(Masih) Selasa, 14 Januari 2014
Jalan-Jalan di Kowloon Park
Tepat pukul 15.30 kapal ferry Turbo Jet yang kutumpangi merapat di Hong Kong China Ferry Terminal, Kowloon. Tujuan pertamaku adalah Kowloon Park yang berada tak jauh dari pelabuhan. Kedua tempat dihubungkan oleh sebuah jembatan yang melintasi jalan raya di bawahnya.
Kowloon Park ini menempati lahan yang sangat luas. Suasananya sangat asri. Banyak pohon di dalam area taman. Suasana yang asri itu sangat nyaman untuk dipakai jogging, membaca buku, atau sekedar melihat-lihat flora dan fauna yang berhabitat di taman tersebut. Itulah aktivitas-aktivitas yang umumnya orang-orang lakukan di taman sore itu.
Sayangnya aku tidak membawa perlengkapan lari dalam perjalanan backpacking-ku ke Hong Kong ini. Padahal sepertinya menyenangkan sekali jogging di taman ini. Aku pun duduk-duduk saja di bangku taman sambil mengamati tingkah polah burung-burung flamingo yang tengah bermain-main di kolam.
Kowloon Park ini memang sangat luas. Kita bisa-bisa tersasar di dalamnya jika baru datang pertama kali. Namun, tenang saja, di beberapa sudut taman terdapat denah taman yang menampilkan simbol yang menerangkan posisi di mana kita berada.
Sholat Ashar di Masjid Kowloon
Sayang, sore itu aku tak bisa berlama-lama di taman. Sebab, tak lama kemudian waktu Ashar segera masuk. Aku ingin merasakan suasana sholat berjamaah di Masjid Kowloon (Kowloon Mosque), yang berada di salah satu sudut Kowloon Park, dekat dengan stasiun MTR Tsim Sha Tsui. Karena itu aku segera buru-buru menuju masjid.
Masjid Kowloon ini sangat megah. Lokasinya sangat strategis. Berada di pinggir jalan yang terkenal amat sibuk di Hong Kong, Nathan Road.
Suasana masjid sore itu cukup ramai. Banyak orang yang sedang berada di dalam masjid. Dari wajahnya, umumnya etnis Pakistan dan sekitarnya, serta ada beberapa orang Afrika. Ada juga rombongan anak berseragam sekolah yang sepertinya sedang melakukan studi tur ke masjid ini. Menarik juga. Dari wajahnya jelas mereka siswa-siwa lokal situ dan tampaknya mereka pelajar setingkat SMA.
Menyeberang ke Wan Chai, menuju Masjid Ammar
Seusai sholat Ashar berjamaah di Masjid Kowloon, aku berjalan kaki menuju Star Ferry Pier Tsim Sha Tsui. Sengaja aku berjalan santai saat itu karena ingin menikmati sore terakhir di Hong Kong ini. Aku berjalan menyusuri jalan Haiphong dan Canton Road sambil mengamati hiruk pikuk lautan manusia berjalan kaki pulang dari kantor. Yep, sore itu waktu sudah menunjukkan pukul 5 dan sepertinya memang jam 5 sore adalah jam pulang kantor para pekerja di Hong Kong ini.
Dari pelabuhan Star Ferry aku naik kapal tujuan Wan Chai. Ongkosnya HKD 3,4. Tujuanku ke Wan Chai ini adalah Masjid Ammar. Sepertinya bisa dibilang agenda hari ini itu berkunjung dari masjid ke masjid, hehe. Setelah berkunjung ke Masjid Makau, Masjid Kowloon, sekarang berkunjung ke Masjid Ammar di kawasan Wan Chai, Hong Kong.
