Catatan Perjalanan Semarang-Dieng-Yogya (Bagian 4-Tamat): Dari Pantai ke Lawang Sewu

Hari 4: Selasa, 25 Desember 2012

Subuh-subuh kami semua sudah bangun dari tidur. Kami sengaja bangun lebih pagi agar bisa mengejar sunrise di Pantai Parangtritis. Setelah sholat subuh, kami semua langsung cabut menuju Pantai Parangtritis dengan mengendarai motor sewaan. Jalanan sangat lengang pagi itu. Maklum, matahari saja belum menampakkan batang hidungnya.

Kurang lebih 40 menit perjalanan kami tempuh menuju Pantai Parangtritis. Jam masih menunjukkan sekitar pukul setengah 6 pagi. Walaupun demikian, suasana pantai sudah cukup ramai. Sepertinya ada rombongan anak sekolahan juga yang berkunjung ke pantai ini. Terlihat dari kaos seragam yang mereka kenakan. Selain orang-orang yang bermain ombak di pantai, ada juga orang-orang yang mengendarai ATV yang memang disewakan di sana.

Sunrise di Parangtritis

Sunrise di Parangtritis

Perlahan sinar matahari berangsur-angsur menerangi pantai selatan Bantul, DIY, ini. Pantai Parangtritis bukanlah pantai yang the best untuk menyaksikan sunriseArah datangnya sinar matahari di sana terhalang oleh tingginya tebing yang membentang di sisi timur pantai. Mungkin lain cerita dengan sunset. Sisi barat pantai terbentang luas tanpa penghalang. Walau demikian, tetap saja fenomena sunrise selalu memiliki pesonanya tersendiri.

Anak-anak bermain ombak

Anak-anak bermain ombak

Kios oleh-oleh di Parangtritis

Kios oleh-oleh di Parangtritis

Selama kurang lebih satu setengah jam kami bermain-main ombak di pinggir pantai ini. Ombak di Parangtritis ini memang terkenal cukup ganas. Kalau tidak hati-hati, apalagi berada hingga jauh dari bibir pantai, bisa-bisa tertarik ombak ke laut.

Kira-kira pukul setengah 8 lah kami mentas dari main air. Setelahnya, kami bersih-bersih diri. Sebelum pulang ke rumah, kami jalan-jalan sebentar menyusuri pantai dari ujung ke ujung.

Perjalanan pulang ke rumah dari Parangtritis ini terbilang cukup lancar. Yang ramai memang yang ke arah Parangtritisnya. Terlihat dari mulai berdatangannya bus-bus pariwisata.

Sempat ada musibah ketika motor yang dikendarai Rizky berboncengan dengan Kamal mengalami kebocoran di daerah Bantul sana. Kami berempat yang terlebih dahulu sampai di rumah harus menunggu mereka terlebih dahulu.

Sekitar pukul 10 pagi kami semua cabut dari rumah dan berpamitan kepada tanteku untuk melanjutkan perjalanan ke Semarang. Tentu saja sebelumnya motor-motor ini kami kembalikan ke tempat rental.

Alhamdulillah kami masih sempat mengejar keberangkatan bus patas Ramayana ke Semarang yang dijadwalkan berangkat pukul 11.00 dari terminal Jombor. Alhamdulillah juga masih ada kursi yang tersedia untuk 6 orang.

Perjalanan Jogja-Semarang ini kurang lebih menempuh waktu sekitar 3 jam lebih sedikitlah. Kami turun persis di depan restoran “Soto Ayam dan Ayam Goreng Bangkong”, menjelang jalan tol — Banyumanik kalau nggak salah namanya.

Neo dan Luthfi pamitan untuk langsung cabut lagi menuju Stasiun Tawang karena mengejar keberangkatan kereta ke Jakarta pukul 4 sore. Sementara itu, tinggal kami berempat: aku, Kamal, Rizky, dan Khairul yang tak tahu mau lanjut ke mana.

