Setelah kurang lebih 1 tahun sejak pendakian pertama, pada tanggal 6-7 Juli kemarin akhirnya terlaksana lagi pendakian Gunung Gede untuk kedua kalinya bagiku. Peserta yang tergabung dalam rombongan kali ini hampir semuanya muka baru kecuali aku dan Rizky. Selain aku dan Rizky, ada Neo, Khairul, Kuncoro, dan Fachri. Kami semua teman satu angkatan kuliah di ITB dulu. Namun, hanya Fachri yang berbeda jurusan dengan kami.
Sama seperti tahun lalu, pendakian kali ini naik melalui pintu masuk Gunung Putri dan turun melalui jalur Cibodas. Namun bedanya, pada pendakian kali ini kami berangkat secara terpisah. Neo dan Khairul datang dari Jakarta. Sementara sisanya datang dari Bandung. Meeting point kami adalah Pasar Cipanas.
Sayangnya pada hari H itu, Kuncoro yang harusnya ikut bersama kami berangkat dari Bandung pukul setengah 7 pagi, ternyata kesiangan sehingga terpaksa ia harus menyusul sendirian ke Cipanas. Rencana untuk memulai pendakian jam 12 siang terpaksa kami urungkan.
Oh ya, untuk mencapai Cipanas ini dari Bandung, tepatnya terminal Leuwi Panjang, bisa menaiki bus jurusan Merak yang melewati jalur Puncak. Nama bus yang kami naiki adalah Garuda Pribumi. Ongkosnya 30 ribu. Kasus terburuk andaikan tak ada bus yang melalui puncak (biasanya karena jalur Puncak tengah ditutup), kita bisa menumpang bus ke Cianjur, turun di terminal Rawabango, Cianjur. Setelah itu, oper angkot ke mall Ramayana. Dari Ramayana bisa naik angkot biru jurusan Cipanas atau Elf jurusan Ciawi dan minta turun di Cipanas. Yang kasus terakhir ini memang ribet sekali karena harus oper beberapa kali. Itulah yang kami alami kemarin karena jalur Puncak kebetulan tengah ditutup, ada acara presiden di Istana Cipanas.
Dari Cipanas kami menumpang angkot yang menuju ke Gunung Putri. Kami memutuskan untuk menunggu Kuncoro di salah satu warung yang biasa menjadi basecamp untuk memulai pendakian di Gunung Putri itu. Di sana kami mengisi perut alias makan siang. Menunya macam-macam. Ada nasi goreng, nasi rames, soto, dsb. Harganya pun relatif murah. Di warung tersebut juga menyediakan mushola. Di sana kami menunaikan sholat Dhuhur dan Ashar sebelum memulai pendakian.
Sekitar jam setengah 4 sore akhirnya Kuncoro datang juga. Setelah itu, tanpa berlama-lama, seusai ia selesai sholat, kami langsung berjalan memulai pendakian. Sebelum itu, kami melapor dahulu ke pos perizinan Gunung Putri. Kami menunjukkan SIMAKSI kami dan sempat ditanya apakah kami membawa barang-barang seperti deterjen, sabun, dsb. Karena sudah paham mengenai peraturan sebelumnya, maka tak ada satupun dari kami yang membawanya. Cuma untuk senjata tajam, seperti pisau kami tetap membawanya karena merasa perlu. Kemudian petugasnya semacam memberikan catatan di surat SIMAKSI kami. Kurang jelas juga sih apa yang dia tulis. Setelah urusan pemeriksaan selesai, pendakian pun dimulai.
Sekitar pukul 16.15 kalau tidak salah ketika itu. Singkat cerita perjalanan pendakian kami ini menempuh waktu sekitar 5,5 jam untuk sampai di Alun-Alun Surya Kencana Barat. Sebuah pengalaman baru bagiku mendaki malam-malam di tengah pepohonan lebat. Sebelumnya pernah sih sekali mendaki malam-malam waktu jalan ke Ranu Kumbolo (Semeru). Tapi di sana jalurnya bukan hutan lebat seperti di Gunung Gede ini. Jalur yang penuh tanjakan juga menjadi tantangan tersendiri dalam pendakian di tengah gelapnya hutan.
Namun, momen di mana akhirnya kami keluar dari rimbunnya hutan dan tiba di Alun-Alun Surya Kencana Timur menjadi agak kurang gimanaaa … gitu. Terasa kurang sepuas seperti dulu. Mungkin karena langit sudah gelap sehingga hamparan Edelweiss di sekeliling menjadi tak tampak dengan jelas. Namun …masya Allah! Hamparan bintang berkelap-kelip menghiasi angkasa sana. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan. Langit malam itu begitu bersih, berbeda sekali dengan langit kota yang sudah dipenuhi polusi cahaya dan udara kotor.
Di tengah dinginnya malam itu, sekitar pukul 10 malam kami ‘berjuang’ mendirikan tenda. Agak susah menemukan tempat yang ideal untuk mendirikan tenda di tengah kegelapan begini. Susah sekali menemukan kondisi permukaan tanah yang rata. Angin malam yang sangat dingin yang menerpa kami juga cukup menjadi ‘cobaan’ untuk kami. Makanya begitu tenda akhirnya berdiri dengan kokoh, kami berebutan segera nganget di dalam tenda.
Niatnya setelah selesai mendirikan tenda, kami hendak memasak makan malam. Kami sudah mengambil air untuk memasak dan wudlu dari kali kecil yang mengalir membelah Surya Kencana ini. Namun, ujung-ujungnya acara memasak terpaksa dibatalkan karena kompor yang dibawa Rizky ternyata bermasalah. Kami semua langsung masuk ke dalam tenda untuk tidur. Makan malam terpaksa diganti dengan ngemil malam. Untung persediaan snack semacam roti, sosis siap makan, dan cokelat.
Sebelum tidur, kami sholat Maghrib dan Isya’ dijama’ takhir terlebih dahulu di dalam tenda dengan kondisi kedinginan. Sekitar pukul 12 malam aku pun akhirnya bisa terlelap dalam tidur. (bersambung)