Tag Archives: Al-Quran

Story Night Jakarta 2019

Story Night Jakarta 2019

Setelah setahun yang lalu, Ahad kemarin (10/3) ustad Nouman Ali Khan hadir kembali ke Jakarta untuk mengisi kajian. Beliau membawakan sebuah kajian bertajuk “Story Night: Miracles”. Acara tersebut diadakan di Balai Kartini dengan durasi kurang lebih 3,5 jam. Alhamdulillah saya berkesempatan hadir mengikuti acara tersebut.

baca juga: Mengikuti Kajian NAK – Reconnect with Quran

Story Night sendiri adalah sebuah program yang diselenggarakan oleh Bayyinah, sebuah lembaga yang didirikan oleh beliau untuk mengajak umat Islam agar lebih tertarik untuk belajar dan mengkaji Al-Quran, terutama dari segi bahasa. Story Night juga adalah sebuah rangkaian world tour yang diadakan di berbagai negara. Bahkan pada malam sehari sebelum di Jakarta ini, ustad Nouman Ali Khan juga berbicara di Kuala Lumpur, Malaysia.

Ustad NAK berdialog dengan hadirin sebelum acara
Ustad NAK berdialog dengan hadirin sebelum acara

Malam hari itu ustad Nouman membawakan kisah Nabi Musa AS yang termaktub dalam QS. Asy-Syu’ara. Nabi Musa AS adalah seorang Nabi yang namanya paling banyak disebut di dalam Al-Qur’an. Ada banyak kisah dari beliau yang bisa kita ambil hikmahnya.

Come Back Stronger

Masih teringat kisah Musa ketika beliau memohon perlindungan kepada Allah dari makar usaha pembunuhan yang akan dilakukan oleh petugas keamanan Mesir. Nabi Musa pun kemudian selamat dari makar tersebut setelah melarikan diri ke padang pasir dan bermukim di Madyan.

Continue reading
Advertisement

Mengikuti Kajian NAK – Reconnect with Quran

Sepuluh hari menjelang bulan Ramadhan yang lalu (6/5) alhamdulillah saya mengikuti kajian ustadz Nouman Ali Khan (NAK) di Masjid Istiqlal, Jakarta. Sebuah kesempatan yang saya syukuri karena saya bisa secara langsung menyimak kajian beliau setelah selama ini mungkin hanya berkesempatan mengikuti melalui media internet saja.

Karena itu begitu mengetahui informasi bahwa komunitas Nouman Ali Khan (NAK) Indonesia berencana menghadirkan ustadz NAK ke Indonesia, saya pun dengan antusias segera mendaftarkan diri dalam kajian tersebut. Apalagi ini adalah kunjungan perdana beliau ke Indonesia.

Bagi yang belum tahu, ustadz Nouman Ali Khan ini adalah seorang ustadz yang berdomisili di Amerika Serikat dan merupakan pendiri Bayyinah Institute. Ustadz Nouman Ali Khan dikenal di kalangan komunitas muslim sebagai seorang ustadz yang memiliki spesialisasi dakwah dalam mengajarkan Al-Qur’an dari sudut pandang linguistiknya.

baca jugaBelajar Al-Qur’an di Bayyinah TV

Hari itu kajian ustadz NAK mengangkat tajuk “Reconnect with Quran” dan terbagi menjadi 2 sesi. Sesi pertama berlangsung mulai pukul 14.00 hingga menjelang sholat Ashar. Sesi kedua berlangsung pukul 16.00 sampai sekitar pukul 17.15. Dalam tulisan ini saya mencoba merangkum materi yang disampaikan oleh ustadz NAK dalam kedua sesi tersebut.

