Tag Archives: sepeda

Gowes Hari Ini: Nyasar ke Moko Daweung

Awalnya cuma spontan saja sih. Pagi ada perlu sebentar di daerah Pasir Impun. Terus kepikiran kenapa nggak sekalian saja nggowes lewat bukit-bukit di sana mencari jalan tembusan ke Dago via Maribaya. Akhirnya dipilihlah rute Dago-Tubagus Ismail-Cikutra-Cicaheum-Ujung Berung-Pasir Impun-Maribaya. Perjalanan berangkat ini — kalau dilihat di Google Maps — jauhnya sekitar 15 km lebih.

Tahu sendirilah perjalanan dari Dago sampai Ujung Berung ini masih enak, soalnya jalannya memang jalan kota yang ramai dilalui kendaraan dan tracknya juga menurun. Setelah belok ke Pasir Impun, jalannya mulai menanjak. Semakin ke dalam, jalannya semakin menanjak terus. Jarang sekali jalan mendatar. Tekstur jalannya awalnya beraspal, tapi lama kelamaan jalan yang dilalui mulai berbatu-batu.

Setelah melalui SDN Cikawari (di Google Maps tertulis SDN Cikawao 03 itu salah), jalan yang dilalui mulai campuran antara jalan berbatu dan tanah. Mulai terlihat pemandangan bukit-bukit di sekitar. Bahkan, setelah menempuh beberapa ratus meter, pemandangan bukit dengan hutan hijau yang rapat tersaji dan sejenak aku bergumam dalam hati, “Wow, beneran nih aku harus menembus hutan ini?”

Peta rute

Peta rute

Kalau berdasarkan peta dari Google Maps itu, warna hijau-hijau itu ternyata memang menunjukkan kawasan hutan. Tapi sepertinya aku tak bisa memercayai sepenuhnya peta yang ditampilkan Google Maps. Seperti yang kubuatkan garisnya di gambar, walaupun sudah berusaha mengikuti jalan setapak yang ada, somehow aku keluar dari hutan dan bertemu pertigaan dengan ‘prasasti’ bertuliskan “Waroeng Daweung”.

Di pertigaan itu aku istirahat sebentar di toko salah satu warga sekalian membeli air minum di sana. Wow, secara kebetulan aku ‘nyasar’ sampai Waroeng Daweung. Padahal rencana awal mau menembus hutan-hutan itu untuk menyeberangi bukit menuju Maribaya. Sayang sekali GPS hpku tidak bekerja dengan baik ketika berada di dalam hutan. Aku kehilangan informasi di mana posisiku berada.

Nah jalan menuju Warung Daweung ini ternyata tak ada di dalam Google Maps (lihat garis merah yang kutandai di peta menuju Warung Daweung). Jalan di Warung Daweung ini sebenarnya buntu, sudah tak ada jalan lagi, kecuali pematang di antara ladang-ladang penduduk. Akhirnya aku memutuskan untuk melalui pematang yang ternyata jalannya mengarah menuju ke dalam hutan.

Di hutan ini aku benar-benar mengandalkan insting saja. Sudah nggak tahu lagi mana arah yang benar. Di hutan ini cukup banyak percabangan jalan. Sempat ketemu beberapa rombongan motor trail yang lagi off road di sana.

Setelah berjalan menyusuri dalam hutan, akhirnya bisa keluar juga dan mendapati ladang-ladang penduduk. Nama desanya Pamuncangan. Aku baru sadar aku telah salah mengambil jalan keluar di hutan. Pamuncangan ini kalau di peta sebenarnya sejajar dengan jalan menuju Moko Daweung. Artinya, aku masuk ke dalam hutan tadi hanya mengambil jalan memutar saja (lihat peta). Harusnya aku berjalan lurus menembus Maribaya.

Mau nggak mau perjalanan harus tetap dilanjutkan. Harus cari jalan lagi ke arah Maribaya, walaupun memutar. Sialnya, baterai hp sudah habis, aku tak bisa melihat peta lagi. Terpaksa benar-benar mengandalkan insting saja. Singkat cerita, setelah jauh-jauh mengayuh sepeda menaiki dan menuruni bukit, ternyata keluarnya di daerah Bojong Koneng. Glek! -_-

Ujung-ujungnya aku kembali lagi ke Cikutra. Tapi aku tetap bersyukur akhirnya menemukan jalan pulang, haha. Aku sempat kurang lebih 1-2 jam mengayuh sepeda dan don’t have a clue where I am actually.