Kalau menurut Google Maps, jarak dari pelabuhan Star Ferry Wan Chai ke Masjid Ammar adalah sekitar 800-1000 meter, tergantung rute yang kita pilih. Karena itu aku memutuskan untuk jalan kaki saja. Sayangnya, kenyataan di lapangan tak seindah yang tertera di Google Maps. Di jalan Google Maps ini tak bisa membantuku karena smartphone-ku tak memiliki akses internet. Alhasil, aku sering salah mengambil belokan. Ujung-ujungnya, aku baru tiba 30 menit kemudian di Masjid Ammar. Padahal kalau kata Google Maps, harusnya aku bisa sampai dalam waktu 12 menitan.
Makan malam di Islamic Centre Canteen, Masjid Ammar
Tujuanku sebenarnya ke Masjid Ammar ini adalah untuk mencoba menu aneka dim sumnya di Islamic Centre Canteen yang berada di lantai 5. Yep, aku baca di artikel-artikel kuliner yang membahas Islamic Centre Canteen ini, kabarnya di sanalah satu-satunya restoran masakan khas Cantonese halal di Hong Kong. Tahu sendirilah dimsum kan umumnya disajikan dengan campuran daging babi.
Makanya ketika aku mengetahui ada dim sum halal di Islamic Centre Canteen ini, aku pun membulatkan tekad dan semangat ’45 untuk mencobanya, apalagi di hari terakhir di Hong Kong ini. Konon kabarnya masyarakat lokal juga memuji rasanya yang ternyata tak kalah enaknya (dengan restoran-restoran masakan Cantonese sejenis).
Setelah sholat maghrib di lantai 3 — sayangnya aku ketinggalan berjamaah, aku bergegas untuk menuju lantai 5, mumpung masih ada banyak waktu menuju Isya’. Suasana kantin saat itu cukup sepi menurutku. Tempatnya cukup luas, namun kantin hanya terisi sekitar 5 meja yang terdiri atas sekitar 10 orang saja.
Menu makanan di sana tidak hanya dimsum saja tentunya. Untuk makanan beratnya aku memesan fried rice with diced chicken and salty fish. Sebagai pecinta nasi goreng, begitu melihat gambar menu nasi goreng dengan ayam dadu dan ikan asin, aku jadi tergoda. Nasi gorengnya nggak merah (karena saus) atau hitam (karena kecap) seperti nasi goreng kaki lima yang biasa dijual di sini. Harganya HKD 35. Worth bangetlah! Rasanya benar-benar pas di lidah. Asin-asin gurih gitu. Rasa asinnya pas. Potongan ayam dan ikan asinnya juga bikin rasa nasi gorengnya makin gurih. Enak bangetlah pokoknya!
Sayangnya, untuk menu dim sumnya malam itu pilihannya tinggal terbatas 4 macam saja. Padahal sebenarnya ada banyak macamnya di daftar menunya. Jam sibuknya memang pas siang hari sih. Mungkin sebagian sudah habis antara siang atau sore.
Di awal aku hanya memesan dim sum steamed seaweed rolls with seafood bersamaan dengan nasi goreng tadi. Wow, rasanya enak banget! Sebenarnya aku memesan dim sum jenis ini karena ada embel-embel rumput lautnya. Ternyata enak, rasa rumput lautnya pas dengan kombinasi seafood–nya. Harganya satu porsi HKD 13 (termasuk kategori ukuran medium), terdiri atas 3 buah dim sum dalam satu mangkuk.
