Nonton Langsung Final Indonesia Open PSS 2011

Akhirnya keinginan untuk menonton langsung pertandingan bulutangkis kelas dunia kesampaian juga. Yap, hari Minggu kemarin aku bersama dua orang teman (Rizky IF’07 dan Pras EL’07) pergi ke Jakarta untuk menonton pertandingan final Djarum Indonesia Open Premiere Super Series (DIO PSS) 2011.

Kami berangkat dari Cisitu pukul 6 pagi kurang menuju stasiun Hall Bandung. Kami pergi ke Jakarta dengan menggunakan KA Argo Parahyangan yang berangkat pukul 6.30. Tidak beruntung bagi kami karena tiket dengan tempat duduk kereta saat itu telah habis. Kami pun terpaksa membeli tiket berdiri. Namun, kami sudah mengantisipasinya dengan membawa koran agar bisa duduk nyaman di bawah :).

Monas

Monas

Kurang lebih perjalanan Bandung-Jakarta Gambir yang kami lalui memakan waktu 3,5 jam. Dari stasiun Gambir kami berjalan kaki menuju Monumen Nasional (Monas). Oh, ternyata pagi itu ada event besar yang diadakan di sana. Entah acara apa. Di sana kami melihat ada banyak mahasiswa Trisakti, pelajar-pelajar sekolah Jakarta, dan ada para pejabat negara juga, salah satunya adalah Pak Boediono, wakil presiden RI saat ini.

Sempat berfoto-foto sejenak dan melihat aktivitas-aktivitas yang ada (sekitar setengah jam) di kawasan Monas, kami pun melanjutkan perjalanan lagi ke kawasan Gelora Bung Karno dengan menggunakan bus TransJakarta. Ini pengalaman pertamaku naik busway di Jakarta. Perjalanan menuju Gelora Bung Karno dari shelter Monas itu memakan waktu sekitar 20 menit.

Di senayan

Di senayan

Sampai di arena Gelora Bung Karno kami foto-foto lagi. Megah juga ya kawasan Gelora Bung Karno itu. Berbagai arena olahraga ada di sana. Jadi ingat politik mercu suar yang dijalankan oleh presiden Soekarno pada masa lalu. Dan Gelora Bung Karno ini adalah salah satu hasilnya.

Puas berfoto-foto, kami lanjut berjalan lagi ke Istora Senayan yang jaraknya cuma beberapa meter saja dari posisi kami saat itu. Tampak kerumunan orang sudah memadati kawasan Istora saat itu.

Planet Badminton

Planet Badminton

Kawasan Istora telah disulap menjadi sebuah arena hiburan yang dinamai dengan Planet Badminton. Baliho-baliho bergambar jagoan-jagoan bulutangkis Indonesia, stand-stand makanan/minuman, merchandise/souvenir, perlengkapan bulutangkis, hingga lapangan bulutangkis mini semua ada di ‘planet’ tersebut.

Antrian tiket

Antrian tiket

Sementara itu, di salah satu sudut arena Planet Badminton, tepatnya di depan ticket box tampak antrian para pengunjung yang ingin membeli tiket. Kami sendiri telah membeli tiket pertandingan final ini jauh-jauh hari secara online. Tapi, kami tetap harus mengantri di tempat penukaran tiket. Hanya saja, antriannya tidak sepanjang dan selama antrian di ticket box itu. Prosesnya lebih cepat dan tiketnya pun lebih murah :).

Tiket sudah di tangan, saatnya untuk jalan-jalan di arena Planet Badminton ini sekedar melihat-melihat atau mampir ke stand yang ada. Karena rasa haus mendera saat itu akibat cuaca yang panas, kami pun mampir ke salah satu stand minuman es yang ada di sana. Betapa kagetnya kami ketika tahu harganya. Tapi mau bagaimana lagi, kami sudah duduk dan ditawari menunya. Terpaksa deh beli minuman itu. Hiks, hiks, mahal sekali harganya.

Dari stand tersebut kami beranjak menuju gedung Istora Senayan. Kami mencari-cari mushola yang ada di Istora. Setelah berputar-putar, tanya sana-tanya sini, akhirnya ketemu juga musholanya. Kami menunaikan sholat Dhuhur (dijamak sekalian dengan Ashar) dulu sebelum menonton gelaran final DIO PSS 2011 hari itu.

Suasana di dalam Istora yang ramai sudah sangat terasa ketika kami tengah berada di dalam antrian masuk ke dalam gedung. Sorak sorai penonton begitu santer terdengar hingga keluar ruangan. Padahal tribun penonton saat itu masih belum penuh. Beberapa sektor masih tampak kosong. Hanya sektor utara-barat saja yang tampak sudah mulai padat.