Btw, aku sempat terjungkal dari sepeda ketika keluar dari hutan melalui jalan setapak berupa turunan yang sangat curam menuju Pamuncangan. Tekstur jalan setapak yang berupa tanah berpasir, membuat rem tidak bekerja dengan baik, dan sepeda meluncur dengan kencang. Sialnya tanahnya tidak rata sehingga membuatku susah mengontrol sepeda. Tahu-tahu aku sudah terjungkal saja dari sepeda.

Lutut berdarah tapi alhamdulillah hanya luka biasa. Tapi yang sakitnya masih terasa sampai sekarang adalah di daerah pinggang sisi sebelah kanan belakang. Sepertinya memar terkena benturan dengan batu sewaktu terjatuh. Mudah-mudahan segera hilang rasa sakit ini sehingga aku bisa ikut dua event lari dalam dua pekan yang akan mendatang. 😦

Catatan Perjalanan Pulau Tidung [Hari 2] — Menjelajah Pulau Tidung

Sabtu, 8 Oktober 2011

4.15. Sayup-sayup suara adzan Subuh terdengar. Aku dan kawan-kawan semua terjaga dari tidur. Yak, sudah saatnya menunaikan sholat Shubuh.

Beberapa teman pergi menuju toilet untuk menyelesaikan urusan pribadi masing-masing. Sementara yang lain menunggu di depan lift lantai 3 stasiun. Beberapa orang telah selesai urusannya di toilet. Tinggal Adi saja berarti yang belum. Ada lima belas menit kami menunggu Adi. Tak disangka ternyata sempat-sempatnya dia mandi subuh-subuh gini di saat kami harus buru-buru, ckckck … Orang mandi kok disalahin, hahaha. 😀

Kami semua pun bersegera menuju mushola stasiun Gambir yang berada di lantai 1 dengan menumpang lift. Kami menunaikan sholat Shubuh di sana.

4.50. Selesai sholat Shubuh kami menuju area parkir stasiun Gambir. Kami mencari taksi yang mau mengantarkan kami ke dermaga Muara Angke. Neo melakukan negosiasi dengan beberapa sopir taksi di sana.

Ya, Neo memang boleh dibilang berperan sebagai pimpinan rombongan kami. Dia memang sudah pengalaman karena pernah ke pulau Tidung sebelumnya. Bahkan urusan akomodasi di pulau Tidung sudah diurusnya dengan mengontak kembali bapak penyedia jasa wisata pulau Tidung sebelumnya.

Negosiasi yang dilakukan dengan sopir taksi tadi akhirnya menghasilkan kesepakatan harga jatuh pada angka Rp60.000 per mobil. Ada dua mobil, satu taksi untuk 4 orang dan satu mobil Toyota Avanza untuk 5 orang. Tanpa basa-basi lagi, kami pun segera masuk ke dalam mobil dan berangkat menuju pelabuhan Muara Angke.

Perjalanan ke Muara Angke ini kurang lebih memakan waktu 30-40 menit. Kondisi jalan pagi itu memang masih sangat sepi. Seharusnya kami bisa sampai lebih cepat jika sang sopir tidak salah mengantarkan kami ke pelabuhan Sunda Kelapa. Ya, sang sopir mengira pelabuhan yang kami maksud itu adalah pelabuhan Sunda Kelapa karena mereka tak tahu kalau di pelabuhan Muara Angke ada kapal penumpang untuk penyeberangan.

Muara Angke

Muara Angke (photo by Jiwo)

5.45. Begitu tiba di pelabuhan Muara Angke, kami langsung buru-buru mencari kapal yang akan berangkat menuju ke Pulau Tidung. Ya, kata Neo, kapal yang ke Pulau Tidung akan berangkat pukul 6 pagi, makanya kami agak buru-buru saat itu. Eh, ternyata kapal yang kami tumpangi baru akan berangkat pukul 7. Berarti ada satu jam lebih kami harus menunggu. Wajar saja sih, ketika kami naik ke atas kapal, baru segelintir orang yang ada di dalam sana.

Oh ya, Kapal yang kami tumpangi ini bernama KM (Kapal Motor) Kurnia. Cuma ngasih tahu saja sih. Kapal dari Muara Angke yang ke pulau Tidung nggak cuma kapal in. Ada kapal-kapal yang lain dengan jam keberangkatan yang berbeda. Tapi aku kurang tahu juga jadwalnya bagaimana.

6.45. Waktu sudah lewat satu jam. Kondisi kapal kali ini sangat penuh. Kalau boleh menebak, mungkin ada sekitar 200-300an orang yang telah naik di atas kapal ini.

Perlu diketahui saja, kapal ini terdiri atas dua tingkat dan kami duduk lesehan berdesakan di dalamnya. Nggak berdesakan banget juga sih. Masih lebih berdesakan saat aku menumpang kereta ekonomi saat lebaran.