Ustadz NAK memulai kajian dengan mengangkat kisah Nabi Ibrahim AS. Nabi Ibrahim AS adalah seorang Nabi yang cukup ‘spesial’ karena banyak sekali do’a-do’a beliau yang terekam di dalam Al-Qur’an dibandingkan Nabi-Nabi yang lain.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, Nabi Ibrahim hidup di sebuah kaum yang menyembah berhala. Bahkan termasuk ayahnya sendiri. Sesuatu yang tidak masuk akal bagi beliau. Di tengah kegelisahan itu, beliau kemudian melakukan sebuah proses perenungan mengenai penciptaan dan bertanya-tanya mengenai siapa ‘Rabb’ sesungguhnya. Buah perenungan mengenai perenungan tersebut terekam dalam Al-Quran:

[78] (Dialah Rabb) Yang telah menciptakan aku, maka Dia yang memberiku petunjuk. [79] dan Yang memberi makan dan minum kepadaku. [80] dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku. [81] dan yang akan mematikanku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali). [82] dan Yang sangat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada hari kiamat. (QS. Asy-Syu’ara: 78-82)

Dalam ayat tersebut tersurat bahwasannya Nabi Ibrahim memahami bahwa Allah tidak Continue reading

Asumsi

 

Beberapa hari belakangan ini saya tengah asyik membaca buku ustadz Nouman Ali Khan yang berjudul “Revive Your Heart: Putting Life In Perspective”. Saya baru membaca beberapa bab awal. Sejauh ini saya cukup menikmati tulisan ustadz Nouman Ali Khan dalam buku itu. Tulisannya sangat ringan. Insya Allah jika saya sudah selesai membaca semuanya, akan saya tulis reviewnya.

Dalam buku itu ada satu bab yang ketika membacanya saya mencoba merenunginya. Sebab, saya merasa apa yang disampaikan oleh ustadz cukup relevan dengan kondisi kehidupan sehari-hari. Tak jarang juga mungkin tanpa disadari saya sering melakukannya. Bab tersebut membahas mengenai ‘Asumsi’.

“O you who have believed, avoid much (negative) assumption. Indeed, some assumption is sin. …” (QS. 49:12)

Kutipan di atas adalah potongan dari QS. Al-Hujurat (Chapter 49) ayat 12. Pada Surat Al-Hujurat sendiri — selain ayat tersebut — ada banyak sekali mengandung ayat yang mengajarkan prinsip-prinsip moral yang perlu dijalankan oleh setiap individu agar terbina kehidupan bermasyarakat yang ‘sehat’. Salah satunya adalah ayat tersebut yang menyuruh kita untuk mencegah diri dari membuat asumsi (yang negatif).

Asumsi. Apa itu asumsi? Kalau menurut Oxford Dictionary, pengertian asumsi adalah seperti ini:

A thing that is accepted as true or as certain to happen, without proof.
~Oxford Dictionary

Kurang lebih makna ‘asumsi’ adalah sesuatu yang kita anggap hal tersebut adalah benar padahal kita tidak memiliki bukti terhadapnya. Well, penggunaan asumsi sendiri cukup luas sebenarnya.

Dalam konteks ilmiah, hipotesis sebenarnya adalah pada awalnya adalah sebuah asumsi juga karena belum terbukti secara teori. Namun berangkat dari hipotesis tersebut kemudian dilakukan (beberapa) eksperimen dan pengujian untuk membuktikannya.

Sementara ‘asumsi’ yang dimaksud pada ayat di atas itu adalah kaitannya dengan hubungan antar manusia. Lanjutan dari potongan ayat tersebut adalah larangan untuk mencari-cari keburukan dan menggunjing orang lain.

Kalau dipikir-pikir memang benar, tak jarang terjadinya kesalahpahaman, retaknya sebuah hubungan, atau terjadinya konflik itu diawali dari sebuah asumsi. Asumsi letaknya ada di pikiran. Ketika ‘asumsi’ itu tersebar kepada orang lain, ia bisa menjadi gosip, rumor, atau bahkan fitnah.

Dalam beberapa kasus juga tak jarang seseorang merasa offended ketika tengah berdiskusi. Misalnya ketika argumennya dibantah atau ia diberikan kritikan atau nasehat. Orang tersebut merasa lawan bicaranya ingin mempermalukan dia atau menunjukkan superioritas terhadap dirinya. Bisa ditebak sikap tersebut berasal dari sebuah asumsi. Siapa yang tahu intensi lawan bicara kita kan.