Setelah menghabiskan nasi goreng dan dim sum rumput laut ini, sebenarnya aku sudah merasa agak-agak kenyang. Tapi penasaran pingin mencoba dim sum yang lain. Akhirnya aku memesan salah satu menu dim sum yang tersisa saat itu, yakni . Harganya HKD 15 (termasuk kategori ukuran big). Entah kenapa menurutku rasanya nggak enak di lidah. Rasanya berat sekali untuk menelannya. Entah karena perutku yang sudah penuh atau rasanya memang kurang enak bagiku. Yang jelas sih memang terasa banget rasa ikannya, seperti makan ikan mentah gitu. Tapi toh akhirnya habis juga. 😀
Untuk minumannya, aku memesan teh tarik hangat seharga HKD 10. Untuk teh tarik pakai es, kalau nggak salah harganya nambah HKD 2,5 (hmmm… atau selisih HKD 5 ya… haha, aku lupa). Untuk menu lengkap pilihan dim sumnya bisa dilihat di sini:

Daftar menu dim sum Islamic Centre Canteen (sumber: http://bit.ly/1nssKzL)
Menikmati malam terakhir di Avenue of Stars
Setelah sholat Isya’ berjamaah di Masjid Ammar, aku bergegas menuju pelabuhan Star Ferry Wan Chai. Kali ini nggak pakai acara bingung lewat jalan mana. Mungkin karena faktor perut sudah terisi kali ya, hehehe. Cepat saja aku melalui beberapa jalan pintas seperti gang di samping lapangan basket Wan Chai, dan skywalk di sebuah mall seberang pelabuhan, jalan yang sebelumnya bukan merupakan rute yang kulalui saat perjalanan berangkat.
Dari Wan Chai aku naik kapal ferry balik ke Tsim Sha Tsui. Niatnya aku hendak menonton Symphony of Lights di Avenue of Stars. Namun saat aku berada di ferry, jam sudah menunjukkan pukul 8 malam lewat. Aku pun terpaksa melewatkan pertunjukan Symphony of Lights.
Akhirnya aku cuma menikmati pemandangan gedung-gedung bertingkat saja. Pemandangan gedung-gedung bertingkat dengan warna-warni sinar lampurnya di Victoria harbour ini selalu cantik dan tak membosankan untuk dilihat. Selalu saja ada sudut baru yang sayang dilewatkan untuk diabadikan dalam sebuah foto.
Malam itu, walaupun bukan weekend, Avenue Of Stars sangat ramai. Sepertinya kebanyakan mereka yang berkunjung ke sini adalah para pegawai kantoran yang bercengkerama dengan rekan-rekan kerjanya sepulang kantor. Bisa dilihat dari pakaiannya yang formal dan rapi.
OTak sedikit juga turis-turis bule, Jepang, Korea, dan Indonesia yang berkunjung ke Avenue Of Stars. Yup, Hong Kong memang merupakan salah satu negara dengan tujuan turis terbesar di dunia. Karena itu hari biasa pun turis-turis tetap memenuhi beberapa tempat wisata di Hong Kong ini, termasuk Avenue Of Stars yang sudah menjadi salah satu ikon wisata di Hong Kong ini.
Berangkat ke bandara
Pukul setengah 10 malam udara Hong Kong sudah semakin dingin saja. Anginnya juga cukup kencang. Aku juga tak tahu mau ngapain lagi di Avenue of Stars ini. Aku kemudian memutuskan untuk langsung berangkat saja ke bandara malam itu. Padahal jadwal penerbanganku masih lama, yakni pukul 05.50 pagi keesokan harinya dengan Tigerair Mandala RI 657.
Ada dua alternatif paling populer untuk pergi ke bandara, yakni naik Airport Express atau bus City Flyer (bus A21). Dari segi waktu, Airport Express lebih unggul. Total waktu perjalanannya dari Hong Kong station ke bandara hanya memakan waktu 24 menit. Sedangkan dengan bus City Flyer perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit. Namun soal tarif, jelas bus jauh lebih bersahabat. Tarifnya ‘hanya’ HKD 33 (tarif flat). Bandingkan dengan Airport Express yang tarifnya HKD 100 dari Hong Kong station, dan hanya berkurang menjadi HKD 90 jika naik dari Kowloon station dan HKD 60 jika naik dari Tsing Yi station.
Karena itu demi menghemat pengeluaran, aku memilih naik bus saja. Dari Avenue Of Stars aku berjalan kaki menuju stasiun East Tsim Sha Tsui lalu dari sana naik MTR menuju stasiun Hung Hom yang hanya berjarak satu stasiun saja. Terminal keberangkatan bus City Flyer ini adalah Hung Hom terminus. Sebenarnya dia lewat Tsim Sha Tsui juga, cuma aku kurang informasi saja saat itu di halte mana bisa mencegat bus ini di Tsim Sha Tsui.