Karena perut yang sudah keroncongan, akibat belum makan sejak terakhir kemarin malam, kami pun memutuskan untuk mampir makan siang dulu di rumah makan Soto Bangkong itu.

Ya, harus kubilang aku memang jatuh cinta pada Soto Semarang. Soto di rumah makan ini juga terbilang enak menurutku. Harganya juga tidak terlalu “mengejutkan”. Di rumah makan itu kami sekalian menumpang untuk sholat dhuhur dijama’ dengan ashar.

Sekitar pukul setengah 4 kami meninggalkan restoran. Tujuan berikutnya adalah Tugu Muda. Kami dua kali berganti kendaraan umum untuk sampai ke Tugu Muda itu. Di seberang jalan tempat kami turun sudah terlihat gedung Lawang Sewu yang berdiri megah.

Di depan Tugu Muda

Di depan Tugu Muda

Lawang Sewu

Lawang Sewu

Kami semua saling bertukar pandang seolah memberikan isyarat pertanyaan apakah kita mau masuk ke dalam ataukah cuma berfoto-foto di depan saja. Yah, karena kami memang sama-sama belum pernah masuk ke dalam, akhirnya ya kami putuskan untuk membayar tiket masuk saja dan melihat-lihat dalamnya Lawang Sewu. Apalagi, kami sudah kepalang basah mumpung di Semarang nih. 🙂

Di halaman tengah Lawang Sewu

Di halaman tengah Lawang Sewu

Tiket masuk per orang adalah 10 ribu ditambah tarif guide 30 ribu. Jadi total yang harus kami keluarkan berempat adalah 70 ribu. Guide ini wajib hukumnya. Tapi sepertinya kita bisa join dengan rombongan lain kalau mau — maksudnya rombongan lainnya yang mau atau nggak, hehe.

Tapi yang jelas, adanya guide ini sangat membantu. Namanya juga wisata sejarah. Dengan adanya guide yang menjelaskan seluk beluk sejarah bangunan dan berbagai hal di dalamnya, kunjungan kita jadi lebih bermanfaat. Ada pengetahuan yang bisa kita dapatkan juga. Selain itu, tentu kita tidak mau kan tersesat di dalam gedung Lawang Sewu ini, hihi.

Sayang, hanya gedung belakang saat itu yang bisa kami kunjungi. Gedung bagian depan sedang direnovasi sehingga kunjungan ke dalam sana untuk sementara tidak diperbolehkan.

Orbs?

Orbs?

Oh ya, ada yang menarik ketika sang guide mengantar kami berkunjung ke loteng Lawang Sewu. Beliau meminta kami untuk memotret salah satu sudut ruangan yang ada di sana. Lalu beliau menanyakan pada kami apakah terdapat bubble-bubble warna putih — biasa disebut dengan orbs — pada foto kami. Ternyata benar kata beliau. Di hasil jepretan kami terdapat orbs yang bertebaran.

Menurut beliau itu adalah energi yang memantul dari para “penunggu” yang menghuni loteng Lawang Sewu ini. Hmm … sebenarnya aku yakin bubble-bubble warna putih ini bisa dijelaskan secara ilmiah. Tapi aku juga nggak paham nih. Mungkin teman-teman yang ngerti fotografi atau orang fisika, ngertilah fenomena ini. Untuk lebih meyakinkan lagi, aku mencoba memotretnya berulang-ulang. Nyatanya, orbs tersebut lama-lama semakin berkurang.

Bersama guide di ruang bawah tanah

Bersama guide di ruang bawah tanah

Selain mengunjungi ruangan “di atas” tanah, kami juga mengunjungi sisi underground alias bawah tanah dari Lawang Sewu. Namun, untuk mengunjungi bawah tanah ini, pengunjung dikenakan biaya lagi sebesar 10 ribu per orang dengan alasan untuk penyewaan sepatu boots dan senter. Ditambah biaya 20 ribu sebagai jasa sewa guide bawah tanah itu. Hmm … kenapa nggak jadi satu saja sih, pikirku.