Karena itu, sejak dari pikiran kita memang sudah diperintahkan untuk mencegah hal-hal yang demikian, sebelum keluar dalam ucapan maupun tindakan. Di sisi lain secara natural setiap hal yang ditangkap oleh panca indera kita akan diproses menjadi persepsi. Namun persepsi setiap orang terhadap suatu hal yang sama acapkali akan berbeda. Dalam persepsi itu tanpa disadari biasanya ada bumbu-bumbu asumsi yang ditambahkan karena keterbatasan informasi yang dimiliki.

Oleh karena itu, sebagaimana yang ditekankan oleh ustadz Nouman Ali Khan, tidak membuat asumsi itu memang memerlukan effort. Ia bukanlah hal yang terjadi secara natural seperti orang bernafas. Prinsipnya adalah, “Until you are absolutely firm about what actually is, do not pass judgement. Do not make assumptions.”  

 

 

 

 

Belajar Al-Qur’an di Bayyinah TV

Seperti yang sudah kita ketahui bersama, sebagaimana yang Allah tegaskan pada QS. Yusuf ayat 2 (dan dikatakan juga pada ayat dan surat lainnya), bahwasannya Al-Qur’an Allah turunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, idealnya cara yang paling baik dalam usaha memahami Al-Qur’an adalah dengan menguasai bahasa Arab itu sendiri terlebih dahulu.

Banyak makna yang hilang ketika memahami Al-Qur’an dari terjemahan. Apalagi dalam bahasa Indonesia. Salah satu yang krusial adalah bahasa Indonesia tidak mengenal tenses. Padahal, di dalam ayat Al-Qur’an ada beberapa penggunaan kata kerja dalam bentuk past tense dan present tense. Bentuk tense itu krusial dalam menunjukkan pesan yang ingin disampaikan.

Lalu soal pilihan kata. Sebagai contoh, kata الْيَمِّ (al-yammi) digunakan dalam QS Al-Qasas ayat 7 ketika menyebut ‘sungai’ dalam cerita bayi Nabi Musa yang dijatuhkan oleh ibunya ke sungai Nil. Ada beberapa varian kata ‘sungai’ dalam bahasa Arab, tapi kata tersebut yang dipilih karena memang ia lebih dari sekedar sungai. Kata tersebut bermakna ‘sungai yang dalam’ atau bisa juga ‘sungai yang mematikan’.

Lalu ada kata الْحَمْدُ (al-hamdu) pada kata الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ yang diterjemahkan menjadi ‘segala puji’ (all praise). Makna yang lebih lengkapnya seharusnya adalah ‘segala puji dan terima kasih/syukur’ (all praise and thanks). Jadi kataالْحَمْدُ bermakna dua kata tersebut dalam satu kesatuan.

Adanya gap bahasa yang sangat signifikan itu saya sadari setelah mengikuti kajian Ustadz Nouman Ali Khan di internet. Hal itu tidak saya peroleh ketika belajar di madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah dahulu. Atau mungkin guru sudah menjelaskan, namun tidak memberikan awareness kepada kami sebagai murid mengenai gap bahasa tersebut.

Dari kajian Ustadz Nouman Ali Khan itu, saya jadi berusaha lebih memahami lagi Al-Qur’an dari aspek linguistik yang lain, bukan hanya belajar cara membaca (tilawah) atau memahami terjemahannya saja. Ada banyak aspek linguistik yang dibahas oleh Ustadz Nouman Ali Khan. Di antaranya adalah terkait pilihan kata, susunan ayat, transisi yang digunakan Allah dalam menceritakan sesuatu dan meminta kita agar mengambil pelajaran darinya, dsb.

Kajian Ustadz Nouman Ali Khan itu bisa kita ikuti melalui program Bayyinah TV yang diasuh beliau dan tim di website http://bayyinah.tv/. Ada aplikasi Androidnya juga kok (di sini). Jadi enak kan, daripada bengong saat menunggu atau dalam perjalanan, bisa dapat ilmu mendengarkan kajian beliau melalui HP.

