Pernah kepikiran nggak sih kalau sekarang ini kita hidup di eranya “rekomendasi”? Mau ngapa-ngapain — terutama untuk sesuatu hal yang baru yang belum pernah kita lakukan atau temui sebelumnya — secara naluri kita akan melihat (atau mendengar) terlebih dahulu review orang lain.
Nah, yang namanya review itu biasanya sih kalau nggak mengandung pujian, ya kritikan, atau juga dua-duanya sekaligus. Ujungnya si pe-review biasanya ngasih rating, entah itu dalam skala 5, 10, 100 atau suka-suka dia :D. Rating yang diberikan itu kemudian akan masuk dalam pertimbangan orang yang membaca review. Apabila si pe-review juga ngasih kesimpulan dalam kata-kata seperti recommended atau nggak recommended (atau kata-kata yang sejenis), wah itu tentu bakal semakin membekas pada si pembaca. Jadi polanya review → rating → recommendation.
Kenapa saya sebut “era”, karena memang seiring dengan perkembangan teknologi informasi saat ini, akses terhadap review-review tersebut menjadi sangat mudah. Banyak sekali bertebaran aplikasi, baik mobile ataupun web, yang menyertakan review dalam layanan mereka, entah itu memang core layanan mereka atau hanya sebagai penunjang layanannya yang lain.
Siapa yang tak mengenal Foursquare atau TripAdvisor? Untuk aplikasi yang fokus ke review restoran, kita mengenal Zomato atau OpenRice. Untuk review film, ada Netflix, IMDB dan Rotten Tomatoes. Dan masih banyak lainnya.
Pada aplikasi-aplikasi tersebut telah bertebaran banyaaaak review. Rating yang tercantum di sana, bukan rating dari satu orang. Itu adalah rating (rata-rata) yang diberikan oleh ratusan, ribuan, atau bahkan puluhan ribu orang. Jadi, misalkan suatu film mendapatkan rating 8/10, maka bisa kita katakan bahwa mayoritas orang menilai baik a.k.a merekomendasikan film tersebut.
Namun, dari sekian ratus orang yang menilai film tersebut hingga menghasilkan rata-rata 8/10, tentu ada minoritas yang menilai 6/10 atau bahkan kurang daripada itu. Nah, kadang-kadang kita jadi kepikiran kan, apakah saya ini masuk ke golongan mayoritas atau minoritas reviewer film tersebut.
Nah, ternyata di sini kita menyadari bahwa rekomendasi itu belum tentu akurat. Karena itulah pemilik aplikasi-aplikasi review tadi terus berusaha meningkatkan akurasi rekomendasi mereka demi meningkatkan pengalaman terbaik untuk penggunanya.
Nah, salah satu variabel yang menyebabkan suatu rekomendasi bisa jadi berlaku untuk seseorang namun tidak berlaku bagi orang lain, adalah adanya perbedaan taste atau selera. Ya nggak? Untuk mengakomodasi hal tersebut, maka muncullah istilah yang disebut personalization.
Fitur personalization itu biasanya bisa dilakukan secara manual ataupun otomatis. Kalau manual, biasanya sih user diminta memasukkan pilihan preferensinya. Kalau yang otomatis, ya lebih advanced, sistem bakal mempelajari pola perilaku user ketika menjelajahi aplikasi. Dari situ sistem kemudian akan menyimpulkan bahwa user memiliki preferensi A, B, C, dll.
Kalau berbicara dalam kehidupan riil, ternyata masalah rekomendasi ini bisa menjadi lebih sederhana ketika kita mengetahui seseorang yang juga memiliki selera yang sama dengan kita. Misalkan saya selama ini mengetahui bahwa semua film yang disenangi Budi ternyata juga saya sukai. Nah, ketika ada film baru rilis yang genre dan bahkan pemainnya siapa saya nggak tahu, eh tapi kok Budi suka, tentu saya akan cenderung berpikiran: wah, pasti saya juga suka film ini deh.
Nah, kalau dalam perspektif aplikasi, mungkin hal tersebut terepresentasi dalam fitur follow. Memang tidak setiap orang mem-follow orang lain karena dilatarbelakangi memiliki selera yang sama. Namun, ketika dia memberikan like terhadap rekomendasi yang diberikan oleh orang yang dia follow tersebut, probabilitasnya cukup tinggi untuk mengatakan bahwa dia memang menyukai produk yang direkomendasikan tersebut. Hoo… ternyata ada kegunaannya juga ya fitur like tersebut.
Dalam dunia marketing pun ada istilah endorse juga. Nah, biasanya sih ini yang ngelakuin seorang public figure. Begitu dia meng-endorse suatu produk, bisa dipastikan mayoritas orang yang mem-follow dia akan tersugesti menganggap bahwa produk tersebut memang recommended.
Membicarakan hal tentang “rekomendasi” ini memang bisa bercabang ke mana-mana sebenarnya. Salah satunya mungkin yang sering kita dengar ada istilah targeted advertising. Idenya adalah sebuah produk memang diiklankan ke target pasar yang menyukai produk tersebut sehingga memiliki kemungkinan untuk membeli atau menggunakan jasanya lebih besar.
Perkembangan teknologi informasi saat ini memang memungkinkan untuk melakukan hal tersebut. Istilahnya adalah recommender system. Pemain-pemain aplikasi berlomba-lomba untuk membangun sistem perekomendasi yang seakurat mungkin. Ada banyak algoritma yang bisa digunakan. Banyak variabel yang bisa dimainkan. Netflix bahkan dahulu pernah mengadakan kompetisi untuk membuat algoritma recommender ini dengan tawaran hadiah yang sangat besar.
Dari sisi pengguna alias para pencari rekomendasi, semakin otomatis dan akuratnya rekomendasi yang diberikan pun tentu akan memberikan pengalaman yang menyenangkan. Misalnya nih kita berkunjung ke kota yang masih baru bagi kita. Terus ingin nyari tempat makan yang lagi happening atau memang populer di sana, begitu buka aplikasi sudah muncul daftar tempat makan yang direkomendasikan, khususnya pada jam-jam ketika kita tengah mengecek aplikasi itu. Itu contoh saja. 😀
Klo dr sisi customer -centric service, review ini jd salah satu tolak ukur untuk sesuatu yg intangible, hehe.
Kalo aku sndri dari dlu sllu baca review tp sebisa mgkn dr bnyak sumber. Tp tetep sih ga 1000% percaya :p
LikeLike
Wah, banyak itu berapa? 😀 Kalo aku 2-3 sumber biasanya udah cukup sih. Kalo kebanyakan biasanya jadi pusing ntar, haha.
Oh.. istilahnya customer-centric service ya. Menarik, yg kayak gini dibahas juga ya di kuliah service engineering?
LikeLike
iyaaaa to. bangeeet dibahas bangeeet. kalo penasaran cb baca2 ttg “service design thinking”, hueheheee. I am open for discussion as well 😉
aku juga 2-3 sumber ajaaa. klo kbnyakan malah berakhir dengan engga jadi milih yg itu haha.
LikeLike