Penjara bawah tanah

Penjara bawah tanah

Sempat bimbang juga apakah kami mau lihat-lihat bawah tanah juga atau nggak. Rizky memutuskan untuk tidak ikut. Yang turun ke bawah akhirnya cuma aku, Khairul, dan Kamal, serta tentu saja dengan didampingi guide yang baru, yang memang khusus untuk ruang bawah tanah ini.

Secara umum, keberadaan ruang bawah tanah di Lawang Sewu ini pada masa Belanda adalah berfungsi sebagai pendingin ruangan di atasnya. Maklum, zaman dulu belum ada AC kan. Caranya adalah dengan menampung air di dalamnya saja, maka suhu di bawah ruang tanah ini akan semakin dingin, dan memberikan kesejukan pula di ruangan di atasnya. CMIIW.

Kamal iseng

Kamal iseng

Nah, pada masa penjajahan Jepang, fungsi ruangan ini berubah menjadi penjara bagi penduduk Indonesia yang menolak untuk menjadi romusha atau pihak-pihak yang melawan Jepang. Selain itu juga, beberapa ruangan dijadikan sebagai tempat untuk penyiksaan mereka.

Oh ya, jangan dibayangkan penjara di sini sama seperti penjara-penjara zaman sekarang yang mungkin biasa kita lihat di TV. Penjara-penjara di sana benar-benar tidak manusiawi. Ada yang cuma seukuran orang berdiri. Ada pula yang cuma seukuran orang berjongkok. Hmm… membayangkannya saja sudah terasa bagaimana pedihnya terpenjara di sana. Di ruangan bawah tanah pula yang udara bebas susah masuk ke dalam.

Di salah satu selasar

Di salah satu selasar

Setelah puas berkeliling dan berfoto-foto di Lawang Sewu, kami semua berjalan kaki menuju jalan Pandanaran untuk mencari oleh-oleh. Kata Si Dhana, teman kami yang orang Semarang, kalau mau mencari oleh-oleh, di sana banyak pilihan.

Setelah beli oleh-oleh — sebenarnya cuma RIzky saja sih yang beli :P, kami berpisah dengan Rizky. Ia harus cabut duluan karena travel jemputannya sudah akan tiba. Ia terpaksa naik travel karena memang sudah telat untuk memesan tiket kereta api.

Di depan kantor walikota Semarang

Di depan kantor walikota Semarang

Sekarang tinggal tersisa aku, Kamal, dan Khairul. Kami balik lagi ke arah jalan Pemuda. Di sepanjang jalan Pemuda ini terdapat banyak gedung pemerintahan. Kantor walikota Semarang salah satunya. Kami sempat berfoto di depan sana. Selain itu juga terdapat SMA 3 dan 5 Semarang.

Jadwal kereta kepulangan kami ke Bandung malam itu adalah pukul 20.30. Masih ada waktu sekitar 2 jam di Semarang. Kami menyempatkan mampir ke Toko Oen Semarang, juga masih berada di jalan Pemuda. Wow, di depan pintu Toko Oen ini dipasang logo TripAdvisor. Sepertinya mereka memasangnya karena menjadi salah satu tempat kuliner yang direkomendasikan di sana. Ini pertama kalinya aku ke Toko Oen. Yang di Malang saja aku belum pernah, hehe. Kalau aku pribadi kurang begitu cocok sih. Entahlah, kenapa si Khairul suka banget dengan menu Toko Oen.

Makan malam di Toko Oen itu — sebenarnya cuma makan es krim saja sih aku hihi — menutup rangkaian backpacking 4 hari 3 malam di Semarang, Dieng, dan Yogya. Benar-benar perjalanan yang geje, tak direncanakan, dan tak terduga. Semua dilalui secara spontanitas saat di perjalanan. Semuanya berawal dari gagalnya rencana ke Karimunjawa. Oke, buat teman-teman backpacker, moral dari kisah ini mungkin adalah untuk selalu siapkan plan B ketika bepergian. Haha, begini-begini tetap ada moral ceritanya, hehe. 😀 (tamat)

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s