Selain itu, di YouTube juga ada kok channel Bayyinah Institute, tepatnya di https://www.youtube.com/channel/UCRtiU-lpcBSi-ipFKyfIkug. Tapi yang di YouTube biasanya berupa potongan-potongan saja, lengkapnya tetap ditaruh di Bayyinah TV.

Banyak wow moment yang saya dapatkan saat mengikuti kajian beliau. Banyak hal yang baru saya ketahui tentang pemahaman Al-Qur’an dari kajian beliau ini. Yang disampaikan beliau sejatinya juga sudah dibahas oleh ulama-ulama tafsir terdahulu kok. Tapi yang saya suka dari beliau adalah cara beliau menyampaikan yang begitu terstruktur dan disertai contoh-contoh sehingga memudahkan saya untuk memahami. 😊

Ikut Kajian #IndonesiaTanpaJIL di Kampus

Tadi sore, bertempat di Selasar CC Barat, Gamais ITB mengadakan sebuah kajian dengan topik yang lagi hot-hotnya belakangan ini, yaitu #IndonesiaTanpaJIL. Narasumbernya — bagi yang aktif mengikuti ‘kajian’ #IndonesiaTanpaJIL di dunia maya (Facebook & Twitter) tentu sudah tak asing lagi — yaitu kang Hafidz (@hafidz_ary).

Sayang euy, saya telat setengah jam, baru gabung sekitar 16.30. Padahal sejak pukul 16.00 sudah stand by di basement CC Barat. Maklum, sudah lama tak aktif di kampus, sudah nggak ingat kalau penyebutan selasar CC Barat itu yang dimaksud itu selasar depan yang menghadap ke CC Timur. Saya kira yang dimaksud itu selasar CC Barat di basement karena berasumsi pasti acaranya bakal diadakan di sana karena tempatnya kondusif.

Ketika saya datang, ternyata jumlah mahasiswa yang sudah datang lebih dulu sudah banyakan. CC Barat sekitar 3/4-nya sudah penuh. Terpaksa saya dapat tempat di pinggir belakang. Sayangnya, panitia sepertinya kurang siap mengantisipasi itu. Sound system berlum terpasang, sementara di dekat situ, tepatnya di lapangan CC sedang rame-ramenya orang-orang teriak-teriak mendukung tim basket yang tengah bertanding. Alhasil, suara yang terdengar kurang begitu jelas. Tapi Alhamdulillah, di tengah-tengah acara sound system sudah terpasang walaupun cukup sering putus-putus.

Pada kesempatan kajian ini, Kang Hafidz menjelaskan bahwasannya fenomena yang dialami umat muslim saat ini merupakan sejarah yang berulang yang juga sudah diceritakan di dalam Al-Qur’an.

Kang Hafidz mengutip beberapa buah ayat dari Al-Quran surat At-Taubah ayat 64-66 mengenai orang-orang munafik yang seuka berolok-olok mengenai Allah dan Rasul-Nya, ataupun ajaran Islam. Celakanya, tanpa kita sadari hal tersebut sering kita temui di kehidupan kita dan mungkin sebagian dari kita sudah terbiasa dengannya. Contohnya, seperti mengatakan “astrojim” dari seharusnya “astaghfirullah al-adhim”, mengatakan “alhamudulillah ya …” dengan nada becanda dsb.

Ketika orang-orang seperti itu diingatkan agar tidak melakukannya kembali, jawaban yang mereka lontarkan, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Persis sebagaimana yang diceritakan oleh QS. At-Taubah ayat 65. Kemudian mereka akan meminta maaf. Namun, pada ayat berikutnya, ayat 66, dijawab, “Tidak perlu kamu meminta maaf karena kamu telah kafir sebelum beriman.” Masya Allah … semoga kita dijauhkan dari perbuatan-perbuatan yang demikian.

Selain menjelaskan mengenai cerita Al-Qur’an mengenai orang munafik yang sering memperolok-olok Islam, Kang Hafidz juga mengungkapkan  Continue reading