Tag Archives: hadits

Aib

Sumber gambar: http://bit.ly/1fbkX0f

Sumber gambar: http://bit.ly/1fbkX0f

Beberapa hari yang lalu sempat beredar screenshot status seorang cewek di jejaring sosial Path. Status tersebut berisi mengenai keluhan dia terhadap seorang ibu hamil yang memintanya untuk memberikan tempat duduk di KRL.

Screenshot tersebut beredar secara masif di berbagai platform jejaring sosial, baik itu Path, Facebook, Twitter, Instagram, dan mungkin masih ada lagi yang lainnya. Banyak orang bereaksi negatif terhadap status tersebut.

Di sini saya tidak di sini saya tidak bermaksud untuk mengomentari isi status tersebut. Namun, secara konten saya setuju memang apa yang dia keluhkan itu menurut saya tidak bisa dibenarkan. Melalui tulisan ini saya ingin mengungkapkan keheranan saya bagaimana status tersebut bisa tersebar sedemikian hebohnya. Bahkan, sampai ada situs berita yang cukup populer — sering ada iklannya di Facebook — menjadikannya sebagai sebuah berita di halaman websitenya.

Setahu saya Path adalah jejaring sosial yang cukup menjamin privasi penggunanya. Path dimaksudkan sebagai media jejaring sosial tempat kita berbagi kabar — baik foto, teks, ataupun kegiatan kita — (seharusnya) hanya dengan teman-teman dekat kita. Karena itulah jumlah pengguna yang bisa menjadi teman dibatasi hingga 150 saja (terakhir yang saya tahu).

Makanya, ketika screenshot status dari Path ini tersebar, saya cukup terkesima. Kok ada ya seorang “teman” yang tega menyebarkan (sesuatu yang menurut saya adalah) aib dari temannya. Alhasil, temannya tersebut kemudian mendapatkan berbagai kecaman di dunia maya. Bahkan, banyak tangan-tangan kreatif yang sampai membuat meme-meme untuk menjadikannya sebagai sebuah lelucon.

Hmm… bagaimana ya perasaan sang pengambil screenshotKenapa dia tidak mengingatkan langsung temannya mengenai statusnya tersebut? Mungkin dewasa ini orang lebih suka menghukum kesalahan seseorang dengan menyebarkan kesalahannya sehingga publiklah yang menghukum (atau mem-bully) orang tersebut hingga ia akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

Well… saya bersyukur Islam memiliki ajaran yang sangat indah menurut saya. Kita diajarkan untuk tidak membuka aib orang lain. Jangankan aib orang lain, terhadap aib diri sendiri saja kita tidak dibenarkan untuk membukanya.

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًا إِلاَّ الْمُجَاهِرِيْنَ, وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ باِللَّيْلِ عَمَلاً, ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ فَيَقُوْلُ: يَافُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ سَتَرَهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari, kemudian di pagi harinya -padahal Allah SWT telah menutupnya-, ia berkata: wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu –padahal Allah SWT telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah SWT terhadapnya.”

Oke, saya tidak tahu bagaimana perasaan cewek pembuat status tersebut. Namun, saya membayangkan seandainya saya berada di pihak dia. Pertama, tentu saya akan merasa sangat malu. Dan kedua, saya akan merasa sangat kecewa dengan teman saya yang menyebarkannya. Sangat, sangat, sangat kecewa. Saya tentu akan sangat menghargai teman saya jika ia memberikan nasehat secara langsung bahwa apa yang saya katakan atau lakukan itu salah.

Sebagaimana hadits yang disebutkan pada gambar di bagian atas tulisan ini, keutamaan dari menutup aib orang lain ini adalah akan ditutupnya aib kita di dunia dan kelak di akhirat. Setiap orang pasti memiliki kekurangan, cela, dan dosa tertentu pada dirinya. Jika kita tanpa sengaja mengetahuinya, semoga hal tersebut dapat dijadikan pelajaran dan dapat memperbaiki diri agar tidak melakukan hal serupa.