Alamak… ternyata baru jam 1 siang. Pertandingan pertama baru dimulai pukul 13.30 atau setengah jam lagi. Terpaksa kami menunggu sambil duduk manis di tribun di tengah riuhnya para suporter Indonesia. Di tengah hall, tepatnya di dekat podium tempat ceremony juara, ada Judika, artis yang menghibur para supporter siang hari itu dengan membawakan beberapa lagu yang tak asing lagi bagi para suporter Indonesia.

Suasana Istora saat pukul 1 siang

Suasana Istora saat pukul 1 siang

The 1st battle : All Chinese Men’s Double Final

Tak terasa setengah jam terlalui. Pertandingan pertama pun siap-siap dimulai. Penonton bergemuruh ketika Cai Yun dan Fu Haifeng memasuki lapangan. Begitu pula ketika lawannya, kompatriotnya dari China, Chai Biao dan Guo Zhendong menyusul masuk ke lapangan. Dua-duanya masuk final DIO PSS 2011 ini setelah mengalahkan dua ganda putra Indonesia.

Benar-benar susah dipercaya, akhirnya aku bisa menonton langsung dari dekat permainan salah satu ganda putra favoritku, Fu Haifeng/Cai Yun, selain tentunya ganda Indonesia. Beruntung aku bisa melihat smash-smash pasangan itu, terutama jumping smash mereka yang notabene terkenal super kencang. Bahkan, Fu Haifeng sampai sekarang masih mencatatkan namanya dalam smash terkencang di dunia. Hmm.. kapan ya Indonesia bisa punya ganda-ganda putra kuat lagi seperti dulu ketika era Ricky-Rexy-Tony-Chandra-Sigit-Halim di mana tiga ganda kuat muncul dalam era yang beririsan Bahkan, walau partnernya ditukar-tukar pun, mainnya tetap masih jago.

Pertandingan ganda All Chinese Final itu akhirnya dimenangkan oleh Cai/Fu dengan skor yang cukup telak, 21-13 dan 21-12. Saat ini rasanya memang Cai/Fu pantaslah kembali menjadi ganda putra nomor 1 dunia. Ketangguhannya dalam bertahan dan agresivitasnya dalam menyerang memang bikin lawan sering mati kutu melawan mereka.

Cai/Fu vs Guo/Chai

Cai/Fu vs Guo/Chai

The 2nd battle : We want hat-trick

Pertandingan berikutnya, adalah final tunggal putri antara Saina Nehwal (India) melawan Wang Yihan (China). Pertandingan ini berjalan sangat seru ternyata. Padahal biasanya aku sering mengantuk kalau menonton pertandingan tunggal putri karena bakal sering adu reli saja. Tapi, kali ini aku benar-benar melihat langsung kehebatan Saina, yang notabene tidak berasal dari negara dengan tradisi bulutangkis.

Sepanjang pertandingan itu, suporter Indonesia ternyata memberikan dukungannya kepada Saina. Mereka secara kompak terus memberikan semangat kepada Saina. Di tengah-tengah sorak sorai suporter Indonesia ada beberapa sekitar belasan orang India (keturunan atau asli?) yang berteriak-teriak, “We want hat-trick, we want hat-trick, we want hat-trick, …”

Ya, jika Saina berhasil menang dalam pertandingan final ini, ia akan memperoleh gelar Indonesia Open ketiganya secara berturut-turut. Sayang, walaupun sempat menang di set pertama 21-12, Saina kalah di dua set berikutnya, 21-23 dan 14-21. Di set pertama dan kedua banyak mengumbar smash-smash kencang, di set penentuan Saina akhirnya kehabisan tenaga.

Saina Nehwal vs Wang Yihan

Saina Nehwal vs Wang Yihan

The 3rd battle : Battle of Veterans

Pertandingan ketiga adalah pertandingan antara Lee Chong Wei (Malaysia, 29 tahun) melawan Peter Gade (Denmark, 35 tahun). Bersama Taufik Hidayat (29 tahun) dan juga Lin Dan (28 tahun), keempatnya adalah pemain-pemain bulutangkis papan atas dunia saat ini. Mereka belum tergantikan hingga sekarang walaupun mulai memasuki usia senja bagi seorang pebulutangkis.

