Mendengar kata ‘Sabana’ yang terbayang di benakku pertama kali adalah suatu padang rumput yang amat luas di mana kuda-kuda berlarian di atasnya. Tetapi kini, kata ‘Sabana’ sudah berganti korelasinya menjadi ‘ayam goreng’! Ya, Sabana yang saya bicarakan di sini adalah franchise ayam goreng Sabana yang di daerah sekitar kos-kosanku (Cisitu) lagi digemari.
Tulisan ini saya buat bukan untuk mempromosikan franchise Sabana ini :D. Tetapi tiba-tiba saja saya ingin menulis tentang Sabana setelah tahu bahwa pemilik Sabana Cisitu menambah lagi outletnya beberapa hari yang lalu, yang juga masih bertempat di Cisitu.
Sempat terhenyak ketika ada seorang teman yang menulis sebuah note di Facebook mengenai keuntungan yang diperoleh franchise Sabana Cisitu dari hasil ‘wawancara’nya. Kata dia, dalam sehari Sabana Cisitu bisa meraih untung hingga Rp300.000. Wow! Kalau dikalikan selama sebulan, keuntungan yang diraih bisa sampai Rp9juta perbulan! Mungkin karena untung yang besar itu dan demi mendapatkan pasar yang lebih luas lagi, alasan pemilik Sabana Cisitu menambah outlet lagi.
Kalau dipikir-pikir, memang cukup wajar sih bisnis ayam goreng tersebut bisa sampai mendapatkan omzet yang tinggi di Cisitu. Tahu sendirilah, Cisitu merupakan basisnya para kosaners yang sebagian besar merupakan mahasiswa. Mahasiswa kan maunya yang praktis-praktis saja untuk urusan makan dan kalau bisa murah dan mengenyangkan.
Harga satu ayam goreng (bagian dada/paha atas) plus nasi di sana maksimal ‘cuma’ sampai Rp9000 per porsi. Kalau bagian sayap/paha bawah plus nasi, harganya Rp7000 saja. Harga tersebut bisa dikatakan masih cukup bersaing dengan harga ayam goreng di warung-warung makan sekitar Cisitu. Dengan cita rasa yang enak menurut saya (mirip rasa ayam goreng dari franchise restoran fast food terkenal dari Amerika sana) tentu pelanggan lebih memilih Sabana.
Melihat fenomena tersebut (baca: banyak mahasiswa yang mengkonsumsi ayam goreng (tidak hanya Sabana saja)), saya jadi kepikiran apakah itu pola makan yang sehat. Kata seorang teman yang sangat aware dengan menu makanan, ayam goreng itu memiliki kandungan kolesterol dan lemak yang tinggi. Dia sendiri pernah nggliyeng (diambil dari bahasa Jawa, apa ya bahasa Indonesianya?) setelah makan sampai 2 potong ayam langsung sekali makan. Kata dia itu akibat dia memakan makanan dengan kandungan kolesterol yang cukup tinggi. Hmm… saya cuma bisa mengangguk saja mendengar apa yang dia bilang. Mungkin anak gizi yang lebih tahu. 🙂
Intinya sih, menjadi anak kosaners urusan makan memang menjadi kendali kita. Oleh karena itu kita harus pandai-pandai mengatur menu makanan kita agar memenuhi kriteria 4 sehat 5 sempurna. Mengutip guyonan Loedroek ITB dulu, kalau perlu ‘4 sehat 5 sempurna plus plus’. Plus-plusnya apa ya? Saya lupa, silakan diterjemahkan masing-masing, hehehe.
Saya sendiri sering mengingatkan teman sekosan saya agar tidak sering-sering makan ayam goreng Sabana (dan tentu juga ayam goreng-ayam goreng lainnya). Masak setiap kali dia beli makan, menunya selalu ayam goreng Sabana. Apalagi sejak lokasi outlet ayam goreng Sabana semakin dekat dengan kosan kami.
mahal ah sabana, mending makan ayam di warung padang yang deket kampus
LikeLike
Sama aja mahalnya. :p
Yang murah, ya masak sendiri, hehehe…
LikeLike
boleh2 ntar tak coba in juga
LikeLike
Mending lu puasa aja,kasian bgt lo..
LikeLike
300 rb/hari itu omzet-nya mas, bukan keuntungan… Kentungan bersihnya sih hanya 10 %-nya. Tapi emang rasanya sekelas KFC…
LikeLike
Oh gitu ya mas… wah, saya salah tangkap kayaknya yang dibilang teman saya itu. Jangan-jangan masnya nih yang buka franchise Sabana di Cisitu ya? Hehehe…
LikeLike
numpang lewat mas, mo nyari tau ttg sabana ja….
LikeLike
ya…..namanya jug usaha
LikeLike