.

Kami pun akhirnya kembali lagi ke jalan yang kami lalui sebelumnya. Kami menyempatkan berfoto-foto dahulu di Dieng Plateau Theater (DPT). Oh ya, di depan DPT itu terdapat situs  geotermal milik Pertamina. Tidak hanya di depan DPT ini saja ternyata. Di beberapa tempat lain di Dieng ini juga. Sepertinya Dieng memang menyimpan potensi panas bumi yang tinggi.

Situs Geotermal PT Geo Dipa Energi

Situs Geotermal PT Geo Dipa Energi

Kamal dan Khairul, depan DPT

Kamal dan Khairul, depan DPT

Dari DPT, kami kemudian mampir ke Telaga Warna. Tiket masuk 6000 per orang. Konon sih katanya telaga ini memiliki beberapa warna yang bisa berubah-ubah karena pengaruh cahaya matahari. Ah, teuing … yang jelas waktu di sana kami hanya melihat satu warna, yaitu hijau saja.

Telaga Sarangan

Telaga Sarangan

Lokasi wisata Telaga Warna ini cukup teduh dan sejuk. Banyak pepohonan di sekeliling telaga. Kami jalan-jalan menjelajahi tempat wisata itu. Selain Telaga Warna, juga ada dua telaga lain — aku lupa namanya — dan beberapa goa.

Salah satu patung yang ada di Telaga Sarangan

Salah satu patung yang ada di Telaga Sarangan

Namun kami agak kecewa karena yang disebut ‘goa’ itu tak seperti bayangan kami tentang goa pada umumnya. Goa-goa yang ada di sana hanya berupa “mulut”-nya saja, yakni cekungan ruang yang tak seberapa dalam.

Di Telaga Warna ini kami juga berdiskusi mengenai rencana tujuan kami berikutnya. Kami menimbang-nimbang kemungkinan alokasi waktu yang tersedia sampai keesokan harinya menjelang kepulangan ke kota masing-masing. Akhirnya, diputuskan pokoknya kami ke Jogja dulu saja dan melihat apa yang bisa kita lakukan di sana.

Telaga Sarangan

Telaga Sarangan

Dari Telaga Sarangan kami langsung kembali ke penginapan kemudian packing sambil gantian mandi. Brrrr… Air kamar mandi pagi itu benar-benar super dingin. Padahal sudah jam 9 pagi yang matahari di luar mulai memberikan kehangatan.

Setelah beres-beres dan selesai mandi, kami sarapan dulu di warung makan di dekat kantor kecamatan Dieng. Setelah itu, kami langsung menyegat mikro bus jurusan Wonosobo.

Perjalanan Dieng-Wonosobo ini terasa lebih cepat daripada Wonosobo-Dieng. Mungkin karena faktor jalan yang menurun dan penumpang yang naik-turun tidak terlalu banyak. Hanya sejam kira-kira perjalanan.

Di Wonosobo kami sempat menunggu lama bus untuk lanjut ke Jogja. Bukan karena busnya nggak lewat-lewat, tapi karena galau mau naik bus yang mana. Malah sempat kepikiran untuk naik travel saja, tapi ternyata sudah habis. Akhirnya kami naik mikro bus tujuan Magelang. Menyesal kami naik mikro bus ini, karena ternyata mikro bus ini jalannya muter-muter masuk ke “pelosok-pelosok”, alias bukan melalui jalan utama. Harusnya kami lebih memilih naik bus besar ke Secang, lalu oper bus ke Jogja.

Dari Magelang kami oper bus ke Jogja. Kami tiba di terminal Jombor hampir pukul 5 sore. Kemudian kami sholat jama’ takhir dhuhur dan ashar di sana. Setelah itu, kami langsung menuju halte bus TransJogja di terminal Jombor itu. Tujuan kami berikutnya adalah daerah Gejayan untuk mengambil motor rentalan. Neo yang merekomendasikan ke tempat rental di daerah sana karena dia sudah pernah sebelumnya.

Lama juga kami menunggu bus TransJogja ini. Kami baru dapat bus pukul 18.15 dan tiba di Gejayan sekitar pukul setengah 7. Langsung kami menuju tempat rental yang berada di dekat Hotel Plaza Yogyakarta. Kami menyewa 3 motor karena kami berenam. Tarif sewa per motor per harinya 60 ribu. Itu adalah harga musim liburan. Kata Neo, biasanya sekitar 45 ribu.

Setelah dapat motor, kami langsung pergi menuju rumah tempat kami akan menginap malam itu. Yakni di jalan Langenastran, kawasan dalam benteng keraton. Kebetulan om-ku punya sebuah rumah di sana. Sebenarnya rumah itu untuk disewakan sih. Tapi karena kebetulan malam itu lagi kosong, melalui ibuku, aku minta tolong untuk “pinjam” rumah untuk semalam saja ke om-tante, hehehe. Alhamdulillah dapat.

Oh ya, buat rekan-rekan pembaca yang ingin main-main ke Jogja, dan membutuhkan guest house untuk menginap, rumah om-tante ane ini boleh dipertimbangkan, hehe. Kalau mau lihat detailnya, bisa baca dan lihat di sini »  http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-vacation-rentals/guest-house/griya-langen/. #promosi 😀

Setelah menaruh tas-tas dan barang-barang kami di kamar masing-masing, kami mengobrol-ngobrol dengan tanteku mengenai rencana kami keesokan harinya di Jogja. Meminta pertimbangan waktu dan lokasi yang akan menjadi tujuan kami besok. Akhirnya kami memutuskan besok pagi ke Pantai Parangtritis saja, mengingat jarak tempuh yang tidak terlalu jauh dibandingkan pantai-pantai di Gunungkidul.

Setelah rencana keesokan harinya fix, kami pamit kepada tante kami untuk keluar mencari makan. Kami makan malam di alun-alun dalam benteng kraton. Malam itu, suasana alun-alun sedang ramai sekali. Mungkin karena malam natal. Di alun-alun bertebaran area tempat makan lesehan. Selain itu, banyak “wahana” hiburan yang bisa kita pilih untuk bersenang-senang bersama keluarga atau teman. Ada sepeda tandem, becak-becakan, “mobil” hias, dsb.

Kami sendiri setelah makan malam, ikutan menyewa “mobil” hias yang ada di sana. “Mobil” ini dikendarai dengan dikayuh berama-ramai. Tapi, tetap ada yang berperan sebagai sopir yang memegang kemudi. Kami menyewa “mobil” yang muat berenam. Tarifnya 40 ribu untuk satu putaran mengitari alun-alun ini. Sayang euy, aku nggak sempat mengabadikan momen itu, padahal seru banget, hahaha. Untung si Rizky sempat merekam momen itu dalam sebuah video.

Ini dia videonya. Oh ya, video ini nggak cuma berisi momen waktu kami menaiki “mobil” hias itu sih, tapi momen di Dieng, dan Parangtritis keesokan harinya. 😀 (bersambung)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s