Khusus untuk Peter Gade, di usianya yang sudah 35 tahun ternyata dia masih mampu bersaing di level atas dengan selalu lolos hingga babak-babak akhir setiap turnamen, termasuk turnamen DIO PSS 2011 ini. Namun, di pertandingan final kali ini Peter Gade benar-benar dibuat tidak berdaya. Lagi-lagi dia harus kalah (dan telak lagi) dari Lee Chong Wei dengan skor 21-11 dan 21-7. Lee Chong Wei pun semakin menahbiskan dirinya sebagai tunggal pria terbaik dunia saat itu plus gelar juara ini menjadikannya orang ketiga yang bisa meraih hat-trick juara di Indonesia Open.

Permainannya siang itu benar-benar memukau. Aku dibuat kagum olehnya. Jumping smash kencang, tajam, dan terarah sering dipertunjukkannya. Sungguh skill kelas dunia. Aku beruntung bisa melihat permainannya secara langsung.

Ada pemandangan yang menarik menjelang dilakukannya ceremony penyerahan hadiah. Mereka berdua tiba-tiba mengganti kaosnya dengan kaos hitam yang bertuliskan Taufik Hidayat Arena. Ternyata kaos itu memang pemberian Taufik untuk mereka. Taufik Hidayat Arena sendiri merupakan nama gymnasium milik Taufik yang tengah dibangun dan menurut rencana akan rampung akhir 2011 ini. Kedua pemain itu diharapkan dapat ikut hadir saat pembukaan gymnasium tersebut.

Pemandangan menarik lainnya adalah setelah penyerahan hadiah dilakukan, Peter Gade tiba-tiba berlari keliling lapangan sambil memberikan penghormatan atau rasa terima kasih kepada para suporter Indonesia. Peter Gade memang memiliki kesan tersendiri setiap bermain di Indonesia. Hal itu terlihat dari membaca komentar-komentarnya yang dia tulis di Facebook. Sebelum meninggalkan lapangan, ia membuat kejutan dengan melemparkan raket Yonex Voltric 80 miliknya ke arah penonton. Wow, itu raket mahal. Minimal sekitar Rp1,7juta dari yang aku baca setelah searching di Google. Beruntung sekali penonton yang mendapatkannya. 😀

Peter Gade vs Lee Chong Wei

Peter Gade vs Lee Chong Wei

The 4th battle : The Giants vs The Surprising Pair

Akhirnya yang ditunggu datang juga. Sorak sorai pendukung Indonesia semakin membahana di dalam gedung Istora Senayan ini. Apalagi, Stenny Agustav, MC pertandingan final malam itu berhasil membawa penonton untuk semakin larut dalam euforia dukungan terhadap wakil Indonesia. Dia pun berhasil mengarahkan suporter kita untuk memeragakan body wave yang melibatkan semua suporter di seluruh tribun.

Kali ini yang bertanding adalah ganda putri wakil Indonesia, Vita Marissa/Nadya Melati, yang akan melawan ganda China, Wang Xiaoli/Yu Yang, yang merupakan ganda putri nomor 1 dunia. Vita Marissa memang wajah lama. Dia sudah malang melintang di jagad perbulutangkisan dunia. Di Indonesia Open ia terakhir juara pada tahun 2008 berpasangan dengan Liliyana Natsir. Tapi Nadya Melati? Namanya baru benar-benar populer setelah Indonesia Open ini. Pembawaannya yang agak nyentrik karena terlihat tomboi benar-benar menarik perhatian.

Sebelum turnamen ini berlangsung mereka adalah peringkat 18 dunia. Perjalanan mereka hingga ke final cukup mengejutkan karena mengalahkan beberapa unggulan, antara lain unggulan ke-4 dari Jepang (semifinal), mantan ganda putri no. 1 dunia dari Malaysia, unggulan ke-2 dari Taiwan (16 besar), dan ganda peringkat 15 dunia dari Jerman. Makanya sempat terbersit harapan mereka dapat menumbangkan ganda China ini di final. Apalagi ada faktor dukungan tuan rumah.

Namun, sang peringkat 1 dunia ternyata masih jauh lebih tangguh dari ganda putri kita. Ganda putri kita terpaksa harus menelan kekalahan cukup telak 12-21 dan 10-21. Di awal-awal set kita memang sempat memberikan perlawanan. Tapi ganda China itu dengan pengalamannya mampu mengatasi tekanan dan akhirnya unggul jauh.

Tapi salutlah buat ganda putri kita yang mampu melaju ke final meskipun harus berhadapan dengan berbagai pasangan unggulan. Good job, girls! Maybe, next time in World Championship you can get more!

