Untuk keempat kalinya secara berturut-turut aku berkesempatan menyaksikan langsung aksi-aksi pebulutangkis terbaik di dunia di perhelatan Indonesia Open Super Series Premier. Namun ada yang berbeda pada penyelenggaraan tahun ini. Stadion Istora Gelora Bung Karno yang tahun-tahun sebelumnya selalu identik dengan warna merah menyala, kali ini berganti menjadi warna biru.
Yup, seperti yang sudah diketahui bersama, title sponsor event Indonesia Open tahun ini adalah Bank Central Asia (BCA), menggantikan peran Djarum yang sudah bertahun-tahun “menikahi” Indonesia Open. Hal ini bisa terjadi karena aturan baru dari BWF di mana event olahraga mereka tidak boleh disponsori oleh perusahaan rokok. Memang sih, kenyataannya walaupun sudah tidak disponsori oleh Djarum, tapi bau Djarum di event ini masih sangat terasa. Melalui Djarum Foundation mereka masih ikut menyemarakkan event Indonesia Open ini sebagai sponsor.
Bagiku warna biru yang menggantikan warna merah ini adalah sebuah penyegaran. Bosen juga lihat warna merah melulu di Indonesia Open, hehe. 😀
Hari itu, Minggu 22 Juni, Aku dan Pambudi berangkat pagi dari Bandung menumpang travel dengan tujuan Sarinah. Kami tiba di sana sekitar pukul setengah 11. Setelah itu kami langsung meluncur ke Istora Gelora Bung Karno dengan menumpang bus Transjakarta. Bus Transjakarta sedang ada program gratis ongkos hari itu dalam rangka HUT DKI Jakarta *lumayan*.
Kami turun di halte POLDA. Setelah itu kami berjalan kaki menuju Istora. Setibanya di sana kami langsung mencari lokasi ticket box untuk event Indonesia Open ini. Ticket box untuk pembelian langsung ternyata berada di luar gerbang samping Istora. Sedangkan ticket box yang di dalam hanya untuk penukaran tiket dan tiket VIP saja.
Kami membeli 3 tiket untuk kelas I seharga Rp150.000 untuk satu tiketnya. Selain aku dan Pambudi, ada satu teman lagi, Putri TI’08, yang datang menyusul. Dia terpaksa menyusul karena sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota.
Setelah tiket ada di tangan, kami bisa bersantai-santai dahulu sambil menunggu pertandingan yang dimulai pukul 13.30. Kami makan siang dulu di food court yang tersedia di sana.
Beres makan siang, kami keliling melihat stand-stand yang lain. Kami juga sempat berfoto-foto di properti selamat datang ke BCA Indonesia Open 2014 dan wall of fame juara-juara Indonesia Open yang berasal dari Indonesia tentunya.
Well, bagi yang sudah pernah datang ke Indonesia Open tahun-tahun sebelumnya, format seperti itu tentu sudah sangat familiar. Tak terasa bedanya antara ketika disponsori Djarum dan BCA. Mungkin yang paling mencolok bedanya keberadaan SPG-SPG Djarum yang kini sudah tidak ada lagi di sini.
Yang aku baru tahu dan mungkin tidak ada di tahun-tahun sebelumnya, di front hall dalam Istora terdapat stand main Xbox. Aku dan Pambudi killing time main game FIFA di sana. Gratis lho. Lumayan kami bisa main 20 menitan di sana. Tidak perlu berlama-lama karena kami harus sholat Dhuhur dulu sebelum masuk ke tribun agar tidak merepotkan saat menonton.
Seusai sholat Dhuhur, kami langsung menuju ke tribun kelas I, masuk melalui pintu A8. Ketika itu jam kira-kira menunjukkan pukul 13.00. Berarti masih ada setengah jam lagi sebelum pertandingan dimulai. Namun tribun ternyata sudah lumayan ramai.
Waktu setengah jam itu diisi dengan penampilan Hivi Band yang menyanyikan lagu-lagu andalannya di tengah arena stadion. Btw, sejujurnya aku baru tahu ada band bernama Hivi Band saat itu. Maklum, udah nggak terlalu ngikuti blantika musik Indonesia, haha.
Tak berapa lama seusai Hivi Band menutup penampilannya, dua MC final Indonesia Open saat itu, Steny Agustaf dan Nirina Zubir masuk ke tengah arena menyambut penonton. Mereka memimpin penonton untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelah itu, mengajak penonton untuk menyanyikan dan meneriakkan yel-yel khas Indonesia Open dan melakukan body wave di dalam stadion.
Dan akhirnya tibalah pertandingan final BCA Indonesia Open Super Series Premier 2014. Pihak panitia telah mempersiapkan animasi yang wah dengan menjadikan court pertandingan sebagai panggungnya. Kerenlah. Walaupun tahun lalu sudah pernah melihat hal yang sama, tapi tetap terlihat kerenlah.
Partai ganda campuran Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen (Denmark) vs Xu Chen/Ma Jin (China) membuka final hari itu. Pertandingan berjalan seru dan jagoan penonton Nielsen/Pedersen berhasil memenangkan pertandingan lewat pertarungan ketat 3 set 18-21, 21-16, 21-14. Seperti biasa, Fischer selalu tampak emosional saat merayakan kemenangannya. Itu yang aku suka dari dia. Selalu total tiap kali bermain dan merayakan kemenangan.