Beberapa saat kemudian kapal diberangkatkan. Ya, ternyata walaupun belum jam 7, tetapi karena kapal sudah penuh, kapal pun lansgung diberangkatkan. Tarif Muara Angke-Pulau Tidung adalah Rp33.000 untuk dewasa dan Rp25.000 untuk anak-anak.

Kapal SPBU (photo by Jiwo)

Kapal SPBU (photo by Jiwo)

Barangkali ini adalah rute penyeberangan keempat yang pernah kulakukan. Pengalaman sebelumnya pernah naik kapal Tanjung Perak-Ujung Kamal Madura, Sendhang Biru-Pulau Sempu, dan yang ketiga adalah Ketapang-Gilimanuk. Dalam penyeberangan kali ini aku menemukan hal baru yang belum pernah kulihat sebelumnya. Yakni, di tengah laut pun ternyata ada SPBU juga :)! Ya, di tengah laut ada kapal SPBU Pertamina yang siap menjual dan mungkin juga langsung mengisi bahan bakar untuk kapal.

Coast Guard (photo by Jiwo)

Coast Guard (photo by Jiwo)

Sekitar 20-30 menit perjalanan, kapal diminta merapat oleh petugas patroli pantai ke kapal Coast Guard. Di sana dilakukan pemeriksaan standar keamanan penumpang oleh petugas. Ya, setiap penumpang diwajibkan untuk mengenakan rompi pelampung selama perjalanan. Kondisi yang ada saat itu, jumlah pelampung yang tersedia di dalam kapal tidak mencukupi untuk digunakan semuanya. Akhirnya, oleh pihak Coast Guard-nya diberikan tambahan jaket pelampung dari mereka. Aku masih ingat kata-kata salah seorang petugas saat itu, “Jaket pelampungnya tolong dipakai. Nanti kalau ada apa-apa, yang susah tim SAR-nya.”

Sebelumnya aku belum pernah naik kapal yang mengharuskan untuk mengenakan pelampung. Maklum, penyeberangan yang kutempuh biasanya paling lama cuma sekitar setengah jam. Sedangkan penyeberangan dari Muara Angke ke Pulau Tidung ini akan menempuh waktu 3 jam. Jadi aku kira wajar sih kalau tingkat antisipasinya lebih tinggi.

Suasana dalam kapal

Suasana dalam kapal

Oh ya, aku belum cerita ya soal pertemuan kami dengan salah seorang kakak angkatan kami di Informatika ITB. Ya, awalnya aku yang menyadari hal tersebut ketika di dalam kapal. Tapi karena aku nggak begitu kenal, hanya tahu nama dan wajah saja, awalnya agak sungkan-sungkan sih untuk menegur dia. Selain itu, nggak yakin juga itu adalah kak Naila, IF 2006. Teman-teman yang lain pun juga merasa demikian. Alasannya mungkin karena teman-teman barengannya nggak ada yang kami kenal. Tapi akhirnya aku mencoba menyapanya karena penasaran. Oh, ternyata memang benar, hahaha. 😆

9.40. Kapal yang kami tumpangi akhirnya merapat juga di dermaga Pulau Tidung. Di sana sudah menyambut kami Pak H. Manshur, bapak yang menyediakan penginapan untuk kami. Kami pun langsung kaki berjalan menuju tempat penginapan.

Haryus di depan rumah penginapan

Haryus di depan rumah penginapan

Tempat penginapan yang kami sewa ini sebenarnya adalah sebuah rumah. Rumah ini menyatu dengan rumah Pak Manshur dengan dihubungkan melalui pintu dapur. Ada dua kamar dan dua kamar mandi. Masing-masing kamar terdapat satu AC dan dua tempat tidur (satu tempat tidur besar dan satu tempat tidur kecil). Di ruang tamu telah disediakan satu TV berukuran 14 inci dan karpet untuk alas kami duduk saat kumpul-kumpul. Ruang tengah tersedia meja makan dengan peralatan makannya, satu buah galon air minum dan dispenser yang dapat kita gunakan untuk membuat air panas maupun air dingin. Di ruang tengah ini juga tersedia ruang kecil untuk tempat kami sholat. Kira-kira dua orang muatlah sholat di sana. Biaya sewa penginapan yang kami keluarkan adalah Rp250.000.

10.30. Kami tidak mau berlama-lama di dalam rumah saja. Setelah beristirahat sejenak dan bersih-bersih diri, kami langsung tancap jalan-jalan menjelajahi Pulau Tidung dengan mengendarai sepeda angin yang kami sewa Rp17.000 per sepeda untuk 24 jam. Di Pulau Tidung ini sepeda angin memang Continue reading