Semoga kita bukan termasuk orang yang menyenangi tersebarnya kejelekan di tengah-tengah kita.

إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya kekejian di tengah-tengah orang-orang yang beriman, mereka akan memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. An-Nur: 19)

Wallahu a’lam.

Jadilah Seorang Musafir

وعن ابن عمر – رضي الله عنهما- قال: أخذ رسول الله صلى الله عليه و سلم بمنكبي فقال: كن في الدنيا كأنك غريب، أو عابر سبيل وكان ابن عمر – رضي الله عنهما – يقول: إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح، وإذا أصبحت فلا تنتظر المساء، وخذ من صحتك لمرضك، ومن حياتك لموتك. رواه البخاري

Dari Ibnu Umar radhiallohu ‘anhuma beliau berkata: Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir.” Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati.” (HR. Bukhori)

Beberapa hari yang lalu saya sempat merenung mengenai makna dan perjalanan “waktu” dalam kehidupan ini. Kemudian saya mencari-cari artikel di internet mengenai pandangan terhadap waktu di dalam Islam hingga akhirnya menemukan hadits yang saya quote di atas.

“Jadilah seperti seorang musafir.”

Itulah potongan nasehat yang diberikan Nabi SAW kepada Ibnu Umar RA dalam hadits di atas. Rasulullah begitu indah menggambarkan analogi bagaimana kita seharusnya memperlakukan waktu yang kita punyai. Ya, gunakan filosofi seorang musafir.

Melalui hadits itu pula Rasulullah mengingatkan kita agar kita selalu mempersiapkan diri dalam menghadapi kehidupan di dunia ini. Seorang musafir atau pengembara yang hendak atau tengah melakukan perjalanan jauh, sebelumnya akan menyiapkan perbekalan terlebih dahulu. Kita pun demikian. Hidup ini hanya sementara, dan dunia ini hanyalah persinggahan sementara manusia sebelum sampai ke kehidupan yang sesungguhnya.

Layaknya seorang pengembara pula, dalam perjalanan mencapai tujuan sesungguhnya itu, ia juga harus singgah di beberapa tempat yang ia lalui untuk mencapai tujuan akhirnya. Bagi seorang muslim, tujuan akhirnya adalah surga sebagai tempat tinggal abadinya.

Dalam hidup di dunia ini pun demikian. Masing-masing dari kita pasti mempunyai target atau impian dalam hidup ini. Menjadi dokter, dosen, presiden, berumah tangga, punya keturunan, dan lain-lain. Aku menyebutnya dengan “tujuan antara”, bukan “tujuan akhir” atau “tujuan hakiki”. Tujuan antara ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk dijadikan sebagai bekal mencapai “tujuan akhir”.

Jadilah seorang dokter, dosen, presiden, kepala rumah tangga, ayah yang memiliki pola sikap Islami (nafsiyah Islamiyah), keimanan, ketakwaan, dan keikhlasan pada Alloh. Setiap hembusan nafas yang keluar dan perbuatan yang dilakukan adalah karena Alloh. Amal itulah yang akan tercatat sebagai bekal kita kelak.

Selain itu, Hadits di atas juga mengingatkan kita agar selalu memanfaatkan waktu yang tersedia dengan sebaik-baiknya. Jangan suka menunda-nunda waktu. Pekerjaan yang bisa kita kerjakan sekarang, kerjakan saat itu juga. Hargai waktu yang kita punya. Selagi sehat, Selagi punya waktu lapang, berbuatlah sesuatu yang bermanfaat untuk mencapai tujuan-tujuan kita itu. Apabila sakit sudah datang, akan sulit untuk melakukan sesuatu.

Dengan memahami filosofi seorang musafir, mudah-mudahan kita bisa semakin menghargai waktu yang kita punya.