Judul : Selimut Debu: Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan
Penulis : Agustinus Wibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : September 2011 (Terbitan pertama 12 Januari 2010)
Tebal : 461 halaman
Dibandingkan buku-buku Agustinus Wibowo yang lain yang pernah saya baca (Garis Batas dan Titik Nol), Selimut Debu ini mungkin bisa dikatakan cenderung monoton dari sisi cerita petualangannya. Penyebabnya barangkali memang karena buku ini hanya fokus kepada petualangan Agustinus di Afghanistan saja. Hanya ada secuil cerita saja yang menceritakan perjalanan Agustinus ke Iran, negeri tetangga Afghanistan.
Perjalanan Agustinus di Afghanistan didominasi oleh cerita tentang perjalanannya berpindah antar kota dengan menumpang truk melewati medan ekstrim di pegunungan-pegunungan Afghanistan. Sulitnya mencari transportasi antar kota di sana. Juga berkali-kali ditinggal oleh sopir truk dalam perjalanan. Isu Sunni-Syiah dan sukuisme yang cukup kental di Afghanistan juga menjadi bahasan Agustinus di buku ini.
Setelah membaca buku ini, saya pribadi menjadi semakin bersyukur hidup di negeri sendiri yang damai dan makmur ini. Bandingkan dengan Afghanistan yang setiap saat dihantui oleh pemboman ataupun ranjau sisa perang di jalan-jalan. Saking seringnya hal tersebut terjadi, nyawa manusia seolah tak ada harganya di negeri tersebut. Karena seringnya dilanda perang berkepanjangan, hidup masyarakat Afghanistan pun menjadi sangat susah.
Di Afghanistan orang kehilangan bagian anggota tubuhnya sudah menjadi pemandangan sehari-hari. Kabarnya jumlah penyandang cacat di negeri tersebut mencapai 8% dari populasi negeri. Tak heran jika Afghanistan sampai memiliki kementerian khusus untuk menangani penyandang cacat ini.
Namun banyak cerita menginspirasi dari para penyandang cacat di Afghanistan ini. Semangat mereka menjalani hidup membuat mereka tak tampak berbeda dengan manusia yang masih memiliki jasmani yang utuh dan sehat. Ada pernyataan menarik dari seorang dokter yang ditemui Agustinus di sebuah Rumah Sakit Ortopedi Palang Merah Internasional di Kabul: “Orang cacat bukannya tidak mau bekerja, mereka hanya butuh kesempatan dan kesetaraan.”
Walaupun hidup berkesusahan, ada satu hal yang bagus untuk kita tiru dari kultur masyarakat Afghanistan. Yakni, memuliakan tamu. Menjamu tamu merupakan suatu kehormatan bagi mereka. Tamu diperlakukan bukan sebagai seorang yang asing, melainkan dianggap layaknya seorang saudara.