Pertandingan kedua, yakni final tunggal putri antara Li Xuerui (China) vs Ratchanok Inthanon (Thailand). Aku mengharapkan pertarungan yang ketat dari pertandingan ini, mengingat partai ini adalah ulangan partai final World Championship 2013 di mana Ratchanok menjadi pemenangnya saat itu. Sayangnya kali ini pertandingan berjalan berat sebelah. Li Xuerui menang tanpa memeras keringat terlalu banyak 21-13, 21-13. Yang membuat aku cukup terkejut, aku baru tahu Nirina Zubir ternyata jago ngomong bahasa Mandarin, haha. Jadi di sesi interview setelah pertandingan, dia langsung yang mewawancarai Li Xuerui.
Pertandingan ketiga adalah salah satu pertandingan yang kutunggu-tunggu di final hari itu selain final ganda putra di partai terakhir. Partai ketiga ini mempertemukan final tunggal putra antara Kenichi Tago dan Jan O Jorgensen. Aku menjagokan Jan sore itu. Dan ternyata memang benar Jan lah yang keluar sebagai pemenangnya pada final ini.
Jan menang 21-18, 21-18. Jan tampak emosional dalam merayakan kemenangannya. Ia tampak tak terpercaya saking bahagianya. Dia sampai mengajak Kenichi untuk tukaran kaos. Mungkin buat kenang-kenangan dia kali ya, hehe.
Tapi yang lebih kerennya lagi, si Jan sampai membagi raketnya ke penonton. Tak tanggung-tanggung, 3 raket sekaligus dia bagikan masing-masing ke setiap sektor tribun. Itu kalau dihitung-hitung mungkin 1 raket harganya 2 jutaan kali ya.
Kelihatan banget dia sangat bahagia dengan kemenangan ini. Maklum, ini adalah gelar super series premier perdananya, dan juga gelar perdananya di Asia. Selain itu, dia juga mencatatkan diri sebagai pemain Eropa pertama yang juara tunggal putra di Indonesia Open. Wow!
Ini dia momen ketika jatuh terduduk seolah tak percaya dengan kemenangannya.
Yang mengecewakan adalah partai keempat yang tidak dimainkan. Partai final ganda putri yang mempertemukan sesama pemain China tidak dimainkan karena Ma Jin yang sebelumnya juga main di final ganda campuran mengundurkan diri dengan alasan cedera. Tentu saja penonton pun kecewa. Semuanya mem-boo pemain China. Kebiasaan nih pemain China.
Gara-gara ini pula si Putri jadi ketinggalan set pertama pertandingan final ganda putra Indonesia di partai kelima. Dia memang rencananya baru berangkat dari rumah ketika pertandingan keempat dimulai. Dengan tidak dimainkannya partai keempat, tentu saja setelah prize ceremony partai ketiga, dilanjutkan prize ceremony partai keempat, lalu langsung masuk ke partai kelima. Nah, si Putri ini baru sempat menyusul saat set kedua saja. Sayang banget yak, haha.
Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan menjadi satu-satunya wakil Indonesia yang berlaga di final hari itu. Dari awal aku sudah agak pesimis dengan peluang mereka melawan Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong (Korea) karena rekor yang tak terlalu bagus melawan mereka. Apalagi ditambah beban sebagai tumpuan harapan satu-satunya Indonesia untuk meraih gelar.
Benar saja, Hendra/Ahsan tampil under performed dan menelan kekalahan 15-21, 17-21. Sebuah penutup yang menyakitkan sih. Tapi yang lebih mengecewakan sebenarnya sikap penonton yang aku sesalkan. Ketika set kedua baru berlangsung dan Hendra/Ahsan tengah dalam situasi tertinggal, banyak penonton yang berangsur-angsur meninggalkan stadion.
Sebagai pemain melihat pemandangan itu justru menjadi serangan psikologis juga lah. Seolah-olah mereka ditinggalkan sendirian bertempur di medan perang. Di akhir pertandingan bahkan ada penonton yang dari tribun melempar balik kaos yang dibagikan oleh Hendra/Ahsan. Kecewa bangetlah sama sikap supporter yang musiman seperti itu. Hanya mendukung ketika pemain tengah berada di atas.
Yah, sayang sekali tahun ini Indonesia tak mendapatkan satu pun gelar juara. Tahun depan Istora akan kebagian dua event besar. Selain Indonesia Open, Istora juga akan menjadi host untuk event World Championship bulan Agustus 2015. Semoga saja tahun depan Indonesia bisa mencuri beberapa gelar di kedua event di kandang sendiri itu.
wah.. harusnya supporter jangan seperti itu.. gimana mau ngejar ketertinggalan kalo pendukungnya aja membuat mereka ciut…hheh
mh, seru juga ya nonton pertandingan langsung bulu tangkis,, seumur2 saya belum pernah,, hehe
LikeLike
Wah, kalau mbak penggemar bulutangkis, kapan-kapan perlu nyobain deh nonton langsung Indonesia Open. Atmosfernya rame banget. 🙂
LikeLike
siapp, he semoga ja kesampaian.. amiin
LikeLike