Jam terakhir beroperasi bus City Flyer ini adalah pukul 23.00. Malam itu aku kebagian bus yang berangkat pukul 22.15. Jadwal keberangkatan bus ini sudah ditentukan dan sepertinya juga tepat waktu. Sebenarnya aku nyaris naik bus yang berangkat pukul 22.00. Tapi busnya sudah terlanjur berangkat ketika aku tengah berjalan kaki ke tempat pemberhentian bus tersebut.
Bus ini formatnya double decker. Dalamnya sangat nyaman. Ada rak untuk menaruh bagasi yang selalu diawasi dengan kamera CCTV. Kalau ingin duduk di tingkat duanya, jangan khawatir akan bagasi di bawah karena ada monitor TV yang menayangkan rekaman CCTV tersebut. Ada free wifi juga lho. Jadi sepanjang perjalanan bisa diisi dengan internetan.
Menunggu pagi di bandara
Sekitar pukul 11 malam aku tiba di terminal 2 Hong Kong International Airport. Menurut pembagian yang sudah ditetapkan, maskapai Tigerair Mandala memang kebagian terminal keberangkatan di terminal 2. Suasana bandara malam itu ternyata masih cukup ramai. Entah karena memang jadwal mereka terbang adalah malam saat itu atau juga menunggu pagi seperti yang kulakukan.
Pertama yang kucari begitu tiba di bandara adalah di mana stasiun kereta di dekat sini. Sebab, di sanalah aku bisa melakukan refund Octopus Card yang kumiliki. Ternyata lokasi stasiun itu tak jauh dari terminal 2 ini. Bahkan, sebenarnya kedua bangunan ini tergabung menjadi satu, dihubungkan oleh dua buah jembatan. Uang yang kita dapat dari refund ini adalah senilai dengan deposit HKD 50 ditambah sisa balance dan dipotong dengan biaya administrasi sebesar HKD 9.
Setelah melakukan refund, aku kembali ke hall terminal 2. Aku mencari-cari kursi yang masih kosong dan berniat untuk tidur di sana. Hanya saja aku tidurnya bukan sambil berbaring, melainkan sambil duduk. Tentu saja tidak nyaman tidur seperti itu. Terpaksa tas ranselku kujadikan alas untuk selonjor. Namun, tetap saja sandaran kursinya cukup keras untuk menopang punggung saat tidur. Pegel-pegel deh jadinya.
Akhirnya 5 Jam perjalanan aku pun tertidur pulas di pesawat. Tapi lagi-lagi badan tetap terasa pegel-pegel. 4 Jam perjalanan travel Jakarta-Bandung pun juga demikian. Saking pegelnya, aku juga tertidur lagi. Ckckck. Akhirnya aku membalaskan ‘dendam’ tidur di kosan dengan nyaman, hehehe. Alhamdulillah bisa selamat sampai di rumah. Cukup sudah cerita empat hari jalan-jalan di Hong Kong, Shenzhen, dan Makau berhenti sampai di sini. 😀 (tamat)
Perjalanannya menarik bgt kak. Jadi, pengen nyoba jg. Hhe
btw utk perjalanan slma bbrpa hari itu habis uang brp kak?
LikeLike
Nyaris 3,5jt kalo nggak salah. Sudah termasuk penginapan, makan, transport antar lokasi, visa masuk Shenzhen, tiket masuk ke tempat wisata, dan sedikit oleh-oleh. Tapi belum termasuk tiket pesawat Jakarta Hong Kong PP itu.
LikeLike
di macau banyak orang muslim ya?
LikeLike
Nggak. Di sana minoritas. Sedikit sekali. Masjid cuma ada 1
LikeLike