Ganda putri sedang pemanasan

Ganda putri sedang pemanasan

The 5th battle : High hopes for the Indonesian pair

Suasana stadion semakin ramai. Bahkan, tribun penonton tampak sudah penuh sesak dengan para pendukung Indonesia. Yak, inilah pertandingan final paling dinanti pada hari itu, yakni partai ganda campuran, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir melawan ganda nomor 1 dunia dari China, Zhang Nan/Zhao Yunlei. Tontowi/Liliyana yang pada 3 turnamen yang mereka ikuti sebelum ini selalu menjadi juara secara berturut-turut, menjadi harapan tertinggi untuk menyelamatkan muka Indonesia dari kegagalan meraih gelar di kandang sendiri 3 tahun berturut-turut.

Di awal set pertama harapan tinggi masyarakat Indonesia itu tampaknya bakal terwujud karena Tontowi/Liliyana sempat unggul telak 8-1 dan menutup interval set pertama dengan 11-4. Tampak sekali memang ganda China ini agak grogi pada pertandingan final itu. Mungkin karena usia mereka masih muda dan baru pertama kali main di final Indonesia Open ini. Mungkin mereka kaget dengan atmosfer penonton yang luar biasa riuhnya.

Namun, secara perlahan ganda China ini mulai mengontrol pertandingan. Walaupun kalah di set pertama, mereka akhirnya mampu memberikan perlawanan ketat. Mereka kalah 20-22. Malang bagi pemain Indonesia. Set kedua dan ketiga terlihat sekali mereka bermain serba salah. Smash nyangkut di net, netting juga begitu, akhirnya kembalian sering tanggung dan disikat lawan.

Apalagi beberapa kali terjadi insiden yang menimpa pemain Indonesia. Bola yang seharusnya masuk malah dibilang out oleh linesman. Untung saja, sang umpire menggunakan kekuatannya untuk meng-overrule keputusan linesman. Tapi tetap saja insiden tersebut berpengaruh bagi pemain ganda kita. Konsentrasi mereka benar-benar buyar, terutama yang aku lihat sih Tontowi. Bahkan, ketika insiden itu, aku sempat melihat dia sampai memukul net. Wah, wah, memang sih seharusnya linesman ini fokus saja melihat garis, bukan ikut menonton pertandingan, biar lebih akurat keputusannya. 😀

Set kedua dan ketiga itu akhirnya dimenangkan oleh pemain China dengan skor 21-14 dan 21-9. Sempat ada kejadian lucu di tengah pertandingan. Tiba-tiba si Zhao bercengkerama dengan si Zhang. Dia seperti bilang, “Eh, ada tawon di belakangmu.” Terus, si Zhang sibuk mengusir ‘tawon’ itu dari dirinya dibantu si Zhao dengan ‘mesra’nya. Mereka berdua benar-benar tidak sadar kalau sedang diperhatikan oleh ribuan pasang mata. Beberapa penonton remaja pun berteriak, “Pacaran, pacaran, pacaran, …!” Penonton yang lain pun kesal dengan ulah mereka karena terlihat kalau mereka sedang mengulur-ngulur waktu menurunkan tempo dan memancing emosi pemain kita. 😀

Suasana stadion saat tengah pemanasan partai final ganda campuranYang sudah, ya sudah…

Sayang sekali saat pertama kalinya aku menonton langsung partai bulutangkis di stadion, aku malah tidak mendapati pemain Indonesia yang menang. Dengan atmosfer pertandingan final seperti ini, sepertinya sudah terbayang bagaimana atmosfer andai Indonesia yang menjadi pemenangnya.

Tapi overall, aku bersyukur bangetlah bisa melihat permainan bulutangkis kelas dunia ini secara langsung. Setidaknya aku belajar untuk mempraktekkannya walaupun cuma sama teman-teman. Dulu memang sempat ada cita-cita jadi pemain badminton sih waktu kecil. Tapi sayang di Malang nggak ada klub badminton yang ‘sungguhan’. Jadinya ya sekolah terus deh sampai kuliah sekarang. :mrgreen:

Kapan ya ada pertandingan internasional badminton lagi di Indonesia? Sepertinya event terdekat cuma SEA Games saja. Mudah-mudahan Lee Chong Wei ikutan main. 🙂

Balik ke Bandung

Keseluruhan pertandingan final hari itu resmi berakhir pukul 6 maghrib. Kami pun mulai beranjak untuk pulang. Dari Istora kami kembali naik busway menuju stasiun Gambir. Kereta yang akan kami tumpangi merupakan kereta terakhir ke Bandung malam itu, yakni berangkat pukul 20.25. Alhamdulillah, walaupun di tiket ada keterangan ‘Tiket tanpa tempat duduk’, kami ternyata beruntung malam itu, ada gerbong tambahan di belakang yang masih kosong. Jadilah kami bisa tidur terlentang di kursi-kursi yang kosong melompong itu. 😀

Leave a comment