Allahuakbar… Allahuakbar… Allahuakbar… Walillahilhamd!
Gema takbir pagi ini terus berkumandang di mana-mana menandai telah datangnya hari raya Idul Adha 10 Dzulhijah 1431 H. Di Indonesia sendiri terjadi perbedaan mengenai penentuan awal bulan Dzulhijah. Pemerintah menetapkan Idul Adha jatuh pada hari Rabu besok tanggal 17 November 2010. Sementara, sebagian yang lain ada yang sudah merayakannya pada hari ini, Selasa 16 November 2010 sama seperti dengan yang ditetapkan di Arab Saudi dan negara-negara Islam lainnya. Di Bandung sendiri ternyata cukup banyak umat muslim yang mengikuti sholat Idul Adha hari selasa ini, seperti yang saya ikuti di lapangan monumen perjuangan dekat Universitas Padjajaran Dipati Ukur.
Labbaikallahumma labaik!
Sehari sebelumnya, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah kemarin, jamaah haji yangberada di padang Arafah sedang melaksanakan salah satu rangkaian haji yangdisebut sebagai puncak atau inti ibadah haji, yaitu wukuf. Dalam ibadah wukuf itu seorang Amirul Haj akan memberikan khutbah kepada para jamaah. Jamaah haji asal Indonesia saat menjalani wukuf juga mendengarkan khutbah dari Menteri Agama selaku Amirul Haj mereka (beritanya dapat baca di sini). Salah satu isi khutbah yang disampaikan beliau, beliau mengingatkan bahwasannya wukuf mempunyai makna sebagai replika kehidupan baru di Padang Mahsyar saat manusia dibangkitkan kembali dari kematian oleh Allah kelak. Saat itu, semua manusia sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanya kualitas imannya.
Khutbah haji yang paling bersejarah sepanjang masa adalah khutbah yang disampaikan Rasulullah SAW di padang Arafah saat haji wada’ pada tanggal 9 Dzulhijah 10 H dan diikuti 124.000 jama’ah dari berbagai suku bangsa. Banyak pesan berharga yang beliau sampaikan pada khutbah haji perpisahan saat itu. Di antaranya adalah pesan agar selalu menjaga tali ukhuwah Islamiyah dan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunnah beliau yang mana dengan menjalani hidup berdasarkan kedua pedoman itu hidup manusia tidak akan tersesat. Beliau juga menekankan kepada jamaah saat itu agar menghilangkan sikap rasialisme yang sampai saat ini pun masih terjadi. Suatu ras warna kulit merasa lebih baik dari ras warna kulit yang lain atau suatu suku bangsa merasa lebih baik dari bangsa lain. Sesungguhnya, kata Rasulullah, keutamaan seseorang itu diukur dari ketaatannya dan besarnya rasa takutnya kepada Allah SWT. Di akhir khutbah, beliau menyampaikan wahyu Allah QS Al-Ma’idah ayat 3, “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
Pada wahyu tersebut Allah menunjukkan bahwasannya Islam adalah agama yang telah sempurna yang di dalamnya sudah mencakup ibadah ritual dan aturan-aturan kehidupan untuk manusia. Berbicara mengenai ketundukan dan ketaatan kepada Allah SWT, pada salah satu ibadah rangkaian haji ini, yaitu Thowaf, di mana jamaah melakukan ritual mengitari ka’bah sebanyak 7 putaran dengan arah berlawanan arah jarum jam, sebenarnya terkandung filosofi yang sangat indah. Allah menciptakan alam semesta ini mulai dari partikel terkecil berupa elektron-elektron sampai komponen yang paling besar seperti galaksi atau supercluster, semuanya berotasi dan berputar mengelilingi pusat masing-masing dengan arah berlawanan arah jarum jam sesuai dengan lintasan edar yang ditunjukkan Sang Khaliq. Jadi, alam raya pun seakan berthawaf dan bertasbih penuh ketundukan dan ketaatan kepada Penciptanya. Allah pun sudah menjelaskan fenomena itu di dalam salah satu ayatnya yaitu QS. Al-Isra ayat 44, “Tidak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kalian tidak mengerti tasbih mereka.” Oleh karena itu, jika kita renungkan, kita pun sesungguhnya harus berputar mengikuti aturan-Nya. Dengan berusaha mengikuti mengikuti aturan-Nya, Insya Allah, hidup kita pun akan bahagia dunia akhirat, sebagaimana yang dilakukan alam semesta ini yang senantiasa berputar mengikuti lintasan edarnya sehingga tidak terjadi kekacauan.
Allahuakbar… Allahuakbar… Allahuakbar… Walillahilhamd!
Seperti yang disampaikan oleh khutib pada khutbah Sholat Idul Adha yang saya ikuti hari ini tadi, Idul Adha di sini juga memiliki makna lain sebagai hari raya Qurban menapaktilasi kisah Nabi Ibrahim AS yang diuji oleh Allah SWT dengan menurunkan perintah untuk menyembelih putra satu-satunya saat itu, Ismail, yang masih berusia 13 tahun (Ishaq belum lahir). Lalu Ibrahim menyampaikan perintah Allah yang didapat melalui mimpinya itu kepada Ismail dengan perasaan gundah sebagaimana yang diabadikan dalam Al-Qur’an, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!”. Ismail menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah bapak akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. Ash Shaaffaat:102).
Sepanjang perjalanan demi menunaikan perintah Allah itu, Nabi Ibrahim dan Ismail digoda oleh iblis agar menghentikan niatnya. Akan tetapi Ibrahim tidak tergoda dengan bujuk rayu tersebut dan mengusir iblis dengan melempar batu ke arah iblis itu di beberapa tempat. Peristiwa itulah yang menjadi asal mula disyari’atkannya lempar jumroh saat prosesi rangkaian ibadah haji. Setelah tidak ada yang mengganggu lagi, dengan penuh kesabaran dan ketaatan, Ibrahim kemudian bersiap-siap menyembelih putranya, Nabi Ismail. Namun, yang terjadi Allah menggantinya dengan seekor domba yang besar. Peristiwa itu kemudian menjadi asal mula pula disunnahkannya menyembelih hewan qurban saat hari raya Idul Adha dan 3 hari tasyrik.
Kisah pengorbanan, kesabaran, dan ketaatan yang dicontohkan oleh Ibrahim tersebut serta yang terkandung dalam ritual ibadah haji ini mudah-mudahan dapat kita teladani karena makan qurban itu sendiri secara bahasa adalah qaraba atau qarib yang artinya dekat atau mendekatkan diri kepada kekasih kita, Allah Al-Khaliq yang telah menciptakan alam beserta isinya ini dan menurunkan segala aturan-aturannya untuk kita.
Wallahua’lam bisshowab.
Sekali lagi, selamat hari raya Idul Adha 1431 H!
Allahuakbar… Allahuakbar… Allahuakbar… Walillahilhamd!